Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Hati Nurani dan Kontol Nuranjing
:pandaketawa:

Penasaran ane si Arwen itu kalo di RL kaya siapa ya, yang kecil tapi sexy abis,,,
:pandajahat:
 
Hati Nurani dan Kontol Nuranjing
:pandaketawa:

Penasaran ane si Arwen itu kalo di RL kaya siapa ya, yang kecil tapi sexy abis,,,
:pandajahat:

gw kepikirnya kaya yano purple, artis jav kekinian

34075410.jpg
 
Smua ceritanya blm di baca tp, ane mau koment dlu biar ada alerts hehehe
 
MDT SEASON 2 – PART 38

--------------------------------------------

voidde10.jpg

Suasana pernikahan biasanya menjadi favorit kebanyakan orang yang kukenal.

Aku juga begitu. Aku selalu suka pernikahan, apalagi pernikahan teman. Dan sekarang pernikahannya adalah pernikahan sahabatku sendiri. Anin. Anin dan Zee. Anin tampak bahagia hari ini, bersanding dengan perempuan yang ia idam-idamkan. Dan baru kali ini aku datang dan melihat pernikahan adat melayu arab di Singapura.

Pengalaman yang menarik. Dan lucu melihat muka cuek Zee dipadukan dengan baju kurung dan pakaian adat melayu.

Aku sekarang sedang duduk di sebuah kursi, di meja yang di pojok, memeriksa handphoneku dan segala macam. Harusnya, aku bisa menikmati pernikahan sahabatku sendiri. Harusnya.

Kehadiran orang-orang ini bersamaku membuatku mau tak mau bisa menikmati detik ini. Berkumpul di satu meja dan menikmati bercandaan dua orang aneh dari barat jawa dan satu orang aneh keturunan tionghoa. Sisanya hanya bertindak sebagai penari latar untuk mereka.

“Bagas udah kawin, si Arya juga, nah sekarang cuma tinggal kamu” Kang Bimo menunjuk ke Stefan.
“Kang Wira sama Sena dan Ilham juga belom” balasnya.
“Ah saya mah masih jauh” tawa Kang Wira.

“Jauh, siga ti dieu ka Dayeuhkolot” potong Kang Bimo.
“Mun make pesawat mah nteu”
“Pesawat sederhana atuh, siga jungkat jungkit kitu, ditumpakan nepi ka Bandung” absurd. Sumpah absurd, dan tidak lucu kalau didengar orang lain, tapi kami tertawa saja. Karena memang sudah terbiasa.

“Didieu teh mun rek ngaroko hese nya” Kang Wira tampak gelisah, mulutnya pasti asam karena lama tidak merokok hari ini.
“Tertib disini mah kang” Sena berusaha masuk ke obrolan mereka.
“Tertib mah tertib, tapi kalo dibanding sama Indonesia mah awewena leuwih geulis nu di Indonesia” Kang Bimo menimpalinya.
“Kayak saya maksudnya?” potong istrinya yang menggendong anak mereka, yang tertidur pulas mungkin karena kelelahan, yang disambut oleh tawa suaminya.

“Matakna saya ga mau kawin sama orang Singapur, hese ngarokona....” balas temannya.
“Tapi pamajikanna si Anin mah ngaroko nya”

“Dia mah parah Kang, ngerokok terus..... Mungkin itu juga ya bikin dia betah di Jepang, bisa lebih gampang cari tempat yang bisa ngerokok dan mereka kan toleran banget sama perokok” aku akhirnya bersuara setelah lama mendengar becandaan mereka dan tertawa puas.
“Yah... gak kayak disini, di kamar hotel susah, gak boleh ngerokok” sambung Stefan.

Dan aku masih ingat tadi, ketika aku sedang protes di kamar hotel Stefan.

--

amaris10.jpg

"Apa-apaan ini?" aku melihat booking form kamar hotelku, yang baru saja diserahkan oleh Stefan.
"Hadiah dari gue" senyumnya menyeringai dengan begitu lebar.
"Kalian di Amaris dan gue di Intercontintental????" tanyaku dengan mata membelalak.

"Intercontinental kali, bukan intercontintental…. Lagian lo butuh kali berdua-duaan di tempat yang enak, nyaman, tenang, dengan segala fasilitas bintang lima, dan itu yang ngeluarin duit gue loh, bukan elo... Ya ada sih duit elo yang lo kasih kemaren ke gue buat nyewa hotel, tapi gue tambahin biar lo bisa nginep di 5 star hotel…." senyum Stefan. Senyum yang tidak akan pernah hilang dari kepalaku.

"Fan.... Amaris itu ratenya semalem 700 - 1 jutaan semalemnya, sedangkan Intercontinental itu semalemnya 2.5 sampe 3 juta, buat apa lo keluarin duit sebanyak itu?"
"Biar lo sama Arwen enak ngewenya, berasa pak dan bu bos..." Stefan menjawab sambil melempar badannya ke atas kasur kamar hotelnya.

Aku menggelengkan kepalaku sambil menahan perasaan jengah. Seluruh teman-temanku menginap di budget hotel, sedangkan aku menginap di hotel bintang lima. Sudah kuduga bakal ada yang salah. Aku sudah merasa ada yang tidak benar sebelum kami semua berangkat ke Singapura. Stefan memang bertugas membookingkan hotel untuk kami semua. Dan masing-masing sudah menyetor uang sesuai dengan budget yang disepakati, yaitu budget untuk budget hotel.

Tapi dasar Stefan, dia dengan kekuatan kapital dan kekuatan keisengannya malah membookingkan kamar di hotel bintang lima khusus untukku. Dan itu semua gara-gara Arwen mau datang menyusul.

Fuck.

"Yang lain bakal nanyain kamar gue dimana Fan…."
"Jawab aja keabisan disini, lo musti di hotel lain, lagian Intercon ke mari kan deket, tinggal nyebrang dikit" jawabnya cuek sambil memainkan bungkus rokok. Kami menginap di daerah Bugis.

"Kalau mereka mau ke kamar gue gimana?"
"Kan gue bakal bilang ke mereka kalo lo ke sepupu lo, atau lo kecapean atau lo sakit kali ntar, jadi pengen tidur tanpa diganggu…." Ya, sepupuku alias Kakaknya Dian memang tinggal di Singapura.

"Sepupu apaan....” walau sepupuku tahu aku ada disini, tapi aku bilang ke dia, kalau aku tidak akan menemuinya, karena akan sibuk di acara pernikahan ini. Dan aku sebenarnya tidak sibuk. Mungkin memang sibuk, tapi sibuk karena hal yang lain.

“Udah lah, nikmatin aja, lo pake sampe abis itu si Arwen, mumpung jauh dari bini, gak terbatas cuman sejam dua jam kayak biasanya di Jakarta... Enjoy it before it last” lanjut si Setan Alas bin Iblis ini.

--

Nanti malam, nanti malam Arwen akan menemuiku di kamar hotelku. Aku sudah memberitahu di hotel mana dan di kamar nomer berapa, lantai berapa, dan aku ada disana jam berapa. Sedetail itu. Sedetail itu cuma untuk memuaskan rasa deg-degan dan rasa penasaran akan tubuhnya. Rasanya belum beres kujelajahi dan kubolak-balik tubuhnya itu.

“Euy” Kang Bimo menepuk punggungku, mengagetkanku dari lamunanku.
“Eh!”

“Ngelamun nih si gelo”
“Yah...”
“Pasti ngelamun jorok” dia menyodorkan tangannya kepadaku, memasukkan jari telunjuknya di tengah lingkaran yang terbuat dari jempol dan telunjuk tangan satunya, meniru gerakan penis memasuki vagina.

“Hus” aku menyuruhnya menghentikan tindakan tak senonoh itu, tapi malah mengundang tawa seisi meja. Stefan melirik kepadaku, mengira aku memikirkan hal yang ia pikirkan juga. Tapi tidak. Tidak seperti itu. Aku hanya ingin menikmati momen ini saja, momen kebahagiaan Anin dan Zee.

“Ah akhirnya ya, Bang Anin, sama Zee... Dulu siapa yang nyangka” Sena menatap jauh ke arah Anin dan Zee yang dipajang.
“Itu karena dia konsisten” jawabku.
“Hebat”

“Hebat lah, kita kan tau dia kayak apa kalo deket-deket cewe” sambung Kang Bimo.
“Gak kayak Stefan pokona mah” sambung menyambung dilanjutkan oleh Kang Wira.
“Stefan mah blingsatan, sigana kabeh lobang teh rek dipake”
“He euh”
“Waduk si eta mah”
“Waduk pisan”

“Roaming” Stefan menyipitkan matanya yang sudah sipit itu.
“Diajar basa Sunda atuh, kamu teh udah berapa lama kenal sama kita?” ledek Kang Wira.
“Ya kan saya aslinya bukan orang sunda”
“Diajar biar makin bersahabat sama kita.... Sahabat Frank’s Chamber” Kang Bimo merentangkan tangannya, seakan-akan ingin memeluk Stefan.

“Najis” tawa Stefan.
“Najis-najis juga kalian tetap kami sayang” canda Kang Wira, bermain-main.

Aku hanya menggelengkan kepala, dan menikmati detik-detik bercandaan ngaco seperti ini. Detik-detik yang mungkin tak akan kunikmati nanti malam sampai besok-besoknya di negara ini.

--------------------------------------------

14592210.jpg

Sudah malam. Pukul sembilan sekarang. Anin pasti sedang asik-asikan ala pengantin baru. Stefan pasti sedang mabuk-mabukan bersama anak-anak itu semua yang ikut ke Singapura. Aku sedang berbaring di atas kasur kamar hotel ini. Hotel bintang lima yang dipesankan oleh Stefan untukku. Khusus untukku.

Kemeja batik lengan panjang itu masih kupakai, dan aku tidak melepas sepatu bootku. Jantungku berdebar kencang. Berdebar terlalu kencang malah. Rasanya seperti menunggu apa aku tidak tahu. Orang yang kutunggu itu sekarang sedang dalam perjalanan menuju hotel ini. Aku tidak tahu dia naik taksi atau naik MRT, aku tidak menanyakannya. Entah karena lupa, atau memang karena aku tidak ingin tahu. Pikiranku seperti buram karena yang ada dipikiranku cuma tubuh telanjangnya yang selalu menggoda.

“Sebentar lagi aku sampe” pesan terakhirnya di media sosial. Pesan yang tak kubalas.

Entah kenapa tak kubalas. Aku cuma sedang menunggu ketukan di pintu. Ketukan dari Arwen.

Sementara itu, istriku sedang berjibaku di Mitaka bersama Zul. Istrinya lagi kerja. Suaminya lagi di hotel bintang lima, mau ngentot sama penyiar radio. Gila ya.

Dan aku benar-benar kaget saat pintu kamarku berbunyi. Suara ketukan pelan. Tiga kali ketukan. Dengan masih kaget aku bangkit dan mengintip dari dalam kamar lewat lubang yang terlalu tersedia di pintu kamar hotel.

Dia.

Dengan buru-buru aku buka pintu kamar ini.

“Hai Mas...” senyumnya langsung tersungging diwajahnya ketika dia melihatku. Aku membiarkannya masuk ke dalam kamar. Atasan dengan kerah balet polos, skinny jeans dan sneakers. Dan dia memakai anting panjang berornamen.

“Habis ada kerjaan tadi pagi?” tanyaku berbasa basi.
“Engga...”
“Oh..” balasku sambil menelan ludahku sendiri.

“Udah makan malam pasti ya tadi?” tanyanya.
“Belum” jawabku pelan, sambil berjalan perlahan ke arah dirinya yang sedang menaruh kopernya di sudut kamar. Dia tampak menyelidik seisi kamar, mungkin dia juga heran kenapa aku menginap disini.

“Mas Anin kawinnya di hotel ini?”
“Enggak, di kayak apa itu... Community Center di kompleks apartemen orang tua istrinya...”
“Oh... Yang lain nginep disini juga?”

“Enggak” aku menatap dirinya yang tampaknya masih bingung kenapa aku menginap disini. “Kamu sendiri nginep dimana?” aku balik bertanya ke Arwen.
“Gak dimana-mana” jawabnya tanpa menatap wajahku.
“Maksudnya?”
“Boleh aku nginep disini?” tanyanya sambil menghindari mataku.

“Hmm...”
“Kalo gak boleh, aku cari hotel lain juga gakpapa...”
“Disini aja” aku memotong kalimatnya.

“Kamu sendiri udah makan?” tanyaku sambil melepas kancing baju batikku.
“Belum juga...”
“Oh... Saya pesenin room service aja mau? itu menunya ada di atas meja...” aku melempar baju batikku ke atas koperku dan aku menarik track jacket bermerk brand olahraga asal Jepang dari tempat yang sama juga, untuk langsung kupakai.

“Mau makan di luar aja?” tanyanya mendadak. Dia menatapku dengan tatapan penuh harap.
“Kenapa?”
“Gak tau, gak bosen di kamar terus?”
“Boleh aja sih...”

Dia tersenyum tipis dan menghampiriku. Jarak berdiri kami hanya satu jengkal. Aku meraih pinggangnya dan segera melumat bibirnya. Aku mendorong badan rampingnya itu ke arah kasur, dan tanganku tampak liar, mencoba menyusup masuk ke dalam bajunya.

“Mmmn...”ARwen mendorongku, menolak gerakan nafsuku. “Habis makan?” bisiknya langsung di telingaku. Aku diam saja dan mengangguk. Seperti biasa, kalau tidak makan bisa mati.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

clarke10.jpg

Singapura malam itu. Angin dingin menerpa badan kami berdua. Walaupun tangan kami berdua saling bertaut di tengah kegelapan malam, dengan anehnya.

Langkah kaki kami berhenti, menghentikan diri kami berdua, menatap hamparan sungai di Clarke Quay. Suasana sudah sepi, karena sudah lewat tengah malam. Aku menatap keramaian lain yang agak jauh. Ya, sisi Clarke Quay yang berbeda. Ada beberapa pasangan yang sedang berjalan berdua, bercanda, bicara, sambil merasakan angin malam di udara Singapura yang tidak jauh-jauh amat kondisinya jika dibandingkan dengan Jakarta.

Tapi kondisiku dengan perempuan yang kugandeng sekarang jauh berbeda.

Tadi, sewaktu kami turun dari kamar, berjalan ke stasiun MRT, di dalam MRT, sampai kami sampai di Clark Quay, kami memang saling menggandeng tangan seperti orang-orang yang ada di depan mataku. Tapi kami berdua hanya diam. Suhu tangannya dingin, seperti membeku di dalam genggaman tanganku. Dan kenapa juga aku tidak melepas tangannya saat dia menggandengku tadi di lift?

Nafas kami berdua sepertinya sesak, karena mungkin kepala kami berdua sedang tidak ada disini. Tangan kami berdua mungkin saling menggenggam, tapi disini rasanya semuanya salah. Serba salah dan benar-benar salah. Tapi kami tidak menghentikan kesalahan ini. Dan sedari hotel tadi, sampai kami berjalan kaki dari tempat makan kemari, kami benar-benar tidak bisa dibilang mengobrol.

Dia menunjuk ke arah bench yang kosong. Aku mengangguk.

Kami berjalan dengan pelan. Entah kenapa kepalaku terbang ke Jogja pada malam itu. Malam yang seharusnya tidak pernah terjadi. Malam yang seharusnya bukan jadi apa-apa, tapi mengarahkan kami berdua di posisi seperti ini sekarang.

Posisi yang menjadi bahan tertawaan Stefan, Kang Bimo dan Kang Wira. Posisiku dan Arwen sekarang. Kami berdua sembunyi. Sembunyi dari semuanya.

“Mas” bisiknya.
“Kenapa?”
“Enggak” dia membuang muka. Ini pertemuan entah keberapa kami setelah kejadian Jogja itu. Rasanya aneh, aku dan dirinya, bergandengan dan sekarang duduk berdua di bench, menatap ke entah apa, toh matanya dari tadi tidak fokus. Aku melirik ke samping, dia menyisir rambutnya dengan tangannya.

“Kita ngapain kesini” tanyaku dengan garing.
“Gak tau” senyumnya tipis, dengan mata yang terlihat berat.
“Kita gak seharusnya ada disini sekarang, bareng”
“Iya”

Arwen menghela nafas panjang, dan dia melepaskan tangannya dari tanganku. Melepaskan tangannya dari tangan pria yang sudah menikah ini. “Kadang temenku suka nanya…”
“Nanya apaan?” tanyaku memotong kalimatnya.
“Enggak”
“Hmm” awkward.

“Tadi harusnya kamu dateng aja ke kawinannya”
“Saya kan ga begitu akrab sama anak-anak Hantaman yang lain, takutnya mereka bingung kenapa saya ada disitu” senyumnya.
“Bilang aja pas kebetulan ada disini”
“Terus abis itu saya nempel sama terus Mas ya? Karena saya gak akrab sama yang lain? Nanti jadi omongan mereka….” jawabnya panjang.

“Ngomong-ngomong, sekarang gimana proses untuk show sama orkestra nanti?” dia mengalihkan topik pembicaraan ke tempat lain.

“So far so good, tapi saya emang harus jaga jarak terus sama Karina, dia selalu gak tahan untuk kritik apapun yang saya bikin, walau emang dia directornya …. dia tetep gak bisa profesional kalo di depan saya” jawabku panjang lebar, menjawab pertanyaan Arwen soal progress live show Hantaman dengan String Orchestra.

“Maaf, saya gak tau kalo sejarah Mas Arya sama Mbak Karina ga enak” senyumnya.
“Ah, lagian kamu juga cuma koneksiin kita sama orang Yamahanya kan, kamu juga waktu itu ga tau kalo Karina itu mantan saya… Yang kamu tau itu ya kamu kenal sama orang yang ngurusin String Orchestra itu….. Dan iya orang itu Karina” aku membalas senyumnya. Senyum yang agak aneh, menurutku.

Arwen mengulum senyumnya, dan dengan gerakan pelan dan kaku dia bersandar ke bahuku. Kami berdua diam lagi. Dan lagi-lagi timbul banyak pertanyaan di kepalaku. Nyamankah bersandar di bahu suami orang lain? Nyamankah bertingkah mesra dengan pasangan orang lain?

Pertanyaan yang sulit dijawab. Pertanyaan yang Stefan pun tidak bisa menjawabnya karena ranahnya beda. Mungkin pertanyaan soal hubungan fisik bisa ia jawab. Tapi kalau untuk tingkah Arwen yang mendadak seperti ini ketika di Singapura, itu jadi pertanyaan yang mungkin susah dijawab, untuk Bagas sekalipun.

“Kita ngapain disini?” aku mengulang pertanyaanku yang tadi, yang dijawab dengan “gak tau”
“Gapapa” jawabnya, sambil tetap bersandar ke bahuku. Aku diam saja. Entah harus merespon apa, tapi yang pasti, aku merasa mungkin akan membuatnya sedih atau kecewa, karena dia sudah jauh-jauh datang dari Jakarta, katanya ingin menghabiskan waktu denganku. Apakah dia bosan dengan cara menghabiskan waktu yang selama ini kita lakukan? Saling menjilat, menghisap, mencium, menusuk, meremas, dan entah saling me-apa lainnya yang bisa memuaskan hasrat kelaminmu.

“Mau ke hotel aja? Saya butuh istirahat kayaknya” akhirnya aku mengambil keputusan, karena rasanya aneh bertingkah seperti orang pacaran dengan dirinya. Dia mengangguk dengan gerakan yang berat. Aku mengambil handphoneku dari dalam saku jaketku dan bertanya-tanya, apakah MRT sudah habis jam segini.

“MRT udah habis belum ya?” tanyaku ke dirinya.
“Gak tau”
“Mau naik uber aja?” tanyaku lagi. Dia mengangguk. Aku membuka layar handphoneku dan mencari aplikasi taksi online, untuk membawa kami dari pinggir sungai laknat ini ke kamar hotel laknat itu. Tak berapa lama, setelah aku mengoperasikan aplikasi itu, ada respon dari sebrang sana. Respon sang supir. Handphoneku lantas berbunyi dan aku mengangkatnya.

Pembicaraan singkat kami berdua dalam bahasa inggris, singlish dan inggris ala orang Indonesia saling berbalas. Dan akhirnya dia berkata bahwa dia akan datang sebentar lagi di tempat yang sudah ditentukan. Aku dan Arwen bangkit, berjalan pelan menuju titik pertemuan.

--------------------------------------------

Mobil berjalan dengan kecepatan sedang, menuju hotelku. Di dalam mobil kami semua diam, dan sang supir taksi online tampak melirik kepadaku. Pria keturunan India yang memiliki aura ramah, dengan mobil yang penuh dengan ornamen etnis di dashboardnya, dengan bau seperti kemenyan yang lembut di dalam sini.

“From where?” tanyanya ramah, mencoba berbasa basi dengan penumpang di belakang, aku dan Arwen.
“Indonesia”
“Holiday?”
“Maybe” jawabku pelan, mencoba ikut ramah tapi tampaknya susah.

“Couple? Husband and wife?” aku lantas kaget dengan pertanyaan itu. Aku lalu menarik tanganku yang dari tadi saling menggenggam, melepaskan tangan Arwen dengan tiba-tiba. Arwen tampak kaget dengan reaksiku.
“No. Just friends”

Sang supir melirik kediriku dan Arwen. Dia lantas tersenyum simpul dan menggoyangkan kepalanya. Ah, masa bukan couple, begitu mungkin pikirnya. Iya pak, couple selingkuh! Teriakku dalam hati. Aku memilih untuk diam saja sehabis itu dan fokus mengukur jalan. Couple. Apa-apaan.

Aku lantas menengok ke arah Arwen.

Aku langsung membuang mukaku lagi dan berharap tidak melihat ekspresi mukanya. Arwen tampak menunduk dan melirik ke arah jalan, dengan senyum yang tidak bisa dia sembunyikan. Senyum yang terlihat begitu tulus di mukanya.

Tapi senyum itu, walaupun tulus, membuatku takut. Entah. Entah takut karena apa. Tapi aku takut akan pertanyaan supir tadi dan reaksi Arwen atas pertanyaan tadi. Aku menarik nafas panjang, melihat gedung hotel yang sudah tampak di depan mata kami.

14592210.jpg

Tak butuh waktu lama untuk kami berdua turun dari mobil, dan aku celingukan dengan diam-diam, mencoba menghindari siapapun yang bisa kuhindari. Kami berjalan dengan langkah agak cepat menuju lift, melewati kesepian tengah malam di lobby. Kami masuk kedalam, dan lift memanjat ke atas. Tanpa buang waktu Arwen langsung bersandar di bahuku, dan aroma yang keluar dari tubuhnya merangkak ke hidungku, membuat adrenalinku naik.

Dan adrenalinku sampai ke puncak ketika lift berhenti dan tanpa buang waktu kami masuk ke dalam kamar. Kami berpandangan dalam jarak dekat ketika aku mengunci pintunya. Mata kami bertemu. Dan dalam hitungan sepersekian detik bibir kami berdua lantas bertemu, saling melumat. Aku memeluk badannya, dan menarik dirinya ke dalam pelukanku.

Kuangkat badannya, tanpa melepas ciumanku. Kubanting dirinya ke kasur dan dengan tidak sabar, aku ingin segera melihatnya tanpa busana.

Dia pasrah. Pasrah dalam genggamanku. Pasrah saat kuluciti bajunya dengan penuh semangat dan sedikit kasar. Pasrah untuk segera kutiduri dan menjadi objek nafsu seksualku.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd