Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Wah singa betina sudah keluar dari sarang dan siap menerkam
Menarik dan penasaran baca kelanjutannya,,
Bantai,,,,,,
:pandajahat:
 
Hikss.. tapi apa mau dikata...justru om RB itu masternya.
Para pembaca bakal kerasa gloomy-nya... sorrowful-nya ...
Arghhh...
rasanya pengen banting laptop tapi masih dipake gawe...
Rasanya pengen banting hp tapi belum lunas...
Rasanya pengen banting motor tapi takut viral di youtube.

Dasar gw memang pembaca yang lemah..:tendang::pusing:
 
Gorok si aya sekarang juga ai-chan , gak pake nanti atau besok.

Oia hubungan ai chan - arya "gak akan sama" lagi itu di cerita yg mana ? Amira atau okasan ? Maaf cuman ngikutin MDT doang :D

Hari ini apdet kan ?? :ehhh
 
Gorok si aya sekarang juga ai-chan , gak pake nanti atau besok.

Oia hubungan ai chan - arya "gak akan sama" lagi itu di cerita yg mana ? Amira atau okasan ? Maaf cuman ngikutin MDT doang :D

Hari ini apdet kan ?? :ehhh

Okasan om..
 
Wah... Arya kena OTT Ai nih, bakal ngaku ngak ya
Secara udah kesamar sebelumnya di mobil ketahuan chat dari Arwen....
 
MDT SEASON 2 – PART 50

--------------------------------------------

45328410.jpg

“Mas Arya ngomongin siapa?”

Pertanyaan yang mampu membuatku dan Stefan diam seribu bahasa pagi buta itu. Aku bisa merasakan asap rokok Stefan terbang dari tangannya, menerpa mataku dan aku tidak berkedip sedikitpun, menatap adikku yang sedang berdiri di pintu teras, memandang kakaknya dan temannya yang sedang membicarakan sesuatu yang tidak boleh sembarang orang tahu.

“Lagi flashback aja ngomongin Karina” jawab Stefan dengan nada sok tenang. Padahal aku tahu, kami berdua shock.

“Oh... Kayak ngomongin kejadian jaman sekarang kedengerannya...” balas Ai yang kemudian berjalan pelan ke arahku, lalu dengan gerakan yang pelan, duduk satu kursi denganku, dia lantas bersandar di badan kakaknya sendiri.

“Yah, namanya juga flashback, ya gak Ya?” Stefan memancingku untuk mengatakan kebohongan.
“Iya”
“Mana hal yang ga enak lagi, jadi pacar incest lo ini mukanya jadi surem kayak gitu”
“Haha”

Bukan muka surem ini. Ini muka shock. Ini muka kaget, karena walaupun Ai lantas tampak tidak menaruh kecurigaan kepada pembicaraan kami, tetap saja, efek kagetnya masih terasa. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau dia mendengar dan mengetahui tentang aku dan Arwen di saat yang tidak tepat dan di saat yang tidak baik.

Dan rasanya seperti helpless memang, karena aku baru sekali ini berada di situasi seperti ini. Situasi yang sudah menjurus ke affair. Tidak. Aku salah. Ini sudah affair. Ini sudah membuat hubungan personalku dengan Arwen terganggu. Ini akan merembet lebih jauh lagi jika tidak dihentikan, dan aku memang sangat sangat berniat untuk menghentikannya.

“Masih ngantuk” bisik Ai sambil menarik-narik jaket yang kupakai.
“Kalo gitu ngapain bangun jam segini”
“Kebangun”
“Sama dong kayak kita berdua” jawabku.
“Iya, jadi.... Tadi kebangun, pas liat ke arah sofa kok Mas Arya ga ada... Yaudah, kupikir lagi di luar, aku samperin aja... Taunya lagi ngomongin hal-hal yang ga enak” balasnya.

“Wajar lah, aku jadi keingetan banyak hal, soalnya bakal ada babak baru dalam kehidupanku sebagai bapak nanti....” senyumku, menutupi kebohonganku yang tadi kepada dirinya.
“Gak sabar 9 bulan lagi” adikku membalas senyumku.
“Kalian berdua gak pengen anakan gitu?” canda Stefan sambil mematikan rokoknya dengan sepatunya. Dan dia membakar lagi rokok, tak putus.

“Jijay ah, ini calon bapak lho.... Bapak yang bakal oke banget....” Ai memilih untuk tidak meladeni becandaan Stefan. Karena sepertinya dia masih sangat mengantuk. Tentu saja dia kelelahan, karena dia seharian menjadi mahluk misterius yang dikejar Stefan di Braga.
“Yakin bakal jadi bapak yang oke?”

Bukan, itu bukan pertanyaan dari Stefan yang sifatnya teasing soal hubunganku dengan Arwen. Itu pertanyaan yang benar-benar keluar dari mulutku sendiri. Artinya aku meragukan diriku sendiri. Aku sekarang sudah dalam tahap nyeleweng dari istri resmiku, bagaimana aku bisa menghadapi anakku nanti kalau aku tidak segera menghentikan kondisi yang tidak nyaman ini.

“Mas Arya bukan papa” bisik Ai sambil menyentil jaketku dengan muka gemas. Pasti dia sudah membayangkan akan seperti apa nantinya wajah anakku. Dan ucapannya benar-benar terdengar seperti petir di pagi buta. Stefan cuma bisa menghisap rokoknya sambil menatapku dengan pandangan aneh. Entah pandangan prihatin, ataupun pandangan yang entahlah. Aku hanya bisa merasakan aura negatif yang samar-samar dari tatapan matanya. Tatapan yang membuatku tidak nyaman dan membuatku tidak bisa mengelak lagi, bahwa aku harus secepatnya memutuskan hubunganku dengan Arwen, apapun resikonya.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

eco-dr10.jpg

“Gue stress banget gara-gara tadi pagi” aku mengajak bicara Stefan. Ai, Kyoko dan yang lainnya malam itu sedang belanja berbagai macam hal di rest area. Kami sudah selesai syuting, dan kami sedang pulang kembali ke Jakarta. Sekarang pukul 10 malam. Rest area di jalan tol ini menjadi pemberhentian kami.

Aku dan Stefan berada di dalam mobil. Aku yang menyetir mobil, karena memang Stefan kelelahan karena seharian tadi, hanya dirinya yang di shoot. Rendy membutuhkan footage dia sendirian, tapi dia harus merespon gerakan Ai yang sudah di shoot di hari sabtu.

“Gue kalo jadi elo juga stress, hampir itu ketangkep basah... Untung gue udah biasa ngebullshit” balas Stefan.
“Gue gak biasa boong Fan...”
“Haha.... Gue gak mau bilang kalo lo harus ngebiasain diri bo’ong, tapi harusnya bentar lagi lo gak perlu ngomong lagi kalo lo udah beres sama Arwen”
“Harus beres....”

“Walau gue tau lo gak akan ngedengerin saran gue, boleh gue tau, rencana elo kayak apa?” tanya Stefan sambil melipat tangannya. Mungkin dia gelisah karena belum merokok dari tadi di dalam mobil. Ai menyuruhnya untuk tidak merokok di dekat Kyoko yang sedang hamil.
“Lo harus liat ini dulu” aku menunjukkan layar handphoneku kepada Stefan. Chat historyku dengan Arwen hari ini.

“Kacau” dia melirik dengan enggan ke handphoneku. Disana banyak pertanyaan dari Arwen soal kegiatanku, apa yang aku lakukan sekarang. Juga banyak laporan dia sedang apa. Banyak ucapan rindu dan kangen. Dan aku tidak merespon ucapan kangennya. Aku tidak mau membalasnya. Membalasnya dengan balasan yang negatif akan menghasilkan respon yang negatif pasti dari dirinya. Membalasnya dengan balasan yang positif itu bohong. Aku sudah sangat tidak nyaman.

“Kacau kan.... gue yang pasti bakal nolak kalo dia mendadak ngajakin ketemuan kayak biasa lagi... Ddah cukup lah kejadian di mobil itu sebagai kejadian kacau terakhir” lanjutku.
“Terus?” Stefan berusaha menggali rencanaku.
“Yang pasti gue bakal ngajakin dia ketemuan untuk terakhir kalinya, dan abis itu gue ngomong kalo ini berhenti. Titik. Ngulang kejadian malem itu tapi minus nganterin balik. Salah setting waktu itu, harusnya bukan ngajakin dinner, kalo bisa mah makan pagi sekalian biar ga usah ada agenda nganterin balik terus dia minta peluk terus jadinya aneh lagi” jelasku panjang.

“Lemah. Dipeluk mau-mau aja…” bisik Stefan dengan nada suram.
“Gak tau Fan. Lemah banget mungkin gue sama semua hal yang berbau perempuan..... Sama Karina aja gue tahan, padahal dua tahun bareng dia itu gak nyaman banget, baru sadar sekarang-sekarang pas udah putus malah gue.....”

“Biar gak lemah jangan lo rasain, atau lo coba deh ngobrol sama orang yang lo percaya banget, tapi yang mikirnya mirip sama elo” balas Stefan.
“Maksudnya?”
“Ada alesan kenapa kita nyambung kalo soal bandel-bandel jaman dulu, masalah gele dan yang lainnya, itu mungkin karena kita mirip kali Ya, kalo ada problem, jadinya malah ke pelarian macem gue ke mabok dan cewek plus gele, kalo elo jadi ke gele doang” senyum Stefan lemah.
“Terus?” jadi ganti aku yang bertanya.

“Dulu pas gue bandelnya lagi kacau banget ya gue ajak ngobrol kakak dan adek gue, karena mereka mikirnya mirip banget sama gue, kurang lebih, mereka bisa ngasih insight yang lebih bagus, atau mereka dulu malah gak bilang apa-apa ke gue, tapi cuma nyabar-nyabarin gue aja dan cuma bertindak buat bemper perasaan doang.....”
“Oh..”
“Kalo kasus si Arwen sekarang kan gue mikirnya beda sama elo... Kalo dulu gue mikirnya yaudah, ewe sekali dua kali tinggal, lo mikirnya beda, malah lo abis-abisin”
“Elo juga bilang suruh abisin kali” aku memotong kalimatnya.
“Ya.... Mungkin lah, intinya gue suka bilang supaya jangan kasih ruang buat perasaan itu tumbuh”
“Yep”
“Dan soal mutusin, gue pake cara kasar, elo pake berunding segala... Ya artinya kita gak klik disini dan lo gak ada bemper perasaan di gue Ya... Mungkin lo harus ngobrol sama orang lain yang mikirnya sama banget sama elo” lanjutnya.

“Tapi siapa?”
“Itu” Stefan menunjuk ke seorang perempuan muda yang sedang berjalan ke arah mobil kami. Rambutnya panjang, hidungnya mancung, matanya penuh semangat, badannya mungil dan gerakannya luwes. Sifatnya meledak-ledak walaupun penuh kasih sayang.

Ai.

Adikku sendiri.

“Lo gila?”
“Gara-gara tadi pagi gue jadi kepikiran, mungkin ada baeknya lo ngobrol sama keluarga elo, terutama adik elo, kan kalian punya pengalaman yang sama soal bokap, mungkin dia bisa bantu bikin lo makin ngerasa bersalah dan bikin lo jadi semangat mau mutusin hubungan sama Arwen.... Tapi jangan bego ya, lo ngomong ama dia harus lo filter, jangan kayak ngomong ke gue”
“Lo ngomong gitu seakan-akan kayak gue ga bisa mikir jernih Fan” aku menyuarakan nada keberatanku atas nasihatnya. Bukan, bukan soal bicara dengan adikku sendiri, tapi soal bicara yang harus difilter.

“Sorry. Tapi sejak elo ada problem sama Arwen, lo jadi tolol ya. Dan itu fakta”

Dan kami berdua terdiam, saat Kyoko dan Ai masuk mobil dengan segala macam perlengkapan yang mereka sudah beli. Kopi, minuman ringan, rokok titipan Stefan, dan macam-macam hal lainnya yang berguna di perjalanan.

“Ayo Aya, jalan lagi” ujar Kyoko dengan ceria dari jok belakang, sambil memeluk leherku.
“Iya”
“Kalian berdua kenapa dari tadi pagi sih, surem amat” bingung Ai sambil bersandar, membenarkan tatanan rambutnya yang agak acak-acakan.
“Haha, kecapean” jawabku sambil melirik dirinya lewat kaca spion. Haruskah aku menjadikan dia tempat aku curhat yang baik dan benar? Apakah ini pilihan yang baik?

Entahlah.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

sebstu10.jpg

Weekdays. Hari-hari sudah berjalan seperti biasa. Aku malam itu sedang duduk sendiri di meja makan, menghadapi piring yang sudah kosong. Kyoko sedang di Mitaka, seperti biasa. Aku sudah mulai mengantarnya ke dokter kandungan untuk cek rutin. Sekarang dia masih bekerja full. Mungkin nanti di trimester akhir atau di tengah-tengah, load pekerjaannya akan mulai dikurangi sesuai dengan kemampuan fisiknya.

Ai sudah ngantor lagi seperti biasa.

Dan aku sekarang sedang menunggu rilis album live with orchestra kami, sekalian ada tawaran yang menarik datang dari Kalimantan. Menurut Kang Bimo, dia berkenalan dengan seorang kaya dari Kalimantan yang menggemari musik rock. Dia ingin membawa kami, Hantaman, juga Speed Demon beserta beberapa band lainnya seperti Frank’s Chamber untuk tur keliling Kalimantan. Menarik sekali tawarannya, apalagi kata Kang Bimo, orang ini modalnya besar, tipe orang kaya yang tidak tahu uangnya mau digunakan untuk apa.

Dan aku percaya karena memang banyak orang yang seperti itu. Apalagi kalau Kang Bimo yang bicara, pasti terpercaya, hanya saja aku tidak percaya dengan ceritanya dimana dia bisa nemu orang itu. Katanya nemu orang ini lagi guling-guling telanjang di sawah. Dasar Kang Bimo. Bicara apapun selalu heureuy dan gak jelas.

Selain itu, ada obrolan dari Pras, katanya entah dirinya atau Pierre T butuh merekam satu single under MDT recording. Lumayan. Uang lagi. Dan ada beberapa demo masuk, band-band anak muda yang ingin bergabung dengan Matahari Dari Timur.

And that’s nice.

Jam 8 malam. Jam segini, ibuku tentu sudah pulang dan sedang beristirahat, mungkin di kamarnya. Dia selalu biasa tidur sangat cepat dan bangun sangat pagi.

Dan detik ini, aku sedang membulatkan tekadku untuk bicara ke adikku soal masalah Arwen. Aku menatap handphoneku, melihat pesan terakhir dari Arwen.

“Can we meet? Tomorrow?” tanyanya.
“Gak bisa, sorry, kita ketemu nanti aja, bicara panjang lebar soal kita” jawabku.
“Please” “I miss you so much” “Can you at least send me your pic?” “Mas lagi apa? Sibuk ya?” “Hey i’m so lonely tonight.... I hope we can meet soon”

Dan sebuah foto selfie ngantuk di dalam mobil. Entah itu mobil siapa. Mungkin taksi online. Mungkin mobil teman.

Semua itu kubalas dengan satu kalimat “Ya, saya sibuk. Nanti kita harus ketemu. Kita gak bisa kayak gini terus-terusan” Tapi dia tampaknya tak peduli dan terus-terusan berkata kangen dan kangen dan kangen dan kangen dan aku jadi makin kesal akan situasinya.

Suara gerbang terbuka mengagetkanku, dan saat yang kunanti sudah tiba. Tak lama kemudian suara mobil masuk kedalam garasi. Suara mobil itu lantas mati. Kudengar suara pintu mobil terbuka dan tertutup. Suara gerbang ditutup dan digembok menyusul. Lalu suara Ai kudengar, dari arah pintu masuk.

“Aku pulanggg” dia menyapa seisi rumah yang sepi dengan ceria, walau bisa kurasakan aura lelahnya di kalimatnya.
“Hei” sapaku saat dia lewat di ruang makan, dan mengambil air untuk minum.
“Eh mas.... Lagi makan malem?”
“Udah beres kok... Kamu udah makan?”
“Udah tadi abis ngantor.... Sekarang tinggal tidur deh, aku ada rapat pagi besok, musti rada-rada prepare tenaga” jawabnya.

Aku tersenyum kecil.

“Ntar ngobrol bisa?”
“Ngobrol apaan?” tanyanya sambil menaruh gelas di meja.
“Ngobrol aja, aku butuh ngobrol sama kamu”

Aku menatapnya dengan muka suram, lelah akan semua kesintingan ini yang tidak bisa kuceritakan ke orang lain lagi. Cerita ke Stefan, dia pasti bicara soal putus-putusin, tidak bertindak untuk menenangkan hatiku. Bicara ke siapa lagi? Yang tahu cuma Stefan, Kang Bimo dan Kang Wira. Lagipula aku lagi agak-agak jaga jarak dengan dua orang Bandung yang susah diajak serius itu. Mereka seperti mendewakanku sekarang, setelah kasus dengan Arwen.

“Mukanya kasian amat, lagi pusing?”
“Gitu deh....”
“Yaudah, aku naro barang di kamar dulu, atau kalau mau di kamar ngobrolnya juga gapapa”
“Iya, ke kamar duluan aja, ntar aku nyusul” aku tersenyum ke adikku dan dia tersenyum balik, lantas beranjak ke kamarnya yang ada di lantai bawah, satu lantai dengan kamar ibuku, ruang tamu, ruang tv, dan ruang makan. Lantai atas cuma kamarku dan kamar tamu, serta ada balkon untuk menjemur pakaian.

Aku mengumpulkan keberanianku dan menata kata-kata di kepalaku. Aku menarik nafas panjang, terlalu panjang malahan, untuk kemudian bangkit dan berjalan merayap ke arah kamar Ai. Entah ini keputusan yang tepat atau tidak, tapi aku butuh dia sekarang. Aku butuh mengeluhkan soal Arwen ke orang yang benar-benar mengerti aku. Aku tidak mungkin bicara pada Kyoko. Aku tidak mungkin bicara sama ibuku. Terlalu sensitif dan terlalu menyakitkan pasti untuk mereka. Dan adikku yang benar-benar sudah hapal diriku dari dalam sampai luarnya, mungkin bisa jadi teman curhatku yang baik dan benar.

Aku mengetuk kamar dengan pelan.

“Masuk aja mas” suaranya terdengar dari dalam. Aku harus bicara dengan cepat, dan to the point, agar Kyoko tidak keburu pulang.
“Lagi sibuk banget ya kamu di kantor?”
“Gak juga sih, biasa – biasa aja” jawabnya. Ai sedang tidur-tiduran, masih dalam baju kerjanya, sambil memainkan handphonenya. Aku lantas duduk di karpet. Karpet yang legendaris. Aku ingat duduk disini dulu, memeluknya yang menangis, karena perkataan tajam atau amukan ayahku dulu. Atau masa-masa aku membawa gitar dan memainkannya, menghiburnya yang sedang down karena lagi-lagi ayahku yang tidak jelas itu.

“Hufff.....” aku menghela nafas dan memandangnya yang mulai bangkit dan duduk di pinggir kasur.
“Situ lagi pusing ya?” senyumnya.
“Banget”
“Masalah apaan Mas? Karina udah lewat kan?”
“Udah hahaha....”

“Soal Mbak Kyoko? Kenapa lagi dia? Apa stress? Mood swing karena baby?” tanya Ai dengan muka khawatir, walau dia tersenyum.
“Engga, dia baik-baik aja dan kehamilannya membahagiakan” jawabku dengan diplomatis.
“Atau mas gak suka dia kerja hamil-hamil gini?”
“Masih belom sebulan dek hamilnya.... Lagian kerjaan dia bisa dia atur kok, dia pasti care banget sama anak kita”

“Atau jenis kelamin anaknya cowok tapi mas pengen anak cewek?” candanya.
“Ahahah... Engga ah, terserah jadinya apa, lagian baru bisa ketauan kalo dah lima bulanan kali” jawabku.
“Ooo... terus apaan? Aku rada-rada apal muka ini”

“Muka stress maksud kamu?”
“Iya hahaha”
“Emang aku lagi stress banget”
“Cerita dong.... Aku siap dengerin nih.... Sejak kejadian Mbak Kyoko down karena ga punya gawe, Mas jadi jarang banget ngobrol serius masalah kehidupan sama aku” senyumnya sambil meraih boneka hello kity besar yang memakai kimono, oleh-olehku dari Jepang dulu.

“Ah... Aku gak tau harus mulai dari mana dek....” aku menggaruk kepalaku.
“Apaan sih emang? Masalah kerjaan? Atau Stefan ternyata selama ini homo?”
“Ahahaha”

“Bukan ya?” senyumnya terlihat tolol. Dia pasti bercanda karena ingin menghiburku.
“Aku lagi ada di situasi yang gak sehat”
“Hmmm....”
“Dan aku gak suka situasi itu” aku mulai mendeskripsikan perasaanku sekarang. “Dan situasinya jadi gak sehat gara-gara aku” lanjutku.

“Mas ada debat masalah label sama Stefan atau Anin? Soalnya pas aku liat Mas Arya ngobrol ama Stefan di Bandung yang pas subuh-subuh itu, kalian auranya gak enak, dan aku punya firasat kalo kalian gak lagi ngomongin Karina. Soalnya kalo ngomongin Karina pasti sambil ketawa-ketawa ngeledek... Gak kayak gitu” dia mencoba menebak-nebak apa yang ada di dalam pikiranku.

“Intinya situasi ini ngubah temen jadi bukan temen lagi”
“Hantaman mau bubar?”
“Engga... Bukan itu....”
“Terus apa dong?”

Aku tidak mungkin memperlihatkan chatku dengan Arwen yang penuh bombardir kata-kata kangen yang gak jelas juntrungannya itu.

“Aku....” aku menghela nafas terlalu panjang, lagi-lagi dan rasanya ada sedikit perasaan panik. Tapi ini adikku sendiri, dan dia pasti bisa mendengarkan kakaknya yang sedang pusing.

“Ini soal Arwen”
“Kenapa dia?”
“Aku sama Arwen.....”
“Ngapain?”
“We made a mistake?”
“Kalian ngapain?”

“Kita.... kejebak di hubungan yang salah”
“Maksudnya apa hubungan yang salah?” Ai tampak bingung, tapi dia berusaha terus bertanya.

“Aku ngelakuin sesuatu yang harusnya gak aku lakuin sama dia, dan sekarang, udah berlarut-larut.... Makin pelik dan aku gak tahan lagi sama semua kesalahan yang kita lakuin bareng” lanjutku dengan berat.
“Ini ngomongin apa sih?” Ai tampak duduk semakin tegak. Boneka Hello Kitty itu dia biarkan jatuh tergeletak di lantai.

“Aku sama Arwen....”
“Kalian selingkuh???”
“Yah.....”
“Sejak kapan?”
“Jogja”

“Jogja yang mana?”
“Yang rilis album Speed Demon”
“........” aku terdiam dan melirik ke arah adikku, yang menatapku dengan pandangan tajam dan nafasnya mendadak terlihat berat.

“Ini bohong kan?”
“Gak bohong... Ini kenyataan, dan aku lagi berusaha untuk nyudahin ini”
“Bohong”
“Gak bohong dek...”

“Mas Arya bohong!”
“Aku gak bohong....”
“Alasannya apa??”
“Aku gak tau... Itu kejadian tiba-tiba gitu aja, dan entah kenapa semuanya keterusan.....”

“Bohong. Bullshit. Bilang ke aku sekarang kalau Mas Arya bohong soal ini!”
“Ini beneran....”

“Mas Arya bohong... Mas Arya gak mungkin selingkuhin Mbak Kyoko... Aku gak mau denger lagi!”
“Ai... Ini beneran... Dan aku butuh ngobrol sama orang lain...”
“Stefan tau?”
“Dia gak bisa jadi temen curhat”

“Stefan ikut-ikutan?”
“Enggak, dia cuma tempat curhatku dan salah kayaknya aku curhat sama dia”
“Kenapa salahnya? Dia ngasih tau supaya terus?”
“Enggak, dia gak paham perasaanku karena dia gak mikir kayak aku, makanya aku ngomong sama kamu sekarang juga...”

“Bohong” dia memotong omonganku.
“Dek aku...”
“Bilang sekarang, kalo Mas Arya gak pernah ngelakuin itu ke Mbak Kyoko!”
“Aku beneran ngapa-ngapain sama Arwen dek...”

“Bohong!”
“Ai dengerin dulu... aku...”

Bletak. Aku menepis handphone yang dia lemparkan ke arahku. Telak kena ke tanganku. Rasanya sakit. Tapi aku mencoba menahannya. Handphone yang dilempar itu tergeletak di dekatku. Aku berusaha meraihnya.

“Keluar”
“Dek”
“KELUAR DARI KAMARKU SEKARANG!!!” dia mengusirku, menunjuk ke arah pintu dengan mata berkaca-kaca.

“Dek, aku...”
“Keluar”

Kami terdiam, aku menatapnya dengan tatapan menyesal. Aku seharusnya tidak pernah melakukan apa-apa dengan Arwen. Ini semua salah.

“Keluar sekarang” Ai menunduk dan mencoba mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Dan aku menunduk, diam di karpet itu.

“Please, keluar” bisiknya dengan suara lirih. Aku bangkit, berusaha menghampirinya, mungkin menenangkannya dan memeluknya. Dia menepis tanganku. “Keluar” ucapnya dengan tegas. Aku tak punya pilihan lain. Aku keluar dari kamarnya, dan menutup pintu dari luar. Tak berapa lama kemudian, aku mendengar suara kunci dari dalam. Aku menatap ke arah lantai.

Sekarang damagenya makin parah. I’m such a fool. Semua ini harus dihentikan.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Well, that escalated quickly. Entah timeline di ingetan gw yg beda atau emang ada part di Bdg yg di-omit?
 
Yeah, bagian sedihnya Arya dah dimulai. Dah gak mungkin lagi pecahan yg berserak ini disatukan kembali mulus seperti sediakala. Well, ini bagian dari kehidupannya Arya kali yah...

Makasih berat apdetannya yah Hu (walaupun sedih bacanya).
 
Anjir, kesel beud ane liat aichan sedih gegara kelakuan aya, mamam tuh perasaan ga tega, bener-bener lemah korang! Ngomong ga pake perasaan, padahal die sendiri yg baper, cuihhh!


Seperti biasa masters, bintang 5 apdetnya. Thank you. Masih banyak part menuju tamat, semangat terus & semoga lancar semuanya, have a nice day :bye:
 
and the new chaptes is begin
seingatku, dulu sampe chapter ini, dan kemudian karena satu dan lain hal, akhirnya MDT 2 closed

jadi antusias, ngikutin penyelesaian konflik hingga MDT 2 Revival tamat

:beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd