Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Bimabet
Gua pingin nonjok muka arya...ngpain lagi ke bandung berdua ama arwen malah makin runyam dah!!!hu kenapa gk coba bikin side story ai chan waktu dia naiik ojol ga pulang kerumah kali aja ai ena ena ama driver ojolnya secara lg galau abis berantem ama aya...cuman usul
 
Nah part depan adalah part terakhir sebelum diberangus....

Thanks update nya om

Nah! Akhirnya ada yg mengingatkan. Baru ngeh partnya. Part terakhir sebelum diberangus emang brutal sih. Saya nungguin adegan ini dr kemarin, dikirain diilangin, ternyata emang di akhir. Adegan judul lagu the Beatles di hotel bernama sama dgn judul lagunya. :D
 
Nah! Akhirnya ada yg mengingatkan. Baru ngeh partnya. Part terakhir sebelum diberangus emang brutal sih. Saya nungguin adegan ini dr kemarin, dikirain diilangin, ternyata emang di akhir. Adegan judul lagu the Beatles di hotel bernama sama dgn judul lagunya. :D

Yang arwen kena omongan ngasalnya ndi ref/
 
Cerita bagus gini kok dikit yg komeng ya banyakan adul. Susah amir bilang makasih dbuatin cerbung keren gratis. Setidaknya ucapan makasih menunjukkan u u ngehargain jerih payah om TS:getok:

Sorry om nyampah & curcol. Abis panas juga ati liat reader kek gitu. Makasih apdetnya om :beer:
 
Mobilan berdua ke bandung? Dalihnya mau putus? Tolol!!!


Maaf suhu...terlalu menjiwai...btw ini kayaknya udah deket ke bagian yang tiba2 ilang pas arwen bukan di radio...;);););)
 
Ini ni jagonya om rb bikin baper...
Ngga mainstreams...
gimana ngga coba... pembaca rasanya pengen nampol ... pengen nampol tokoh utamanya pula :getok: hahahaha

Mungkin itu pula pembaca banyak yang in denial ... tokoh arya dengan jalan pikirannya nyata adanya... at least gw pernah tuh... melakukan hal yang luar biasa bodoh.

Trimakasih om rb sudah kasih pembelajaran hidup:ampun:dari karyanya.
 
MDT SEASON 2 – PART 54

------------------------------

eco-dr10.jpg

I miss her. I miss Arwen. Tapi bukan in that way. I miss her as a bro. Bukan dalam aransemen seperti semenjak Jogja. Dan ini semua atas kesalahanku. Resiko atas kesalahanku banyak sekarang. Dan aku sudah merasakannya.

Pertama, kehilangan teman. Aku kehilangan Arwen sebagai teman. Ini sudah pasti. Kami tidak bisa mengobrol lagi. Bahkan disaat aku sudah menghindar darinya sejak agak lama, dia malah membombardirku dengan obrolan-obrolan di media sosial yang jauh dari kata nyaman.

Kedua, kehilangan adik. Kehilangan keakraban dan kehangatan Ai yang selama 32 tahun sudah kurasakan, tentu rasanya menohok. Sahabat sejatimu, keluargamu, teman curhatmu dan salah satu sumber semangatmu kini sudah hilang. Dia tidak mau menyapaku lagi. Dia tidak mau bicara denganku, kecuali pembicaraan-pembicaraan yang sifatnya basa-basi di meja makan, di depan ibuku dan Kyoko. Selain itu, setidaknya seminggu sekali atau dua kali dia tidak tidur di rumah. Tidak ada yang tahu dia dimana, kecuali dia berkata tidur di rumah temannya, atau tugas ke luar kota. Dan Stefan pun bingung kenapa Ai sekarang jadi malas menanggapi candaan-candaan asalnya, walaupun Ai masih mau mengobrol dan masih berusaha akrab dengan Stefan.

Aku beralasan mungkin Ai lagi banyak pikiran di kantor atau mikirin cowok. Alasan macam apa itu. Stefan tampaknya bisa menerimanya, karena dia pun tidak terlalu usil akan hal ini. Tapi Stefan tidak tahu kalau Ai tahu soal urusanku dengan Arwen.

Dan Ai hanya tahu kalau Stefan jadi tempat curhatku saja. Dia tidak tahu kalau Stefan juga banyak berperan. Mulai dari menyewakan hotel, lalu mengatur semua fasilitas kenakalan di Singapura, sampai memberi semangat secara eksplisit dan implisit dalam hubungan ini. Untungnya dia mundur dan paham saat aku mengatakan kalau lama-lama aku menjadi sangat tidak nyaman akan hubunganku dengan Arwen.

Susah.

Memang susah, apalagi dia seperti tidak ingin lepas dariku. Bukan seperti sih. Tapi memang tidak mau. Aku masih ingat saat dia berjalan di tengah hujan, keluar dari mobilku saat aku menolak ciumannya. Dia tampaknya ingin sekali menjadikanku miliknya, walau tidak pernah keluar pernyataan eksplisit dari mulutnya.

Dan sebentar lagi aku akan bertemu dengannya.

Katanya dia juga harus ke Bandung. Cocok. Beberapa jam perjalanan pulang pergi akan cocok untuk membahas soal kami berdua. Dia minta dijemput di dekat stasiun radio tempat ia bekerja. Cocok juga. Aku sebentar lagi akan sampai. Dan dia pasti sudah menunggu.

Jantungku serasa berhenti lagi saat dia muncul di mataku. Kacamata hitam, T-shirt lengan panjang. Overall Jeans dan sneakers. Mobilku mendekat ke arahnya dan setelah mobilku berhenti, dia naik. Kami diam. Perempuan yang selalu bilang kangen setiap harinya ini diam di depanku.

Sekarang masih pagi sekali. Jam 6 pagi. Aku sengaja berangkat pagi-pagi sekali. Aku masih ingat saat berpamitan ke rumah tadi. Hanya Ai yang tidak tersenyum. Dia hanya bermuka datar saja saat aku mengucapkan salam perpisahan ke orang-orang rumah.

"Ada urusan apa ke Bandung?" tanyaku.
"....." Arwen hanya menatap jalan. Kami sudah memasuki jalan tol dalam kota untuk meluncur ke Bandung.

"Hmm..." aku membalas diamnya dengan diam. Rasanya aneh. Tak nyaman. Tak ada lagi rasa penasaran. Tak ada lagi pikiran-pikiran kotor. Semuanya sudah berubah menjadi pikiran-pikiran paranoid dan pikiran-pikiran kalut.

"Kita jadi susah ketemu...." dia mendadak membuka mulutnya.
"Bisa jadi gampang kalau kita kayak dulu lagi" balasku.

Dia hanya diam saja mendengar pernyataanku.

“Ngomong-ngomong, ada urusan apa ke Bandung?” Aku sengaja tidak menyalakan musik apapun selama di perjalanan. Mobil berjalan dengan pelan.
“Gak tau....”
“Maksudnya?”
“Aku gak tau mau ngapain ke Bandung...” jawabnya tak jelas.

“Kenapa bisa gak tau?” aku bingung dengan jawaban itu.
“.....”

Dia terdiam lagi. Di balik kacamata hitamnya, aku tidak bisa melihat matanya. Dia tampak memperhatikan jalan bebas hambatan yang kami lalui jika kami ingin mencapai ibukota Jawa Barat. Sepertinya di dalam kepalanya ada banyak pikiran yang berkecamuk, mungkin, sehingga dia tidak tahu harus menjawab apa, walaupun pertanyaanku sederhana.

“Jangan bilang kalo kamu sebenernya ga ada agenda apa-apa ke Bandung....” aku berkesimpulan sendiri, menebak-nebak agar rasa penasaranku hilang.
“Aku harus bilang apa?” dia malah balik bertanya. “Soalnya kita susah ketemu” air mukanya terlihat datar, tapi aku merasakan aura tidak nyaman menjalar dari dirinya.
“Jadi kamu ada-adain? Kamu boong?” tanyaku tajam.
“Kenapa Mas mesti ngehindar?”
“Saya gak mau keterusan, ini udah gak bener” jawabku.
“Terus kenapa ngajak ketemu lagi?”
“Kan udah saya bilang, kita mesti ngeberesin apa yang kita lakuin.....”

Dan dia diam lagi. Entahlah apa maunya, setiap obrolan mengarah kesana, dia selalu diam. Diam sepertinya menjadi senjatanya untuk menyudahi obrolan. Dan lagi-lagi aku harus menggali percakapan dengannya. Tapi aku ingin semua berakhir dengan baik-baik. Tidak ada alasan lagi untuk mempertahankan hal yang tidak nyaman ini.

“Dan kamu gak bisa....” shit. Mendadak handphoneku berbunyi. Nomer telpon rumah. Aku mengangkatnya dengan buru-buru. Jam segini Kyoko dan Ibuku belum berangkat kerja. Kalau Ai tak tahu, entah masih di kamar atau berangkat kepagian.

“Ya?”
“Arya, kamu gak akan nginep di Bandung kan?” tanya ibuku lewat saluran telpon.
“Gak Ma, ini pulang pergi kok, gak akan nginep” jawabku.
“Kalau gitu mama mau nitip boleh?
“Boleh”
“Itu beliin Gepuk Ny Ong ya, yang cukup aja buat kita berempat”
“Iya ma, nanti aku beliin”
“Oh iya, Kyoko mau nitip juga”

“Halo Aya” aku mendengar suara istriku, mengambil alih telpon. Suaranya terdengar ceria seperti biasanya.
“Mau nitip apa?”
“Itu ano.... Resutoran yang waktu Tahun Baru kita makan disana, itu apa Aya?”
“Toko You?”
“Ah iya... Kyoko bolehkah menitip baso gorengnya, enak sekali, Kyoko jadi ingin”
“Tapi aku sampe Jakarta udah dingin lho” balasku. Ini anak pasti lagi ngidam.

“Tak apa Aya, nanti bisa dipanaskan dengan microwave”
“Yaudah, nanti aku beliin, mau berapa banyak?”
“Yang banyak saja Aya haha”
“Oke deh, buat makan dua orang sih ya, satu kamu, satu yang diperut” tanpa sadar aku tersenyum.

“Iya Aya, baiklah, hati-hati di jalan ya”
“Iya”

Telpon itu pun selesai. Dan aku melirik ke arah Arwen yang dari tadi terdiam tanpa suara. Mendadak dia mengatakan hal yang tak kusangka-sangka.

“Biar aku aja yang beliin. Mas kan mau rapat”
“Jangan, ngapain kamu pake beliin buat mereka?”
“Aku mau”
“Arwen...”
“Mas nanya kan apa agendaku di Bandung? Itu agendaku, beliin titipan ibunya Mas Arya dan Mbak Kyoko” jawabnya tajam, tanpa melihatku sedikitpun. Matanya masih tersembunyi di balik kacamata hitam.

“Kalo kamu emang gak ada apa-apa yang mesti di kerjain di Bandung, jangan maksa….” ucapku dengan kesal sambil tetap fokus menyetir mobil.
“Aku udah bilang tadi….. Kita susah ketemu….”
“Dan saya bingung, dulu kamu bilang kamu gak kuat liat saya bareng istri saya, kenapa tiba-tiba malam itu datang? Bawa-bawa sesuatu buat istri saya lagi?”
“Aku gak bisa jelasin…..”
“Ini udah makin kacau, saya gak tau kalo di kamu, cuman hal ini udah makan diri saya banget….. Abis pulang dari Bandung, kita gak boleh ada apa-apa lagi dan kamu gak bisa ngirim-ngirim mesej kayak biasanya….” lanjutku dengan pikiran yang benar-benar tidak nyaman.

Dia cuma diam, menatap jalan dari balik kacamata hitamnya.

“Terus aku gimana…”
“Jangan tanya saya….”

Mendadak dia menatapku. Menatapku dengan tajam. Aku bisa merasakan tatapannya dari balik kacamata hitamnya. Perasaan bersalah karena merasa hari ini terjebak memenuhi kepalaku. Aku merasa dia menjebakku dan rasanya di dalam hati ini ada emosi yang ingin dimuntahkan. Tapi tidak. Aku harus tetap bertindak wajar dan berkepala dingin. Perempuan disamping diriku sekarang, emosinya sedang tidak stabil. Dia sedang terjebak dalam pemikirannya sendiri dan sudah berkali-kali bertindak tidak masuk akal, melebihi batas wajar di hubungan yang sebenarnya juga tak wajar ini.

“Aku tau Mas Arya ke Bandung mau rapat…. Jadi gak akan bisa gerak cepet beliin pesenan orang-orang…. Aku aja yang beliin” mendadak dia kembali ke topik sebelumnya.
“Terserah” jawabku pelan. “Tapi sekembalinya kita ke Jakarta, kita jadi Arya dan Arwen sebelum Jogja. Kalau kamu mau kirim mesej kayak gitu-gitu lagi, saya gak akan respon”
“….” dia terdiam, kembali menatap jalan.

Aku melihat dia memainkan jarinya di atas pahanya, tanda gelisah, atau entah tanda apa.

“Nanti turunin aku aja di Pasteur…” dia tidak menjawabku, omongannya terasa bergetar dan berat. Aku mengangguk. Dan perjalanan ke Bandung ini, pasti akan terasa seperti selamanya.

--------------------------------------------

Xy7ydTu.jpg

Walaupun rasanya sepertinya hubungan tak jelas ini akan segera berakhir, tetap saja, ada perasaan tidak enak yang mengganjal di dalam diriku. Terlebih karena Arwen tadi terdengar defensif dan juga tidak banyak merespon apapun yang aku bicarakan. Dia hanya mengulang-ngulang soal sulitnya kami berdua bertemu sekarang. Dia pun mengulang-ngulang kalau aku rapat saja, tak usah memikirkan soal titipan orang rumah. Obrolan sepanjang Jakarta ke Bandung jadi terasa tidak ada intinya dan didominasi oleh diam yang banyak.

Entahlah, mungkin ada baiknya cara Stefan kupakai nanti malam, kalau dia masih begitu-begitu saja, belum ada kata persetujuan darinya untuk memutuskan hubungan yang tak nyaman ini. Memang benar apa yang mereka semua bilang. Achmad Ariadi Gunawan terlalu baik kepada perempuan. Terlalu baik sampai mereka merasa disanjung dan merasa diberi kesempatan.

Tai lo ya. Tai, seperti minuman yang ada di depanku sekarang.

“Ini gak salah Kang?” aku bertanya ke Kang Bimo yang sedang duduk di sebelahku, di salah satu living room sebuah rumah besar yang asri, yang terletak di kompleks perumahan di Sersan Bajuri, Lembang, Bandung.

“Naon nu salah?” Kang Bimo sedang merokok sambil melipat kakinya di sofa. Kang Wira dan Kang Giting sedang mengobrol sesuatu yang tak kumengerti karena menggunakan Bahasa Sunda yang benar-benar lancar. Kami semua sedang menunggu kedatangan orang yang katanya mau memprakarsai tur Kalimantan itu. Dia ingin bekerja sama dengan label kami, Matahari Dari Timur. Orang Pontianak katanya. Nemu di sawah, kata Kang Bimo. Tapi rumahnya terlalu bagus dan besar untuk ukuran orang yang nemu asal di sawah.

Dia katanya super kaya, dan tidak tahu uangnya mau diapakan. Kebetulan, kata Kang Bimo, dia suka musik keras, jadilah disetanin oleh Kang Bimo untuk memodali band-band tur di Kalimantan. Dan dia setuju.

“Ini kang yang salah” aku menunjuk ke minuman aneh yang ada di depanku. Tak jelas apa. Warnanya hijau. Hijau agak transparan, dan seperti ada serpihan-serpihan aneh yang terbang-terbang di dalamnya. Suhunya hangat. Baunya tak familiar. Aku bahkan ngeri melihatnya.

“Oh… Kata si Edwyn, itu kopi” bisiknya. Edwyn nama orang yang akan kami temui ini. Dia sebenarnya sudah di rumah, tapi sedang mengurus sesuatu di lantai atas. Maklum, orang kaya, bisnisnya banyak.
“Kopi apa kayak gini?”
“Teuing”
“Kang Bimo udah pernah minum?”
“Dulu mah pernah ditawarin.. Tapi ga mau minum, sieun saya.. Takut” jawabnya dengan senyum absurd.

Kopi? Kopi apa yang warnanya hijau dan seperti ada serpihan-serpihan kotoran manusia di dalamnya?

“Cobain minum Ya, pengen tau saya kayak apa”
“Takut Kang” jawabku sambil menatap jijik ke minuman ajaib itu.

“Halo Gan? maaf la manung gu,” mendadak ada suara entah dari mana. Manusia yang disebut Edwyn itu muncul di depan mataku. Aku berdiri dan menjawab tangannya. “Halo”
“Aryaya Gan?” tanyanya dengan muka menyeringai. Jujur, aku sedikit kaget oleh penampakan di depanku.
“Iya, salam kenal”
“Saya? Edwyn Gan”

“Iyak”

Kang Bimo, Kang Wira dan Kang Giting mukanya mendadak berubah. Mereka seperti menahan tawa. Makhluk yang disebut Edwyn ini…. Entah apa yang harus kudeskripsikan atas penampilannya. Aku bingung melihatnya. Rambutnya tak berbentuk. Dia keturunan Tionghoa, tapi tidak terlihat seperti itu. Dia memakai celana pendek kotak-kotak, kaos V Neck yang kerahnya lebar, kefiyeh melilit di lehernya dan di kepalanya ada topi fedora yang tidak cocok dengan dandanannya. Dia lantas duduk di hadapan kami.

“Ayodiminu mGan” gaya bicaranya agak-agak lucu, seperti terburu-buru dan ingin segera cepat selesai bicara.
“Emm… Iya, sayang saya gak haus” senyumku dengan awkward.
“Oke Gan”

“Top Gan” Kang Wira menunjukkan jempolnya ke Kang Bimo.
“Jadigima?na Gan, kerja sama Gan, sayasu dahbica rasama Bimo, kala usaya ada wang kalian? bi samain di Kalimantan, terserahdiko ta’a pa, nanti! sayaspon sorin Gan. Mantep Gan”

“Eeh…” aku bingung mencerna omongannya.
“Iya jadi waktu dulu bicara sama Edwyn, dia ngarep duitnya balik dari penjualan tiket, tapi ga bisa kayaknya ya, mungkin dia keluar duit di awal dulu, ntar duitnya ditutupin sama sponsor” senyum Kang Bimo.
“Iya, kalau di daerah, penonton sukanya sama konser yang gratis, jadi nutup biaya segala macemnya dari sponsor”
“Sponsorka yakapa gan?” tanya Edwyn lagi.
“Rokok, Minuman Keras, atau Layanan seluler kayak Indosat atau Telkomsel gitu sih biasanya yang royal”
“Ka lo restoran s ayabi saspon sorin gak Gan?”
“Bisa kali, tapi mendingan pihak lain, situ cuma ngemodalin di awal aja, ntar kita yang pikirin gimana muter uangnya” senyum Kang Giting.

“Gitu ya Gan?”
“Iya Gan” jawab Kang Bimo sambil menahan tawa.
“Jadi, …gimana coba! jelasinso al label Matahari Dari Timur Gan? PunyaBand Ska gak Gan? Mantep Gan”
“Anu”

“Yah, jadi coba Arya jelasin lah” tawa Kang Bimo.
“Haha iya… Jadi…”
“Bentar ya Gan” mendadak dia berdiri dan hilang lagi, entah kemana.

“Seriously?” bisikku ke Kang Bimo, berkomentar tentang betapa absurdnya manusia yang disebut Edwyn itu.
“Kunaon maneh teh?”
“Itu beneran yang nemu disawah?”
“Suer”
“Aneh banget orangnya Kang” bingungku.
“Tapi tajir siah…”
“Sumpah aneh banget orangnya”
“Gak kayak orang kata saya mah” seloroh Kang Wira.

“Kayak apa atuh, binatang?” tanya Kang Bimo bercanda.
“Teuing. Gak kayak mahluk… Kayak glitch di game….” balas temannya sambil menunjukkan muka geli.

“Nah, ayo gan” mendadak dia muncul lagi, jalan entah dari mana, seperti sedang dansa pogo, mendekat dari kejauhan.

“Err…. Oke…”

--------------------------------------------

“Sampe ketemu Kang” senyumku dengan capek, sore itu di parkiran rumahnya Edwyn. Musik Ska membahana dari dalam rumah. Entah siapa yang memainkan musiknya. Musik Ska instrumental, tapi seperti tanpa melodi, hanya suara gitar dan drum saja. Absurd.

“Kaget ya kamu ketemu mahluk tadi?”
“Kaget… Tapi gapapa lah, jadi tau kalo dia itu serius mau kerjasama sama kita” senyumku dengan capek.
“Mantap yah”
“Yang penting asik lah Kang” aku sudah capek meladeni Edwyn seharian dengan cara bicaranya yang aneh dan tak terstruktur, serta jamuannya yang benar-benar absurd. Setahuku orang Kalimantan tak seperti ini. Tapi seperti kata Kang Wira bilang, dia bukan orang, dia bagaikan glitch yang absurd di game.

“Eh, pa kabar awewe nu eta?” mendadak Kang Bimo membisikiku.
“Gak tau Kang”
“Oh udahan?”
“Udahan” jawabku sekenanya, malas membahas Arwen.
“Sayang atuh”
“Mendingan udahan Kang, gak se enak yang kalian berdua bayangin kok” senyumku dengan muka garing.

“Yaudah atuh, sip ya, saya pulang dulu, si Wira sama Giting udah rewel tuh di mobil”
“Oke kang, sampai jumpa…” aku menjabat tangannya dan dia malah memainkan jarinya untuk membuatku kegelian. “Geli!” aku menarik tanganku dengan kaget.
“Sampai Berjumpa Litan” tawanya sambil membuka pintu mobilnya dan masuk ke mobil.
“Halo… Saya Litan” Kang Wira melambaikan tangannya dari dalam mobil dan kemudian mahluk-mahluk ajaib itu berlalu dari parkiran di dalam mobil Kang Bimo.

Aku menghela nafas panjang. Menatap ke arah mobilku, dan membuka kuncinya. Aku masuk dan menyalakan mesin. Dengan malas aku melihat ke handphoneku. Aku tadi mengirim pesan untuk Arwen, ketika masih bicara di dalam beberapa jam yang lalu.

“Saya rapat di daerah sersan bajuri. Kamu kabarin aja bisa dijemput dimana, habis ini kita langsung ke Jakarta”

Ternyata sudah ada jawabannya.

“Aku di Blackbird nunggunya. Di restorannya” jawabnya singkat. Blackbird?

Sejenak aku mencoba googling nama tersebut. Blackbird. Oh. Ada hotel di daerah yang sama, bernama Blackbird. Entah kenapa perasaanku tidak enak. Tapi dia pasti mencari tempat yang nyaman untuk menungguku setelah beberapa lama membelikan pesanan ibuku dan Kyoko. Dan pasti dia mencari tempat yang dekat. Dan mungkin matanya tertaut ke nama Blackbird ketika googling. Entahlah Ya, waspada boleh, parno jangan.

Aku lantas mengetik pesan jawaban lagi.

“Saya udah beres, saya jalan kesana sekarang”
“Ok” jawabnya pelan.

Sabar ya, pikir positif aja. Jangan sampai kamu terlalu curiga, sekali lagi ingat. Waspada boleh, parno jangan.

--------------------------------------------

vhZluUz.jpg

Restorannya sepi. Wajar. Ini weekdays. Tapi ada yang tak wajar. Tak ada Arwen disini. Aku berulang kali mengirim pesan, dan tak dibalas. Aku berulang kali menelponnya, tak diangkat. Mau apa sih anak ini. Katanya tadi menunggu disini, tapi sekarang tidak ada orangnya sama sekali.

Aku duduk dengan tidak sabar. Kenapa jadi aku yang menunggu dia? Katanya dia menunggu disini? Restoran ini sepi sekali, dan matahari sebentar lagi tenggelam. Aku tidak ingin pulang terlalu malam ke Bandung. Aku kembali menelponnya. Tetap tidak dijawab.

“Kamu dimana? Katanya nunggu di Blackbird? Saya udah di restorannya” Damn. Bahkan di read pun tidak. Entah sedang apa anak itu.

“Permisi pak” mendadak aku dikagetkan oleh pegawai hotel yang menghampiriku.
“Ya?” aku bingung kenapa dia menghampiriku, mudah-mudahan bukan kabar buruk soal Arwen yang ia bawa.
“Tadi saya dititipin ini, katanya dari istrinya” aku menekuk jidatku. Pegawai hotel itu memberikan sebuah kunci kamar kepadaku.

Fuck. aku melihat tulisan di kunci itu. Tulisan nomer kamarnya. 318. Sekarang semuanya make sense. Kenapa dia bilang dia menunggu di restorannya hotel Blackbird. Kenapa mendadak dia tidak ada. Dan kenapa dia menyuruh pegawai hotel untuk menyerahkan kunci kamar ke orang yang sedang menunggu sendirian di restoran.

“Tadi katanya kalo ada orang yang nunggu sendirian pake kemeja abu-abu dan jeans, tolong dikasih ini” senyum sang pegawai hotel, dengan muka sumringah, merasa dia sudah melakukan hal baik.
“Oh oke… Makasih” aku dengan tidak sabar lantas berdiri, berjalan ke deretan kamar-kamar yang bisa kulihat oleh mataku. 318. Nomer kamar yang dulu Stefan bookingkan untukku, sebagai hadiah darinya karena aku menyeleweng dari istriku.

Sial.

Permainan macam apa lagi ini?

Dengan ngos-ngosan aku menjelajahi deretan pintu, mencari kamar nomer 318. Sekarang sudah tidak lucu lagi. Entah apa yang ada di dalam pikiran Arwen. Beberapa menit berlalu dan dengan tenaga yang sudah mulai habis, aku menemukan kamar 318. Aku mengetuknya. Hening. Tidak ada jawaban. Kucoba mengetuknya sekali lagi.

Tetap Hening. Tak ada jawaban.

Shit. Aku mendadak ingat ke adegan di Jogja. Pertama kali aku tidur dengan Arwen. Kecelakaan yang mengarah ke hal-hal buruk seperti sekarang. Hal-hal buruk yang sekarang cenderung egois dan manipulatif. Ego sepihak dari Arwen. Dan ini semua gara-gara aku menciumnya. Gara-gara aku yang tidak kuasa membendung nafsuku sewaktu di Jogja. Sialan.

Dengan buru-buru aku memasukkan kunci kamar itu untuk membuka pintunya. Dengan tidak sabar aku membuka pintu itu dan masuk ke dalam kamar.

Sial.

“Aku udah nunggu” dia tersenyum padaku. Aku menelan ludahku sendiri. Arwen duduk bersimpuh di atas kasur. Dia hanya mengenakan pakaian dalam berwarna terang yang serasi. Cocok dengan warna kulitnya. Dia menggigit bibirnya, menatapku dengan tatapan menantang. Pintu kamar tertutup. Dia tidak bergerak, dia menungguku datang.

“Apa-apaan ini?” tanyaku dengan marah.
“Mas pasti capek, kita nginep semalem disini aja….” dia memaksakan untuk tersenyum.
“Apa-apaan? Kita harus pulang”
“Besok pulangnya…. Mas Arya pasti capek kan?” tanyanya dengan tatapan teduh.

“Gak bisa kayak gini!”
“Mas gak kangen aku?”
“Kamu ngomong apa sih?”
“Kita nginep semalem aja….. Besok pagi pulangnya? Ya?” dia tampak memohon, dan dia mencondongkan badannya ke depan, berharap aku tertarik pada dirinya.

“Kita gak mau kayak gini lagi kan? Udah… It Has To End!”
“Mas, please…. I Could Do This Forever….”
“Kamu ngomong apa?” aku menyelidik ke seluruh ruangan, mencari apapun yang bisa kucari. Tak ada titipan ibuku dan Kyoko di manapun. Hanya ada tasnya, dan tumpukan bajunya yang rapih di atas meja kamar.

“Mas…”
“Pake lagi baju kamu, kita pulang sekarang!”
“….” Dia berdiri dan berusaha berjalan ke arahku, berusaha meraih tanganku. Aku menepisnya, dan dia lantas duduk di kasur dengan lemahnya.
“Stop”

“Aku udah gak menarik lagi buat Mas Arya?”
“Bukan gitu”
“Mas apa gak sadar? Aku bener-bener pengen momen-momen kayak gini ada lagi…”
“Gak bisa… Itu egois namanya”
“Egois? Siapa yang bikin aku kayak gini?” tanyanya dengan muka penuh harap.

“Itu kesalahanku, dan sekarang aku mau coba benerin”
“Mas juga egois berarti, Mas gak pernah coba mau tau perasaanku kayak apa??”

Dia menatapku sambil terduduk di kasur.

“Tapi ini salah!”
“Udah terlanjur” nafasnya terdengar berat dan matanya mendadak terlihat berkaca-kaca.
“Gak ada kata telat untuk perbaikin semuanya”
“Udah telat. Harusnya Mas gak kayak gitu di Jogja” nafasnya berat sekali, seperti menahan tangis. “Harusnya Mas gak pernah ngajak kenalan aku waktu itu….”

“Emang apa yang salah dari kenalan kita waktu itu?” aku berjalan ke arah tumpukan bajunya dan mengambil baju yang tertumpuk disana.
“Dulu aku pikir Arya-nya Hantaman itu single… Dan tiba-tiba ngajakin aku kenalan…. Itu berkesan banget, dan aku kecewa waktu tau dia udah tunangan…. Makin lama, dia malah makin deket…. Dan tololnya aku mau waktu itu… Aku udah ngebuka diriku buat dia…. Dan ngerti kalo posisinya bakal gak enak…. Sekarang aku mau ditinggal? Apa aku udah gak pantes lagi buat Mas Arya?”

“Itu karena yang kita lakuin salah…. Saya udah punya istri… Ini gak bener!”
“Aku udah bilang, I could do this forever”
“Jangan kayak gitu, hargain diri kamu sendiri” aku melempar bajunya ke arahnya. Dia menepisnya.

“Dan setelah aku serahin diriku sejauh ini, aku mau ditinggal gitu aja?”
“Kamu bisa dapet lebih dari ini…. Orang yang bener-bener sayang kamu, yang bener bener….”
“Jadi Mas gak sayang aku?” tanyanya dengan suara tajam dan setengah membentak.

“Enggak” aku menunduk dan tak berani melihatnya saat aku mengatakannya.
“Kenapa?”
“Bukan masalahnya kenapa….”
“Kenapa? Setelah semua yang kita lakuin? Setelah selama ini?”
“Karena kita gak bener….”
“Setelah semua ini?”

“Setelah semua ini apanya? Kamu maunya gimana? Kita udah jelas-jelas salah… Jangan cari-cari pembenaran… Jangan cari-cari…..”

Shit. Handphoneku berbunyi. Aku menatap Arwen yang ekspresinya sudah tak jelas itu. Sial. Sial. Aku melihat handphoneku dan melihat nomernya. Kyoko. Istriku. Sial. Sial. Aku menarik nafas panjang, dan keluar dengan buru-buru dari kamar itu. Aku mencari tempat yang cocok untuk mengangkat telpon itu.

“Halo?” tanyaku dengan suara ngos-ngosan.
“Aya”
“Hai”
“Aya kapan pulang?”
“Sebentar lagi harusnya, baru aja beres”
“Iya Aya, Kyoko sudah rindu sekali”
“Sama sayang, aku bentar lagi pulang ya”
“Pesanan Kyoko sudah?”
“Aduh…. Gak sempet tadi…”
“Ah Kenapa?”
“Rapatnya lama sayang…. Maaf ya?”
“Ah….”
“Gakpapa kan sayang?”
“Iya Aya, tak apa….” aku menelan ludah. Entah bagaimana kecewanya seorang ibu yang sedang ngidam, saat suaminya gagal mendapatkan makanan yang ia inginkan.

“Maaf ya sayang”
“Tak apa Aya…” suaranya terdengar ceria kembali. Shit. Shit. Shit.
“Nanti aku kalo jalan pulang bakal ngasih tau kok sayang….. Aku kabarin ya nanti”
“Iya Aya…”
“Bye sayang”
“Bye Aya”

Aku menutup handphoneku. Aku mematikan nada deringnya. Aku menatap ke arah entahlah. Aku mencoba mengatur nafasku, mengatur ritme jantungku. Shit. Apa-apaan sih hari ini? Kenapa semuanya terasa begitu kacau hari ini. Aku sudah bertanggung jawab menghancurkan Arwen, mengarahkannya ke arah yang salah.

Sekarang aku tidak punya pilihan lain selain menerawang jauh, beharap ketika aku membuka mataku nanti, semuanya akan baik-baik saja. Tenang Ya.

Tenang.

Tenang.

Tidak. Tidak bisa tenang. PIkiranku berputar-putar. Berputar-putar diantara Radio Dalam, membayangkan istriku yang sedang hamil. Berputar-putar di tempat ini, membayangkan sulitnya menyudahi kegilaan Arwen.

Dan ini semua gara-gara aku. Bisa kurasakan apapun yang sedang terjadi dalam hidupku kini sedang runtuh. Runtuh perlahan. Hilang, dan lenyap, seperti Matahari yang sedang terbenam di barat sekarang.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
“Biar aku aja yang beliin. Mas kan mau rapat”
“Jangan, ngapain kamu pake beliin buat mereka?”
“Aku mau”
XXX
“Mas nanya kan apa agendaku di Bandung? Itu agendaku, beliin titipan ibunya Mas Arya dan Mbak Kyoko” jawabnya tajam, tanpa melihatku sedikitpun. Matanya masih tersembunyi di balik kacamata hitam.
Korek hu, warna merah harus d lepas
 
Terakhir diubah:
Kayaknya masih ada nama lama yg keselip dan blm diganti nih. @racebannon
Bagian ini:

“Biar aku aja yang beliin. Mas kan mau rapat”
“Jangan, ngapain kamu pake beliin buat mereka?”
“Aku mau”
"XXX"
“Mas nanya kan apa agendaku di Bandung? Itu agendaku, beliin titipan ibunya Mas Arya dan Mbak Kyoko” jawabnya tajam, tanpa melihatku sedikitpun. Matanya masih tersembunyi di balik kacamata hitam.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd