Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Bimabet
Jadi pengen tau perasaannya si vale gimana ya, sering diajak jalan, jadi tempat curhat, tp si stefannya biasa aja
 
Tour Jepang sepertinya kali ini luar biasa.....
:ngeteh:
 
Malam jumat nih kayaknya, pasang lapak sambil jualan pisang
 
SEASON 2 – PART 62

--------------------------------------------

dsc_8810.jpg

"Minggu depan ke Pontianak?" tanya Zul kepadaku.
"Iya, capek ngebayanginnya...."
"Sama siapa aja selain Hantaman?"
"Frank's Chamber sama Speed Demon...." jawabku dengan malas sambil menghirup kopi panas di Mitaka.

Di meja yang lain, Ai dan Dian tampak asyik berbincang. Kami habis saja mengobrol di weekend yang cerah cenderung panas ini. Walaupun Ai masih dingin terhadapku, tapi dia sudah mau banyak bicara, karena mau tak mau, ini adalah pertemuan untuk membicarakan rencana pernikahannya. Pernikahannya dengan Zul, teman kuliahku, dan rekan kerja Kyoko. Kyoko sedang bekerja di belakang dapur.

"BTW Ya..." bisik Zul.
"Kenapa?"

"Gue kan kasian sama bini lo, jadi gue mau kasih libur tiap weekend sekarang, tapi dia kok gak mau... tolong dong bilangin ke dia, gue rada khawatir kalo dia sampe hamil gede tetep ga mau ngurangin intensitas kerjaannya" dia berbisik kepadaku dengan suara pelan.

"Ntar gue omongin, gue juga udah bilang supaya ngurangin load kerjaan, dan dia udah setuju kan gak sampe malem banget sekarang, tapi tetep aja.... Gue gak tau dia ngapain aja kerjaannya disini..."

"Nah, dia tuh masih selincah sebelom hamil, jadi tolong Ya, bilangin ya"
"Siap... Walau pasti susah, dia kerajinan sih anaknya....." jawabku.

Zul cuma tersenyum sambil menatap Ai di meja sebelah.

"Kenapa lo gak ngasih tau dari awal sih haha.... Gue malah seneng pas tau kalian bareng.... Kalo tau dari dulu kan lebih enak" aku membuka pembicaraan soal hubungan Zul dan Ai.
"Adek lo gak mau ngasih tau ke orang-orang katanya...." jawab Zul sambil tersenyum kecil.
"Kenapa emangnya coba…"
"Gak tau.... Dia bilang ke gue sih, dia udah cukup banyak pacaran dan males ngasih tau orang-orang untuk yang sekarang karena dia gak mau gagal lagi" lanjut temanku itu.

"Walau agak aneh tapi gue bisa agak-agak paham sih, mungkin dia bener-bener pengen serius sama elo Zul, jadi dia berusaha play safe dari pandangan lingkungan yang udah pasti kepo kalo dia punya pacar lagi" tawaku.

"Mungkin..."
“Elo jadi adik ipar gue” aku menonjok tangannya dengan pelan.

“Halo Mas Arya….”
“Taik aneh banget kedengerannya”

“Gyahaha”
“Ntar abis nikah rencananya kalian mau tinggal dimana?” aku bertanya, sambil berharap Ai tak pergi dari pandanganku. Tapi kalau dia memang ingin meninggalkan rumah kami, aku tidak bisa melarang dan tak bisa membantah.

“Di tempat gue dia pengennya sih, walau gue gak papa kalo tinggal di rumah kalian mungkin? Karena lebih deket ke Mitaka….” Zul tersenyum kecut.

Aku balas tersenyum. Aku agak paham kenapa Ai tidak ingin tinggal di rumah lagi sehabis menikah. Mungkin dia ingin kebebasan dari aku. Dia tidak ingin melihatku dulu. Mungkin. Entahlah.

“Atau kalian pengen tinggal di tempat sendiri? Ada rencana ngontrak atau KPR gitu? Si Stefan nemu rumah lumayan enak sih, kecil tapi, di Pondok Labu” aku memberi Zul ide.
“Berapaan dia beli?”
“1 M”

“Haduh… Nabung dulu kali ya… Lo tau kan penghasilan dari Mitaka gak fantastis… Plus gue juga bukan anak orang tajir kayak si Stefan gitu….” jawab Zul tersenyum.
“Yah, bahkan gue aja belom punya rumah sendiri kok Zul…”
“Emang elo pengen gak tinggal disitu lagi?”

“Ah, mana mungkin gue ninggalin nyokap sih? Gue bakal tinggal dan beranak pinak disana kok” jawabku dengan membayangkan berhari tua disana bersama Kyoko. Akhir-akhir ini hidup jadi lebih ringan karena aku jauh dari masalah, walaupun aku dan adikku belum berdamai.

“Emang bagus nemenin tante terus sih Mas” Zul mengeluarkan pendapatnya sambil sedikit meledek statusku yang akan menjadi calon kakak iparnya.
“Awas kalo lo udah nikah sama adek gue terus manggil Mas, gue jadiin senar gitar ntar” balasku sambil mencibir.

“Ah, akhirnya beres juga” Kyoko berjalan lalu duduk di sebelahku. Tak pakai lama dia langsung bersandar ke bahuku dan dia berbisik. “Tadi habis cuci piring Aya”
“Yaudah, bentar lagi pulang, aku capek… Harus nyiapin stamina buat ke Pontianak”
“Eh? Kyoko kan belum selesai jam kerjanya?” bingung istriku.

“Balik aja, lagian sabtu minggu gini biasanya sepi, rame tuh kalo weekdays” komentar Zul, yang membuat istriku heran karena dia tampaknya tidak terbiasa untuk santai-santai.
“Eh, nanti yang temani Zul bekerja siapa?”
“Gapapa balik deh, mendingan istirahat ya gak?”
“Tapi… Bagaimana…”

“Pulang yuk” aku tersenyum ke Kyoko.
“Tapi…”
“Udah pulang aja” Zul menyuruh Kyoko sambil tersenyum juga.

“Demo Aya… Shigoto.. Mada owatteimasen ne….” keluh Kyoko dalam Bahasa Jepang, menyatakan kalao pekerjaan belum berakhir.
“Kyoko wa.. Ano…” aku menggaruk-garuk kepalaku.

“Karatan ni orang Bahasa Jepangnya….” Zul menggelengkan kepalanya sambil melirik sekali-kali ke arah adikku yang tampaknya sedang terus-terusan asik ngobrol dengan Dian.
“Udah lama gak dipake…” aku mengulum bibirku sambil memainkan jariku di atas meja. Kyoko mendadak tersenyum sambil menarik bajuku.

“Kyoko akan pulang kalau Aya belajar bahasa Jepang lagi…”
“Tapi kan kamu diajakin pulang biar istirahat, kasian babynyaaa…” keluhku.
“Kata dokter tidak apa Aya.. Masih belum tiga bulan”
“Bentar lagi tiga bulan tau…”

“Iya sebelum Aya ke Jepang itu tiga bulan, tapi sekarang belum, Aya” senyum istriku dengan manis.
“Hadeh…”
“Jadi bagaimana Aya?”

“Yaudah lah belajar bahasa Jepang lagi biar kamu mau pulang… Ayok…” aku menarik jarinya ke atas dan aku lantas berpikir, bagaimana caranya untuk melarangnya bekerja di sabtu dan minggu sementara dia tampaknya ingin selalu bekerja dengan rajin?

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

15195810.jpg

Teriakan Kang Bimo terasa memekakkan telinga, riff-riff gitar yang kasar dan dentuman drum yang ramai saling bersahutan menyapa malam di khatulistiwa ini.

Pontianak.

Mereka berdua sedang memperkosa Pontianak.

Lirik absurd, riff gitar yang unik, dengan suara yang nyelekit, hasil proses berbelas-belas efek gitar mungkin, dengan settingan drum yang benar-benar rumit. Duo asal Bandung ini benar-benar menarik. Tadinya mereka bertiga, tapi di tengah perjalanan sang bassist keluar, dan hanya menyisakan dua orang aneh ini. Mereka katanya sempat bermain dengan beberapa bassist cabutan. Tapi tidak ada yang benar-benar nyantol ke musik mereka. Akhirnya mereka memutuskan untuk main berdua saja.

Walaupun panggung terasa lowong karena mereka cuma berdua, tapi musiknya terasa penuh. Kang Bimo bermain gitar bagaikan tiga orang bermain gitar. Kang Wira bermain drum bagaikan dua orang bermain drum. Dan penonton menggila bagaikan puluhan orang sedang bermain musik di atas panggung.

Sang drummer tampak asyik menggila. Sang gitaris tampak asyik bermain-main dengan efek gitar, menyuarakan nada-nada aneh. Walaupun musik mereka keras, tapi auranya tidak depresif maupun kelam. Lirik-lirik mereka absurd, dan seratus persen bercanda.

Tidak ada yang sekeren mereka menurutku. Main musik bercanda, bikin lirik bercanda, hidup sehari-hari bercanda, tapi pencapaiannya serius. Kang Bimo tampak menggunakan gitar Fender Stratocaster berwarna merah-hitam, dengan stiker PDI Perjuangan yang diparodikan, bantengnya menjadi babi. Dan ada tulisan pakai tipe-x di bodi gitar itu. Tulisannya “IEU TEH PIANO” alias “ini piano” padahal semua orang juga tahu kalau itu gitar. Dia memakai sneakers, celana pendek berwarna coklat muda, dan t-shirt hitam dengan lambang Batman di tengahnya. Tatonya tampak bercahaya, karena keringat yang membasahi badannya.

Sedangkan si gondrong nanggung Kang Wira memakai T-shirt yang bergambar muka kucing dengan tulisan “BURUNG KENARI” besar di bawah muka kucing itu. Benar-benar duo yang aneh. Proyektor di panggung menghadirkan image-image yang tak kalah anehnya pula. Ada video seorang petani sedang memacul tanah tak berhenti-berhenti sejak dari tadi mereka mulai bermain. Videonya di loop.

Heran. Dan mereka sukses dengan bercanda sebagai darah dan daging mereka.

“Keren ya Mas, bisa kayak gitu padahal cuman berdua” bisik Nanang di telingaku malam itu, memuji Frank’s Chamber yang bermain sebelum Hantaman. Aku menatap ke arah panggung dari backstage, sambil memikirkan hal lain. Manggung di Jepang. Manggung yang akan jadi tantanganku. Jadwal yang super padat untukku, karena aku bermain di dua unit musik. Kalau manggung yang seperti hari ini, di Pontianak, itu sama saja seperti manggung-manggung kami lainnya di kota-kota di Indonesia. Lagipula kami pernah main di Pontianak sekali dulu, tapi baru sekarang yang atas undangan Edwyn.

Manusia unik itu terlihat di backstage sedang melakukan gerakan seperti pogo. Atau pogo. Atau entahlah. Dia memakai kaos tanpa lengan berwarna biru muda atau biru tua atau putih, celana pendek berwarna meriah dan dia memakai baret di kepalanya. Kacamata hitam dia pakai walaupun malam.

Dia tampak serius mendengarkan musik sambil duduk, dengan tangan seperti melakukan gerakan pogo. Beberapa kali dia mencoba mengajak ngobrol Bagas yang memang duduk di dekatnya. Bagas tidak merespon, tapi Edwyn masa bodo. Dia terus mengajak Bagas ngobrol tanpa peduli.

Sesekali kalau aku ke WC atau mengambil air minum dan kami berpapasan, dia pasti mengatakan “top gan” di tengah kalimat-kalimatnya yang aneh.

“Itu si Edwyn unik ya Mas” bisik Nanang lagi, dan di bahunya bertengger sebuah Handuk yang digunakan untuk menghapus keringatnya tadi.

“Unik apaan, aneh” bisikku sambil memperhatikan Kang Bimo yang sedang menyanyi di depan lautan manusia, sambil memainkan gitar dengan efek-efek aneh. Kang Wira sedang menggebuk drum dengan settingan ribet itu, memainkan nada-nada unik lewat perkusi, untuk mengisi kekosongan di aransemen alat musik mereka yang tidak lengkap.

“Iya tadi saya ditawarin kopi tapi aneh mas, warnanya ijo, terus gak panas, anyep gitu lho…. Kayak suhu kamar gitu”
“Hii” aku bergidik mengingat minuman aneh itu, yang ada serpihan-serpihan ngambangnya, bagai air di toilet yang tidak disiram secara sempurna.
“Terus lo minum?”
“Ya saya kan ndak enak kalo nolak, saya minum aja…”
“Kayak kopi gak rasanya?” tanyaku penasaran, karena Edwyn mengaku kalau itu kopi.

“Kayak teh malah mas, rasanya lucu juga, tapi bukan lucu unik gitu mas… Lucu kayak Komeng gitu maksud saya…”
“Komeeeeenggg…” tawaku sambil melirik ke Edwyn yang tampak berjalan dengan gaya hampir pogo sempoyongan menuju entah kemana, mungkin dia mau cari sawah dan guling-guling telanjang disana, seperti yang Kang Bimo informasikan kepadaku.

“Makasih ya Mas omong-omong” bisik Nanang mendadak.

“Buat apa?” aku menekuk jidatku.

“Diajak ke sini, baru sekali ini saya ke Kalimantan” senyumnya.
“Hehe, sama-sama…. Seneng juga bawa kalian”

“senenggak gan? mantap gan?” mendadak Edwyn muncul di hadapan kami. Entah darimana dia muncul. Mungkin dia menyublim.
“Eh… Mas, makasih udah undang Speed Demon ya…” Nanang menyalami Edwyn dan Edwyn membalasnya dengan gerakan yang agak canggung.

“samamamsama Gan…… Nanti abisin ikem ana Gan? Minum gan? Top Gan.”
“anu…”
“Iya paling ke hotel…” aku menjawabkan untuk Nanang.
“Oke nantisayab aw abotol ya Gan… mantapgan nantiminumgan katanyaStefansukaminum kan Gan?”

“Iyaa….” aku mengangguk saja sambil menyetujui apapun yang dia katakan. Orang-orang Pontianak yang kutemui dari tadi tampaknya juga jarang yang bisa mengerti Edwyn.
“Mantap Gan. Hantamannanti main jugakeren knan Gan? mantepgan”
“Iya….”

“TOP GAN”

--------------------------------------------

hqdefa10.jpg

“Itu orang kenapa Fan?” aku menatap ke pojok kamar. Stefan memegang botol minuman keras di tangannya dan dia menuangkannya ke gelas kertas. Sedangkan botol plastik yang berisi soda ada di tanganku. Kami berdua menatap ke pojok kamar sebenarnya.

“Gak tau, udah mabok kali” bisik Stefan.
“Tapi dari tadi gue gak liat dia minum Fan”
“Entah”

Kami sedang menatap ke Edwyn yang sedang melakukan gerakan pogo tanpa lagu di pojok kamar, menghadap ke dinding. Dia tampak happy. Tampak bahagia. Entah kenapa kancing celana pendeknya terbuka jadi kapanpun celananya bisa melorot. Mudah-mudahan dia memakai celana dalam di balik itu.

Bagas sudah tidur di kamarnya, Sena tepar juga. Di kamar ini ada aku, Stefan, Kang Bimo, Kang Wira, Anin, dan keempat awak Speed Demon. Kami semua melakukan kegiatan yang sama, menatap ke arah Edwyn.

“Itu kenapa sih Mas?” tanya Billy ke Kang Bimo.
“Teuing, gelo meureun”

“Gue ga percaya kalo orang ini yang bawa kita ke mari Fan”
“Hmm” Stefan menenggak minuman dari gelas plastik itu dan lantas memainkan handphonenya, dia lalu diam-diam merekam video Edwyn yang sedang pogo di pojok kamar sambil menghadap dinding.

Pogo tanpa lagu. Baru kulihat ada orang yang begitu malam ini.

“Eta si gelo teh tadi nginum teu sih?” tanya Kang Wira ke Kang Bimo.
“Teuing”
“Aneh amat Mas” bisik Panji.
“Teuing”

“Sumpah aneh” Stefan beranjak setelah mengambil video Edwyn. Dia beranjak ke balkon, lalu menarik rokok dari kotaknya dan dia tampak menelpon ke seseorang. Omongannya tampak serius. Mukanya tidak se-ekspresi biasanya. Entah kenapa aku mencium gesture yang berbeda dari Stefan. Mukanya agak terlihat pusing, seperti waktu ada kasus dengan Chiaki.

Tanpa sadar aku berjalan juga, bangkit dari pinggir kasur yang jadi tempat dudukku tadi dan menyusul Stefan ke balkon.

“Kenapa Fan?” dia sudah selesai menelpon.
“Gapapa”

“Muka lo gak kayak ngomong gapapa”
“Ah, gapapa kok, santai men…” Stefan tersenyum dan dia menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Ada problem?”
“Gak ada”

“Lo gak nyaman lagi karena Ai mau nikah?”
“Gak, gue gak segitunya sama adek lo, dia cuma sobat gue kok” jawab Stefan.

“Bukan, gue bukan nanyain soal perasaan suka-sukaan, tapi mungkin kayak dulu lagi, waktu sebelom gue nikah atau sebelom Anin nikah, lo juga kayak gini, mungkin lo ngeasa ditinggal lagi?” tanyaku.

“Enggak, bukan, gue juga ikut seneng kok soal adek lo.. Kita semua tau gimana susahnya dia nyari cowok yang cocok sama dia….” balas Stefan.
“Tapi lo tetep ngeluh lho pas mabok waktu itu, ngeluh soal ditinggal temen nikah lagi”
“Yah, itu template gue kok tiap ada temen nikah, siapapun…. Pasti kalo mabok kesel-kesel soal pernikahan… Hahahaha…” senyum si Pendeta Dewa Kontol.

“Gue perhatiin tapi, sekarang lo makin jarang modusin cewek… Jaraaaangg Banget… Kenapa tuh ya?” tanyaku penasaran.

“Udah males kali”
“Males gimana?”
“Entah, gak bergairah aja…”

“Ah, mungkin itu alarm di dalam tubuh lo kalo lo seharusnya udah mulai berkeluarga Fan” senyumku melihat muka Stefan yang tampak kesal setelah aku mengatakan pendapatku.

“Apa-apaan itu Ya, diajarin siapa sih mikir kayak gitu… Eh, gue lupa, lo udah nikah ya… Jadi mungkin aja ngomong kayak gitu”
“Nikah dan Happy” aku menunjuk ke diriku sendiri.
“Kecuali pas si Arwen”
“Sial”

“Haha, itu dosa dibawa mati Ya, gak bisa ilang gitu aja….”

Aku cuma tersenyum dan menikmati karmanya saja sekarang. Sekarang Ai sudah tampak benar-benar asing untukku. Satu-satunya kesempatan untuk bicara dengan dirinya adalah ketika rapat keluarga untuk pernikahan atau rapat-rapat persiapan pernikahan lainnya. Sisanya dia benar-benar menganggapku seperti orang asing. Dan secara tak langsung, dia juga jadi agak menjauh dari Stefan. Mungkin Stefan merasa Ai agak menjauh karena dia sibuk mempersiapkan pernikahan. Tapi tidak menurutku. Ai mungkin kesal karena Stefan tahu soal ceritaku dan Arwen. Mungkin dia berteori kalau Stefan punya andil memuluskan jalanku ke lembah yang tak benar, karena sejarah Stefan yang begitulah.

Kangen. Kangen dengan suara cerewet yang suka ngerecokin latihan. Kangen sama overprotektifnya dia ke Kyoko. Kangen sama jahil-jahilnya dia dan kangen dengan senyum konyolnya disaat kami berdua bercanda sebagai kakak adik. Kami seperti tidak terpisahkan, tapi kami berdua sekarang dipisahkan oleh kejadian tolol yang kuperbuat.

Kejadian yang tidak akan kuulangi lagi sampai mati. Tidak akan pernah.

“Dosa dibawa mati… Setuju, mungkin gue udah kena karmanya kali…” aku meneruskan kalimatku.
“Karmanya apa emangnya? Lo ada kena sesuatu yang besar akhir-akhir ini?”
“Gak tau…” bohong. Bukan gak tau. Lo aja yang gak berani cerita kalau Ai tahu soal ini semua.

“Aneh lo….” bisik Stefan sambil memainkan handphonenya. Setelah selesai dia lantas menaruhnya di saku celana. Kami berdua mengintip ke dalam. Edwyn masih pogo. Tapi sekarang pogo sambil jongkok. Mungkin kalian bingung dengan istilah pogo sambil jongkok, tapi kami juga bingung melihatnya. Kang Bimo, Kang Wira, dan para personil Speed Demon memperhatikan Edwyn seanak-anak mereka semua menonton sirkus yang aneh. Sirkus yang badutnya tangannya tidak lengkap, bahkan mungkin binatang-binatang yang ada di sirkus itu semuanya hantu.

Ya, Edwyn se – unik - itu.

Kami tidak tahu apakah dia sedang mabuk ataukah itu memang hobinya. Such a strange person.

“Bentar” Stefan mendadak mengangkat telponnya. “Kenapa? Gakpapa kok… Kan kemaren dia bilang gitu, percaya dong….” aku diam, merasakan aura tak enak dari telpon Stefan.
“…” aku tetap diam, sambil membuang mukaku ke arah lain.
“Iya, tunggu aja, dia bilang enggak ya enggak….” Stefan lantas menarik nafas. “Oke… Iya… Kabarin aja” dia lantas menutup telponnya dan dia menatap ke arahku. Dia lalu membuang muka.

“Kenapa Fan? Ada problem apa?”
“Gapapa”
“Ayolah men, lo ngomong kayak bukan sama gue aja….”
“Gapapa lah…. Gue tidur aja kali… Males juga liat orang aneh pogo tanpa musik…. Mending tidur biar kita pulangnya gak kepayahan…..” dia tersenyum kecut dan berlalu.

Berlalu meninggalkan diriku, sendiri dan bingung, sebenarnya ada masalah apa yang sedang dia hadapi.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Bimabet
Tokoh edwyn ini terinspirasi sama orang beneran di dunia nyata kah suhu RB? wkwk kocak bener tingkahnya
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd