Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Malaikat Paling Sempurna Diantara Lima Malaikat (by : meguriaufutari)

terima kasih agan2 atas comment positif nya

Valensia di hari valentin,,

yap. ane juga kaget bisa pas gini hahaha

Devina emanx childish bgt yak...gr" g di perawanin mlh ngincer nyawa :bata:
Widih...yang kalah di perawanin ini crita nya.. hehehe

hmmm
mungkin demikian...

ditunggu tunggu malah pendek banget updet nya, nanggung lagi...
ada apa denganmu wahai suhu
Nanggung lagi nanggung lagi, lagi lagi nanggung lg :aduh:

waah, maaf2 gan
emang sengaja harus ane putus disitu karena menurut ane itu bagian paling pas untuk ngeputus ceritanya

Sip updatenya, Valensia ini malaikat yg kelima ya, bakalan ada BDSM ga nih koko ama Valensia. Yang berani khianati koko

BDSM itu apa ya? Maafkan keudikan ane gan hehehe

Wah ... Buying time neh?

hmmm, buying time dalam hal apa gan?

hmmn sip dipotongnya passss
habis ini kluarin jurus super saiya.... dhueerr hehehehe

hmmm bisa jadi di episode selanjutnya Jay dan Valensia bakal berubah jadi super saiyan. ga lah, becanda doang ane hehehe

Wah maen kasar sama Valensia

well, mungkin terlihat main kasar ya kalo cowo n cewe sama2 berantem
tapi dalam hal ini digambarkan kalo Valensia itu cewe yang kuat dan jago berantem
dan dalam hal ini, Jay melihat Valensia sebagai seseorang yang dia bisa andalkan layaknya seperti tangan kanannya sendiri, dan juga sebagai sahabat, dan maybe sebagai seseorang yang sangat spesial. jadi "kekasaran" Jay disini itu digambarkan sebagai suatu bentuk kepercayaan dan persahabatan. menurut ane sih demikian ya
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
EPISODE 27 : Konflik Hati

Kami sama-sama maju dan melancarkan tinju ke badan satu sama lain. Tinjuku berhasil ditahan olehnya, sementara juga tinjunya berhasil kutahan. Ah, suatu gerakan yang sangat cocok untuk memulai pertempuran kami. Persis seperti waktu dulu, di tempat ini juga. Bedanya, waktu dulu kami melakukannya didasari dengan rasa persahabatan yang kuat. Kali ini? Entahlah didasari oleh apa? Mungkin aku didasari oleh rasa ingin tahu tentang Valensia, sedangkan dia didasari oleh rasa ingin membunuhku.

Kami sama-sama mengadu kekuatan. Berbeda dengan waktu itu, kali ini kami betul-betul berusaha sekuat tenaga untuk melumpuhkan pertahanan masing-masing. Valensia pun sepertinya tidak menahan tenaganya sama sekali. Meskipun dia seorang wanita, tapi dalam hal bela diri dia itu sangat kuat. Laki-laki pun belum tentu bisa menang melawannya. Kemudian, aku berencana untuk melepaskan pertahanan atas tinju Valensia, memutar badan setengah kesamping, kemudian melancarkan serangan. Sama seperti waktu itu, diriku pun kali ini juga lebih cepat melakukannya dibandingkan dengan dia. Aku langsung melepaskan pertahananku, sehingga tinju Valensia menyosor kearah tubuhku. Aku memutar badanku setengah kekiri untuk menghindari tinjunya yang menyosor ke tubuhku itu, kemudian melancarkan tinju lagi kearah tubuhnya. Akan tetapi, ia berhasil menghindarinya dengan cara melompat dan memanfaatkan tinjuku yang masih ditahan olehnya. Ia melompat melewati tubuhku. Gerakan dan refleksnya cepat sekali. Begitu ia mendarat, ia langsung maju kearahku. Akan tetapi, tinjuku lebih cepat dan langsung menghantam telak dagunya. Begitulah yang kupilkirkan. Akan tetapi, ternyata ia berhasil menghindar kebawah, kemudian melancarkan uppercut kearah daguku. DUAAKK... Uppercut darinya betul-betul telak mengenai daguku. Aku pun langsung terjatuh karenanya.

Looks like my blow hits you first this time. (Sepertinya pukulan gw kena duluan ke lu kali ini.)” Kata Valensia.

Aku masih telentang di tanah. Aku memang sengaja tidak bangun dan memikirkan kata-katanya untuk sejenak.

So, you did remember about back then, eh Val? (Jadi, lo bener-bener inget ya kejadian waktu itu, Val?)” Tanyaku.

Well... Yes... (Yah... iya...)” Kata Valensia.

Aku pun bangun berdiri. Aku berusaha mengelap mulutku, tapi ternyata tidak ada darah sama sekali. Sepertinya, gigiku pun tidak ada yang patah.

“Terus rencana lo apa sekarang? Bunuh gua sebagai kompensasi kemaren karena gagal ngebunuh gua di sungai?” Tanyaku.

“Tergantung.” Kata Valensia.

“Tergantung apa?” Tanyaku.

Valensia tidak menjawabku. Ia kembali menyiapkan kuda-kuda bertarungnya. Akan tetapi, aku tidak menyiapkan kuda-kuda bertarungku. Aku hanya berdiri tanpa kuda-kuda dihadapannya.

What now? (Mau apa sekarang?)” Tanya Valensia.

“Gua ga mao berantem ama lo, apalagi disaat lo sebenernya ga mao berantem ama gua kan?” Tanyaku.

“Hah? Maksud lu?” Tanya Valensia.

“Udah, ga usah ngibul, Val. Kalo lo emang bener seperti yang dibilang pengen ngebunuh gua, uppercut lo tadi paling ga pasti bikin gigi gua patah satu. Sadar ato ga sadar, uppercut lo tadi cuma berhasil bikin gua jatoh.” Kataku.

Valensia tidak menjawabku. Akan tetapi, terlihat adanya kegelisahan dan kebingungan dalam raut wajahnya. Kemudian, Valensia maju dengan cepat kearahku. Ia hendak melancarkan tinju kearah wajahku. Akan tetapi, aku tetap tidak bergeming sedikitpun dari tempatku berdiri. Tinju Valensia pun melesat begitu cepat kearah wajahku, tetapi berhenti tepat beberapa saat sebelum menghajar wajahku.

“Kenapa diem aja?” Tanya Valensia.

“Lah. Gua udah bilang tadi kalo gua ga mao berantem ama lo. Cukup jelas kan?” Tanyaku.

“Artinya, lu akan mati disini karena dibunuh sama gw.” Kata Valensia.

“Silakan. Suatu kehormatan mati ditangan lo, daripada mati di tangan kelompok ga jelas yang sedang memburu gua. Yah walaupun lo sekarang bagian dari kelompok itu, tapi paling ga yang gua tau, lo ya tetep Valensia.” Kataku.

Setelah aku berbicara demikian, tiba-tiba ada sesuatu yang menghantam pipiku dari arah kanan. Aku langsung terjatuh. Ukh, kali ini betul-betul sakit. Rupanya itu adalah tak lain dan tak bukan adalah tinju Valensia. Belum sempat aku refleks melakukan sesuatu, tiba-tiba sesuatu kembali menghantamku pipi kiriku. Dari bentuk benda yang menghantam pipi kiriku, sepertinya berbentuk sepatu. Rupanya kali ini tendangan ya? Aku yang sudah terjatuh, berusaha bangun lagi. Akan tetapi, aku tetap tidak melakukan sesuatu.

Aku membuka mataku dan menatap Valensia. Valensia sepertinya cukup bingung dengan tindakanku. Yah tapi seperti yang kutahu dari Valensia, sepertinya ia tidak mau ambil pusing. Ia kembali menyerangku dengan bertubi-tubi. Tinju dan tendangannya mendarat di beberapa titik di tubuhku, terutama perut dan tulang rusukku. Lama-lama, aku kehilangan arah untuk menghitung sudah berapa banyak pukulan Valensia yang mendarat di tubuhku. Sakit di tubuhku pun semakin menjadi-jadi. DUAAKK... Tinju Valensia mendarat di pipi kananku... DUAKKK... Tendangan Valensia menabrak tulang rusuk sampingku. DUK... Aku merasakan tinju Valensia mendarat pelan di pipi kananku. Akan tetapi, tinju itu tidak menhantamku, melainkan hanya mendarat dengan pelan saja. Aku membuka mataku untuk melihat apa yang terjadi. Rupanya, Valensia tampak sangat heran dengan sikapku.

“Kenapa?... Kenapa lu nggak ngelawan?...” Tanya Valensia dengan heran.

Aku ingin menjawabnya, tapi sial. Rupanya rasa sakit akibat semua pukulannya membuatku sulit untuk mengeluarkan suara. Ya, aku memang tidak ingin berkelahi dengannya, paling tidak bukan sekarang, bukan dalam kondisi seperti ini. Valensia... Sebetulnya apa yang terjadi sama lo? Kenapa lo ga jujur aja sama gua? Itulah yang ingin kukatakan. Valensia yang melihatku hanya semakin merasa bingung saja, terpancar ekspresi itu di wajahnya. Kemudian, ia menutup matanya, kemudian ia melancarkan tendangan kearah kepalaku. Ah, inikah saatnya? Kurasa aku tidak akan sanggup menerima tendangan darinya, apalagi di kepalaku.

Yah, aku tidak menutup mataku sama sekali melihat tendangan Valensia melaju begitu kencang kearah kepalaku. Aku hanya memperhatikan inci demi inci jarak yang berkurang antara tendangan kaki Valensia dan kepalaku. Aku melihatnya dengan sangat detail. Termasuk juga, kaki yang tiba-tiba datang dan menghadang tendangan Valensia itu. Setelah kaki itu menahan tendangan Valensia, kemudian ada kaki lain yang melancarkan tendangan berputar dan mengenai pipi Valensia dengan telak sehingga membuat Valensia terjatuh dan terguling beberapa puluh sentimeter kebelakang. Ah. Kaki siapa itu? Aku menoleh untuk melihat pemilik kaki itu. Ah, rupanya aku ditolong lagi olehnya ya?

“Sebegitu menyenangkan kah melawan orang yang nggak pengen tarung sama sekali?” Kata Ci Diana kepada Valensia.

Valensia kemudian bangun, dengan susah payah karena sepertinya ia sangat kesakitan akibat tendangan Ci Diana yang mendarat di pipi kanannya. Aku yakin tendangan Ci Diana itu pasti sakit sekali. Tendangan Ci Diana begitu cepat, dan sepertinya pun kuat. Kemudian, Ci Diana mulai melangkah pelan-pelan kearah Valensia. Akan tetapi, aku langsung menghentikan Ci Diana dengan menggenggam pergelangan tangannya.

“Ci... Jangan... ikut campur... ini... urusan...guaa...” Kataku dengan susah payah karena masih merasa kesakitan.

Ci Diana hanya memejamkan matanya.

“Jay, gw ngerti ini urusan lu. Gw juga ngerti kenapa lu nggak ngelawan. Yah, gw juga nggak mao ikut campur... kalo bukan karena mereka yang daritadi terus merengek-rengek biar gw nolongin lu.” Kata Ci Diana.

Mereka? Siapa itu mereka yang Ci Diana maksud?

“Ko Jaaayyyy!!!” Teriak seseorang yang menghampiriku dan memegang bahuku.

Suara ini, sepertinya sangat familiar. Aku segera menoleh untuk melihat siapa itu.

“Hiks... huuuu... Ko Jaaayyy... huuu....” Kata Martha sambil menangis.

Oh, Martha. Eh bentar? Jangan-jangan ini mimpi lagi. Aku segera menggelengkan kepalaku dan menampar pipiku untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi. Dan ketika aku membuka mataku lagi, memang Martha yang ada disampingku. Ah, syukurlah kamu ga apa-apa, Martha.

Lalu, aku pun merasakan ada yang memegang pundak kiriku, dan menampakkan wajahnya didepan wajahku.

“Aduuh, Ko Jay... Parah amat lukanya...” Kata Villy.

Ah, kamu juga baik-baik aja ya, Vil. Paling tidak, aku merasa senang sekali bahwa mereka berdua baik-baik saja. Kelegaan dan kebahagiaan ini seolah-olah memberiku tambahan tenaga yang sangat besar, walaupun tidak cukup untuk membuatku mampu berdiri.

“Udah, kalo dia masih bisa menampar dirinya sendiri untuk mastiin bahwa ini bukan mimpi, artinya dia masih jauh dari mati. Tenang aja.” Kata Ci Diana.

Heh, well said. (Heh, kata-kata yang bagus.)” Kataku.

“Apa gw salah, Jay?” Tanya Ci Diana.

“Hmmm, semoga aja ga.” Kataku.

Kemudian, Villy berdiri dan berjalan mendekat kearah Valensia.

“Val, kenapa Val?” Kata Villy.

“Ke... kenapa apanya?” Tanya Valensia.

“Ada apa sebetulnya? Apa yang terjadi sebetulnya sama lu? Gw yakin banget Val, kalo lagi normal lu nggak bakal ngelakuin ini ke Ko Jay.” Kata Villy.

“Waktu ngerubah seseorang, Vil. Gw udah nggak sama kaya gw yang dulu.” Kata Valensia.

“Apanya yang nggak sama? Apanya yang ngerubah seseorang? Bagi gw... nggak, bagi kita semua, lu tuh tetep Valensia yang kita kenal. Gw yakin Ko Jay pun juga beranggapan sama, Val.” Kata Villy.

“Cukup, Vil. Kayanya percuma ngomong sama lu.” Kata Valensia sambil memalingkan tubuhnya.

“Val, cerita aja. Apakah sampe sebegitunya sampe-sampe kita tuh nggak bisa nolongin lu? Gw yakin lu masih nganggep kita-kita. Waktu Ko Jay nolongin Martha, gw ngeliat lu tersenyum lega. Lu tersenyum lega karena salah satu sahabat lu itu tertolong pada akhirnya kan? Dan gw tau senyum lu itu kaga palsu. Lu yang model otak robot dan nggak bisa berekspresi palsu, mana mungkin bisa bikin senyum palsu!” Kata Villy.

“Hmphh!” Begitulah reaksiku ketika mendengar kata otak robot. Ah sial, ini karena perasaanku refleks ingin tertawa, tetapi dihentikan oleh sakit yang menyebar diseluruh tubuhku ini.

“Ko Jay? Kenapa, ko?” Tanya Martha.

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, memberitahu Martha bahwa aku sebetulnya tidak apa-apa.

“Dan lagi lu inget? Well, kalo lu nggak inget, biar gw ingetin karena gw inget betul! Waktu kita berlima bikin taruhan tentang siapa yang bisa ngedapetin Ko Jay duluan, lu yang paling menolak kan! Lu yang paling mikirin perasaan Ko Jay. Lu yang paling peduli ama Ko Jay. Terus kenapa sekarang lu ngelakuin ini ke Ko Jay?!!” Kata Villy.

“Udah... cukup, Vil...” Kata Valensia.

Aku mendengar suara isak tangis dari Valensia. Hmm, betulkan dia sedang menangis?

“Gw tau, dari dulu emang lu deket banget ama Ko Jay. Tapi, lu nggak cuma nganggep dia sekedar sahabat kan? Lu nganggep Ko Jay lebih dari itu kan? Diantara semua respek dan persahabatan yang lu punya ke Ko Jay, lu juga sebetulnya kaya kita-kita kan! Lu mendem rasa sayang kan ama Ko Jay!” Kata Villy.

ENOUGGHH!! (CUKUUPP!!!)” Kata Valensia sambil terisak-isak.

Aku bisa melihat kedua pundak Valensia gemetaran. Tanda bahwa dia sedang menangis. Aku segera mengumpulkan napas dan tenagaku. Kemudian, aku berusaha keras untuk bangkit. Melihat hal itu, Ci Diana langsung sigap membantuku berdiri. Akan tetapi, aku memang terlalu lemas untuk berdiri, sampai-sampai Ci Diana harus membantu memapahku.

“Vil, cukup Vil. Dari sini, biar aku yang ngomong.” Kataku.

“Oh... iya, ko.” Kata Villy.

“Oi, Val! Lo denger gua kan?” Kataku.

Valensia tidak menjawab. Ia masih membelakangi kita semua.

“Lo camkan ini baek-baek. Kalo lo emang mao ngabisin gua, silakan datang kesini. Gua akan dengan senang hati ngasih leher gua buat lo. Dan gua ga akan ngelawan sama sekali.” Kataku.

“Dan satu hal lagi. Gua tau ada sesuatu sama lu. Dan sebelum lu bener-bener bisa nyelesain sesuatu yang menimpa lu itu, gua juga ga bakalan berhenti untuk nyoba bantu lu!” Kataku.

Mendengar hal itu, Valensia kemudian mulai melangkahkan kakinya menjauhi kami. Entahlah, aku tidak mengerti apa yang sedang ada di pikirannya. Apakah ia sedang menangis? Ataukah sedang mengejekku dalam hatinya? Aku pun tidak bisa melihat wajahnya karena ia berjalan dengan membelakangi kami.

“Hah, akhirnya lu aman, paling nggak untuk sekarang.” Kata Ci Diana.

“Oi, ci. Sebetulnya ada apa sih?” Tanyaku.

“Itu nanti aja. Kita mesti ngerawat luka lu dulu. Ayo kita ke rumah sakit. Setelah lu sembuh, baru deh lu tanya macem-macem.” Kata Ci Diana.

“Rumah sakit... Tapi...” Kataku.

“Udah, lu percaya aja sama gua, Jay.” Kata Ci Diana.

Tiba-tiba, aku merasakan sakit yang sangat parah di perut atas sebelah kananku. Saking sakitnya, aku terjatuh dengan tiba-tiba. Gila, aku merasa seperti ditusuk oleh benda yang sangat tajam. Aku begitu pusing dibuat oleh rasa sakit ini.

“Ko Jaayy!!!” Kata Villy yang suaranya mulai agak pudar ditelingaku.

“KO JAAYY!!!” Terdengar suara Martha yang begitu pudar di telingaku.

Lama-lama, aku pun mulai kehilangan kesadaranku. Seolah-olah, semua pandanganku mulai menghitam.

“Gawat... Sepertinya ini... Harus... Ayo...” Terdengar suara Ci Diana yang begitu pudar di telingaku.

Akhirnya, segala sesuatunya betul-betul menjadi hitam. Aku pun kehilangan kesadaran sepenuhnya.

BERSAMBUNG KE EPISODE-28
 
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd