Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

MDT SEASON 2 – PART 24

--------------------------------------------

guitar10.jpg

“Aya…” Kyoko menepuk badanku dengan lembut.
“Hmmm?” aku terbangun dalam kondisi tidak karuan, rasanya seperti kakiku lepas dan bersembunyi entah dimana, badanku berat dan rasanya sangat pegal.

“Tidur nya malam sekali ya?”
“Mm… Lupa.. Jam 3 atau 4 gitu?” jawabku kebingungan, kaget oleh cahaya matahari yang mendadak masuk ke mataku tanpa permisi. Aku semalam bisa dibilang begadang menyelesaikan proses mastering lagu-lagunya Speed Demon. Sekarang aku mulai menemukan kesulitan. Entah kenapa satu lagu ini ada beberapa hal yang kurang pas dan aku mesti mencari tahu, mengulik dan meng apa-apa kan lagi supaya lagunya terdengar benang merah sound nya sama dengan lagu-lagu sebelumnya yang sudah kukerjakan.

“Kyoko berangkat dulu ya, kalau mau makan pagi atau makan siang, ada di bawah…. Jya.. Mata ne” dia lantas mencium keningku sebelum berangkat ke Mitaka, café yang ia sekarang kelola bersama Zul. Aku mengangguk, lantas menariknya sebentar dan mencium lembut bibirnya. Tak lama kami berciuman, dan dia kini berdiri lalu melambai pelan dan beranjak pergi. Aku kembali bergumul sendiri di atas kasur. Aku belum sempat mengobrol terlalu lama dengan Kyoko.

Yang pasti dia tahu kalau pertemuannya went well. Tapi yang dia belum tahu, music directornya adalah mantan pacarku, Karina Adisti.

Karina.

Orang terakhir yang ingin aku temui. Rasanya tak nyaman. Masih jelas di ingatanku, betapa sulitnya dulu berpacaran dengan dia. Dan di masa sulit tersebut, hebatnya kami melalui bertahun-tahun dalam hubungan yang putus nyambung itu. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak pertengkaran, berapa banyak kesulitan yang kami hadapi dulu.

Karina memang perfeksionis. Terlalu perfeksionis. Dia kadang iri dengan pembawaanku dan teman-temanku yang cenderung santai. Setiap saat ada saja yang salah. Kalau soal musik oke lah, perfeksionisnya dia dapat menjadi bahan diskusi yang panjang dan asyik. Kita bisa membahas satu part piano selama berjam-jam, dan walaupun kami sama-sama ngotot, tapi karena itu membahas musik, maka ujung-ujungnya ada yang produktif. Entah jadi apa.

Tapi kalau soal hubungan personal?

Hell. Neraka.

Masalah perkara habis nonton film saja bisa jadi berantem dan putus. Ada detil-detil yang mungkin dia tak nyaman menontonnya, dan dia lantas mendebat kenapa aku bisa baik-baik saja, tak terganggu oleh plot hole film, maupun scoringnya yang kurang tepat, menurut dia. Dan karena ini bukan soal musik, maka aku cenderung menghindar atau iya-iya saja. Tapi tak jarang aku keceplosan berkata “gitu aja dipikirin” atau “gak penting mikirin itu” yang ujungnya kita semua pasti tahu akan kemana. Berantem.

Oh, tapi kalau membahas musik yang bukan musik yang ia kerjakan, tidak akan jadi apa-apa. Dulu rasanya semua lagu Hantaman itu salah. Ada yang dia bilang terlalu kental warna Soundgardennya lah, terlalu funky untuk band yang liriknya penuh kemarahan, atau entah sound hasil rekaman yang ia kurang suka, dan itu semua selalu di complain kan tanpa henti. Aku iya-iya saja lagi bodohnya. Aku terlalu malas untuk mendebatnya karena tahu itu tidak akan jadi apa-apa. Dan kalau aku keceplosan karena tidak tahan untuk mendebat ujungnya kemana? Tepat, 100 buat kita semua.

Berantem.

Adikku dulu sampai bingung. “Mas Arya betah amat sama dia, kalo aku mah udah gampar-gamparan kali gara-gara hal kayak gitu…” dan aku selalu beralasan, “Ah hal kecil kok” dan pasti dibalas lagi sama Ai. “Mas, hal kecil kayak gitu tuh kalo ditumpuk lama-lama pasti bisa meledak”

Dan iya, aku masih ingat pertengkaran terakhir kami sebelum kami putus.

--

sebstu10.jpg

Aku sudah menyelesaikan mastering salah satu lagu Hantaman, untuk album kedua kami yang akan kami rilis beberapa bulan ke depan. Aku dan Karina sedang mendengarkan produk akhirnya. Aku duduk di kursiku, dan Karina ada di sebelahku, sambil bersandar ke bahuku, mencoba mencermati detil detil lagu yang terdengar di telinganya.

"Solo gitar kamu di lagu ini Alex Scolnik banget..." dia membuka suara, sesaat setelah lagu itu selesai diputar.
"Emang"
"Ini mah niru"
"Kagak, cuma mulainya aja sama, aku kan butuh rangsangan biar lancar bikin solonya…" aku mencoba berargumen.

"Jangan niru tapi.."
"Ga ada yang bakal nyadar juga, berapa orang sih di Indonesia yang dengerin Albumnya Scolnik.. " senyumku sambil mengelus kepalanya.

"Aku nyadar"
"Kamu kan wawasannya luas"
"Jangan muji aku untuk nyembunyiin kekurangan kamu dong" ketusnya.

"Lho... Ini cuma beberapa lick pertama doang... Emangnya itu kekurangan?"
"Kamu gak original" ucapnya dengan kerlingan mata sinis khasnya, dan dia bangkit dari bahuku, untuk duduk tegak.

"Gak semua orang se perfeksionis kamu Rin"
"Sekarang malah nyindir ya..." dia terlihat kesal dan menatapku dengan tatapan malas.
“Gini deh, orang yang dengerin banget albumnya Scolnik iya bakal nyadar, dan mereka juga tau kali kalau aku emang sengaja, gak salah kan?” tanyaku

“Gak salah, tapi please dong Ya, jadi original, coba kamu konstruksi part-part nya lagi, biar lebih dapet solonya…. Kalau pake pancingan lick orang lain, curang itu namanya” tegurnya dengan nada kesal.
“Kan gak gampang bikin part solo lagi? Kamu tau kan kalau rekaman itu gimana caranya?”

Itu pertanyaan retoris. Jelas dia tahu. Karena dia musisi. Musisi muda yang bertalenta, berbakat, dan perfeksionis. Untuk yang terakhir, entah itu keunggulan atau bukan, karena sekarang rasanya tidak terasa seperti sebuah keunggulan yang patut disombongkan.

“Tau. Tapi ini kamu, kamu kan punya studio sendiri, bikin lagi aja, digital recording kan? Gak usah undang-undang Stefan Anin dan Bagas lagi kesini? Tinggal ambil gitar…. Tapi coba kamu breakdown dulu…”
“Capek” senyumku malas. “Kenapa gak dilihat in a whole package aja sih, secara lagu gitu, semua orang yang aku kasih denger, bahkan sebelom mastering pun, bilang kalo solonya oke dan lagunya juga pas”

“Lagunya pas, solonya oke, tapi kamu curang karena mancing-mancing pake lick yang niru Alex Scolnik” dia mendengus dan membuang muka saat aku mencoba melihat matanya.
“Ya gimana lagi, lagunya udah jadi kan..”

“Kamu bisa hapus bagian solo itu, dan coba improvisasi langsung aja, kalo bisa coba pake minor form?”
“Ntar aja pas live aku coba pake minor form buat solo di lagu rock”
“Kenapa gak sekarang?”

"Kenapa musti ribet gitu sih?" keluhku.
"Oh emang bener kan aku ribet di mata kamu...." jawabnya dengan nada cuek dan tampaknya dia kesal.

“Gak semuanya mesti ngikut-ngikut kamu, Hantaman itu bukan cuman aku doang Rin…” aku menatapnya dan dia tidak mau menatapku. Dia melipat tangannya sambil membuang muka.
“Berarti kamu ngakuin kalau kamu males dan gak care sama karya kamu sendiri….”
“Jauh amat mikirnya sampe sana? Itu Cuma part awal-awalnya doang pake licknya Scolnik… Kamu pikir aku lulusan konservatori sampe bisa konstruksi solo yang lebih canggih lagi di telinga kamu?” bentakku. Aku merasa terganggu oleh obrolan ini.

“Mentang-mentang aku gak beres di Jepang terus enak aja ya ngomong gitu…..”
“Sebodo amat”

“Ini masalah kamu, kamu tuh santai banget, udah berapa banyak gele yang kamu isep sampe kamu bisa sesantai ini sih?” sindirnya.
“Banyak, cukup buat lupa kalau tiap abis kamu lagi marah-marah gak jelas kayak sekarang” sindirku balik. Aku lantas menutup software yang terbuka di komputer, dan malah mematikan komputerku.

“Kenapa dimatiin?”
“Buat apa dinyalain terus? Aku jadi gak mood kasih denger lagu yang lain ke kamu, ntar ada aja pasti salahnya, licknya niru siapa lah, terus ntar dibilang, Soundgarden banget, Screaming Trees banget, Mudhoney banget…. Berapa banyak sih yang telinganya sebagus telinga kamu?” kesalku. Kesal sekali memang rasanya.
“Terserah, dikasih tau yang bener kok malah ngelawan…. Emang dasar males mikir kamu…. Kebanyakan ngegele ya gini, untung aku masih baik, kalo aku beneran rese seperti yang kamu bilang, udah aku laporin polisi kali dari kapan tau kamu sama Stefan…” balas Karina dengan nada tak nyaman.

“Kamu beneran rese emang”
“Oke… Terserah”

“Terserah juga” kami berdua diam, saling berusaha melirik dan saling membuang muka.
“Toh ujung-ujungnya juga ntar kamu minta maaf karena biasanya aku bener” bisik Karina.
“Kalo gak mau gimana?”
“Terserah” balas Karina dengan muka kesal.

“Gak penting banget gak sih, debat kayak gini, gara-gara gitu doang?” tanyaku.
“Doang?”
“Doang buat aku”

“Kamu mau sampe kapan kayak gini? Gitu-gitu aja, gak berkembang? Kapan bikin album solo sendiri? Kapan kamu mau ngejar sound yang unik?” tanya Karina.
“Emang kamu pikir soundku gak unik? Emang ada ya orang yang bener-bener orisinil di dunia ini? Ngayal kamu…”

“Masalahnya kamu suka shortcut, lick-lick entah siapa kamu konstruksi ulang”
“Dan itu gak curang… Om Jaya pernah bilang, buat improvisasi, enaknya emang ngambil nada-nada yang kita familiar dulu, buat jadi landasan solo kita kedepannya, susah banget kalo create something out of nothing, aku gak sekolah musik kayak kamu Rin” tegasku dengan nada yang meninggi, karena memang rasanya tak nyaman. Kalau boleh, aku ingin mencabut penisku dan melemparnya ke sudut ruangan, saking kesalnya.

“Dan kamu tau kan Om Jaya gitu-gitu aja?” sungguh, tatapan Karina sekarang adalah tatapan yang paling tidak nyaman dari semua tatapannya.
“Gitu-gitu aja gimana?”

“Sampe tua, berpuluh-puluh taun, gak pernah ngasilin apa-apa, not a single album, gak pernah manggung, kerjanya ngajarin gitar ke siapapun…. Gak pernah gerak, teronggok gitu aja di pasar baru gak pernah jadi apa-apa” ucapnya ketus.

Aku menatapnya dengan tatapan marah. Kalau ini bukan pacarku, mungkin sudah kugampar. Berani-beraninya bawa-bawa Om Jaya.

“Kenapa jadi Om Jaya dibahas?” tanyaku dengan nada tinggi.
“Aku gak mau kamu gak jadi apa-apa kayak dia”
“Dia itu guru gitar hampir semua gitaris Jazz di Jakarta!” bentakku.

“Bisa gak sih gak pake bentak-bentak?”
“Bisa. Pulang sana…” aku menarik nafas panjang. “Kamu boleh gak suka sama Om Jaya, tapi kamu gak berhak ngehina kayak gitu. Itu pilihan dia. Hargain orang sedikit” tegurku.

“Aku pulang kalo kamu emang pengen aku pulang” ucapnya pelan, sambil menarik tasnya dan melempar handphonenya ke dalam tas. “Tapi aku cuma bisa hargain orang yang achieve something, bukan orang yang gitu-gitu aja” lanjutnya dengan nada yang keras.

“Pacaran sana sama orang lain, jangan kayak aku yang pasti di mata kamu gitu-gitu aja”
“Aku gak pengen kamu gitu-gitu aja” balasnya.
“Berarti menurut kamu aku gitu-gitu aja kan? Tadi bilangnya kayak gitu kan? Kamu gak ngehargain aku kalo gitu….” marahku.

“Makanya aku suka ngasih tau kamu”
“Dengan cara yang gak enak” aku sudah malas melihat mukanya.
“Terserah”
“Terserah. Aku pulang. Males aku kalo kamu maunya cuma jadi gitu-gitu aja..”

Dan dia melengos, pulang, dengan perasaan yang campur aduk mungkin. Entahlah.

--

Ya, pertengkaran terakhir kami. Tidak nyaman saling bertukar sindiran dan bentakan seperti itu. Setelah dipikir-pikir lagi memang kami cuma nyaman kalau membicarakan soal musik yang dia kerjakan, karena itu artinya mengeksplor. Kalau soal musikku, ah, pasti jadi bahan kritik terus-terusan. Kadang memang benar, tetapi sesuatu yang benar, kalau disampaikan dengan cara yang salah dan dicecar terus-terusan bukannya memperbaiki, tapi malah menambah masalah.

Dan itulah masalah dengan Karina. Bertahun-tahun kami berdua ada di lingkaran setan seperti itu. Tidak kemana-mana. Pertengkaran terakhir itulah akhir dari hubungan kami. Tak ada kata putus, tak ada kata apapun. Dia pergi begitu saja, untung sekali dia membawa mobil waktu itu.

Jadi bayangkan, kamu akan bekerja sama dengan orang seperti itu.

Sudah kubayangkan betapa susahnya nanti pati ketika sedang konstruksi part-part solo. Dalam hati aku berharap, mudah-mudahan dia tidak banyak komentar ketika pengerjaan aransemennya. Aku dan Anin pasti akan menyerah saja padanya.

--------------------------------------------

dsc_8810.jpg

“Muka lu kusut amat” tegur Stefan malam itu di Mitaka. Aku ada disana bersama Stefan, aku memang berencana untuk menjemput Kyoko, dan Stefan datang menyusul setelah dia selesai kerja.
“Coba yuk sekali-kali mastering sama gue di studio, biar ikutan kusut”

“Ogah”
“Untung bagian gue paling gede kalo sama kalian, kalo engga udah gue pipisin elo sama Anin” candaku sambil menyeruput kopi di depanku. Nikmat sekali kopinya. Racikan khas Kyoko. Pasti pakai kopi yang dikirim oleh Kyou-Kun.

“Ntar gimana ya pas sama Karina, belom bilang Kyoko kan?” tanya Stefan penasaran.
“Belom, baru juga kemaren, rencananya malem ini sih gue bilangin ke dia….”
“Tumben beranian sekarang”
“Taik… Abis gimana? Kemaren kemaleman kalo gue bilangin…” kesalku.

“Gue penasaran tapi Ya, orang kayak Karina gitu, kalo pas ngewe sama elo gimana sih?” tanya Stefan nakal, sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Apaaa pula” balasku sambil melirik ke Kyoko yang ada jauh di sana, sedang bekerja. Aku khawatir saja kalau-kalau dia dengar pembicaraanku dengan Stefan yang nyerempet ini.

“Serius, kalo lo ngewe ama Kanaya dan Kyoko gue kebayang lah…”
“Lo jadiin bacol lagi jangan-jangan..”
“Eit, gue ga pernah mau coli, kecuali dicoliin” tawanya kecil.

“Serius pengen tau?”
“Serius, gue penasaran kalo ngewe cewek model gitu kayak gimana”
“Sana aja lo pake sendiri, males nginget-ngingetnya” aku menghindar karena memang sedang tidak ingin membahas hal-hal yang berbau selangkangan.

“Ah… Lo gila apa hahahahaha…” tawanya sedikit terpingkal-pingkal. Ya, siapa juga yang mau dengan Karina, kalau sudah kenal?
“Biasa aja sih sejujurnya, ya kayak orang berhubungan seks aja gimana sih Fan?”
“Siapa tau pas lo lagi gimana, dia kritik karena dia gak orgasme-orgasme” candanya.
“Monyet”

Sambil mendengar tawa Stefan, aku bersyukur karena sekarang aku bersama dengan Kyoko, istriku. Istri yang luar biasa pengertian, penuh kasih sayang dan benar-benar keibuan. Aku sangat nyaman bersamanya, dan tiap hari rasanya damai. Tidak ada pertengkaran, dan walau ada sedikit salah paham, pasti akan cepat selesai, karena kami berdua dari hari ke hari makin bisa berkomunikasi dengan lancar, menyuarakan isi hati masing-masing.

“BTW Ya…” tegur Stefan.
“Kenapa?”
“Menurut lo respon Kyoko gimana soal Karina ntar?” tanya Stefan.
“Gak tau, liat entar aja. Kalo dia ga suka dan ngebolehin iklas aja ya?” tanyaku balik.

“Iya deh….” jawab Stefan pelan, sambil menatap Kyoko juga. Kyoko yang terlihat begitu ceria dengan tugas-tugas dapurnya.

--------------------------------------------

“Ayo pulang Aya” tegur Kyoko saat dia sudah selesai membereskan yang mesti ia bereskan. Zul sudah pulang beberapa menit lebih awal, motornya sudah meluncur tadi.
“Iya” jawabku sambil senyum. Aku masih duduk di kursiku tadi, sambil menunggu Kyoko. Tinggal kami berdua di Mitaka.

Dia menghampiriku, dan mengangguk, mengajakku segera pulang.

“Aku mau ngobrol dulu tapi, bentar aja… Penting” senyumku.
“Bicara apa Aya?” dia menangkap sinyal pembicaraan serius dariku.
“Sambil duduk yuk, biar enak…”

Kyoko tersenyum kecil dan duduk di hadapanku sambil menopang dagunya dengan tangannya. Dia terlihat lelah, tapi lelah yang bahagia karena sudah banyak mengerjakan sesuatu yang produktif. Aku bisa melihat matanya berbinar dengan indahnya.

“Jadi apa Aya?”
“To the point aja ya, sebenernya kemarin itu, pas ngobrol sama mereka, emang secara bisnis sepertinya menguntungkan dan baik buat perkembangan Hantaman” aku menarik nafas, berharap-harap cemas mudah-mudahan Kyoko tidak bereaksi yang negatif. “Tapi ada hal yang aku belum ceritain ke kamu” aku tersenyum getir dan menatap matanya dengan dalam.

“Apa itu?”

Aku tersenyum, menarik nafas dan tertawa tanpa suara. Baiklah. Harus jujur, dan harus tanpa basa-basi. Aku harus segera mengatakannya agar urusannya bisa beres cepat dan tidak bertele-tele. Kalau tidak ya tidak, kalau iya ya maju terus, dengan segala konsekuensi yang harus dihadapi bersama. Baik oleh aku, Kyoko, maupun Hantaman.

“Jadi, masih inget gak soal Karina?” tanyaku, mencoba me-recall memori Kyoko soal cerita-cerita tidak enak soal mantanku.
“Karina? Ano… Masih, Aya, doushite?” kenapa, katanya.

“Jya… Shojiki ni ieba…. Kono project no Music Director wa… Karina…” jelasku sambil tersenyum getir. Sejujurnya, Music Directornya project ini adalah Karina. “Mae ni, kore… tsuite shirimasen…” ya, aku mengatakan kalau aku tidak tahu sama sekali soal ini sebelumnya.

“Karina… Aya no moto kano?” tanya Kyoko, memastikan, kalau Karina ini adalah Karina yang mantan pacarku.
“Hai… Ano onna…” Iya, cewek yang itu.

Aku mengangkat kedua tanganku dengan muka getir. Karena suasana hatiku tidak nyaman, mengatakan itu kepada Kyoko.

“Ya, orang yang suka aku ceritain ke kamu itu, yang resenya minta ampun itu….” jelasku.

Kyoko diam, dia berusaha mengeksplor ekspresiku.

“Aku udah diskusi sama anak-anak, karena sejujurnya, kalau dia jadi music directornya, karena dia perfeksionis, mungkin bakal jadi pekerjaan mudah buat kita, dan di sisi lain, aku juga sebenernya males ketemu sama dia, tapi ini kerjaan dan ini bagus buat Hantaman….. Tapi tetep aja, aku gak enak sama kamu…” lanjutku.
“Kenapa tidak enak sama Kyoko?” Ya, kami kembali menggunakan Bahasa Indonesia karena aku merasa kalimat-kalimat yang ingin kuucapkan semakin njelimet.

“Wajar kan, aku ketemu mantan pacar? Walau aku gak suka banget sama dia dan berharap gak bakal ketemu sama dia lagi seumur-umur, tetep sayang, ini mantan pacarku, dan kamu mungkin ngerasa berat kalau tau kenyataan bahwa suami kamu bakal gawe bareng sama mantan pacarnya lagi buat satu proyekan…” jelasku. “Anak-anak sih nyerahin ke aku…”

Sebenarnya tidak, mereka menyerahkan ke Kyoko, namun kuperhalus, agar Kyoko tidak merasa terbebani.

“Orangnya menyulitkan Aya ya sewaktu dulu?” tanya Kyoko sambil senyum tipis, mungkin dia agak bersimpati padaku karena memang sebenarnya aku sangat-sangat tidak ingin bekerja dengan Karina, kecuali terpaksa.
“Banget” aku meringis, membayangkan masa laluku dengan Karina
“Apa yang paling Aya tidak suka kepada Karina?” tanya Kyoko lagi.

“Hampir semuanya sih… Aku gak ngerasa nyambung dan gak ngerasa nyaman bareng dia dulu, dan aku ngerasa tolol udah ngabisin banyak waktuku sama dia, tau gini, aku buru-buru pergi ke Jepang dan langsung ketemuin kamu aja” senyumku tipis, dengan perasaan tak enak.

Kyoko tersenyum kecil. Dia menatap ku dengan tatapannya yang walaupun terlihat sendu, semburat-semburat bahagianya masih terasa.

“Kyoko memang merasa tak nyaman… Jujur…” dia menatapku dengan tatapan yang tulus. Aku mengangguk, menunggu kalimat selanjutnya. “Tapi Kyoko tidak akan melarang Aya untuk bekerja bersama dia… Karena ini pekerjaan Aya, dan selain itu, Aya kan memang tidak suka kepada dia, jadi Kyoko pikir, tidak apa-apa Aya bekerja bersamanya….” senyumnya terlihat manis.

“Gimana-gimana? Kok aku bingung?” aku tersenyum sambil menekuk kepalaku, karena memang bingung. Kyoko tampak ikhlas aku bekerja di project ini dengan Karina, dan alasannya adalah karena aku tidak nyaman dan tidak suka berada di dekat Karina.

“Aya, Kyoko memang suka agak tidak suka kalau ada teman perempuan yang terlalu akrab dengan Aya karena merasa Aya baik kepadanya, tapi kalau sekarang, Kyoko merasa tidak apa. Karena dia bukan teman Aya, dan Aya berpengalaman dengan dia, tidak suka dengan dia, jadi Kyoko tidak harus khawatir, karena Aya akan menghindar sendiri dan pasti pekerjaan jadi lebih baik… Dan juga, kita tidak bisa menghindar bertemu dengan siapa di pekerjaan kan Aya? Kalau Aya bekerja di kantor yang sama dengan Karina, misalkan, Kyoko pun tidak bisa melarang Aya untuk kerja disana” senyumnya sambil menjelaskan alasan di balik senyum dan keikhlasannya, menggunakan bahasa Indonesia yang cukup panjang dan njelimet untuk ukuran Kyoko.

“Oh….” aku sepertinya paham maksudnya. Mendadak Kyoko menggenggam tanganku yang daritadi menganggur di atas meja.
“Lagipula, Kyoko sangat percaya sebenarnya sama Aya, karena Aya benar-benar sayang sama Kyoko. Kyoko percaya kalau Aya tidak akan mengecewakan Kyoko….”
“Iya paham… Aku gak akan pernah bikin kamu kecewa kok, aku juga paham kalau untuk kasus yang kayak gini, aku juga gak akan bisa ngehindar dari Karina..”

“Iya Aya”
“Intinya sih kerjain aja ya? Tapi kamu yang sabar ya nanti……” senyumku.
“Kenapa Aya?” dia tampak bingung.
“Karena kamu yang bakal aku curhatin terus soal nyebelinnya Karina hahahaha” tawaku sambil menggenggam tangannya.

“Haha, tak apa, tugas Kyoko kan mendengarkan keluhan Aya di pekerjaan?”

Dan aku benar-benar bersyukur, tidak melanjutkan hubungan dengan Karina, dan sekarang malah bersama Kyoko yang luar biasa pengertian dan selalu membuatku nyaman. Tunggu saja, aku akan mengerjakan proyek ini dengan cepat, sehingga bisa cepat menghindar juga dari Karina.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Kyoko sdh oke. Nah, apa yg akan terjadi pada kolaborasi Karina dan Hantaman nanti, sukseskah? Kita tunggu update berikutnya... #BagasforPresident

:semangat:
 
“Dan ini…..” Aku nunjuk foto Om Stefan yang sedang ngegandeng seorang perempuan dengan muka yang enggan.

Masih penasaran sama Stefan, ni kalo nggak dijodohin keluarganya berarti ngamilin anak orang ya om?

Butuh pencerahan hahaha....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd