Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Knapa ga dibikin poligami aja si Arya, kayak zaki gitu lah
Kan boleh dr sudut penokohan Aya
 
Blackbird singing in the dead of night....

Di kafe zul...

Gara2 stefan...

Lalu jogja(prawirotaman)...



Susah memang sama news anchor
 
MDT SEASON 2 – PART 55

------------------------------

vhZluUz.jpg

Ingatanku kembali ke Jogja. Ingatan yang pedih sekarang. Tidak ada kebanggaan sama sekali dalam diriku seperti yang didengung-dengungkan oleh Stefan dulu, Kang Bimo ataupun Kang Wira. Mungkin honeymoon period sudah berakhir. Mungkin kesenangan semu itu sudah selesai. Sekarang yang ada hanya penyesalan. Penyesalan kenapa ini semua mesti terjadi. Penyesalan kenapa ada Arwen di dalam kamar nomer 318 di hotel yang bernama Blackbird sekarang. Kenapa dia hanya duduk disana dengan pakaian dalamnya, mencoba mengundangku untuk mengulang hal-hal menyenangkan yang palsu itu.

Kebahagiaanku bukanlah bersama dirinya, dan harusnya dia tidak memaksakan agar diriku menjadi bagian dari kebahagiaannya.

Aku duduk di tangga, setelah selesai menerima telpon dari sumber kebahagiaanku, yaitu istriku. Dan cuma orang tolol yang mengabaikan sumber kebahagiaannya untuk mengejar kenikmatan dunia semata. Pikiranku hanya tertuju ke ayahku sekarang. Almarhum ayahku. Berulang kali aku berusaha mencari hubungan sebab akibat antara kasus yang sedang kualami dan dirinya. Dan aku jadi ingin bertanya, sebenarnya ada masalah apa di dalam kepala ayahku. Kenapa aku menilainya seperti itu.

Dia memang keras dan diktator. Tapi itu lain hal. Sejujurnya, aku dan adikku tidak pernah tahu sebenarnya apakah dia suka ataupun dia pernah terjebak dalam hubungan terlarang di luar nikah. Yang ada hanyalah cerita-cerita dari tante-tante kami, cerita-cerita yang kami curi-curi dengan setiap kumpul keluarga. Cerita-cerita yang digosipkan ketika lebaran. Dan runyamnya, Ariadi Gunawan tewas dalam kecelakaan mobil bersama seorang wanita di dalam mobilnya.

Dan dalam kondisi tingkat alkohol di darah yang tinggi. Makinlah semua omongan itu menjadi-jadi. Terlepas dari kenyataan yang ada, cerita bahwa Ariadi Gunawan adalah seseorang yang suka main perempuan dan tukang selingkuh sudah menjadi kenyataan dalam kepalaku dan adikku, bahkan sampai kami mencapai usia dewasa seperti sekarang ini.

Sekarang aku malah terjebak kepada hal yang menyebalkan itu. Dan aku sudah harus menegaskan ke Arwen, ini salah. Aku tidak ingin merusak kebahagiaanku dan Kyoko. Dan kebahagiaan semu untuk Arwen pun harus dihentikan. Tidak bisa tidak.

Sejenak, aku mengumpulkan tenaga untuk segera berjalan ke dalam kamar, dan menghentikan semuanya. Aku tidak ingin anak itu menjadi semakin hancur. Aku tidak ingin kebahagiaan kami semua hancur. It Has To Stop. Period. Titik.

Sekarang, aku sudah berada di depan pintu kamar, siap untuk membuka pintu itu lagi. Di titik itu, aku sudah siap untuk menerima reaksi seperti apapun juga. Biarlah dia menangis, biarlah dia mengancam, biarlah dia histeris, aku sudah tidak peduli lagi. Aku tidak ingin lagi hubungan yang palsu seperti ini. Sudah jelas tidak ada yang patut dipertahankan lagi. Tidak ada bagus-bagusnya aku mengkhianati istriku lebih lama lagi.

Aku lantas dengan pelan membuka pintu kamar 318 dan bersiap untuk masuk lagi. Aku sudah merasakan aura Arwen mengintip dari pintu yang mulai terbuka.

"Eh, ngapain dimari?"

Shit. Siapa lagi ini? Suaranya sangat familiar, walau terakhir kudengar, sepertinya awal tahun ini, di saat aku sedang mengisi acara tahun baruan, di daerah yang sama dengan sekarang, bersama Hantaman. Dan saat itu, aku menggunakan momen itu untuk melamar Kyoko.

"Eh, Kang?"
"Udah lama ga liat!! Lagi liburan euy ada disini? Istri apa kabar?"

Arry /nif. Shit. Sialan. Kenapa selalu ada orang yang tidak diharapkan di saat yang tidak diharapkan. Situasi yang salah seperti ini selalu saja sepertinya mengundang orang yang kukenal. Sialan, dunia sedang mempermainkanku sepertinya. Mempermainkanku seperti aku mempermainkan kebahagiaan orang lain sekarang.

Dan kenapa dia ada disini sekarang? Ini week days. Week days bukan waktunya liburan. Dan bukanlah dia orang Bandung? Untuk apa dia ada di hotel sore hari ini?

"Eh engga... Istri…. Baik…" oke. Jawaban yang sangat aneh.
"Sama istri?"
"Ah...."
"Sama istri ya?" tanyanya sekali lagi.

"Anu..." sial, kenapa saat ini aku tak bisa berbohong? Tanganku menggenggam handle pintu dengan kaku, berusaha dan berharap, berdoa agar Kang Arry segera pergi. Rasanya benar-benar salah detik ini. Aku sudah terlanjur membuka pintu ini dan aku tidak tahu sudah selebar apa aku membuka pintu masuk.
“Anu? Ayo sama sapaaaa” mukanya menyeringai, bahkan terlihat lebih jahil daripada Stefan dan entah kenapa ada aura aneh yang keluar dari senyuman itu.

Dan sial. Aku sepertinya membuka pintu masuk terlalu lebar dan memperlihatkan Arwen yang masih duduk di kasur, dengan pakaian dalamnya.

"Oh sama itu.... Hahahaha" Arwen kaget dan dia lantas menatap ke Kang Arry. Dia bertemu mata dengan vokalis rock senior itu. Mukanya tampak shock dan dia segera mengambil bajunya di atas kasur dan kabur ke dalam kamar mandi. "Kok kabur? Kayaknya familiar sama orangnya deh?" Kang Arry malah mendadak masuk kamarku dan dia celingukan. Keringat dingin mengalir di punggungku.

Shit. Kang Arry lantas berjalan ke balkon dan menyalakan rokoknya. Tanpa permisi dia duduk di kursi balkon. Dia menatap ke langit yang mulai gelap.

"Sini atuh, temenin!" dia bicara setengah berteriak ke arahku, yang masih tak mengerti kenapa Kang Arry begitu casualnya melihat Arwen setengah telanjang dan berlari ke dalam kamar mandi untuk sembunyi. Dan dia terlihat begitu biasa saja masuk ke kamarku dan Arwen? Apakah diantara orang-orang ini hal semacam ini biasa?

“Udah lama gak ngobrol, terus kayaknya kita ada disini sama ya maksudnya?” dia menyeringai, memperlihatkan kantong kresek yang dari tadi ada di tangannya. Sepertinya dia baru saja dari minimarket. Entah dari minimarket mana. Aku melihat botol minuman ringan dan di dalam kantong kresek itu juga, ada sekotak kondom. Aku mengulum bibirku, mencoba senyum, tapi senyum itu tak keluar. Aku membayangkan apa yang dilakukan Arwen di dalam kamar mandi. Mudah-mudahan dia tidak mencelakai dirinya.

“Ah…. Itu” aku mencoba merespon kalimatnya.
“Ngobrol dulu atuh, ceritain kok bisa sama cewek itu, perasaan..... Itu anak radio kan ya? Cantik juga kalo pake daleman doang….”
"Kang.. Kayaknya kita jangan ngobrol deh.... Gak enak, kasian dia...." aku menjawab Kang Arry, berusaha mengusirnya dengan halus, karena aku mendadak memikirkan soal mental Arwen. Dia pasti kaget karena Arry /ndif melihatnya dan dia masuk dengan biasa-biasa saja.

"Santai aja atuh, biasa aja.... Kita-kita doang kan?" dia melihatku dengan tatapan santai.
"Iya tapi..."
"Asa kenal, penyiar radio di Jakarta ya?"
"Iya Kang....." Aku berdiri dengan tidak nyaman di pintu balkon.
"Gak usah kaku gitu atuh, keren juga ceweknya... Kapan-kapan dioper atuh.... Jangan disimpen sendiri, pamali...."

"Kang, kayaknya ga nyaman deh dianya...."
"Ahaha... Pemalu ya anaknya? Yaudah atuh, kasian kamunya.... Saya juga mesti lanjutin sama cewek di sebelah... Ntar kapan-kapan kita tukeran"
"..." aku cuma bisa meringis miris.

"Ahahaha... salah kayaknya saya main masuk.... jadi gangguin mood kamu" Kang Arry mematikan rokoknya yang panjang itu.
"Iya kang... Maaf ya" aku tersenyum dengan terpaksa. Dia berjalan dengan langkah pelan untuk keluar. Mungkin dia kecewa juga, karena tidak bisa mengobrol denganku seperti yang dia inginkan. Tapi aku butuh dia untuk cepat pergi dari hadapanku, sebelum situasi makin kacau. Sebelum keluar dari kamar, dia melanjutkan kalimatnya lagi di mulut pintu.

"Ntar kapan-kapan oper ya, suka saya sama model-model kayak gitu, saya juga banyak da stok anak radio, gampang lah cewek-cewek kayak gitu, di depan orang aja jaim, digombalin dikit ngangkang" senyumnya. Aku cuma bisa tersenyum balik sambil membuang mukaku. "Yuk ah, sampe ketemu lagi"
"Oke kang" aku menutup pintu dan segera menguncinya. Aku melirik ke arah pintu kamar mandi.

Sial. Pintu kamar mandinya tidak tertutup dengan sempurna. Artinya Arwen yang bersembunyi dapat mendengar semua perkataan tadi. Termasuk semua kalimat-kalimat Kang Arry yang terkesan merendahkan, tapi wajar jika dia berkata seperti itu, karena dia tidak paham posisiku dan Arwen. Dan tidak perlu aku menjelaskan situasiku dan Arwen kepadanya. Untuk apa?

Aku masuk ke dalam kamar mandi dan menemukan pemandangan yang tidak membuatku nyaman. Dia sudah memakai T-shirt lengan panjangnya, walau dia masih memakai celana dalam saja, karena sepertinya dia tidak sempat mengambil celana jeans nya. Dia meringkuk di bawah shower, menutupi mukanya dengan tangannya dan aku bisa melihat pipinya basah oleh air mata. Aku menelan ludah. Perempuan mana yang tidak menangis kalau dia mendengar laki-laki lain ingin mengoper-opernya dan menganggapnya perempuan gampangan?

Dia sedang menangis, harga dirinya pasti jatuh mendengar semua omongan tadi. Harga diri yang sudah dia rendahkan sedemikian rupa agar bisa bertemu denganku lagi, kini semakin jatuh lagi karena dia mendengar kalimat-kalimat yang memberinya cap macam-macam, terutama sebagai perempuan murahan.

"Arwen..." aku berusaha menyentuhnya. Dia menepis lenganku sambil tetap menangis sesenggukan. Aku menatap dirinya sambil duduk di kloset. "Ini kenapa salah satu alasannya saya pengen kita udahan.... Kita gak kayak yang dia omongin tadi"

Dia tidak menjawabku dan tetap melanjutkan tangisannya.

"Makin kita lanjut, makin kacau, makin banyak orang yang ngomong macem-macem... Jujur saya juga marah pas denger kamu dikatain gitu, tapi saya ga berhak ngapa-ngapain, karena kita salah..." aku berdiri dan berjalan keluar, mencari celana jeans Arwen. Aku mengambilnya dan kembali ke kamar mandi untuk memberikan celana itu kepadanya.

"Kamu pake, terus kita pulang ke Jakarta, kita udahin ini semua...." dia masih diam, larut di dalam tangisannya. Tak menjawab, tak merespon. Tadi dia bahkan menepis sentuhanku.
"Menurut kalian aku cewek murahan?" mendadak dia bertanya seperti itu di tengah tangisnya.
"Enggak, bukan kayak gitu... Yang pasti kita salah. Kita gak kayak yang dia bilang, kamu gak kayak gitu, ayo kita pulang"

Dia tetap menangis. Aku tetap menawarkan celana jeansnya untuk dia pakai. Dengan tangan lemah dan gerakan tak niat, dia meraihnya dari tanganku. Aku tidak bisa melihat mukanya yang tertunduk, dan suara tangisnya masih ada. Aku berdiri di luar shower, memperhatikan dia yang masih meringkuk, duduk di lantai, menangis dengan pelan.

Ya, kalau boleh marah, aku juga wajib marah ketika mendengar pernyataan-pernyataan merendahkan tadi. Tapi tidak bisa. Kami berdua salah. Kami berdua salah besar. Wajar kalau ada orang yang mengira seperti itu, apalagi orang yang tidak terlalu kenal. Kang Arry tidak tahu aku seperti apa dengan perempuan. Yang iya tahu hanyalah aku sudah menikah dan sedang ada di hotel dengan perempuan lain yang ditemukan hanya mengenakan pakaian dalam. Dan sebagai orang yang ternyata mungkin tabiatnya seperti Stefan atau lebih parah, dia menilai Arwen seperti itu.

Dan sebelum terlambat, aku akan menyudahi ini. Sudah terlalu banyak tangisan, kemarahan, kekecewaan dan kehancuran. Ini saatnya hubungan tak sehat ini berakhir. Mungkin benar kata Stefan. Kedepannya kami akan seperti orang yang saling tidak mengenal lagi. Tak baik mungkin jika tetap bergaul dengannya.

Arwen akhirnya mengangkat mukanya, menatapku dengan mata merah dan sembab dan ekspresi muka yang amburadul. Dia berdiri dengan pelan, memakai celana jeans itu dengan canggung sambil menatapku dengan tatapan lemah.

"Mas..." Dia tampak ingin memelukku sehabis memakai celananya.
"Jangan..." Aku menolaknya dan dia terhenti. "Kita pulang sekarang...."
"....." dia terdiam dan keluar dari kamar mandi. Aku menatap ke arah cermin, melihat diriku yang terlihat kusut. Bukan Arya yang biasanya. Ini Arya yang kacau.

Kacau, dan sebentar lagi, kekacauan itu akan berakhir.

--------------------------------------------

eco-dr10.jpg

Jalanan Jakarta yang sepi. Tengah malam, aku menuju rumah, setelah menurunkan Arwen di depan kantornya. Tadi dia memintaku untuk mengantarkannya ke rumahnya, aku menolak. Aku sudah cukup trauma dengan kejadian malam itu, sewaktu hujan, dan dia memaksaku untuk menciumnya.

Cukup sudah.

Sepanjang perjalanan dari Bandung ke Jakarta, dia hanya terdiam sambil melanjutkan tangisannya. Tampaknya dia cukup shock dengan ucapan tadi. Atau mungkin dia tidak rela berpisah denganku. Entahlah. Tapi ini semua harus selesai. Ini semua harus berakhir. Aku tidak mungkin lagi melanjutkannya, ini semua sudah terlalu kacau.

Masih dengan jelas terbayang pemandangan tadi. Pemandangan Arwen yang mukanya merah padam karena menangis, berjalan pelan ke mobilku dengan perasaan yang sangat terluka. Matanya masih berkaca-kaca bahkan saat kami sedang mengukur jalan tol untuk pulang ke Jakarta. Dia hancur. Dia hancur karena omongan tadi. Dia mungkin tidak berpikir, bahwa orang akan menganggapnya begitu rendah apabila mereka tahu soal hubunganku dan dirinya. Dia terlena dalam pemikirannya sendiri, berharap bisa memilikiku di luar ikatan resmiku.

Dia membohongi dirinya sendiri.

Sementara aku membohongi istri dan ibuku. Dan adikku sekarang membenciku. Aku juga sudah menyiksa Arwen luar dalam, mengakibatkan dia berbuat hal-hal yang di luar batas kewajaran demi hanya untuk bisa berdua denganku. Ini tidak baik, dan aku sudah mengatakannya dengan jelas, bahwa kami berdua harus benar-benar berpisah ketika aku menurunkannya di depan kantornya.

"Saya udah gak bisa ketemu kamu lagi... Kita udah sampe disini aja" dia diam seribu bahasa saat kalimatku keluar dari mulutku.
"...."
"Saya harap kamu ngerti"

Matanya masih sembab, mukanya masih merah, masih menyisakan tangis sore tadi. Dia benar-benar silent selama perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Aku tidak mengajaknya bicara. Tapi ini sudah selesai. Sudah benar-benar selesai. Aku tidak ingin ada apa-apa lagi terjadi antara aku dan dirinya, dan biarkan kami berdua menata kehidupan masing-masing tanpa saling mengganggu lagi.

Entah siapa yang jadi antagonis sekarang, tapi kami berdua sudah benar-benar harus diakhiri.

Dia sama sekali tidak berkata apa-apa saat turun dari mobilku. Dia diam. Dia bahkan tidak berani menatapku. Entah tidak berani atau enggan. Matanya masih merah, masih penuh dengan perasaan rendah diri yang baru saja dialaminya. Aku tidak tahu apakah dia sudah pernah hancur sebelumnya. Tapi aku sudah menghentikan dirinya untuk lebih hancur lagi. Aku dan dia sudah selesai.

Arya dan Arwen sudah selesai. Tidak ada lagi Arya dan Arwen. Aku bisa fokus ke keluargaku, mengembalikan kepercayaan adikku, menunggu lahirnya anakku dan tidak lagi-lagi mengkhianati Kyoko. Aku tidak akan mengecewakan siapapun lagi. Aku tidak ingin terjebak lagi.

Sekarang mobilku sudah sampai di depan pagar rumahku. Aku mematikan mesinnya dan segera turun untuk membuka gerbang dan pintu garasi. Setelah memasukkan mobilku dan mengunci pagar, aku bergegas naik ke atas, membuka pintu kamarku dan melihat istriku yang sedang tidur.

guitar10.jpg

Aku mengunci pintu kamar dari dalam dan segera merayap ke arah istriku. Aku mencium pipinya.

“Mmnnn?” Kyoko terbangun dan menatap diriku dengan muka tidurnya.
“Sayang”
“Aya…..” Dia lantas menyentuh pipiku dan mengusap-ngusapnya.
“Maaf kemaleman”
“Tak apa”
“Maaf juga aku gak bawa pesenan kamu, aku ribet banget tadi, rapatnya pun di daerah Sersan Bajuri, deket tempat waktu itu tahun baru….”
“Nn? Tempat Aya melamar Kyoko?”
“Deket lah sayang” aku mencium keningnya sekarang.

“Sayang Aya tak bawa pesanan…. Tapi tak apa… Yang penting Aya pulang” dia tersenyum lemah dengan muka ngantuknya.
“Nanti kalo aku ke Bandung lagi aku bawain buat ngasih makan ini ya?” aku mengusap perutnya. Di dalam perut itu ada anakku. Anak kami berdua.
“Baby kangen sama Aya juga seperti Kyoko” istriku berbisik kepada diriku.

Aku tersenyum dan mencium bibir lembut istriku. Rasanya seperti kembali pulang. Kembali pulang setelah perjalanan yang berat. Perjalanan yang penuh petaka. Dan kini, aku sudah selamat kembali ada di rumah. Aku tidak akan mencelakakan diriku lagi. Karena mencelakakan diriku sama dengan mencelakakan istri dan anakku.

Sekarang, ceritaku dan Arwen sudah terbenam. Aku sekarang menunggu Matahari yang lain terbit dari timur.

Anakku.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Bimabet
Cerita Arwen dan Arya memang terbenam, tapi tak menghadirkan indahnya temaram senja...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd