Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Wowwwww jadi makin penasaran , dengan siapa ya Arya selingkuh ? Terus Ai bisa tau..... (Clue dari Okasan 1st Love)
Gak sabar nihh nunggu momen itu....
Hehehheheh
Mantaappppp Om @racebannon ...
 
Thanks updatenya suhu...

Dimana ada kesempatan, disitu ada jalan.. Hajar terus mas aryaa
 
Waduh,,,
Awal yang menggoda, ,
Selanjutnya bisa semakin berbahaya
:pandaketawa:

Sadar mas aya, ,sadar,,
Istri manis menunggu,, istirahatlah
Di luar banyak angin,,,,
:pandaketawa:
 
hidup Sutefan kon*ol,,, dapet tattoo gratis nih dari Aya
kon*ol mulai jalan nih, konflik konflik
 
Loh .... Arya gak jadi ss in Arwen ya ....

... Atau ...
 
Hmm.. Aya dah mulai gak konsen gara2 karina tuh..
Thanks update nya suhu RB
 
yang ane suka dari om RB adalah..update nya kontinyu..meski om RB punya kesibukan di RL, thread tetap jalan..

mantan ok
 
Bimabet
MDT SEASON 2 – PART 30

--------------------------------------------

55ed0c10.jpg

Aku masih bersandar di tiang listrik, di tengah hingar bingar malam yang terdengar jauh disana. Jalanan di depan hotel ini sepi, kontras dengan suasana di jalan utama yang masih ramai walaupun sudah jam segini. Aku mengukur langit dan mencoba menerka-nerka suhu malam ini. Jantungku berdegup dengan kencang, nafasku masih memburu. Masih lekat di kepalaku, adegan yang tadi terjadi.

Aku dan Arwen, bergumul di atas kasur, tanpa sadar dan semuanya seakan-akan terjadi begitu saja.

Pandanganku tidak fokus, aku sedang berjuang menahan detak jantungku yang tak berhenti-berhentinya memacu aliran darahku, menyebar ke seluruh pembuluh darahku. Suaranya terdengar begitu keras, sehingga aku rasanya terpenjara oleh detak jantungku yang tidak beraturan itu.

Paru-paruku terasa berat, terlalu berat untuk dibawa oleh seorang Arya. Rasanya seperti ling-lung, dan aku tahu sebenarnya penyebabnya. Aku baru saja berciuman dengan orang yang harusnya tak akan pernah kucium. Tidak, tadi itu bukan berciuman namanya. Itu namanya making out. Making out dengan Arwen, di dalam kamar hotel yang tidak ada siapa-siapa lagi disana, tidak ada yang melihat, mendengar, menerka maupun mengira.

Aliran darah yang mengalir di dalam tubuhku terasa begitu derasnya, sehingga mengaktifkan organ vitalku yang seakan-akan seperti ingin berontak. Lima puluh jam berdiri di pinggir jalan, bersender di tiang listrik pun tidak akan mampu menurunkan hasrat aneh yang bergejolak di dalam hatiku. Sial. Aku harus pergi.

Dan kakiku bergerak dengan sendirinya, mencoba menjauhi hotel sialan itu.

Selangkah.

Dua langkah.

Tiga langkah.

Aku berhenti, mengambil nafas sebentar, berharap degup kencang jantungku berhenti.

Aku melangkah lagi. Dan makin lama langkahku makin cepat. Tapi arahnya berlawanan, tidak seperti yang ada di dalam kepalaku. Aku kembali ke dalam hotel, entah untuk apa. Pandanganku semakin kabur, seperti memakai kacamata kuda.

Tak butuh waktu lama untuk kembali ke depan kamarnya. Tanganku seperti kaku saat mengetuknya dengan pelan. Aku tak tahu pasti apa yang kuinginkan pada detik ini.

Tak ada jawaban dan tak ada yang membuka pintu. Aku diam, dan menatap ke kosongnya koridor hotel.

Aku menunggu beberapa menit, dan seluruh otot tubuhku seperti bergerak sendiri, melanggar apapun yang bisa kulanggar. Aku diam dalam hening, tanpa bergerak, dan tenggelam dalam sepi. Aku menatap ke pintu kamar Arwen yang tak kunjung terbuka itu.

Aku menarik nafas panjang, terlalu panjang malah, menunggu entah apa, dan akhirnya aku mencoba berbalik dan pergi.

“…….” Aku mendadak kembali berbalik. Pintu sudah terbuka. Dia menatapku dengan tatapan yang canggung. Dia mengulum bibirnya dan setengah menunduk. Dia tampak tidak begitu berani untuk menatapku secara langsung. Aku menatapnya lama, memperhatikan dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki di hadapanku. Dia masih memakai baju yang sama seperti tadi saat aku meninggalkannya. Dan entah ada dorongan apa, kakiku melangkah ke tempat yang tidak seharusnya.

Dengan ganas aku tiba-tiba memeluknya dan menerkam bibirnya. Dia terdiam dan menerima ciumanku, membalasnya dengan tidak kalah ganas. Kami menutup pintu dengan asal, menguncinya dengan asal. Kubanting dan kutimpa dirinya di atas kasur, sambil tetap kuciumi bibirnya yang tipis itu. Aku menggenggam tangannya dan berusaha menahan dirinya yang melakukan pemberontakan kecil. Pemberontakan kecil yang dapat dipadamkan oleh tenagaku dan kengototanku.

“Ahh…” Desahnya bingung saat aku melepas bibirku. Kakiku bergerak dengan asal, melepaskan sepatuku seadanya.

Aku kembali menciuminya, memegang tangannya erat-erat sambil menimpanya di atas kasur. Kaki kami berdua bertautan, dan dia mencoba meronta. Entah meronta karena apa, yang pasti bukan penolakan. Aku menguasainya di atas kasur itu. Bibirnya tak berdaya, basah oleh ciumanku yang bertubi-tubi, melahap seluruh permukaannya. Kedua tanganku menggenggam pergelangan tangannya, dan dia tak bisa bergerak bebas karenanya.

Kakinya mendorong tubuhku, dan kami berguling pelan di atas kasur. Bibir kami tak saling melepas, terus melanjutkan pertemuan gila yang benar-benar penuh nafsu. Kepalaku berhenti. Nafasku memberat, nafas Arwen benar-benar terasa di mukaku, terasa panas, penuh aura ganas yang buta. Lidah kami ikut bermain, saling beradu dan saling berusaha mencumbu dengan asal-asalan.

Kami tak bisa berhenti saling melumat, berguling dan tampaknya kegiatan ini tidak ada akhirnya. Ciuman demi ciuman terus saling bertukar. Tanganku menaikkan tangan Arwen keatas, dia mencoba meronta, tapi dia tidak kuasa. Entah dia benar-benar ingin meronta, atau tidak, karena dia tampak sama sekali tidak ingin melepas ciumanku.

Dengan satu tangan kutahan tangannya diatas kepalanya. Tanganku yang satunya mencoba melucuti baju yang ia pakai. T-shirt itu berhasil kusingkapkan keatas, memperlihatkan buah dadanya yang dibalut oleh pakaian dalam yang berwarna gelap.

“Nnnnggghhh…..” dia tampak kewalahan oleh apapun yang kuperbuat kepadanya.

Kulepas ciumanku. Aku memegang erat kedua tangannya, menatap tubuhnya yang ramping dan siap. Siap entah untuk apa. Nafasku terasa sangat berat dan dia menatapku balik dengan matanya yang teduh. Mulutnya terbuka, nafasnya terdengar memburu, dan perasaan sesak di dalam diriku menguasai atmosfer tempat ini. Bibirnya tampak basah, tak berdaya oleh setiap serangan bibirku.

Aku tertegun melihat buah dadanya yang masih tertutup itu. Aku menelan ludahku dan aku maju menghadapi tubuhnya, mendekat dan mencoba merasakan dirinya. Tanganku bertumpu pada perutnya dan aku mulai menciumi belahan dadanya.

“Ah…” desahnya pelan, saat bibirku mulai bermain di permukaan kulitnya. Aku mencium buah dadanya yang masih terlindungi itu dengan ganas, dimana kedua tangannya tampak tak berdaya dalam genggamanku. Aku akan menjelajahi badannya. Dorongan entah apa ini. Aku semakin bernafsu saat mendengar rintihannya yang terdengar begitu menggoda.

Dengan tak sabar, aku lantas menyingkapkan BH nya keatas. Buah dadanya yang terlihat proporsional menyembul di pandangan mataku. Dengan tak sabar, aku langsung melumat putingnya. Lidahku bermain, menjadikan seluruh bagian yang bisa kulihat sebagai mainanku malam itu. Suara lenguhannya, dan semua desahannya terdengar seperti lagu yang penuh nafsu dan mempermainkan aliran darahku yang terasa mengalir makin deras. Lidahku dengan nakalnya menyapu seluruh permukaan putingnya.

“Nnnnggg… Aahh….. Aaaaaahhh.” Kakinya tampak memberontak, badannya sungguh reaktif.

Kupermainkan dirinya dengan segala kekuatan yang kupunya malam itu. Tangannya yang berusaha berontak kutahan dengan paksa agar terus tak berdaya di atas kepalanya. Bisa kulihat di sudut mataku, dia memejamkan matanya, merintih tertahan, sebagai reaksi atas apapun yang sedang badannya terima sekarang. Kakinya berusaha untuk mendorong diriku, berusaha membuat posisi tubuhnya nyaman, walau pemberontakan kecil ini tak terlalu banyak berguna untuk menahan diriku yang dikuasai oleh perasaan-perasaan yang tak jelas dari mana datangnya.

Bosan dengan puting yang kiri, aku beralih ke yang kanan. Kulumat juga dengan penuh nafsu, bagaikan anak kecil yang melihat serangkaian makanan manis yang terhampar di hadapannya.

“Uhh….” dia tampak tak bisa diam. Seluruh tubuhnya bereaksi, entah karena kegelian, atau karena nafsu yang kurasakan dari dalam tubuhnya pun terasa memuncak.

Ini gila. Arwen tak berdaya di hadapanku. Dengan ganas, bibirku, lidahku dan gigiku terus bermain di buah dadanya. Aku mengikuti jejak feromon yang terus menuntunku ke seluruh sudut payudaranya. Tak ada satu sudut dan lekukan yang terlewat, dan dia pun terus meracau tak jelas, mengiringi seluruh kegiatanku yang dipandu oleh hormon kelaki-lakianku.

Lepas. Tangannya tiba-tiba terlepas dari tanganku. Dia lantas meraih leherku, mencoba mencium bibirku dengan panasnya. Aku mengikuti gerak tangannya, dan tanganku langsung meraih pinggangnya. Buah dadanya tampak basah oleh perbuatanku.

Kupeluk dirinya dengan erat, sambil kembali melumat, menikmati setiap ciuman yang kami lakukan. Penisku terasa makin tegang, makin keras, dan tidak sabar untuk segera menikmati apapun yang bisa kunikmati.

Kami bertukar desahan dan bertukar nafsu malam itu.

Arwen mendadak melepas ciumannya, sebagian air liur kami menetes dibibirnya, dan tangannya langsung membuka t-shirtnya yang tampak sudah tidak ada gunanya lagi itu. Aku membantunya dengan buru-buru, aku ingin melucuti seluruh pakaian yang dia kenakan. Aku meraih t-shirt itu dari tangannya, menariknya keatas, melemparnya entah kemana dan langsung menarik BH-nya dari tubuhnya.

Kini tak ada lagi yang menutupi bagian atas tubuhnya. Aku sedikit bangkit, berusaha dengan kasar melucuti celananya dari tubuhnya. Dia tampak pasrah, tangannya pun tampak menarik baju yang kupakai, berharap aku akan segera melepasnya. Tak lama kemudian, aku menarik celananya dari tubuhnya, dan dengan ganas akupun melucuti semuanya, termasuk celana dalamnya. Aku ingin melihatnya tanpa pakaian.

Kutarik dan kubuang celananya dengan cepat, dan aku melihat dia telanjang bulat, berbaring tanpa pakaian di hadapanku. Dia menatapku dengan tatapan canggung. Mulutnya terbuka, bibirnya terlihat basah, karena ciuman-ciuman tadi yang begitu penuh nafsu dan terkesan asal-asalan.

Nafas Arwen terdengar berat, terdengar jelas di telingaku. Nafasku juga. Kami berdua sepertinya merasakan hal yang sama. Aku merasakan jantungnya berdegup dengan kencang, sama seperti jantungku. Anak ini, yang biasanya tertawa dan tersenyum manis di hadapanku, kini telanjang bulat, hanya menyisakan kaus kaki yang masih terpasang dengan rapih.

Sudah terlalu berat buatku untuk bernafas lewat hidung. Sesak, sesak sekali sehingga rasanya baju ini sudah tidak nyaman lagi kupakai. Aku tanpa aba-aba segera melucuti bajuku dengan penuh semangat. Penuh semangat yang aneh. Kepalaku rasanya kosong, yang kulihat hanya objek perempuan cantik dan ramping yang telanjang di depanku itu.

Arwen menggigit bibirnya sendiri, tangannya menutupi kedua payudaranya, sambil menungguku membuka bajuku dengan buru-buru. Dia memperhatikan badanku, memperhatikan semuanya, mulai dari rambutku, mukaku, badanku, semuanya.

Tidak ada kalimat dan kata apapun yang keluar dari mulut kami berdua.

Tidak ada apapun yang bisa dikatakan, terutama ketika aku sudah telanjang bulat seperti sekarang. Dan aku dengan gerakan yang cepat langsung kembali menimpa badannya, mencium dan menghisap buah dadanya dengan ganas. Aku sangat tertarik oleh putingnya yang tampak begitu maju. Lidahku mempermainkannya, membuatnya tak berdaya, sambil tangannya memelukku dengan asal-asalan. Kedua tanganku meremas buah dadanya dengan ganas, tanpa sopan santun yang pantas.

“Aaa… Aah…. Aah…… Aaahh……” Arwen begitu berisik. Tapi aku tak peduli. Aku bahkan tak peduli lagi apakah suara kami terdengar ke kamar sebelah. Penisku makin tegang, tampaknya dia ingin memaksa, mencari jalan masuk ke dalam tubuh Arwen yang tak terlindungi lagi itu.

“Ah… Ah.. Sakit.. Ahh…” Sial. Aku tak sengaja terlalu keras menggigit lembut putingnya. Aku langsung mengalihkan perhatianku ke lehernya yang jenjang itu. Kuciumi dan aku bahkan tak peduli lagi, kujilati semua yang bisa kujilat. Kurasakan keringatnya yang keluar dari pori-pori tubuhnya. Dia tampak kegelian, meringis, merintih dan bersuara seberisik apapun yang dia bisa. Dia sudah tidak peduli lagi. Tidak ada seorang perempuanpun yang peduli jika ada di dalam situasi seperti ini, telanjang bulat, didalam pelukan laki-laki yang telanjang bulat juga, sedang menciumi lehernya setelah melumat payudaranya.

Tanganku beralih ke pahanya. Kuremas dan kugenggam pahanya sekuat tenaga dan aku berusaha membuat jalan masuk untuk diriku ke dalam dirinya. Aku tak peduli lagi kondisi dibawah sana seperti apa. Aku tak peduli jika dia sudah pernah melakukannya atau belum. Aku tak peduli lagi apakah kondisinya sudah sangat memungkinkan untuk diriku di dalam sana.

Penisku mencari-cari sendiri jalan masuknya, aku tampak sibuk, karena aku mengontrol bibirku untuk terus melumat lehernya, dan penisku bersiap untuk menghunjamkan dirinya ke dalam tubuh Arwen.

“AH!! NNGGHH!!” Arwen meringis dan memejamkan matanya saat penisku memaksa masuk.

Aku tak peduli jika jalanku kurang mulus. Kini penisku sudah berada di dalam vaginanya. Arwen tampak kaget, karena aku masuk terlalu cepat. Aku masuk tanpa persiapan yang matang, karena aku sudah terburu nafsu. Gila. Sempit sekali rasanya didalam sana. Tapi dari sana aku pun tahu, dia sudah pernah mengalaminya sebelum aku. Dan mendadak, sambil aku memompa penisku di dalam dinding vaginanya yang begitu mencekik, aku membayangkan lelaki lain menggaulinya dan aku malah makin bersemangat karenanya.

Pantatku terus menumbuknya maju mundur, menghunjamkan penisku yang begitu tegang ke dalam tubuh Arwen. Dia memeluk leherku dengan erat, seakan tak ingin lepas. Kami berciuman kembali dengan ganas, kami berciuman tanpa benar-benar mengindahkan seni bercinta. Bibir kami berdua saling mencumbu dengan asalnya, nafas kami beradu, dan suara desahan dan rintihannya terdengar begitu menggoda di telingaku.

Setiap dia mendesah, setiap itu juga adrenalinku semakin naik, semakin ingin menghajar dirinya dengan segala daya upaya yang kupunya.

“Mmmmnnnggghh…….. nhhgg….” Desahannya tertahan oleh bibirku yang dari tadi tidak ingin lepas dari dirinya. Penisku terus menghunjam, di dalam dirinya yang terasa hangat dan makin lama rasanya makin lancar pergerakanku.

Aku melepas ciumanku dan aku melihat ekspresi mukanya yang sudah kacau. Rambut selehernya yang asimetris terlihat berantakan, keringat membasahi pelipisnya. Matanya mendadak terlihat sayu dan mulutnya senantiasa terbuka, siap untuk mengeluarkan suara-suara erangan yang menggoda.

Gila. Ini nikmat sekali rasanya. Aku tak takut untuk bergerak semakin kasar dan semakin kencang.

“Aahhh… Ah…. “ mendadak teriakannya tertahan. Matanya terpejam begitu kerasnya dan dia tampak tak berdaya.

“Oh… Aaaaahh……” dia seperti ingin berteriak tapi dia tak kuasa. Tangannya menggenggam kasur dengan asal, seperti mencari sesuatu untuk menahan dirinya agar tidak berteriak dengan kerasnya.

Aku tak peduli, aku cuma ingin menghunjamkan penisku dengan sebegitu kencangnya ke dalam dirinya. Aku hanya ingin tubuhnya. Tubuhnya harus kukuasai malam ini. Aku mencium bibirnya dengan ganas. Aku harus membungkamnya agar dia tidak terlalu berisik saat dia orgasme.

Merasakan tubuhnya yang semakin responsif, aku semakin kasar menggaulinya. Aku semakin bersemangat melihat matanya tertutup, tangannya menarik-narik seprai kasur tanpa peduli apa konsekuensinya. “Mmmhh…” aku merasakan dinding vaginanya menjepit penisku dengan sangat kencang. Tempatku untuk menggaulinya terasa makin licin. Kakinya terasa menegang, menekuk dengan tidak nyamannya.

Sebentar lagi.

Sebentar lagipun aku ingin memuntahkan semua spermaku yang tertahan hari ini. Aku kalap. Dan tubuhnya mulai menggelinjang, salah satu tangannya mendorong kepalaku, lalu dia menutup mulutnya sendiri. Mukanya sudah amburadul, ekspresinya tidak karuan dan dia benar-benar sedang berada di puncak orgasmenya.

Badannya mengejang, menegang, menyentak, menghentikan gerakanku untuk sementara. Dia berjuang agar dia tidak mengerang berlebihan. Matanya terpejam dengan erat, nafasnya terdengar sangat berat dan tangannya berjuang untuk membekap dirinya sendiri. Satu lentingan yang kuat, dan kemudian dia melemas. Dia membuka mulutnya. Aku hanya bisa mendengar suara nafas, yang kebetulan menambah rangsangan untukku.

Tanpa ampun kulakukan lagi, aku kembali bergerak dengan cepat, tanpa mengindahkan apa yang sudah terjadi. Arwen menahan badanku dengan kedua tangannya, dan ekspresi mukanya terlihat sangat lemas. Dia tampak tak berdaya, disaat dia sudah mencapai orgasme, aku masih menggarapnya dengan penuh semangat.

“Udah…” mohonnya, sambil mencoba mendorong badanku. Dia mungkin merasakan penisku yang semakin tegang dan ekspresi mukaku yang sudah tidak karuan. Rasanya seperti ada di ujung tanduk. Sedikit lagi aku merasakan ada yang bakal keluar. Aku melepas kakinya dan bertumpu di kasur, dan dia mencoba mendorongku dengan lemas.

“Jangan.. Ahh… Udah….” Dia berusaha agar aku melepas penisku, tapi aku tak kuasa, kenikmatan menjalar dari penisku ke seluruh tubuhku sampai mematikan akalku dan mematikan perasaanku. Aku tak perlu dilarang-larang.

“Jangan….” Arwen tampak memelas, mencoba menghentikanku yang sepertinya sebentar lagi akan meledak di dalam dirinya.

Shit.

Sebentar lagi. Sebentar lagi dia meledak. Arwen mencoba membuatku mencabut penisku dari lubang vaginanya.

“Nngghh….” Aku mengerang, pertanda saat itu tiba.

Dan aku melepas penisku secara tiba-tiba. Spermaku muntah dengan banyaknya di luar tubuh Arwen, mengenai sebagian permukaan alat vitalnya dan pangkal pahanya. Aku lantas menjatuhkan diriku sendiri ke kasur. Aku dan Arwen saling bertatapan dengan muka yang ekspresinya kacau. Dia mendadak memegang lenganku, tapi kami berdua diam saja, dan mendadak menghilang sejenak dari dunia ini.

--------------------------------------------

Kepalaku kosong. Rasanya seperti sedang menelan sebongkah batu besar, dan aku sedang merasakan batu tersebut merambat dari mulutku melalui tenggorokanku untuk menuju perutku. Aku duduk tanpa busana di pagi buta itu. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 5 pagi.

What have I done?

Aku duduk di pinggir kasur, mendapati seorang perempuan tergolek tidur di sampingku.

Arwen. Matanya tertutup, selimut tipis menutupi tubuh telanjangnya. Berat. Rasanya sungguh berat, menyadari apa yang terjadi semalam. Pergumulan kami berdua, kami melakukannya dengan gelap mata, seakan-akan hari besok tidak akan pernah datang. Rasa bibirnya masih terasa di bibirku, rasa badannya, tiap lekuk dan bentuknya masih terekam di sendi-sendiku.

Muka orang-orang di rumah bersliweran pagi ini di kepalaku. Kenapa tidak dari semalam? Kenapa tidak dari semalam aku mengingat mereka?

Dengan nafas yang tipis, aku mulai berdiri, berjalan dan mengintip lewat jendela, melihat jalanan yang masih sepi dan masih gelap, walau sinar matahari masih sangat malu-malu menunjukkan keberadaannya ke dunia. Aku berbalik, mencoba mengumpulkan bajuku yang berserakan sebagai akibat kejadian semalam. Dengan gerakan yang sangat lambat dan malas, aku memakai bajuku. Berat sekali rasanya. Potongan-potongan kain yang disatukan menjadi pakaian ini rasanya berat dipakai. Tanpa menunggu lama, akupun mencoba memakai sepatuku dan kembali mengintip keluar jendela.

Kenapa? Kenapa aku mesti mengintip ke luar jendela? Memangnya ada yang bisa mengintip dari luar? Memangnya mereka tahu? Siapa mereka itu?

Aku berbalik dan menatap tubuh yang berbaring lemah di kasur. Aku memperhatikan wajahnya yang tampak kelelahan dan tanpa ekspresi. Tapi ternyata aku salah. Dia tidak memejamkan matanya. Matanya terbuka dengan tipis, menatapku dengan tatapan kosong. Aku menunduk dan menghindari tatapannya.

Kami diam, dalam hening yang cukup lama. Dan aku mendadak mulai berbicara.

“Saya….. Ke hotel dulu…” apa? Kalimat macam apa itu? Kalimat itu tidak pantas digunakan untuk menyapa perempuan yang baru saja kau tiduri semalam dengan cara seperti kemarin.

Arwen mengangguk lemah, pasrah dengan kalimatku. Aku mencoba tersenyum tapi mukaku malah mengeluarkan ekspresi yang aneh. Dan aku berjalan, menjauhi dirinya, membuka pintu dan menutupnya lagi, lantas meniti tangga dan keluar dari hotel ini.

Jarak perjalanan dari hotelnya dan hotelku tidak jauh dan tidak makan waktu lama. Tapi pagi itu, di pagi buta sialan itu, rasanya seperti meniti jalan yang sangat jauh. Sangat jauh sampai kau tidak sanggup lagi menggapai pintu masuk hotelmu sendiri. Dengan malas aku menyapa lift, menyuruhnya untuk membawaku ke lantai yang kuinginkan. Semuanya terasa sangat lama. Seperti butuh waktu seharian. Seperti butuh waktu selamanya. Seperti butuh waktu yang rasanya tolol.

Tolol.

Aku membuka pintu kamarku dan mendapati Stefan berbaring di kasurnya dengan pakaian yang kemarin. Aku menatap Stefan yang tampaknya sedikit terbangun karena kehadiranku.

“Udah bangun lo?” tanyanya tanpa membuka mata.
“Hmm” jawabku lemas sambil duduk di kursi.
“Kacau banget semalam, gue tepar abis minum kebanyakan…… Gue pulang lo udah tidur kayaknya” sambungnya.

Ya, tidur dengan perempuan lain.

Dia sepertinya tidak sadar kalau semalam aku tak ada di kamar, karena mungkin pengaruh alkohol membawanya entah kemana.

“Gue tidur lagi ya” dan aku hanya mengangguk, sambil mencoba mencari chargerku dan menyalakan handphoneku yang mati dari entah sejak kapan.

Perlahan ia menyala.

Aku membuka media sosial.

Aku menemukan satu pesan yang membuat jantungku terasa ditusuk oleh benda tajam.

“Pagi Aya =)”

Dan aku terpaku di dalam kursi ini, sambil mengutuk diriku sendiri. Dan aku tidak bisa membalas pesan itu sekarang.

Tidak bisa.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd