Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Maafkan mama, Ben

Gill_sexplorer

Guru Semprot
Daftar
2 Jun 2019
Post
570
Like diterima
2.594
Bimabet
INDEX

Bagian 1: halaman 1

Bagian 2: halaman 1

Bagian 3: halaman 3

Bagian 4: halaman 4

Bagian 5: halaman 5

mulustrasi kakak adik Rara & Lala: halaman 5

Bagian 6: halaman 5

Bagian 7: halaman 8

mulustrasi Lala: halaman 8

Bagian 8: halaman 10

Bagian 8B: halaman 11

Bagian 9: halaman 12

Bagian 9B: halaman 13

Mulustrasi Lala: halaman 13

Bagian 10: halaman 13

Bagian 11A: halaman 15

Bagian 11B: halaman 15

Bagian 12: halaman 20

Bagian 13: halaman 22

Bagian 14: halaman 23

Bagian 15: halaman 24

Bagian 16: halaman 26

Bagian 17: halaman 29





Bagian 1



Laura

Aku sendirian sore itu, di depan mesin fingerprint.
Di tengah suasana yang masih ramai pada sebuah Skin Care ternama di kotaku.
"Jangan lupa ya Nit" Aku mengkode Nita, seorang beautician di kejauhan.
Dibalasnya singkat dengan kode juga: OK, dengan seulas senyum.
Sore ini aku pulang awal, waktu masih menunjukkan pukul 16:00. Kurapikan sedikit blouseku sambil memencet tombol G.

TING

Lift masih lengang, tidak ramai seperti biasanya saat jam pulang normal.
"Tumben udah pulang bu Laura" Sapa pak Didit, security gedung, sambil menahan tombol lift.
"Iya pak Didit, ijin ada perlu." Balasku singkat.
Sore itu aku mengenakan rok coklat muda yang sepertinya sudah agak kesempitan, efek berat badan yang naik selama pandemi kemarin.
Biasa malah suamiku, Bill yang kuminta membantu mengaitkan kaitan di belakangnya.
Aku merasa pak Didit dari posisinya berdiri, bisa melihat melalui celah blouse hitam kembang-kembangku yang tipis, tali bra hitam dibaliknya.
Bodo amat, hitung-hitung beramal buat kesehatan matanya.
Aku sibuk mengutak atik aplikasi ojol, sambil menunggu lift meluncur mencapai lantai Ground.
Tak lama teks dari Bill melayang di sudut atas layar, kubuka.
"Mam, sory telat.. Mungkin lembur"

"Gimana sih pap, lupa ya? "

"Nggak, nanti mulai aja tanpa papa OK? "

Tidak kubalas lagi. Aku sedikit kecewa.

TING

"Mari pak Didit" Aku tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala.
"Silahkan bu Laura" Pak Didit menahan pintu lift sambil mempersilahkan keluar.

TAK TOK TAK TOK
Wedges ku bergema di sepanjang lobby gedung perkantoran dari granit, bersinergi dengan geal geol bokongku yang sedikit overdosis proporsi lebarnya dibanding keseluruhan badanku yang sebenarnya masih tergolong langsing.
Hanya bagian pinggang ke bawah yang sedikit membengkak, yang biasa disebut pear shape body.

Dari balik kubah air mancur, aku melihat sebuah Sigra putih berjalan pelan, sedikit ragu.
Pasti ini.
Kuangkat tanganku memberi kode.

Sejurus kemudian, di bangku belakang Sigra putih, handphoneku berdering lagi.

Video call dari Nila, adikku.

"Haai" Aku menyapa sambil menyalakan video juga.
Nila dan Ben ada di seberang sana, Ben berlompatan ria.
"Mama, kok belum pulang?"
"Ini udah di Grab, sayang. "
"Ra, tuh temen-temen Ben udah pada dateng sebagian.. "
Beberapa teman Ben yang penasaran ikut melongok dari samping kiri kanan, sambil membawa balon.
"Iya La, gak lama paling juga setengah jam an nyampe. "
"Ma, papa juga belum pulang" Tanya Ben sedikit berkerut sambil memainkan balon-balon yang belum ditiup di tangannya.
Aku jeda sebentar.
"Hmm.. Iya, nanti mama duluan sampe kayaknya.. Tapi papa juga lagi pulang koq. "
Entah ini masuk white lies atau apa sebutannya.
"Udah ya, hape mama lowbat." Aku dada-dada sambil kiss bye.
"Dada mama.. "
"Jangan lama-lama lu.. " Nila atau panggilannya Lala, menambahkan.
Aku cuma memberi kode OK dengan jariku.

"Pak, bisa lewat jalan dekat kanal aja? Biasa di sana gak macet. "
"Ibu tau jalannya?" Si sopir terlihat ragu melihat dari spion.
"Iya pak, nanti saya pandu. "
"Ooh iya bu, soalnya saya baru di Jakarta, cuma mengandalkan map aja. "
Kamipun berbelok, meninggalkan kendaraan-kendaraan yang sudah mulai menumpuk menjelang perempatan.
Bill sudah terbiasa mengambil jalan ini, meskipun sempit dan agak membingungkan karena banyak cabang, tapi selalu berhasil menghindari kemacetan.
"Maaf ya bu, agak panas, mau bawa mobilnya servis belum sempat. Mohon ijin kacanya dibuka saja bu. " Si sopir mulai nampak gelisah.
Cuaca di luar, sopir, dan aku sama gelisahnya.
Firasatku mulai kurang enak.
Mobil melaju di sepanjang jalan tepi kanal yang sepi.
Tak lama, kap mesin berasap.
Si sopir melirik indikator sambil menyeka keringat gelisah di dahinya.
Damn, firasatku benar.
Mobil ditepikan.
"Mohon maaf sekali bu, saya cari tumpangan dulu ya, nyari air botolan, gak lama kok bu."

GLUDUKGLUGDUK.. BUMMMM..

Guntur di kejauhan seperti menjawab kegelisahan kami.
Tanpa banyak a i u lagi, sang sopir turun, melihat kiri kanan mencari tumpangan.
Disinilah aku, di dalam Sigra putih yang teronggok di pertengahan jalan sepi, sedangkan anakku di rumah, menunggu bersama teman-temannya, balon-balon dan hiasan lainnya.
Sejenak, aku menyesali keputusan memilih jalan pintas ini.
Tak lama, si sopir mendapat tumpangan motor, setelah sebelumnya berbicara dengan si pengendara.
Aku menoleh ke segala arah, mencoba melihat dan menimbang, apakah jalan kaki lebih baik.
Langit bertambah muram dan gemuruh guntur semakin kerap terdengar.
10 menit berlalu.
15 menit.

"OK cukup. " Gumamku.
Naluri keibuanku yang ingin segera pulang menepati janji pada anakku, membimbingku pada keputusan: kita jalan kaki saja. Aku dan naluri keibuanku.
Paling lama juga 20 menitan, tafsirku.
Kulirik HP ku, baterai tinggal 3%, haruskah kukabari kalau aku telat?
Ah nggak usah, fokus berjalan saja.

Aku melangkah cepat-cepat, meski dengan wedges yang agak tinggi.
Nafasku sedikit memburu, beginilah kalau tidak pernah berolah raga.
Semoga keputusanku benar.
Aku tidak berharap bertemu siapa-siapa di sepanjang jalan ini, karena takut sembarang menumpang juga.
Tapi semoga.
Karena bukan hal yang lazim, seorang emak-emak dengan rok dan wedges, berkulit putih mulus dengan bokong lebar seperti ini berjalan sendirian di jalanan ini.
Ada beberapa motor melaju dari arah berlawanan, tapi sepertinya tidak peduli.
Semua berkejaran dengan hujan yang tinggal menunggu jatuh saja.

TAP TAP... TAP..
Celaka, gerimis sudah.
Kubuka saja wedgesku, kutenteng.
Dan berlari terus, ya berlari dan jangan berhenti sampai memasuki kembali daerah yang ramai.

TAP TAP CSS.. SSSSSS...

Hujan membesar, datang mengejarku dari belakang.
Ah, padahal baru beberapa hari lalu rambutku digulung di salon.
Aku tetap berlari bagaimanapun juga.
Menyusuri pagar seng di tepian jalan kanal ini.
Ah, ada pagar batu di depan, sebuah rumah.
Hujan di belakang sudah terlalu deras, dan blouse ku sudah mulai basah.
Aku berbelok masuk ke sebuah pekarangan berumput tinggi di kiri kanan.
Ada sebuah rumah tua disini.
Aku mengikat rambutku yang sudah setengah basah, agar tidak kemana-mana, blouse tipisku sudah basah yang menimbulkan cetakan renda bra hitamku di baliknya.
 
Terakhir diubah:
Bagian 2

Halaman berumput berangsur menjadi perkerasan ubin semen bertekstur.
Langkahku berkecipak di antara deru hujan.
Amukan hujan semakin kentara di bawah atap seng rumah tua ini.
Setidaknya, disini lebih kering.
Kuletakkan wedgesku dan mengibas-ngibaskan tasku, segera kucek handphoneku.
Masih menyala, 2%, dan ada 1 missed call dari Lala.
Kucoba menelpon, dan damn, no signal.
Kucoba berulang-ulang dan tanpa sadar aku menggigil, karena bajuku yang basah.
Celingak-celinguk, harusnya aman.
Kubuka blouse basahku, melewati rambut coklatku yang masih terikat, di bawah teras depan yang sudah bocor atapnya di beberapa bagian.
Kuperas dan kukibas berulang-ulang, turut menggoyang susu 38 C ku yang juga agak lembab bra nya.
Di tengah amukan hujan, terdengar suara knalpot kaleng kampungan yang kian mendekat, dan berbelok masuk ke pekarangan.
Aku spontan lari ke dalam rumah, yang pintunya memang terbuka.
Dalam suasana remang-remang, aku menemukan tumpukan karung-karung besar, kuduga berisi plastik botol hasil pulungan.
Aku berjongkok sebisanya, sambil memasang kuping lebar-lebar.
Knalpot kaleng kampungan tadi sudah tak terdengar, berganti langkah dua pasang kaki berkecipak di atas ubin halaman.
Ada dua orang yang berteduh, pemilik knalpot kaleng kampungan itu.
Suara mereka mulai terdengar ikut menggema di rumah kosong itu.
"Elu sih ngotot mau jalan.. Ga ada sabarnya lu! "
"Nah kan gua juga yang disalahin. Lu nya juga nurut aja kan, hahaha.. "
"Ngehe, nih dah kuyub gua, mending kita balik aja, batal aja.. "
Lalu hening.
Terlalu hening.
Gak bagus nih.
Baru saja aku mengangkat kepala sedikit, mencoba melihat apa gerangan..

"Anjir.. Apaan tuh? "
"Bangke, udah gua bilang angker disini.. " Balas seorang sambil melangkah mundur.
Seorang lagi berjalan menuju ke tempatku bersembunyi.
Shit, apa yang mesti gua lakuin.
Naluriku kembali menuntunku untuk damai, persuasif.
Aku berdiri pelan, menutup bongkahan susuku dengan blouse basahku yang masih lecek.
"Maaf ngagetin mas, aku lagi neduh disini.. " Kucoba menyembunyikan gemetaran di balik suaraku.
Sejenak mereka saling pandang-pandangan.
Dan hening sebentar.
Mungkin, dipikirnya ini sejenis mimpi.
Dengan wajah ragu-ragu, keduanya mengamat-amati diriku, salah satunya bergerak mendekat.
"Mas, aku orang koq bukan hantu.. " Pernyataan tolol, entah kenapa itu yang terlontar dari tenggorokanku yang setengah terasa tercekat.
"Mana sini coba, kalau bukan hantu.. " Sergah seorang yang bergerak maju tadi, sambil coba memegangku.
Aku terdiam, tak mampu lagi menyembunyikan gigilanku.
"Iya asli lu.. " Dirabanya lengan putihku dengan tangan kasarnya yang dingin.
"Ja.. Jangan mas. " Aku benar-benar tak mampu berpikir lagi, diliputi ketakutan.
Di tengah deru hujan, seekor kijang tengah dirubungi dua ekor singa lapar.
"Aahhhh.. " Aku hanya memekik, ketika pemuda tadi menarikku keluar dari balik karung-karung tadi.
Aku terjungkal dan terguling di atas ubin semen yang berdebu.
Tas, handphone dan blouseku terlepas dari genggamanku.
Aku menggapai-gapai lantai, mencoba berdiri, bagai seekor biawak yang terseok-seok di got.
"Gak sia-sia kita kehujanan Jon, hahaha.. " Pemuda tadi sigap menindihku dari belakang, menelikung tanganku ke punggung dan mendirikanku, sehingga kami sama-sama dalam posisi berlutut.
Pemuda lainnya yang sedikit lebih tinggi, berjalan mendekatiku, dan OMG celananya sudah turun selutut entah dari kapan.
"Ngapain amoy mulus kayak lu di rumah kosong gini? Pasti mau eksib kan? "
"Eksib lu sukses moy, kami udah disini, siap nanam benih di memek lu, hahaha"
"Jangan.. Jangaaann.. " Air mataku menitik dan jatuh cepat.
Pemuda di depanku menjambak rambutku sambil mengocok-ngocok rudalnya, bersiap memperkosa mulutku yang berlipstik pink, lalu terhenti.
Handphoneku menyala dan berdering di lantai, panggilan video whatsapp, terbaca: Lala.
"Jangan!! " Aku berteriak marah ketika pemuda yang bersiap dioral tadi meraih handphoneku.
"Siapa nih Lala? " Tanyanya sambil melirik padaku.
"Jangan mas.. Jangan! Ada anak kecil disitu! "
Pemuda yang sedikit lebih tinggi itu tersenyum licik.
"Ooh.. Please mas, jangan diangkat.. " Aku mulai terisak.
Tetap diangkatnya, si bangsat itu.
Aku hanya menunduk lemas.
"Raraaa.. " Terdengar suara Lala dari speaker handphoneku.
"Sana nak.. " Terdengar suara Lala melembut.
"Halo Lala, lu cakep juga ya.. Hahaha"
Tapi lalu handphoneku mati, kehabisan power.
Ada sedikit kelegaan.
"E.. Ehhh jangan Jon" Teriak temannya di belakangku saat melihat Jon hendak membanting handphone.
"Sini.. Siniin" Sambung temannya.
Dilemparnya asal saja ke lantai di sampingku.
"Ya udah kalo si Lala ga mau nonton, gua rekam pake hp gua aja! "
Jon meraih handphone nya, mengarahkannya ke arahku dan mulai merekam.
"Nih liat gaes, rejeki gue sama Pai hari ini, cantik kan.. Kayak artis korea.. " Jon terus merekam sambil menurunkan cup bra ku dengan kasar, sampai susuku terguncang.
"Nih.. Wah, anjir putingnya pink gini.. " Sambil diremasnya perlahan.
Aku membuang muka ke samping.
Pai menjambakku dari belakang.
"Nah gitu Pai, biar muka artisnya bisa diabadikan., haha.. "
"Nih gaes, susu emak2 amoy yang masih kenceng.. " Bergantian diremasnya dengan satu tangan.
Dimajukannya senjata perangnya sambil dielus-elus, ke arah wajahku.
"Nah gitu donk.. Jangan sampe lu merusak suasana ya cantik, gua ga tanggung akibatnya ye.. "
"Nih gaes, gua rasa amoy ini belum pernah ngerasain kontol pribumi.. "
Aku menutup mataku saat rudal Jon ditepuk-tepukkan ke pipiku.
"Nah, skar... " BLETAKKK
Jon terhempas ke samping dan handphonenya terlempar membentur dinding.
JEDIG, BUKK, BAKK
Aku belum tersadar apa yang terjadi, yang jelas si Pai mendadak melepaskanku, san langkahnya terdengar menjauh, menghilang dalam deru hujan.
"A.. Ampun bang.. " Jon berusaha berdiri kabur sambil membetulkan celananya, lalu menghilang dalam hujan.
Aku masih bersimpuh di lantai, sampai lupa membetulkan bra hitamku yang belum menutupi susuku.
"Maaf bu, bajunya dipake nih. " Suara lembut namun tegas terdengar dari seorang pria paruh baya, sambil memungutkan blouseku.
"Makasih pak.. " Suaraku sudah tak bergetar lagi.
"Maaf bu, maaf.. Saya tinggal disini.. Coba tadi saya tiba lebih cepat. " Tambahnya sambil kembali ke teras, mendorong masuk sepeda tuanya ke dalam.
"Maafin bu, anak muda jaman sekarang emang udah ga ngenal sopan santun. " Ujarnya pelan sambil menyandarkan sepedanya yang tak berstandar ke dinding yang sedikit terkelupas.
"Bapak.. Tinggal disini? " Aku mengulang pertanyaan seolah gak percaya, padahal tadi sudah diinformasikan.
"Iya bu, udah sekitar 4 bulanan. "
"Saya pekerja bangunan bu, di proyek sana. " Tambahnya sambil menunjuk.
"Itu" Tambahnya sambil menunjuk ke tumpukan karung, "titipan ibu-ibu pemulung yang kadang juga tinggal disini sama anaknya. "
"Pak, saya belum berterima kasih.. " Aku berkata pelan, hendak menangis.
Entah karena bahagia atau karena juga sedih melihat keadaan bapak tua di rumah itu.


Laura


Pak Dwi

"Saya Dwi" Ujarnya tersenyum dari balik kerutan di wajah legamnya yang tak berambut.
Dibukanya kaos lusuh dan lepeknya, diperasnya cepat.
Segera aku menyadari, di balik kerutan usianya, tubuhnya masih fit dan kencang.
"Saya Rara"
"Mm pak.. Bisa ngecas ga hp saya disini? "
Pak Dwi hanya tersenyum, bahkan mencoba menyembunyikan rasa gelinya agar tidak menyjnggung perasaanku.
"Bu Rara, disini cuma pakai api, belum masuk listrik. "
Oh iya ya, kenapa pertanyaan bodoh tadi terlontar pula.
"Yang di pinggir jalan sana, mobil bu Rara? "
"Bukan pak, itu grab.. Lagi mogok dan saya terpaksa neduh disini tadi, sebab hari ini anak saya ulang tahun. "
Pak Dwi melihatku sebentar, pasti mencoba mencerna kalkmatku barusan.
"Maksudnya pak, saya jalan kaki mau cepat pulang, ga nunggu grabnya lagi, karena udah ditunggu anak saya di rumah. " Aku segera membetulkan kalimat aneh tadi.
"Nanti saya panggilkan ojek ya, kalau hujan dan berhenti, kayaknya gak lama lagi. "
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd