Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

SEASON 2 – PART 60

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

“Kamu beneran ke luar kota? Ini hari keempat kamu gak pulang… Mama mungkin keliatannya biasa-biasa aja dan percaya sama semua alasan kamu, tapi dia pasti khawatir”

Pesan terakhirku ke Ai, pagi itu. Dan tidak ada jawaban dari dirinya. Dia mungkin tidak peduli kalau faktanya, diantara aku dan Arwen sudah tidak ada apa-apa lagi. Aku sedang fokus mempersiapkan show di Pontianak, persiapan ke Jepang akhir tahun dan day job recording – mixing – mastering. Ditambah lagi aku akan segera memiliki anak. Walaupun lahirnya baru pertengahan tahun depan, tapi aku benar-benar antusias. Dan aku yakin Ai juga antusias.

Tapi kami berdua tidak bisa saling berbagi perasaan antusias itu itu. Dia makin berjarak denganku. Dan hari ini – adalah hari keempat dia tidak ada di rumah. Jujur, kalau besok dia belum pulang, aku akan benar-benar mendatangi kantornya dan mencarinya. Aku jadi khawatir kalau-kalau dia tidak masuk kantor selama ini. Entah kenapa aku berpikir seperti itu. Biasanya orang dalam kondisi emosi dan desperate bisa melakukan apa saja. Kabur dari rumah – Bilang I Love You ke laki-laki yang akan menikah dengan orang lain – Nyariin si laki-laki sampai muter-muter Osaka dan Kyoto – Datang pas ulang tahun istri orang dan ngasih kado yang kesannya spesial – Maksa nyium suami orang di mobil – Atau bahkan pura-pura ada urusan di Bandung.

Aku melemparkan diriku ke kursiku, mencoba menutup mataku, sambil memainkan jariku di kursi yang selalu setia menemaniku bekerja di studio ini.

Aku membuka mataku, lalu memainkan lagu yang sedang kumastering di komputer. Sementara musik bergema di telingaku, aku mengambil kertas dan menuliskan apa saja yang harus kubawa ke Pontianak dan Jepang. Cukup sulit mengalihkan pikiranku dari adikku. Aku bertanya-tanya, dia dimana sekarang. Aku pun bertanya-tanya tiap malam, sejak dua hari yang lalu, apakah dia akan pulang? Dan kapan?

Ah, mendadak handphoneku yang dari tadi tergeletak di atas meja bergetar dan berbunyi. Dengan otomatis aku mematikan musik dan mengangkatnya, setelah melihat nama yang tertera di layar. Bukan Ai. Tapi Stefan. Sial.

“Arya”
“Iya” aku menjawab telpon Stefan dan mendengarkan sapaannya.
“Dimana?” tanyanya dengan suara khas dirinya,
“Studio”
“Kok kagak bales wassap?”
“Lagi kerja bego!”
“Wahaha… hari ini lo bakal sibuk gak ngomong-ngomong? Ni hari bukannya jadwal latian quartet elo kan?”

“Iya sih, tapi engga latihan, ga jadi hari ini, Arkanya lagi sakit…” jawabku sambil melirik ke layar komputer.
“Wah bagus, temenin gue berarti siang ini?”

“Orang lain lagi sakit kok lo bilang bagus sih nyet…”
“Bukan gitu, gue mau ngajakin lo jalan, ini gue lagi jalan ke tempat lo sekarang…. Kira-kira 15 menitan lagi nyampe lah”

“Ngajakin makan siang? Gak kepagian buat makan siang?” aku penasaran.
“Bukan”
“Apaan? Ke Cheryl? Mau rapat? Engga di mari aja rapatnya?”
“Bukan juga”

“Kemana? dong” tanyaku sambil menutup mata.
“Ikea”
“Ngapain?”
“Gue butuh perabotan buat ngisi rumah, bego, emang lo seneng kalo rumah temen lo isinya cuman meja TV, sofa, karpet satu, meja makan sama kasur doang?” lanjut Stefan.

“Boleh aja tapi gue belom mandi” jawabku.
“Mandi cuman buat orang-orang yang kotor”
“Elah… Paling berapa lama sih gue mandi? Gak lama kali”
“Lama, bini lo kan lagi trimester pertama, pasti belom boleh ngewe dulu kan, jadi akhir-akhir ini lo pasti rajin coli”

“Sok detektif, kan masih ada cara lain dalam berhubungan seks….” balasku.
“Yaudah….. Bentar lagi gue nyampe rumah lo nih, cepetan mandinya, jangan kebanyakan ngobrol…”
“Lo ga ngantor hari ini emang Fan?”
“Lagi engga, izin gue bilangnya pindahan rumah…”
“Emang enak ya kalo yang punya kantor itu bokap sendiri…….” ledekku.
“Berisik, pokoknya cepetan mandi kalo lo pengen mandi”

“Yowes, kita berdua aja kan?”

--------------------------------------------

eco-dr10.jpg

“Halo Arya” senyum Valentine di bangku sebelah supir, saat aku masuk ke dalam mobil Stefan.
“Elo lagi…. Wah, gue jadi ban serep nih, kok gak bilang-bilang kalo Stefan bawa istri?” ledekku.
“Ngapain pake bilang-bilang? Emangnya gue mau ngerjain apaan kudu pake bilang-bilang segala?” jawab Stefan.

“Iya sih, kalo emang suami istri mah wajar ya belanja furniture bareng…..” tawaku sambil memainkan handphoneku, memberi info pada Kyoko kalau aku akan diculik oleh Stefan dan Valentine. Mobil Stefan lantas berjalan dengan stabil, keluar dari kompleks rumahku, menuju jalan besar dan siap-siap untuk perjalanan yang agak panjang ke arah Alam Sutera.

“Bacot” semprot Stefan sambil fokus menyetir. Rokok ada di bibirnya, bau rokok putih benar-benar terasa pekat di dalam mobil ini. Asap mengepul dan terbuang keluar, lewat celah di jendela mobil ini.

“Lo jadi makin banyak dong ngerokoknya di rumah sendiri nih?” tanya Valentine tiba-tiba. Aku bersandar saja, menikmati jam-jam tanggung, pagi menuju siang ini. Jalanan ramai, walaupun tidak seramai pagi atau sore.
“Abisnya bebas sih sekarang, kalo masih di Cempaka Putih mah harus di pos satpam bareng satpam dan Mang Ujang”
“Kasian amat”
“Bokap Nyokap gue ga suka banget sama rokok”
“Terus anaknya ngerokok ya, kayak elo gini”
“Tiga-tiganya ngerokok semua….” Stefan menceritakan soal kakak dan adiknya.
“Hebat” Valentine bertepuk tangan kecil sambil menatap ke arah Stefan.

“Hebat darimananya….”
“Hebat aja semuanya bisa jadi perokok padahal orang tuanya gak suka rokok….”
“Pergaulan remaja” jawab Stefan sekenanya, sambil tersenyum dan menghisap rokoknya dalam dalam.

“Kalo bokap gue sih ngerokok, tapi anak-anaknya ga ada yang ngerokok”
“Kebalikan dong”
“Adil ya dunia”

Aku tersenyum sendiri melihat interaksi mereka berdua. Entah kenapa jadi ingat interaksi-interaksi intim dan konyol antara Stefan dan Ai. Tapi tentu saja yang ini kelihatan lebih luwes. Aku jadi ingat pernyataan Stefan pada waktu itu. “Gak jadi gue modusin soalnya anaknya asik….”. Alasan macam apa itu. Alasan yang aneh buat gak nidurin cewek sama sekali. Dia entah kenapa jadi terlihat senang berteman dengan Valentine. Oke lah kami suka meledek mereka berdua sebagai pasangan, apalagi Stefan selama ini dikenal tidak ingin memiliki pasangan, tapi melihat mereka, bagaikan melihat sahabat yang gampang sekali klik nya.

Dan Stefan tidak akan pernah mau meniduri temannya sendiri, apalagi kalau seakrab ini.

“Ngomong-ngomong, lo mau beli apa aja Fan?” aku bersuara dari kursi belakang, sambil dengan malasnya mencoba membayangkan adikku ada dimana.
“Paling lemari sih, terus perlengkapan kamar mandi, macem-macem lah, intinya mau ngisi rumah” jawabnya.
“Lemari ngangkutnya gimana pake mobil sekecil ini….”
“Kan bisa dianterin, ada jasa cargonya…”

“Gue sih sebenernya ga pengen beli apa-apa, Cuma nemenin anak ini doang, tapi kalo udah sampe sana, pasti ada aja barang lucu yang bisa dibeli” senyum Valentine dengan manisnya.
“Ah gue sih gak akan beli apa-apa, paling jadi pengen ikut cuma karena pengen makan di restorannya aja” jawabku. Ya, aku dan Kyoko memang kadang beberapa kali sengaja pergi ke toko furniture besar itu hanya untuk makan di restorannya.

“Yakin?” tanya Stefan sambil tersenyum licik dan mobilnya merayap di jalanan dengan santainya.
“Yakin lah… Mau beli apa coba?”

Aku tertawa saja, sambil menikmati perjalanan, karena memang apa coba yang harus dibeli di tempat itu kalau memang tidak perlu-perlu amat?

--------------------------------------------

63645510.jpg

“Baby Crib?” tanya Valentine ke diriku.
“Iya” aku tersenyum nyengir.
“Katanya ga bakal beli apa-apa nyet? Itu Baby Crib? Boneka? Malah belanja dia….” sinis Stefan sambil mengantri di kasir.

Iya, aku membeli baby crib, boneka yang netral, dan beberapa keperluan bayi lainnya yang…. mungkin belum perlu untuk detik ini. Tapi aku sudah terlanjur mengantri bersama berbelas-belas orang lainnya di kasir, sambil menunggu giliran untuk membayar.

“Seneng kayaknya punya anak ya”
“Seneng banget” jawabku ke Valentine.
“Pengen tau gue punya anak….”
“Bikin gih berdua” ledekku.

“Sial” jawab Stefan dengan malas.
“Hahahaha”

Aku tertawa melihat ekspresi muka Stefan sambil maju selangkah, mendekat ke kasir dan menunggu kembali.

“Kyoko tau gak lo belanja ini?” tanya Stefan mendadak.
“Engga”
“Mau lo rahasiain ya?”
“Iya, kejutan, walau sebenernya lebih lucu sih kalo belanja bareng dia, cuman dia kan terlalu rajin di Mitaka, walau load kerjaan udah dikurangin sama Zul, tetep aja….. Tetep sibuk….” jawabku.

“Gak bete gitu dia lo belanja kebutuhan anak sama dia?”
“Just to be honest, sebenernya kita belom ngerencanain kayak ginian… Paling ntar malem dia kaget kok ada barang-barang besar di kamar yang siap dirakit”
“Dia sih gak mungkin bete lah” lanjut Stefan.
“Yah, lo kenal sendiri kan orangnya kayak gimana?” balasku.

Valentine Cuma tersenyum tipis, sambil menatap ke arah lain, mencoba untuk tidak mencampuri pembicaraanku dengan Stefan yang sepertinya semakin pribadi. Yakni membicarakan istriku. Melihat gesturenya yang agak sedikit merasa tersisih, maka akupun membuka mulut lagi untuk mencairkan suasana.

“Eh lo tuh belom pernah main ke studio gue ya?” aku mencoba beramah-tamah dengan Valentine.
“Belom”
“Kapan-kapan maen dong, pas kita lagi latihan atau pas kita lagi apa gitu, sayang aja udah jalan sama Stefan, sampe udah beli perabot buat tinggal bareng gini, tapi belom pernah maen ke tempat kita ‘kerja’ “ candaku.

“Hahaha iya juga ya, studio itu tempat kerja kalian, kantor kalian…”
“Apalagi buat label sih, most of the work ya disana….”
“Dan elo sendiri yang kerja disono sementara Anin ngajarin anak-anak main bass dan uler satu ini ngantor di kantor punya bokapnya” dia menunjuk ke Stefan.
“Makanya gue sendirian kerjanya, dibabuin mereka berdua, kasian kan?” tawaku.
“Kasian bangettt”
“Makanya main ke studio deh, bantuin sekalian nemenin gue repot gara-gara manusia ini”
“Hahaha boleh…”

“Taik, mulai keluar nih tanduknya laki orang” potong Stefan.
“Paan?” balasku.
“Lo tuh natural banget sih kalo flirting sama cewek” lanjut si setan alas ini.
“Hah? Gue gak ngerasa dia flirting kok” bingung Valentine sambil menekuk mukanya. Kami maju selangkah lagi. Sebentar lagi proses bayar membayar akan dimulai dan kami bisa mulai makan siang yang telat.

“Hati-hati, ntar lo jadi kelewat nyaman sama dia, terus pas udah sadar…. Patah hati deh” tawa Stefan.

“Cemburu yak” senyumku.
“Mana ada gue cemburu?”
“Cemburu nih, udah makanya buruan kawin, di protect Valentinenya…. Will you be my Valentine girl…. And I'll give you my heart…. Forever…. Be my Valentine girl….. And I won't let you go… No never….” aku menyanyikan bait dari lagu New Kids On the Block itu di muka Stefan.

“Monyet belom pernah makan sikat WC ya??” Stefan mencari-cari Sikat WC di kantong plastik besar yang digendong oleh Valentine.
“Hus, susah ah Fan…” Valentine tampak risik karena tangan Stefan masuk ke kantong itu untuk mencari sikat WC yang sebenarnya tidak ia perlukan sekarang.

“Udah buka cepetan…”
“Udah mau main buka-buka aja? Halalin dulu kali Fan?” ledekku

“Gue kafir, monyong!! Ngapain pake di halal-halalin” hardik Stefan kesal.
“Tetep aja ga bole kan di luar nikah” aku menangkupkan kedua tanganku, bergaya seperti orang suci.

“Asu…”

“Silakan pak selanjutnya!” teriak sang kasir memanggilku. Aku tersenyum ke kasir dan mulai memposisikan barang belanjaanku di barisan, agar dia mudah mencatat harganya di mesin kasir. Aku meninggalkan Stefan begitu saja. Haha, ada-ada saja, katanya playboy, katanya raja memek, tapi sekarang digodain sama cewek tengsin setengah mampus.

Padahal katanya temen. Hahahaha, temen. Yah, yang baik-baik aja deh buat mereka, jangan sampai Valentine Cuma jadi korbannya Stefan. Sayang sudah berteman se akrab ini lalu rusak gara-gara seks. Ya, jangan sampai mengulang kesalahanku dulu. Walaupun mereka berdua single, tapi tetap saja, kadang seks merusak pertemanan.

--------------------------------------------

guitar10.jpg

Aku sudah kembali ke rumah dan aku sudah menata barang-barang yang baru saja tadi kubeli di kamar, masih di dalam kardusnya. Aku belum berani merakit baby crib ini karena memang belum ada tempat yang didekasikan untuk calon anak kami berdua. Barang-barang yang kecil seperti boneka dan alat-alat makan bayi aku tempatkan di atas kasur, dan sore ini aku bisa kembali lagi ke pekerjaanku.

Dengan lega, aku duduk sejenak di sofa kecil di kamarku dan membalas beberapa pesan yang masuk. Baik di grup Hantaman, maupun dari istriku. Aku mengirim pesan kepadanya kalau ada kejutan ketika nanti pulang ke rumah, sekalian aku menawarkan apakah dia mau aku jemput dengan menggunakan mobil. Dan memang belum dibalas dengan cepat, mungkin dia sedang repot dengan pekerjaannya di Mitaka sana.

Aku juga melihat beberapa pesan excited dari Kyou-Kun, mengetahui bahwa aku akan ke Jepang lagi, walau tanpa Kyoko, dan juga kami bertukar kabar terbaru dari diri kami masing-masing. Salah satunya, ketika Kyoko nanti melahirkan, dia akan datang ke Jakarta untuk menyambut kelahiran sang bayi.

Dan masih tanpa pesan dari Ai.

Ini sudah hari ke empat, dan rasanya tadi miris. Biasanya yang bercanda-bercanda tolol dan suka diledekin pacaran itu Ai dan Stefan. Sekarang Ai entah kemana. Sejak kejadian itu memang dia semakin jauh-jauh dan jauh.

Kami sudah seperti tidak saling mengenal lagi.

Aku menutup mataku, mencoba mengumpulkan niatku untuk kembali merayap ke arah studio, sambil menunggu kabar dari Kyoko. Kabar apakah dia ingin dijemput atau tidak.

Dengan perlahan, aku merayap ke bawah, setelah keluar dari kamar, dan aku mendengar suara di dapur. Suara orang beraktivitas. Ada suara air yang dituangkan ke gelas. Siapa kira-kira? Kyoko tak mungkin, ibuku juga pasti masih di apotik kalau jam segini. Aku bergegas turun ke bawah, dan berjalan ke arah dapur, hanya untuk menemukan sosok yang selama ini kurindukan.

“Eh” aku kaget saat melihat adikku di dapur. Tampangnya terlihat lelah, dengan setelan baju kantor, dan ransel yang dia bawa waktu kabur beberapa hari yang lalu.
“….” dia diam saja dan dia menatapku dengan tatapan datar. Dia duduk di kursi, terlihat benar-benar seperti kecapekan.

“Kamu…”
“Aku baru dari luar kota, baru sampe dan gak ke kantor lagi untuk hari ini, in case kalo Mas penasaran kenapa pesannya gak aku jawab-jawab” dia sepertinya bisa membaca apa yang ingin kutanyakan. Aku menarik nafas panjang dan membuangnya.

“Kamu kan bisa ngasih tau ke aku, aku nanya tiap berapa jam sekali?”
“Aku bisa milih langsung ngasih tau ke Mama”
“Oh…” aku hanya menjawab pelan sambil menatapnya. Menatapnya sambil berharap ada celah dia akan memaafkanku, atau celah untuk memperbaiki hubungan kami berdua yang sudah rusak ini.

Tapi aku tidak ada ide dan tidak ingin memaksakan kehendakku. Kalau dia belum sipa menerimaku kembali sbeagai kakaknya, ya sudah, tak apa, masih banyak waktu lain untuk mengembalikan kehangatan di keluarga ini seperti sedia kala.

“Yaudah, aku kerja lagi…. Kamu istirahat…” aku membalikkan badanku dan aku berusaha berjalan ke arah studio.
“Sebentar” dia memanggilku.
“Hmm?”
“Aku mau ngomong sebentar sama Mas Arya”

Nada bicaranya terdengar tegas dan datar. Entah apa yang ingin dia bicarakan. Tapi aku merasakan ada hal-hal besar yang mungkin akan kudengarkan dari dirinya. Aku berbalik kembali, berjalan ke arah meja makan, menarik pelan kursi yang biasa kududuki, lalu aku duduk.

“Aku pengen banget ngomong sama kamu”
“Dan mas tau kan aku lagi gak kepengen ngomong sama Mas…”
“Tau… Tapi asal kamu tau aja, dia emang bener gak bakal jadi rekaman sama anak-anak Pierre T… Dan harap kamu tau, itu kerjaan dan aku udah ga ada apa-apa lagi sama dia. Sama sekali” aku mencoba mengulang omonganku malam itu. Malam dimana dia pergi, entah kemana.

“Dan aku juga punya hak untuk benci sama kalian” jawabnya.
“Aku gak bisa larang, emang pantes dibenci kok, kalau Mama tau dan Kyoko tau juga, mereka pasti akan benci aku seumur hidup mereka…”
“Hhh…. Mereka gak sampe hati kayaknya untuk benci sama Mas… Mas kenal mereka, jadi pasti bakal tau apa yang mereka lakuin. Mama bakal nasehatin Mas habis-habisan, kalo Mbak Kyoko pasti nyalahin dirinya sendiri….” jawabnya pelan, tanpa berani menatap mataku.

Mungkin bukan tidak berani. Dia malas melihat mataku dan malas merasakanku. Tapi dia berkata kalau dia ingin bicara dengan diriku. Dan aku ingin sekali bicara dengan dia.

“Yang pasti aku gak akan kayak gitu lagi, dan itu janji….”
“Hmm…”
“Jadi… Apa yang mau kamu omongin sama aku?” tanyaku dengan

“Aku butuh Mas…”
“Aku juga butuh kamu banget…” balasku dengan agak tak sabar.
“Bukan… bukan butuh yang kayak Mas Bayangin… Ini lebih soal aku butuh Mas untuk jadi wali nikahku..”

“Apa?”
“Wali nikah” jawabnya pelan sambil menatapku.
“Kenapa??”

“Karena papa dan ayahnya papa udah gak ada” jawabnya pelan.
“Bukan… Nikah??”
“Bukannya semua orang butuh untuk menikah?”

“Iya tapi…. Sama siapa?” aku menekuk jidatku sejadi-jadinya, dan aku sama sekali tidak bisa membayangkan dirinya menikah dengan siapapun. Terlebih karena aku tidak tahu dia dekat dengan siapa. Aku sama sekali tidak tahu informasi apapun soal dirinya, dan dia sudah lama tidak cerita apapun soal hubungannya. Bahkan sebelum dia tahu soal Arwen, dia tidak pernah bicara soal hubungannya dengan laki-laki manapun.

Dia lantas menjawab dengan penuh percaya diri.

“Zul”

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd