Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Kenapa secepat ini..?
Ga da side story nya dari sisi Ai kah..?

Jangan jangan Ai sempet khilaf bareng Zul gegara suntuk karena Mas-nya yang khilaf sama Arwen...
Memang telah terjadi kikuk kikuk antara Ai dan si Zul ... Makanya Ai minta di nikahi ma di Zul ... Mudah mudahan ada scane nnya
 
SEASON 2 – PART 60.5 - ZUL & AI
ZUL'S POINT OF VIEW

--------------------------------------------

dsc_8810.jpg

“Aku naik gojek ke rumah kamu. Mas Arya bikin ulah lagi” pesan yang kuterima dari Ai membuatku kaget.
“Eh, aku masih di Mitaka…. Gak mau kesini dulu aja?”
“Nggak, ada Mbak Kyoko, gak enak aku ntar di tanya-tanya” jawab Ai.

“At least kamu dimana dulu gitu, jangan ke rumah pas aku gak ada, ntar Ayah sama Ibu bingung lagi kayak waktu kemaren itu….”
“Aku butuh kamu…. Kacau banget dia. Kenapa sih bisa jadi kayak gitu? Kenapa dia jadi kayak gitu? Kenapa? Salah apa Mbak Kyoko?”

“Gak tau, dari dulu dia gak pernah ada tanda-tanda bakal jadi orang yang begitu, sayang…”
“Zul… Jangan belain dia mentang-mentang kamu temen kuliahnya”
“Aku gak belain dia…”

“Yaudah, aku nunggu dulu di mana gitu…”
“Kamu ke Starbucks sektor 9 dulu deh, yang deket McD, tau kan?”
“Tau”
“Yaudah, nunggu disana aja…. Nanti aku jemput, hati-hati ya? Ntar aku bilang ke Ayah Ibu dulu kalau kamu nginep lagi”

“Iya” jawab Ai.

Aku menarik nafas panjang. Sial, semenjak si Arya ada apa-apa sama Arwen, hidupku pun jadi agak repot begini, terutama dalam menampung adiknya yang muak atas kelakuan kakaknya. Tapi aku juga tidak bisa menasehati kakaknya. Aku tidak ingin kakaknya tahu kalau aku tahu soal kejadian ini.

Lagipula, bukannya hubungan aneh diantara mereka berdua sudah selesai ya? Tapi dalam perselingkuhan, hubungan putus nyambung mungkin sekali terjadi.

“Kyoko” aku memanggil rekan kerjaku, sekaligus istri temanku yang berulah itu.
“Hai?”
“Gue nelpon dulu ya bentar”
“Oh baik Zul, silahkan”

Aku berjalan keluar sambil menggerutu dalam hati. Kurang apa sih si Kyoko, kenapa sih si Arya mesti bikin ulah sama perempuan lain. Perempuan lainnya Arwen lagi, dan aku juga baru tahu di malam sewaktu Arwen datang bawain martabak manis, pas ulang tahun Kyoko. Ada-ada aja. Dan malem itu, Ai langsung kabur, bikin kita semua heran, dan aku yang paling heran. Perasaan gak ada apa-apa, tau-tau main kabur, terus habis itu kasih pesan, minta nginep di rumah.

Dan kalo urusan cewek nginep di rumah, itu bikin aku pusing, minta izinnya ke Ayah dan Ibu gimana. Walau umur gue sekarang 32 tahun, tapi kan masih numpang di tempat orang tua..

Aku menarik handphone dari saku celana dan mencari-cari nomer telpon rumah. Tak lama kemudian, setelah telpon mulai tersambung, ada jawaban dari sebelah.

“Assalamualaikum” oh, ibu.
“Wa’alaikum salam Bu, ini Zul”
“Oh, kamu toh, kenapa?”
“Anu… Mau ngasih tau….”
“Ngasih tau apa kok ngomongnya pelan gitu, susah kedengeran…”

“Ai mau nginep lagi malam ini di rumah”
“Aduh…”
“Iya Bu..”
“Kenapa mesti gitu sih? Gak baik nginep di rumah pacar itu… Ada apa lagi kali ini?”

“Yah, masih sama bu, masalah keluarga…. Zul gak tau mesti ngomong apa, dia udah jalan ke Bintaro tau-tau…”

“Gak baik keseringan nginep di rumah pacar itu..”
“Tapi kan ini baru kedua kali Bu…”
“Kalo dibiasain gak baik, masa gak bisa sih, kalau ada masalah keluarga, diomongkan baik-baik di keluarganya sendiri, kok mesti kabur ke kamu?”

“Zul gak tau Bu…”
“Jangan gak tau-gak tau, itu tuh pacar kamu, coba kamu kasih tau… Kalo sekarang Ibu mau ngomong apa? Ntar jangan lupa wassapin Ayah, kasih tau juga, jangan nanti Ibu yang ngomong terus dia bingung, si Zul kok gak ngasih tau langsung….” kesal sang Ibu.

“Iya Bu”
“Yaudah, nanti malam kayak waktu itu, kamu tidur di luar, dia tidur di kamar, jangan dibiasin, belum nikah kok nginep-nginepan!”
“Iya Bu”

“Yaudah, jangan lupa solat nya jangan bolong!”
“Gak pernah bolong kok Bu”
“Alhamdulillah kalo gitu, yaudah, jangan dibiasain ya, nanti kamu bilangin, kalo Ibu atau Ayah yang bilang langsung ke dia kan gak enak, kesannya gimana gitu”

“Oke Bu… Makasih… Assalamualaikum..”
“Wa’alaikum salam”

Huff. Kutarik nafas panjang sambil meregangkan tangan, menatap kemacetan Kemang, dan ada satu mobil yang mendekat, masuk ke parkiran. Aku segera memasang muka ramahku lagi, dan berjalan masuk ke dalam Mitaka. Kenapa, kenapa ya Allah, Arya mesti kayak gitu, bikin pusing adiknya aja.

--------------------------------------------

Sejak tempatku rebranding jadi Mitaka, aku jadi dekat dengan Ai. Dia sering kesini sehabis kerja, bela-belain untuk ngobrol dengan kakak iparnya. Tapi karena kakak iparnya terlalu sibuk menyiapkan makanan dan kerjanya terlalu rajin, jadinya dia sering ngobrol denganku. Lama kelamaan kami ngobrol menjadi intens, dan tanpa sadar, waktu itu tangan kami berdua bersentuhan, ketika Mitaka sedang sepi.

Kami lantas tersenyum, dan sejak itu, Ai dan Zul menjadi berbeda.

Bulan puasa yang penuh berkah, waktu itu. Karena sehabis lebaran, aku jadi punya pacar. Pacar yang cantik dan baik, walau agak galak dan kadang suka sulit menyembunyikan perangai galak dan agak panasannya itu. Hingga petaka itu tiba.

Waktu itu ulang tahun Kyoko. Dan kupikir, baik apabila dirayakan di Mitaka, mengundang para tamu-tamu reguler, termasuk mengundang Arwen, yang sudah lama tak datang. Setiap kutanya kapan bisa ke Mitaka, dia selalu jawab maaf Mas Zul, saya lagi sibuk. Dan alasan-alasan masuk akal lainnya yang selalu kurelakan. Padahal dulu, sebelum rebranding jadi Mitaka, dia setiap seminggu sekali selalu datang kemari.

Setelah keramaian ulang tahun selesai, mendadak, orang yang kunantikan datang. Arwen datang membawa martabak manis, makanan favorit Kyoko. Dan mendadak, dengan tiba-tiba juga, Ai langsung pergi. Gesture yang aneh menurutku. Dan waktu itu Arya langsung mengejarnya. Aku memilih untuk diam, tidak berusaha mencampuri urusan mereka berdua. Dan akhirnyapun, Ai lalu pergi begitu saja, memilih untuk tidak meneruskan keceriaan malam itu. Gilanya, sewaktu aku memeriksa handphoneku, dia bilang dia sedang dalam perjalanan ke rumahku.

Aku kaget, dan bingung, ada apa? Bukannya tadi alasannya adalah mau ambil barang yang tertinggal di kantor? Panik, aku coba menelponnya dan dia tidak mengangkatnya malah dia mereject beberapa telpon yang masuk.

Dan benar saja, setelah aku kemudian pulang, Ai sudah ada di rumah, diam dengan seribu bahasa di ruang tamu. Tidak sulit untuk menemukan rumahku, karena dia sudah pernah main kesana beberapa kali. Aku juga bingung, kenapa sampai sekarang dia memutuskan untuk tidak memberitahukan hubungan kami berdua ke kakak dan kakak iparnya.

Katanya dulu, suka gampang putus sama cowok kalo habis cerita sama Mas Arya, jadi kita jalanin dulu aja lah dengan santai. Dan aku setuju, tidak urgent juga untuk memberi pengumuman, memangnya kita anak SMA yang baru jadian?

Tapi sekarang mendadak tidak santai, karena setelah kedatangan Arwen ke Mitaka, dia tiba-tiba ke rumahku.

Orang tuaku tentu bingung, kenapa dia bisa ke rumahku malam-malam, tanpa angin, tanpa hujan, tanpa permisi dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Waktu itu dia hanya bilang, masalah keluarga, dan ingin menginap di luar rumah. Tidak ingin pulang ke rumah.

Aku bingung, ada masalah keluarga apa? Tapi dia bertahan tidak ingin memberitahukanku langsung, dan aku terpaksa meminta izin, memohon-mohon kepada kedua orang tuaku yang tampaknya enggan dan tidak nyaman dengan ide Ai tidur di rumah, walaupun pada akhirnya mereka berdua mengizinkannya. Mereka berdua tahu bagaimana caranya bersikap di depan Ai. Walau mereka tak nyaman, tapi mereka tidak menolak dan tidak lantas jadi sinis kepada Ai. Mereka cuma tidak suka situasinya saja, bukan tidak suka orangnya.

Dan ketika tengah malam tiba, aku dibangunkan oleh Ai yang tidur di kamarku. Dia keluar dan membangunkanku yang tidur di sofa. Aku duduk dan lantas berbincang dengannya. Ternyata masalahnya pelik.

Arya, gitaris kita itu, ternyata selingkuh dengan Arwen. Aku tidak tahu detilnya, karena sepertinya Ai juga tidak tahu. Ai berkata, bahwa kakaknya mengaku padanya setelah mereka pulang dari syuting video klip di Bandung. Dan waktu itu Ai marah besar. Dia lantas menjadi dingin ke Arya.

Ini berita yang sangat mengagetkan, Arwen dan Arya memang terlihat akrab di hadapanku, terutama setelah Arya berkenalan dengannya di panggung. Tapi sampai membayangkan mereka ngapa-ngapain? Oh tentu aku tidak berani. Aku yakin Arya tidak akan mungkin jadi lelaki yang seperti itu, karena menurut desas-desus yang kudengar, selain karena sang Ayah yang terlalu strict dan galak, kedua kakak beradik itu juga tidak menyukai sang ayah karena banyak gosip-gosip perselingkuhan di sana sini.

Jadi menurutku impossible, Arya maupun Ai, terjebak dalam hubungan terlarang di luar nikah.

Pada saat ulang tahun Kyoko itu aku merasa sangat berdosa, karena aku yang mengundang Arwen untuk datang. Disana aku merasa terpukul, karena Ai sebenarnya kabur karena tidak ingin melihat Arwen di depan mukanya. Dan aku adalah orang yang bertanggung jawab mengundang Arwen.

Setelah serangkaian minta maaf dan mencoba mengklarifikasi, dia akhirnya memelukku. Dia bilang, dia tidak mau punya kakak yang seperti itu. Dia tidak ingin kakaknya mengkhianati Kyoko. Dia tidak ingin kakaknya menjadi seperti ayahnya. Aku hanya bisa menelan ludah waktu itu. Ide bahwa Arya akan selingkuh saja tidak pernah terbersit di kepalaku. Sederhana saja. Punya istri secantik, semanis, sebahenol dan sebaik Kyoko lalu selingkuh? Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?

Bukannya aku ingin membandingkan antara Kyoko dengan Arwen, tapi setan apa pula yang menjadikan Arya tega menyelingkuhi Kyoko dengan Arwen? Gila apa? Tipe mereka berdua berbeda. Kyoko sangat keibuan. Arwen, walaupun suka ber make up dan berdandan se quirky mungkin, dia masih terlihat tomboy. Sedangkan Kyoko, semua garis di tubuhnya sangat berbau kewanitaan, begitu feminim sampai-sampai semua gerak geriknya sangat wanita.

Entahlah setan apa yang merasuki pikiran Arya. Ai menangis di hadapanku malam itu, sehingga aku harus mengantarkannya kembali ke kamar, memeluknya, menciuminya dan menungguinya sampai tertidur.

Dan malam ini, terulang lagi. Ai memelukku di belakang dalam boncenganku, dan kami berdua sedang merayap pelan dari tempat kami bertemu tadi ke rumahku. Bintaro malam hari, sudah mulai sepi, tak seramai Jakarta yang tampaknya mati enggan, wafat pun tak mau. Dia menyandarkan kepalanya di punggungku, dan aku merasakan ada rasa kesal yang luar biasa dari aura pacarku.

img_2011.jpg

Kami akhirnya sampai di depan rumah. Dia turun dari motor dan aku juga, membuka gerbang, memasukkan motor dengan rapih di parkiran, dan kami berdua masuk ke dalam rumah dengan perlahan. Orang tuaku menyambut kami berdua.

“Assalamualaikum Tante... Om…” Ai tersenyum dengan mukanya yang memerah dan matanya sudah berkaca-kaca, hasil menahan tangis malam itu.
“Wa’alaikum salam Ai… Kamu kenapa?” tanya Ibuku dengan senyum. Ibuku walau kesal karena pacarku menginap lagi di rumah, tapi dia bisa menutupi rasa kesalnya dengan baik. Dia tahu anak ini ada masalah.

“Lagi pusing tante, ada masalah di rumah….”
“Oh ya udah, istirahat dulu, udah malem, kalo mau makan ada makanan di dapur, Om sama Tante mau tidur dulu, udah malem…. Nanti biar Zul yang urusin kamu…. Tapi kalo nanti pagi mau ngobrol, kami siap dengarkan kok” senyum Ibuku dan Ayahku Cuma manggut-manggut saja.

“Iya, makasih ya udah boleh nginep… Maafin aku…” senyum Ai dengan kecut.
“Gakpapa sayang”
“Makasih….”

“Udah istirahat, mandi, lalu tidur, biar ringan masalahnya”
“Iya”

--------------------------------------------

“Dia masih pacar kamu, bukan istri kamu. Kamu jaga dia ya, Ayah Ibu tidur dulu” pesan whatsapp dari ayahku menutup malam itu. Aku sudah berpakaian tolol, kaos dan training belel andalan untuk tidur. Aku duduk di sofa di depan TV, sambil menunggu Ai selesai mandi di kamar mandi. Entah apa yang menyebabkan dirinya lama untuk mandi.

Aku ingin mendengar lagi ada kejadian apa malam ini. Aku ingin sekali mencoba membuatnya kuat menghadapi masalah ini. Di sisi lain, aku juga merasa berdosa karena aku tidak kuasa untuk menghentikan apapun yang Arya lakukan di belakang Kyoko. Ditambah lagi, sekarang Kyoko hamil. Tidak tega aku membayangkan nasib si anak, kalau nanti tahu ayahnya ngapa-ngapain di belakang ibunya.

“Zul…” Ai mendadak menghampiriku. Dia memakai T-shirt kebesaran, mungkin bekas Arya dan celana pendek bermotif polka dot.
“Eh sini, biar aku aja yang taro handuknya” Aku bangkit, mengambil handuknya dan menggantungkannya di tempat yang seharusnya. Tak lama kemudian aku berjalan ke arah kamarku. Ai sudah di dalam sana. Aku melongok masuk. Dia sudah terlihat berbaring, meringkuk di atas kasurku.

“Langsung tidur?”
“Gak tau..”
“Cobain tidur dulu aja, aku di luar, kalo butuh apa-apa panggil aja…..”
“Iya”
“Gak mau ngobrol dulu tapi? Biar agak ringan, yang pasti sharing soal kakak kamu bisa bikin kamu sedikit lega kan?” aku berusaha menggali penyebab kejadian malam ini.

“Gak… Mau cobain tidur” jawabnya dengan nada datar dan terdengar desperate.
“Oke… Aku di luar ya…”

“Iya” dia tidak melihat sedikitpun ke arah mataku. Aku pun tersenyum dan menutup pintu dari luar. Tak lama kemudian aku kembali tiduran di sofa di depan TV, mulai mengambil remote dan menyalakan televisi, untuk melihat siaran apa yang cocok menemaniku tidur. Waktu sudah hampir jam setengah 12 malam, dan aku juga butuh istirahat, karena kegiatan-kegiatan yang melelahkan di Mitaka. Mungkin besok pagi dia bisa ngobrol sejenak.

--------------------------------------------

messy-10.jpg

“Hng?” aku kaget dan melihat ke handphoneku. Miss call. Nomornya nomor Ai. Sekarang masih jam 12 malam. Gila, aku cepat sekali tertidurnya. Sementara Ai mungkin sulit tidur di dalam. Aku melihat ke media sosial dan memang ada pesan dari pacarku itu.

“Aku pengen ngobrol….” tanpa emoticon, tanpa ucapan-ucapan desperate dan marah. Mungkin kemarahannya sudah reda sehabis mandi dan berusaha tidur. Aku beranjak, dan dengan langkah agak goyang karena agak ngantuk, aku membuka pintu kamarku. Aku melihat Ai meringkuk sambil mencoba menghapus air matanya.

“Eh?” aku kaget dan mencoba mencari kertas tisu. Setelah dapat, aku menghampirinya dan duduk di sampingnya, sambil memberikan tisu kepadanya. Dia menerimanya dan dia langsung menghapus air matanya, sambil beringsut pelan dan memeluk kakiku.

“Enggak bisa tidur?” tanyaku.
“Ga bisa”
“Udah siap ngobrol”
“Mungkin?” jawabnya tak pasti dengan nada suara yang bergetar.

“Ada apa lagi malem ini?” aku mencoba membayangkan hal-hal yang terburuk, seperti Kyoko tahu soal Arya dan Arwen tapi dia tidak berusaha menunjukkan rasa frustasinya, ataupun Arwen hamil seperti halnya Kyoko.

“Dia…”
“Kakak kamu?”
“Iya…”
“Bikin apa lagi?”
“Dia ketemuan lagi sama Arwen….”

“Apa?”
“Ssst….” Ai menyuruhku memelankan suaraku, khawatir aku akan membangunkan orang tuaku. Tapi sepertinya tidak mungkin. Kamar mereka ada di lantai atas.

“Tau dari mana?”
“Instagram…”
“Kok bisa? Ngapain lagi?”
“Entahlah... meeting sama band yang diproduserin Mas Arya….. tapi ga tau… Aku udah terlanjur benci sama mereka semua”
“Mereka semua itu siapa?”
“Mas Arya… Arwen… Bahkan mungkin Stefan yang tau juga soal mereka…. Ga tau…”

“Tapi kan kamu bilang waktu itu, kalo mereka udah selesai…”
“Kata Mas Arya sih gitu… Tapi gak tau… Rasanya marah aja ngeliat perempuan sialan itu bareng Mas Arya…”
“Coba ulang lagi, dari awal….”

“Jadi aku liat perempuan itu di instagram bareng Mas Arya, aku marah, aku berantem sama Mas Arya dan aku pergi” Ai menatapku dengan matanya yang terlihat tampak tak bergairah itu.
“Masuk akal kalo kamu marah, tapi si Arya bilang kan kalok itu cuma urusan kerjaan kah?”
“Iya”
“Kamu percaya sama dia?”

“Gak tau. Susah percaya sama orang rasanya akhir-akhir ini”
“Percaya sama aku gak?” tanyaku sambil membelai rambut panjangnya yang sudah mulai mengering itu.

Dia mengangguk pelan, sambil menatap ke arahku. Aku tersenyum dan memegang pipinya.

“Wajar kalo kamu marah, tapi kamu juga jangan lantas jadi impulsif lari ke sini”
“Jadi kamu gak seneng kalo aku lari ke kamu?” balas Ai.
“Seneng, tapi waktunya gak pas… Aku gak enak sama orang tuaku soalnya”
“Maaf… Aku gak tau lagi harus kemana dan ke siapa” dia menghela nafas. “Aku udah terlanjur terlalu deket sama temen-temen Mas Arya dan dia, jadi aku di kantor gak ada temen yang bener-bener deket, paling juga temen kuliah dulu yang deket….. Jadi aku gak punya tempat kabur lagi sekarang… Masa mau ke Mbak Dian, ntar gangguin keluarga dia” dia mengutarakan keruwetan isi kepalanya dengan gamblang.

“Tapi kok aku punya firasat kalo Arya sama si Arwen udah gak ada apa-apa lagi”
“Dia juga bilang gitu, tapi gak tau. Aku masih ga bisa nerima liat ada foto mereka bareng….”
“Ya mungkin Arya mau coba buat profesional, kayak sama Karina tempo hari kan dia bisa tuh…. Mungkin sekarang juga kalo kita pikir dengan cara pandang yang sama, sebenernya fine-fine aja…. Asal emang ga ada apa-apa lagi antara dua orang itu”

“Gimanapun aku pengen ketemu kamu malem ini, kepalaku udah terlalu pusing, cuma bisa netral lagi kalo bareng kamu…..” bisik Ai.
“Hehe… Ngomong-ngomong, kok ransel kamu isinya banyak amat, emang mau kemana? Besok abis ngantor pulang kan?”

“Aku ke luar kota juga minggu ini, aku bawa aja dulu baju yang banyak, karena aku gak tau, kapan aku bisa pualng lagi dan liat Mas Arya di rumah…..”
“Ngerti” Aku memeluk kepala Ai dan mencium rambutnya dengan pelan.

“Temenin aku sampe tidur” bisiknya.
“Iya”
“Makasih”
“Sama-sama”

“Senyum dulu dong” bisikku, mencoba membuat dirinya sedikit ceria.
“Gak mau…” aura malas terdengar di telingaku.
“Senyum dikit aja… Biar ntar aku tidurnya enak” aku sedikit menggodanya dengan maksud agar membuatnya tertawa.

“Cium aku dulu”
“Eh?”
“Cium…”

“Sini”

Aku membiarkannya bangkit dan bibir kami berdua bersentuhan dengan pelan. Perlahan kami berdua berciuman dengan lembut, dan aku bisa merasakan kalau Ai sedang berusaha melepaskan ketegangan dan kemarahan di kepalanya. Dia butuh release. Dia butuh sesuatu yang menenangkannya. Tanpa sadar kami berdua berpelukan, dan berciuman dalam diam. Dia memeluk bahuku dan mencoba untuk merasakan bibirku di tengah kamarku yang gelap itu.

Ai melepas bibirnya, matanya tertutup dan nafasnya terdengar di telingaku. Aku tersenyum kecil dan membelai lembut rambutnya.

“Sekarang mana senyumnya?” bisikku.
“Nnn…” Ai malah menciumku lagi dengan lembut. Aku tak punya pilihan lain selain meladeninya. Rasanya begitu menenangkan buatku. Terbayang rasanya kalau tiap malam, sehabis capek dari Mitaka, aku bisa melakukan ini bersamanya tiap malam.

Pacarku bergerak pelan ke arahku, dan aku menyambutnya. Sambil berciuman dengan tenangnya, dia naik ke pangkuanku. Aku memeluk pinggangnya yang ramping dan dia memeluk punggungku dengan nyamannya. Kami masih terus berciuman, dan sepertinya kami berdua bisa berciuman sampai pagi.

Di sisi lain, aku merasakan nafas Ai semakin berat, dan rasanya ada sesuatu yang ingin dia ledakkan. Bahasa tubuhnya seperti gelisah. Aku diam-diam menelan ludah, karena aku tahu ini ujungnya kemana. Ai mendadak mendorongku dengan kekuatannya yang lemah. Aku lagi-lagi tak punya pilihan selain pasrah. Aku lantas mengikuti gerakan badannya dan berbaring di atas kasur. Dia ada di atas tubuhku. Sejenak, dia melepas bibirnya dan dia lantas duduk tegak.

“…..”

Ai mendadak menarik T-shirt kebesaran itu dan dia membukanya. Aku menelan ludahku sendiri. Malam ini mungkin kami akan sampai ke tahap ini. Aku tak peduli soal dirinya, sebelum aku, dan aku yakin dia juga tak peduli soal aku sebelum dirinya. Aku hanya menikmati tubuh ramping itu, yang kini tanpa atasan. Kulitnya putih, halus, dan aku secara refleks memegang pinggangnya. Buah dadanya tidak besar, tapi proporsional dengan tubuhnya. Dia menatapku dengan tatapan penuh hasrat, dan aku tahu hasrat apa itu.

Pacarku dengan gerakan pelan yang membius, lalu turun dari pangkuanku dan berdiri di samping kasur. Dia menatapku dengan tatapan yang butuh perlindungan. Dia lantas melepas celananya, dan menunjukkan tubuhnya yang polos tanpa ada sehelai kainpun yang menutup dirinya.

Dia menatapku sambil menutupi buah dadanya yang indah itu dengan tangannya. Aku terpaku melihat dirinya di kegelapan kamarku. Rasanya membius. Dan walaupun ada kekhawatiran semua hal yang terjadi disini diketahui oleh orang lain, tapi rasanya aman. Melihat Ai rasanya aman.

Perempuan yang kadang meledak-ledak ini terlihat kalem tanpa pakaian.

“Sayang…” bisikku sambil berusaha bangkit. Tadinya aku mau berdiri juga, tapi dia menahanku dan aku hanya bisa duduk di pinggir kasur. Aku memeluknya, meraih pinggangnya dan menempelkan perutnya di kepalaku. Dia memeluk, melingkari kepalaku dengan tangannya dan dia mencium rambutku. “Aku bener-bener gak habis pikir kenapa kamu harus ngalamin hal kayak gini” aku melanjutkan kalimatku.
“Biarin aku punya kamu aja malam ini” balasnya sambil tetap memeluk kepalaku.

Tanganku melepas dirinya dan aku berusaha untuk membuka bajuku. Ai membantuku, dia membantuku melepasnya. Dia lantas duduk di bawah, dan menarik celanaku pelan-pelan, sambil menatap mataku dengan sendu. Tak lama kemudian, kami berdua benar-benar telanjang bulat. Kami diam. Kami berusaha untuk tidak memperdengarkan suara yang mencurigakan.

Ai lalu meraih bibirku dengan lembut dan kami berdua kembali berciuman dalam kondisi telanjang. Aku menikmatinya, menikmati bibirnya yang tipis itu. Kepalaku lari ke ingatan-ingatanku tentang dirinya. Betapa kami berdua sangat menikmati bicara dengan intim di Mitaka. Betapa senyum manisnya selalu mengganggu malamku dan membuatku membayangkannya. Membayangkan bicara panjang lebar tanpa henti dengan dirinya.

Aku bahkan merindukan semua gesturenya saat dia mulai kesal, saat dia mulai terlihat galaknya. Aku butuh perempuan yang seperti ini.

Dan sekarang aku merasakan tangannya yang hangat merayap di pahaku, dan berusaha meraih kemaluanku. Aku terkesiap ketika tangannya menggenggamnya. Kemaluanku sudah berdiri tegak sedari adegan ciuman pertama tadi. Rasanya begitu nyaman. Bibir kami berdua saling bersentuhan dengan lembut, dan aku benar-benar suka dengan semua gerakannya yang pelan dan nyaman ini.

Aku lantas melepas bibirnya dan menempelkan hidungku ke hidungnya.

“Aku pengen selamanya kayak gini” aku membisikkan kalimat-kalimat pengharapanku ke telinganya. Dia mengangguk dan dia lantas tersenyum. Aku tersenyum balik. Akhirnya dia tersenyum. Ai lantas mulai bergerak perlahan, dia mencium leherku, pelan tapi pasti merayap kebawah. Dia mencium dadaku, menyentuh perutku dan terus menjelajah.

Aku pun kaget ketika bibirnya yang lembut itu menyentuh kemaluanku. Dia menciumnya dengan pelan, dengan gerakan yang lembut.

Nafas panjang secara otomatis tertarik ke dalam paru-paruku saat dia mengulum kemaluanku, perlahan. Aku merasakan kecanggungan disana, tapi aku tidak peduli akan kecanggungan. Aku hanya peduli kepada Ai. Aku hanya peduli kepada betapa nyamannya dia terlihat sekarang.

Pemandangan yang mungkin agak canggung ini membiusku. Dengan agak ragu-ragu dia mengulum kemaluanku. Aku tak tahu kenapa dia mesti canggung. Apakah dia takut bahwa aku jadi berpikir macam-macam soal dia sebelum aku? Apakah dia takut kalau gerakannya tidak akan memberikan kenikmatan kepadaku? Tapi aku pasrah, karena aku tak peduli. Aku memberikan dorongan lewat tanganku, membelai dan menata rambutnya yang panjang itu agar tidak mengganggu apa yang ingin dia lakukan kepadaku.

Dia menatapku, dia menatapku sambil terus mengulum dengan pelan. Aku meraih pipinya dan membelai dagunya, membiarkannya melakukan apa yang ia lakukan sekarang. Lama-lama gerakannya semakin lancar dan luwes, karena tembok keraguan kami berdua sepertinya runtuh.

Aku bisa merasakan aku menegang dengan maksimal, dan aku benar-benar merasakan kenikmatan yang perlahan memenuhi kepalaku. Aku benar-benar menikmatinya.

Dia cukup lama melakukannya, karena dia benar-benar melakukannya dengan lembut dan pelan. Tak satupun ada cacat dari tadi. Tak satupun dia melakukan hal yang salah. Semuanya terasa benar dan semuanya terasa pas.

“Sayang…” aku berbisik dan dia melepas kemaluanku dari mulutnya. Aku bisa merasakan nafasnya yang berat, yang sedang ia tahan agar tak terdengar memburu. Entah kenapa, dia terlihat begitu anggun malam ini. Dan aku sudah siap untuk naik ke tingkat hubungan yang lebih lanjut.

Aku meraih tangannya dan menariknya ke pangkuanku. Dia menatapku dengan seksama dan penuh penghayatan, lantas dia tersenyum tipis. Dia duduk di pangkuanku dan aku bisa merasakan permukaan daerah sensitifnya menyentuh kemaluanku. Aku menarik nafas panjang dan mencium pipinya. Dia balas menyentuh hidungku dengan hidungnya. Aku mencium telinganya dan dia membalasnya. Aku memeluk pinggangnya dan menariknya masuk ke dalam pelukanku.

Kemaluanku mulai mencari jalan ke dalam dirinya. Kami sedang berusaha untuk bersatu.

“Aahh…” erangnya pelan saat kami sedikit demi sedikit menjadi satu tubuh. Tidak terasa sulit, walaupun juga tidak terasa mudah. Semuanya terasa tepat.

“Sayang…” bisikku.
“Mmh..” dia mencium pipiku dan dia mulai menggerakkan badannya, memberikan kenikmatan pada diri kami berdua. Ai dengan gerakan yang pasti, menjadi dirigen orkestra percintaan ini. Dia sedang ingin mengambil kendali atas tubuhku. Tangannya lalu mendorong dadaku, kembali membuatku tertidur di atas kasur. Dia lantas mengambil alih.

“Aahh….” Dia mengerang pelan, pelan sekali dengan suara yang tipis dan menggoda. Pinggulnya bergerak dengan gerakan yang pasti. Aku bisa melihat tubuh rampingnya bergoyang dengan indah di atas diriku, sebuah gerakan tarian bercinta yang sangat indah di mataku.

Aisyah Ariadi Gunawan.

Mahluk cantik dan indah ini sedang bergerak dengan anggunnya di atas tubuhku. Pahaku bisa merasakan bokongnya, dan dia bertumpu di kakiku. Aku menyentuh pahanya, dan menikmati betul-betul pemandangan indah ini.

Dia bergerak dengan pasti, rambutnya tergerai, menutupi bagian-bagian misterius lehernya yang membuatku takjub. Hidungnya yang mancung menghiasi ekspresi mukanya yang sedang menikmati perbuatannya sendiri. Pinggulnya bergerak naik turun, seperti seluruh hidupnya bergantung pada kemesraan kami malam ini. Ai bergerak dengan irama yang konstan, dengan segala kehangatan yang mampu ia berikan malam ini.

Kepalaku dipenuhi oleh dirinya. Kenikmatan yang indah ini kurasakan dalam diam. Aku hanya mampu menatapnya, hanya mampu menatap tubuh telanjang Ai yang sedang merasakan kenikmatan bersamaku pelan-pelan, berusaha memadu kasih dan berusaha menjadi satu.

“Ungghh…” aku bisa merasakan nafasnya mulai memburu, dan dia menurunkan intensitas gerakannya. Dia menatap mataku dan menggigit bibirnya, sepertinya dia ingin bertukar peran. Tanpa pikir panjang aku langsung meraih pinggangnya, memaksanya untuk turun dan menciumku. Aku memasukkan dirinya dalam pelukanku dan aku berhasil menggenggam dirinya dengan tanganku. Aku berbalik dan menimpa dirinya, semua itu kulakukan dalam gerakan yang pelan dan hati-hati. Dengan sadar, aku menggenggam pahanya.

Tapi dia lantas bertumpu di sikunya, berusaha untuk menciumku. Karena hal ini, tanganku melepas pahanya dan lantas bertumpu di samping tubuh Ai. Dada kami berdua bersentuhan dan aku fokus melepaskan gerakanku ke dalam tubuhnya. Aku mencium lehernya dengan lembut dan aku bisa merasakan nafasnya memburu di telingaku, analog dengan gerakan tubuhku untuk memuaskan dirinya.

Tubuhku ada di dalam dirinya. Dan tubuhnya memberikan reaksi-reaksi yang kubayangkan. Tak jarang dia mencoba menahan erangannya karena dia menikmatinya.

“Zul… Sayang… Aku..” dia berbisik pelan, dengan nafas yang tidak karuan.

Aku tak membalas ucapannya dan fokus ke gerakan tubuhku. Aku bisa merasakan diri kami sebentar lagi bercampur. Ada perasaan nyaman yang kurasakan saat menggauli dirinya yang begitu hangat.

Ai menutup matanya, kepalanya lunglai ke belakang. Rambut panjangnya jatuh begitu saja, tak melawan rasa yang sedang bergejolak di dalam tubuhnya. Sadar ini sebentar lagi berakhir, aku memaksimalkan diriku di dalam dirinya. Aku memberikan yang terbaik malam ini. Dengan penuh hasrat, aku terus bergerak, dan makin lama kenikmatan itu menuju puncaknya. Dia merayap, menipu indramu, sehingga kau tidak bisa merasakan yang lain lagi selain Ai.

“Nnhh…” Ai Jatuh lunglai ke kasur. Tangannya sudah tidak mampu lagi berkuasa atas tubuhnya. Tubuhnya siap menerima kenikmatan. Dia panik dan menutup mulutnya dengan tangannya, menahan erangan yang mungkin muncul. “Nnn…” Matanya tertutup, dan bisa kurasakan mukanya cerah, seperti bersinar di tengah kegelapan. “Mmmnnnn….” Aku terus berada dalam dirinya.

“Nnh.. nhhh… Nnnnnn….” Dia menggelinjang pelan dan aku lantas keluar dari tubuhnya. Bisa kurasakan ada cairan hangat yang berontak keluar setelah aku berpisah tubuh dengan Ai. Dan nafasnya kembali normal. Aku pun kembali normal. Ai membuka mulutnya dan bisa kudengar nafas lega dan nafas bahagia dari dirinya. Aku menjatuhkan diriku dengan pelan ke samping dan kami berdua berpelukan. Dengan sangat erat.

Dia mencium dadaku dan menatap mataku dengan dalam, dan tersenyum. Dia tidak bicara apapun detik itu. Tapi dari tatapan matanya, aku bisa menyiratkan kalau dia merasa begitu nyaman denganku. Dia merasakan kenikmatan bersamaku. Dia tersenyum tipis, lalu bergerak perlahan, mencium bibirku dengan lembut.

“Aku sayang kamu…. Aku gak bisa laluin ini semua kalo gak sama kamu” bisiknya pelan, hampir tak terdengar, tapi aku paham maksudnya karena aku benar-benar merasa dia tak bisa meng-handle kekacauan di keluarganya akhir-akhir ini tanpa membuka diri untukku.

“Ai” bisikku.
“Ya?”
“Aku kepikiran sesuatu dari tadi” aku mencium pipinya dan dia menyambutku.

“Apa itu?”
“Kamu mau nikah sama aku?” aku membisikkan kata-kata itu di telinganya. Kami baru dekat sehabis lebaran, dan walaupun sekarang rasanya cukup singkat, tapi aku tak peduli. Aku butuh dirinya.

Aku siap dengan jawaban apapun, tapi yang kuterima malah lebih hebat lagi.

Ai tersenyum manis, dengan lebar. Dia mengangguk. Dia lantas memeluk leherku dan kemudian dia membisikkan sesuatu di telingaku.

“Sama kamu aku damai” dan kami berdua mengakhiri malam itu dengan ciuman erat. Keinginanku untuk selalu bersama Ai akan terwujud dalam hitungan waktu manusia. Dan malam ini jadi saksi bahwa kami berdua tidak mau berpisah lagi. Kami tidak akan pernah berpisah lagi.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Makasih updatenya suhu..zul hebat juga bisa tetap ramah ke arya..walaupun arya sudah mengecewakan ai sm kyoko..
 
Hm...
Bener khilaf Ai & Zul...
Btw.. prewi nya Ai oleh siapa yak..?

Itu terjadi di rumah Zul yang notabene tinggal bersama ortu... apa ga berisik tuh 'kegiatan' mereka..?

Moga moga ga kegep sama ortu nya Zul pas bangun pagi nya....
 
Terakhir diubah:
Mantap kali takaran dan asupannya Hu. Memang paslah itu pasrah dan ikhlas akan merekatkan keduanya dalam waktu lama. Proud that always know Zul an Ai will be happilly ever after...
 
Thanks updatenya suhu


seger juga liat POV selain dari para karakter utama gini, keren lah Zul
 
Wanjir unexpected turn. Bukan plotnya, tp SSnya Ai. Ga terduga setelah ratusan episode, akhirnya muncul juga si cantik ini (cantik krn dr deskripsi2 terdahulu gw pny pembanding yg serasi dgn Ai) dalam adegan intim.
 
Ini scene yang dari dulu aku tunggu, scene ai ngentot
 
Punya istri secantik, semanis, sebahenol dan sebaik Kyoko lalu selingkuh? Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?

Woi zul woi...apaan u meratiin bini org. Nah kan u bantai juga tu si Ai 😁

Smua komengnya tentang SS nya Ai vs Zul. Seperti dah nungguin aja 😁

Mgkn konfliknya Toni vs Bagas berhubungan dgn Ai & Zul?

Makasih apdetnya ya om sedikit tercerahkan gmn jadian Ai dgn Zul :beer:
 
:mantap::mantap::mantap::mantap:
:baris:;););););)

Akhirnya seorang Aisyah Aryadi Gunawan yang keras kepala takluk pada Zul ...

Makasih suhu RB ...

Ngena banget nih part ini , walau pun cuma 1 part , memang cuma di Zul yang terbaik buat si Ai ...


Mudah mudahan masih ada part lagi buat mengulas mereka ..

:rose::alamak::panlok1::panlok1:
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd