Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Malaikat Paling Sempurna Diantara Lima Malaikat (by : meguriaufutari)

17 udahan huuu
 
EPISODE 14 : Craziness

Martha Christina



Valensia Klara



Sekarang, aku sudah berdiri di depan apartemen Fioresta, atau mungkin lebih tepatnya disebut proyek pembangunan apartemen Fioresta. Sepertinya, seluruh fondasi apartemen ini sudah jadi, tetapi karena suatu alasan, pembangunannya terhenti. Mungkin seluruh pekerjanya lagi mogok kerja. Dengan berhati-hati, aku memasuki apartemen itu. Sepertinya, tidak ada tanda-tanda kehidupan di lantai pertama. Karena baru fondasinya saja yang jadi, maka belum ada sekat dan lorong.

Aku mulai menaiki tangga menuju lantai dua... tiga... empat... dan lima... Disinilah aku merasakan aura membunuh yang amat besar.

“Berani dateng sendirian juga lu! Nolongin jablay lu ya?” Tanya seorang laki-laki yang asal suaranya dari belakang.

Aku segera menoleh kebelakang, dan melihat kira-kira tujuh orang berbadan kekar dan membawa pedang. Di ujung, berdirilah seseorang yang tubuhnya sedikit gemuk. Sepertinya aku pernah melihat orang itu.

“Nih, jablay lu.” Kata orang bertubuh gemuk itu sambil menunjuk arah dibelakangnya.

Di arah yang ia tunjuk itu, tubuh Martha diikat dan didudukkan di sebuah kursi. Mulutnya ditutupi plester, sepertinya ia sedang meronta-ronta.

“Oi. Kayanya gua pernah ngeliat lu entah dimana. Tapi gua ga mao ambil pusing. Gua ga peduli lu siapa, tapi tolong lepasin dia.” Kataku.

Mendengar ucapanku, para pria bertubuh kekar itu saling melihat satu sama lain. Kemudian mereka bertujuh tertawa terbahak-bahak.

“BWAHAHAHA!! Parah lu bos! Dia nggak ngenalin lu dong! Anjiirr lucuu jiiinggg... Wakakakaka!!” Kata salah seorang dari mereka.

“WAHAHAHAHAHA!!” Tawa mereka semua.

Sepertinya, pria bertubuh gemuk itu merasa tidak senang karena aku tidak mengenalnya.

“Eh, anjing! Nggak usah pura-pura nggak kenal jing!” Kata pria bertubuh gemuk itu.

Aku hanya diam saja memandangnya.

“Lu beneran nggak tau siapa gua, jing?” Tanya pria bertubuh gemuk itu.

“Kaga.” Kataku dengan datar.

“Biar gw ingetin, anjing. Gua adalah...” Kata pria bertubuh gemuk itu.

“Udah-udah, nanti aja. Tolong lepasin dia dulu, baru nanti gua kenalan ama lu deh.” Kataku memotong ucapannya.

“Anjing! Eh gua tuh adalah...” Kata pria bertubuh gemuk itu.

“Eh, please. Itu dia kasian diiket gitu, sakit tau!” Kataku.

“HOOIII!!!! BANGSAATTT!!! LU PIKIR GUA SIAAPAAAA???” Kata pria bertubuh gemuk itu sambil melompat-lompat seperti anak kecil.

Eh? Apa yang terjadi dengan dia? Kenapa dia bertingkah seperti itu?

“GUA TUH ARVIIN!! COWOKNYA MARTHAA!!!” Kata pria itu dengan kesal.

“Hah? Oh, lo yang waktu itu datengin gw ama Martha di Plaza Senayan dan narik Martha pulang ya? Masa sih? Perasaan beda orang deh.” Kataku dengan heran.

Ketujuh pria bertubuh kekar itu kembali tertawa terbahak-bahak.

“LU SEMUA DIEM!!!” Kata pria bertubuh gemuk itu.

“LU!!! BUNUH DIA BURUAN!!!” Kata pria bertubuh gemuk itu sambil menunjuk salah seorang pria bertubuh kekar yang memegang pedang itu.

Mendengar perintah dari pria bertubuh gemuk itu, pria bertubuh kekar itu langsung maju dan memutar-mutar pedangnya. Aku hanya menghela napas saja.

“Hhhhh. Lu badan gede gitu, muter-muterin pedang jago. Tapi masa diperintah ama orang itu langsung nurut sih. Sayang amat itu badan kekar.” Kataku.

“Oh, yang penting dia bayar tuh.” Kata pria bertubuh kekar itu.

“Oke, gini aja. Lu bertujuh dibayar berapa ama dia? Gua bayar dua kali lipat, tapi sekarang lu bertujuh kerja ama gw. Gimana?” Tanyaku.

Ketujuh pria itu langsung tergelak dengan pernyataanku. Oh, untunglah, sepertinya mereka cuma preman biasa yang dibayar oleh pria bertubuh gemuk itu. Mereka sepertinya mulai lihat-lihatan satu sama lain dan memberi tanda dengan cara mengangkat dagunya, tanda bertanya sesuatu.

“Ngeliat dari gelagatnya, dia kayanya kaga bohong. Gimana?” Tanya pria bertubuh kekar yang ada didepanku.

“Wah, pinter lu ngebaca gelagat gua.” Kataku.

Pria bertubuh kekar itu langsung bersiaga.

“L...lu semuaa... jangan macem-macem ya...” Kata pria bertubuh gemuk itu.

“Yah lagian elu sih pake nyewa preman kampung tingkat rendah macem mereka.” Kataku.

“Eh bangsat!! Ngatain kita preman kampung lo yaa!!” Kata salah satu pria bertubuh kekar itu.

“Emang lu bukan dateng dari kampung?” Tanyaku.

“Hmmm, dari kampung sih.” Kata pria bertubuh kekar itu.

“Yaudah. Lu emang ga bangga ama kampung lu? Masa ga mao dipanggil preman kampung? Gitu-gitu kan kampung lu yang dibawa. Gimana sih.” Kataku.

“Hmmm, bener juga ya.” Kata pria bertubuh kekar itu.

“Oi, gendut! Gua mao tanya ama lo. Lo beneran Arvin, cowoknya Martha?” Tanyaku kepada pria bertubuh gemuk itu.

“Lu liat sendiri kan waktu di PS?” Tanya pria bertubuh gemuk itu.

“Sorry. Gua ga nginget muka orang yang ga berkesan buat gw. Jawab aja pertanyaan gua, iya ato bukan? Ga usah pake embel-embel.” Kataku.

“Iye. Gua Arvin, cowoknya Martha.” Kata Arvin.

“Oi lu bertujuh. Gua mao ngasihtau lu sesuatu. Percaya ama gua, gua serius nanya masalah bayar lu dua kali lipat itu. Gimana?” Tanyaku.

Mendengar ucapanku, Arvin langsung bersiap siaga. Ketujuh pria itu sepertinya kembali saling melihat-lihat satu sama lain. Kemudian mereka melihat kearahku, sepertinya siap untuk memberikan jawaban iya.

“Oke, sepertinya lu semua setuju. Satu hal, gua serius nanya lu pada. Tapi apakah gua beneran mao bayar lu pada ato ga, itu jawabannya adalah ga.” Kataku.

Mendengar hal itu, Arvin sepertinya sedikit lega. Ketujuh pria itu pun langsung memasang tampang berang.

“BANGSAAATTT!!!” Kata pria bertubuh kekar didepanku sambil maju kearahku.

Hmmm, ia berlari mengambil langkah cukup panjang. Tangan kanannya yang memegang pedang ia posisikan dibelakang tubuhnya, sementara tangan kirinya didepan tubuhnya. Aku langsung tahu apa yang akan ia lakukan. Tangan kiri didepan adalah untuk membuat pikirannya lebih fokus terhadap targetnya, sementara tangan kanan dibelakang adalah kuda-kuda awal untuk melancarkan serangan tebasan dari atas.

Dugaanku benar, ia melancarkan serangan tebasan dari atas. Hhh, pertahanan tubuhnya begitu terbuka ketika ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Seharusnya, ketika hendak melancarkan tebasan dari atas ke bawah, kita tidak boleh mengangkat pedang terlalu tinggi, karena akan membuat gerakan tubuh terkunci. Aku sedang tidak mau berlama-lama, jadi langsung saja kulancarkan tusukan tangan ke lehernya dengan tajam, dan mengenainya dengan telak. Mendapat seranganku itu, pria bertubuh kekar di hadapanku itu langsung pingsan. Setebal-tebal apapun otot manusia, tetap saja pasti akan lumpuh jika titik vitalnya diserang. Keenam pria bertubuh kekar lainnya sepertinya menjadi lebih siaga. Aku segera mengambil pedang dari pria bertubuh kekar yang baru saja kulumpuhkan itu.

“Lu pikir gua siapa? Cuma orang biasa yang mudah lu bunuh? Kalo lu pengen bunuh gua, sini lu semua maju barengan, baru lu bakal punya sedikit kemungkinan untuk bisa bunuh gua. Tapi gua peringatin ya, mood gua lagi jelek abis. Lu maju, berarti asumsi gua adalah lu siap mati.” Kataku sambil mengarahkan ujung pedang ke mereka semua.

Sepertinya mereka cukup tertegun mendengar ancamanku itu. Yah, ternyata hanya preman-preman kampung biasa saja, yang begitu lehernya disodori pedang, langsung pada takut. Bekerja di PT Ancient Technology membuatku menyadari ketakutan yang sesungguhnya, yaitu berhadapan dengan para penduduk dunia bawah. Dibandingkan dengan para preman yang ada dihadapanku ini, mereka semua jauh lebih menakutkan. Bagi mereka, kematian itu adalah sesuatu yang pasti akan datang, sehingga kebanyakan preman dunia bawah tidak takut dengan yang namanya kematian.

“WOI!! MAJU LU SEMUAA!! UDAH GW BAYAR JUGAA!!” Tiba-tiba, Arvin berteriak kepada mereka.

Mendengar perintah Arvin, dua dari enam orang preman itu maju berlari kearahku. Mereka mengayunkan pedang mereka, yang satu dari arah kiriku, yang satu lagi dari arah atas. Aku segera melompat mundur untuk menghindari tebasan mereka berdua. Cih, gerakan mereka setelah menebas pun begitu lambat, sepertinya karena mereka menebas dengan sekuat tenaga, akibatnya mereka kehilangan momentum untuk menyeimbangkan tubuh mereka pasca melakukan serangan. Tanpa membuang-buang waktu, aku maju dengan cepat, kemudian menebas dada preman yang ada di kiriku, kemudian menangkap tangan kanan preman yang ada di kananku, dan menusuk perutnya. Dalam sekejap, dua orang preman dihadapanku langsung tumbang bersimbah darah. Tampak wajah ketakutan pada Arvin dan empat preman yang tersisa.

“Jj... jiingg... lu barusan bunuh orang woy...” Kata salah satu preman sambil gemetaran.

“Kenapa? Takut? Lu megang pedang gitu, dan tadi temen lu coba menebas gw. Terus lu kaget ketika pedang ini akhirnya merenggut nyawa orang? Preman darimana sih lu? Serius, kayanya preman-preman di jalanan lebih punya nyali daripada lu-lu pada.” Kataku.

“Eh... eh... tunggu bos... Kita cuma dibayar ama orang itu... Kita nggak maksud cari masalah ama lu kok bos...” Kata salah satu preman yang sepertinya pemimpin dari mereka.

“Gua ga peduli. Yang jelas lu pada ngehalangin jalan gw untuk nolongin temen gua.” Kataku.

Kemudian, keempat preman itu saling melihat satu sama lain. Ketika sepertinya mereka akan menyerah, tiba-tiba Arvin berteriak.

“WOOYYY!!! KALO LU SAYANG NYAWA PEREK INI, JANGAN GERAK!!!” Teriak Arvin sambil... Sialan! Menyodorkan pisau ke dada kiri Martha.

“KALO LU GERAK, NI PEREK BAKAL MATI GUA TUSUK JANTUNGNYA!!!” Teriak Arvin.

“Heh, itukah resolusi terakhir lu? Gua kasihtau lu ya, saat ini, satu-satunya alasan kenapa lu masih hidup adalah Martha. Kalo Martha lu bunuh, tentunya lu tahu apa yang bakal gua lakuin ke lu.” Kataku.

Aku mulai maju pelan-pelan kearahnya, melewati empat preman yang sedang terbengong-bengong.

“EEHH!!! ST... STTOOPPP!!!” Kata Arvin.

Tangannya gemetaran, sehingga pisau yang ada di tangannya pun ikut bergetar, dan sudah mulai merobek lapisan luar tali yang mengikat Martha. Cih, tadinya aku berencana untuk menggertaknya, siapa tahu dia akan ceroboh. Tapi rupanya, ia kelewat ketakutan. Kalau begini, bisa-bisa ia melakukan tindakan sembrono yang tidak ia rencanakan jika aku terus menggertaknya. Cih, terpaksa menyerah deh. Kurasa dengan menyerah, pertahanannya akan melonggar. Pada saat ia menjauh dari Martha, aku akan beraksi dengan cepat dan melumpuhkannya. Aku menjatuhkan pedangku dan mengangkat kedua tanganku.

“Oke, gua ga lanjut. Jauhin itu pisau dari Martha.” Kataku.

“Ha... ha... HAHAHAHA! Ternyata lu cuma gertak sambal doang!” Kata Arvin.

“Iya, gua kalah. Silakan gebukin gua sesuka lu, itu yang pengen lu lakuin kan? Membuktikan ke Martha bahwa lu lebih kuat dari gua.” Kataku.

Martha berusaha meronta-ronta. Tubuhnya terikat dengan kencang, sedangkan mulutnya ditutup plester sehingga aku tidak tahu apa yang ia katakan.

“Lu semua! Cepet hajar dia! Balasin dendam dua temen lu yang tadi dia bunuh!” Kata Arvin.

Iya bener. Lu semua cepet maju, hajar gua sampe gua ga berdaya, dan buat bos lu mendekat kearah sini. Saat Martha ga ada yang jagain, saat itulah bakal gua habisin lu semua.

Preman pertama memulai dengan meninju keras perutku. Lumayan sakit karena kuterima mentah-mentah, tapi belum cukup untuk membuat tubuhku terjatuh. Karena aku tidak terjatuh, salah satu preman lain memukul punggungku, hingga akhirnya aku terjatuh. Kemudian, mereka satu per satu mulai menginjak dan menendang seluruh bagian tubuhku. Waduh, sepertinya aku terlalu meremehkan mereka. Walaupun mereka hanyalah preman kelas kacang, tapi kalau aku hanya bisa diam saja sementara mereka memukuliku, lama-kelamaan aku bisa mati juga. Aku yakin, aku bisa menghadapi mereka semua walau kesadaranku tinggal setengah. Akan tetapi masalahnya, apakah aku bisa membuat Arvin menjauh dari Martha sebelum kesadaranku habis?

Gawat, lama-kelamaan, rasa sakitku ini menjadi semakin tidak tertahankan. Aku seperti merasa bahwa kedua kaki dan tanganku akan segera lepas dari badanku saking sakitnya. Bahkan kurasa, beberapa tulangku pun retak. Rasa sakitnya menjadi semakin tidak tertahankan. Sial, apakah pemikiranku terlalu naif?

“Cukup lu semua!” Kata Arvin.

Eh, apakah pengorbananku akhirnya akan membuahkan hasil? Aku mencoba menggerakan seluruh tubuhku. Ah, sial, sakit sekali. Tapi aku yakin dengan sisa tenaga dan kesadaran yang kumiliki, aku masih mampu menghabisi orang-orang selevel mereka. Oke, kurasa persiapanku selesai, tinggal menunggu untuk Arvin datang kesini menjauhi Martha.

“Cukup main-mainnya, buat dia koit sekarang. Potong lehernya.” Kata Arvin.

DAMN! Sial, kukira Arvin akan mendekat kesini menjauhi Martha. Kalau begini, bagaimana ya caranya menolong Martha? Aku merasakan ada orang yang mendekat kearahku. Aku juga merasa bahwa rambutku dijambak oleh orang itu, dan kepalaku ditarik keatas. Pemandangan yang kulihat adalah Martha yang masih dalam keadaan terikat. Entah kenapa, senyum terpancar di wajahku.

“Udah, lawan aja mereka. Nggak usah peduliin aku.” Sepertinya, itu yang Martha berusaha katakan kepadaku.

Sorry Tha, kalo aku bergerak, cowok kamu yang bodoh itu bakal ngebunuh kamu. Aku ga bisa biarin orang laen celaka gara-gara aku, apalagi itu kamu.

“Yah, paling ga sebelum mati, aku sempet kenal sama kamu. Aku ga ada penyesalan sama sekali.” Kataku.

“Oh iya, satu hal. Martha, I think I have fallen in love with you (kurasa aku telah jatuh cinta padamu).” Kataku.

Pernyataanku ini cukup untuk membuat Martha terkejut. Ah, paling tidak, aku sudah melakukan sesuatu sebelum mati. Sepertinya, preman yang menjambak rambutku ini sudah siap utnuk menebaskan pedangnya ke leherku. Aku menutup mataku. Oke, selamat tinggal semuanya. Sepertinya ini bukan hari yang cukup jelek untuk mati. SYUUUTT. Oh, suara itukah yang terakhir kudengar sebelum aku berangkat ke akhirat? Suara pedang yang ditebaskan dari atas kebawah.

TRIINNGG. Oh, seperti suara Lonceng Surga. Haah, aku senang bahwa kematianku tidak sakit rasanya. Aku membuka mataku. Yang ada dihadapanku adalah seseorang yang mengenakan kemeja berwarna putih. Aku tidak bisa melihat wajahnya, karena wajahku tepat berada didepan perutnya. Mungkinkah dia adalah Dewi Kwan-Im? Ternyata Dewi Kwan-Im yang sering dibicarakan oleh orang-orang berwujud manusia biasa, dan suka memakai kemeja berwarna putih ya? Wajahnya seperti apa ya?

“Mati setelah menyatakan cinta, itu bukan cara mati seorang laki-laki, Jay.” Kata wanita itu.

Eh? Suara ini... mustahil... Aku segera menggelengkan kepalaku untuk mengumpulkan kesadaranku. Ukh, seluruh badanku masih sakit. Aku melihat sekeliling, dan ternyata aku masih berada di proyek pembangunan Apartemen Fioresta. Aku berusaha melihat siapa yang ada didepanku. Dia adalah seorang wanita yang langsing dan tinggi. Ia menahan pedang si preman yang akan menebas leherku hanya dengan punggung tangannya.

“Ah, rupanya Ci Diana adalah perwujudan dari Dewi Kwan-Im. Tapi jujur, gua ga rela. Kenapa harus Ci Diana yang merupakan perwujudan Dewi Kwan-Im?” Suaraku keluar sendiri.

“Heh? Ngelantur apa lu Jay?” Tanya Ci Diana.

Ya, dia adalah wanita langsing tinggi berbaju kemeja putih yang ada di hadapanku. Ia menahan serangan pedang preman itu hanya dengan menggunakan punggung tangannya tanpa menggunakan perlindungan apapun.

“Si... siapa lu? Pedang gw ditahan cuma pake tangan kosong...” Kata preman yang berusaha memenggal kepalaku itu.

“Yah, preman kelas rendah macam elu nggak bakalan ngerti kenapa bisa begini.” Kata Ci Diana.

Kemudian, Ci Diana meninju wajah preman itu, kemudian melancarkan tendangan berputar ke leher preman itu. PLETEEKK. Suara itu, tidak salah lagi, leher preman itu baru saja dipatahkan oleh tendangannya. Karena preman itu terjatuh, otomatis tangannya yang menjambak rambutku kehilangan pegangannya, sehingga tubuhku terjatuh. Tapi, Ci Diana langsung menangkapku. Kemudian, ia memelukku.

“Jay, sampai sini, serahin ke kita aja. Lu istirahat aja ya.” Kata Ci Diana sambil membaringkan tubuhku di tanah.

Saat aku terbaring di tanah, otomatis kepalaku menghadap ke langit-langit. SYUUTT... aku melihat benda yang sangat cepat melayang kearah Arvin. Saat itu juga, aku mendengar teriakan Arvin yang sangat keras. Eh, ada apa? Aku sebetulnya khawatir dengan Martha. Aku melihat Arvin sudah tidak memegang pisau lagi. Pisaunya telah berada di tanah, sedangkan tangannya bersimbah darah. Setelah melihat lebih jelas, ternyata ada pisau yang tertancap di tangannya. Oh, rupanya benda yang sangat cepat melayang yang kulihat tadi adalah pisau ya? Siapa yang melemparnya?

“Menyandera pacar sendiri demi menangin pertempuran sama cowok lain, bener-bener kacau lu jadi orang.” Suara seorang wanita dari arah pisau tadi terbang.

Eh, suara ini sepertinya aku kenal. Aku segera menoleh kearah suara itu.

“Mb... Mbak Fera...” Kataku.

“Halo, Jay. Wah, babak belur juga yah kamu kayanya.” Kata Mbak Fera sambil berjalan kearahku.

“Salah dia sendiri, membiarkan dirinya digebukin sama preman-preman kelas rendah kaya gini.” Kata Ci Diana sambil memposisikan dirinya dihadapanku.

“Eh, ci. Hati-hati, masih ada tiga preman lagi.” Kataku sambil melihat kekiri dan kanan.

Ya ampun, aku melihat ketiga preman itu sudah tumbang. Ketiga-tiganya sepertinya mendapatkan luka yang cukup parah. Beberapa tulang mereka sudah bengkok kearah yang tidak seharusnya.

“Preman mana?” Tanya Ci Diana.

Melihat itu, aku kembali menutup wajahku dengan tanganku. Ah, sudahlah. Dan aku sadar betapa berbahayanya berurusan dengan Ci Diana. Memang aku harus lebih hati-hati ya terhadapnya. Aku kembali membuka mataku, dan berusaha bangun. Belum berhasil sedikutpun aku bangun, aku melihat Mbak Fera mengeluarkan sebilah pisau, dan bersiap untuk melemparkannya kearah Arvin.

“Mbak Fera, tunggu, ada yang harus aku omongin sama dia.” Kataku.

Akan tetapi, Mbak Fera tidak mengindahkan ucapanku. Dia melempar pisaunya ke arah Arvin dengan cukup pelan. Saat aku melihat arah pisau itu... bukan... Pisau itu mengarah kearah Martha. Martha pun terlihat sangat takut dengan pisau yang terbang mengarah persis ke kepalanya. Akan tetapi, saat pisau itu hampir menusuk kepalanya, tiba-tiba arah pisau itu berbelok sendiri. Ujung pisau yang berbelok itu sempat merobek plester mulut Martha. Aku heran, bagaimana caranya membelokkan arah pisau begitu?

“Martha, Jay nunggu jawaban dari kamu. Kamu mau ditolong ato nggak?” Kata Ci Diana.

Aku melihat wajah Martha yang begitu sayu. Dua air matanya mengalir dari matanya.

“Ko Jaayy!! Pleasee tolong akuuu!!! Aku udah nggak tahan!” Teriak Martha.

Ah, inilah tandanya. Sekarang, aku yakin bahwa Martha betul-betul membutuhkan pertolongan dariku.

That is your lovebird asking you for your help. Are you going to lie down there forever? (Pacarmu meminta tolong tuh. Apa kamu akan berbaring disitu selamanya?)” Kata Mbak Fera sambil mengulurkan tangannya kepadaku.

Aku hanya tersenyum sambil menutup mataku. Aku menerima uluran tangan Mbak Fera, kemudian ia menarik tubuhku sehingga aku kini sudah berdiri. Aku segera berjalan kearah Martha, kemudian aku segera melepaskan ikatannya. Tubuh Martha yang sudah bebas, langsung memelukku dengan erat sambil menangis.

“Huuuu.... Huuuu... Ko Jaaayyy... Huuuuu...” Isak Martha.

“Udah... udah... udah gak papa sekarang, Martha. Kamu aman kok.” Kataku sambil memeluk dan mencium bibirnya.

“Iyaahh Kooo...” Kata Martha masih dalam keadaan menangis.

Kemudian, aku mengusap-usap rambutnya. Martha pun mulai berhenti menangis.

“Yuk, pulang.” Kataku.

Martha hanya mengangguk sambil tersenyum. Tangisannya belum berhenti sepenuhnya. Kemudian, aku dan Martha bersama melangkah menuju keluar proyek pembangunan ini bersama Ci Diana dan Mbak Fera.

“Mar... Martha... Tunggu dulu, sayang... Tolong aku, tanganku berdarah...” Terdengar suara Arvin dibelakang.

Mendengar hal itu, wajah Martha langsung kesal. Aku segera menepuk pundaknya.

“Wajah cantik gini kok kesel? Jelek tau. Udah, sabar aja, dia biar aku yang urus. Senyum yah. Ayo.” Kataku.

Mendengar perkataanku, Martha kembali tersenyum. Ia menganggukkan kepalanya tanda memberiku izin untuk berurusan dengan Arvin. Kemudian, aku berjalan kearah Arvin.

“Apa?” Tanyaku.

“Eh, sorry... Aku minta maaf ko buat semuanya....” Kata Arvin sambil gemetaran.

“Buat semuanya, apa aja itu? Sebutin.” Kataku.

“Uu... udahh... ge... gebukin koko...” Kata Arvin sambil melihat kebawah.

“Gua maafin kok.” Kataku.

“Te... teruus juga udah... ngo... ngomoong kasaar... am.. amaa kokoo...” Kata Arvin.

“Itu jg gua maafin.” Kataku.

“Oo.. okee... Kita damaai yaa koo...” Kata Arvin sambil mengajakku bersalaman.

Aku langsung menggenggam pergelangan tangannya dengan keras. Arvin tampak meringis kesakitan.

“Tapi camkan ini, ada satu yang ga akan pernah gua maafin. Tau kenapa gua selama ini diem aja? Karena Cewek, ehem mantan lu itu, selalu menjaga perasaan dan harga diri lu. Sekarang, perbuatan lu itu udah kelewatan, sampe-sampe mantan lu itu minta tolong. Gua anggap hal ini udah parah. Dan mulai sekarang, jangan panggil-panggil dia pake sebutan sayang segala. Dia udah jadi milik gua sekarang.” Kataku.

“I... iyaa iyaa ko. Gua nggak akan ganggu kalian lagi.. kok...” Kata Arvin.

“Oke. Tapi itu kalo lu bisa selamat yah jatoh dari ketinggian ini.” Kataku.

Kemudian, aku menendang dadanya dengan sangat keras, sehingga ia langsung terpental keluar, dan terjun bebas ke lantai paling bawah. Aku betul-betul marah sekali. Bisa-bisanya dia melakukan hal ini kepada Martha, menyebut dia jablay, dan bahkan memperlakukan Martha sedemikian rupa hanya untuk memancingku kesini. Itulah yang membuat mood-ku hari ini betul-betul tidak baik. Aku kembali melangkah kearah mereka.

“Sorry, Tha.” Kataku.

“Enggak, ko. Makasih, ko.” Kata Martha.

Aku hanya tersenyum saja. Kemudian, aku menuruni tangga bersama Martha, Ci Diana, dan Mbak Fera. Sesampainya di lantai empat, Valensia sudah berdiri dihadapan kami.

“Dia yang memberitahu aku kalo kamu terlibat masalah kaya gini.” Kata Ci Diana.

“Tau darimana lu?” Tanyaku.

“Kita udah saling kenal berapa lama, ko? Lu pikir keluar kantor tiba-tiba, dengan aura yang sangat nggak enak gitu, membuat gw berpikir bahwa itu hanyalah hal acak yang sedang terjadi pada diri lu, ko?” Tanya Valensia.

“Oke, biar gua tebak. Lu pasti maksa Devina ya buat cerita?” Tanyaku.

“Nggak.” Kata Valensia.

“Lho. Jadi?” Tanyaku.

“Gw paksa si Villy buka mulut.” Kata Valensia.

“Haiyah, sama aja.” Kataku sambil menutup wajahku dengan tanganku.

Kemudian, aku merasakan ada yang menepis tanganku dari wajahku. Rupanya Valensia. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku.

“Lu terluka, ko?” Tanya Valensia.

“Dikit.” Kataku.

“Masih lama matinya?” Tanya Valensia.

“Kalo gw mati beberapa detik lagi, harusnya bukan karena luka ini.” Kataku.

“Syukurlah.” Kata Valensia sambil tersenyum.

Kemudian, ia mencium bibirku dengan lembut.

Are you saved now? (Apakah kamu tertolong sekarang?)” Tanya Valensia kepada Martha.

Definitely, Val. (Pastinya, Val.)” Kata Martha.

Good for you. (Bagus deh.)” Kata Valensia sambil mengusap-usap rambut Martha.

Thank you for saving Martha. I’m really proud of you. (Terima kasih udah nolongin Martha. Gw bangga banget ama lu.)” Bisik Valensia kepadaku.

I think that’s one of the few sincere words coming from your foul mouth. (Kayanya sih, itu salah satu dari kata-kata paling tulus yang keluar dari mulut lu yang biasanya jahat.)” Kataku.

You bet. I’m really grateful, you know. (Jelas. Gw tuh berterima kasih banget.)” Kata Valensia.

So am I, Val. Has it not because of you, I would be dead by now. (Gua juga, Val. Kalo bukan karena lu, gw mungkin udah mati sekarang.)” Kataku.

“Hoki amat lu, Jay. Umur segini, udah punya dua cewek.” Kata Mbak Fera.

“Jelas aja. Dia itu adik angkat gw yang sangat gw banggain.” Kata Ci Diana.

“Tapi, gua ga gitu bangga ama lu, ci. Lu hampir aja merusak image Dewi Kwan-Im di mata gw.” Kataku.

Mendengar hal itu, Ci Diana langsung menjitak kepalaku dengan sangat kencang. Semua terkecuali diriku dan Ci Diana tertawa karenanya. Tentu saja bukan gitu, Ci Diana. Cici adalah kakak perempuan yang begitu kubanggakan dan kusayangi.

BERSAMBUNG KE EPISODE-15
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd