Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

SEASON 2 – PART 71

--------------------------------------------

9 Dec : Departed to Japan - Arrived at Night
10 Dec : -
11 Dec : Hantaman - F.A.D. Yokohama
12 Dec : -
13 Dec : Arya A Quartet - Body & Soul Yokohama
14 Dec : Hantaman - Yokohama BB Street
15 Dec : -
16 Dec : Hantaman - Unit Daikanyama Tokyo

17 Dec : Arya A Quartet - Cotton Club Marunouchi Tokyo
18 Dec : -
19 Dec : Hantaman - Shimokitazawa Garden Tokyo
20 Dec : Arya A Quartet - STB 139 Tokyo
21 Dec : -
22 Dec : Arya A Quartet - Tribeca Shinagawa Tokyo
23 Dec : Hantaman - Gravity Rock Bar Shinjuku Tokyo
24 Dec : -
25 Dec : -
26 Dec : -
27 Dec : Hantaman - WWW Shibuya Tokyo
28 Dec : Arya A Quartet - Jazz Spot Candy Chiba
29 Dec : Hantaman - ZX West Chiba
30 Dec : -
31 Dec : Departed to Jakarta – Arrived 1 Jan

--------------------------------------------

airbnb10.jpg

“Dimana lo?”
“Iya mas, ini lagi di Yokohama”
“Ngapain ke Yokohama, kita kan manggungnya nanti malem di deket Stasiun Tokyo”
“Iya semalem nginep di tempat temen, kebetulan dia di Yokohama”

“Kenapa gak dari kemaren-kemaren kalo mau nginep di Yokohama? Pas kita banyak manggung disana?”
“Temen saya baru free sekarang-sekarang mas hehe”

“Bangke” Stefan mengomentari percakapanku dengan Toni di sosmed itu. Chattingan kami berulang kali dibaca oleh sang pendeta kehormatan permesuman duniawi yang ngecrot duluan karena mabok itu dengan muka kesal.

“Gimana gak gue senep”

“Pantesan Bagas sebel ama dia” komentar Stefan. Soal ini baru aku dan Stefan yang tahu. Karena beberapa hal. Yang pertama, ini masih pagi, dan Toni bisa jalan dari Yokohama ke sini dengan cepat, toh kami baru manggung malam. Yang kedua, kami pikir ini masalah sepele. Soal urusan Bagas gak suka, masuk akal juga. Bagas kan orangnya emang perfeksionis dan gak suka liat orang bikin kesalahan sama sekali. Apalagi dia bisa ngendus hal-hal gak enak lebih baik daripada kita, manusia biasa.

Terlalu jauh kalau aku kabari ini ke teman-temanku, terutama Arka dan Jacob. Karena ini hal kecil. Kemarin kan hitungannya dia gak harus manggung dan gak harus latihan juga kan. Lagipula, waktu yang mepet-mepet antar jadwal manggung ini membuat kami jadi sulit kalau mau reherseal. Kami anggap manggung pertama itu adalah latihan untuk manggung yang ke dua. Kami harus pintar-pintar menjaga stamina.

“Kasih tau ke anak-anak gak Ya?” tanya Stefan, sambil membakar rokok. Dia mencari-cari kopi botolan di lemari es yang ada di dalam kamar kami.

“Gak usah. Ntar pada khawatir…. Paling ntar dia dateng pas lagi soundcheck ya kan” balasku.
“Kan dia suka telat tuh kalo latihan, gimana kalo dia sekarang telat?”
“Gak mungkin lah telat…..”

“Jangan terlalu optimis” Stefan meminum kopi langsung dari botolnya, dan dia duduk kembali di atas futon.
“Ini kan manggung, cari mati dia kalo telat” aku mencoba berpikir dengan baik.

“Bikin rencana cadangan dulu…”
“Rencana cadangan gimana maksud lo….”
“Ya sapa tau dia ga dateng, kesasar, atau apa…. Lo mesti mikirin jalan keluarnya karena showcase elo ga mungkin dibatalin gitu aja… jadi ngebayangin Kairi ngamuk gue… pasti makin seksi” tawa Stefan.

“Coba lo pikirin Fan…. Siapa yang bisa gantiin Toni? Masa Bagas? Yoichi? Sebagus-bagusnya drummer, mereka ga mungkin bisa ngapalin repertoir pertunjukan orang lain dalam hitungan jam.... Mana harus latihan dulu kan, minimal sekali…. Sarap sih kalo si Toni sampe gak dateng…” dengusku kesal. Aku mengeluh panjang.

“Ya sarap, tapi masa ga ada plan b sih Ya”
“Mau gimana, susah kan... coba pikirin kalo gue mendadak disuruh jadi gitaris band lain, sejam sebelom konser? Bisa panas dingin gue… Pasti amburadul… Apalagi drummer… Tugasnya kan penting banget drummer tuh”

“Ya sih…”
“Gak bisa sembarangan Fan… Coba aja bayangin yang terjadi sebaliknya, Bagas ga ada terus terpaksa digantiin Toni… Pasti kacau deh, gue jamin” jelasku panjang lebar. Stefan mengangguk saja. Dia mencoba memahami kalau ganti drummer di saat-saat terakhir itu adalah hal yang hampir tidak mungkin. “Yang penting sih, mudah-mudahan gak kenapa-napa ya ntar…. Gue yakin kok, ini manggung soalnya, bukan latihan atau apa yang bisa dijadwal ulang dan dimundur-mundurin. Lagian Cuma Yokohama ke Sini, ga masalah harusnya”

Aku mencoba tersenyum. Mencoba optimis tentang Toni. Harusnya aku tenang. Tidak mungkin masalah tidak ada jalan keluarnya kan?

--------------------------------------------

“Gak ada kabar?”
“Belum”

Aku senewen. Aku sedang bersiap-siap menuju ke tempat manggung quartet Jazzku malam ini. Aku berusaha memperlambat gerakku karena aku khawatir akan keterlambatan Toni.

Ini sudah jam 2 siang. Seharusnya jam 4 kami akan check sound di Cotton Club. Mobil yang akan membawa kami kesana sudah menunggu di parkiran terdekat. Stefan tidak manggung malam ini, tapi dia juga tampak gelisah, sama sepertiku.

Toni. Dimana dia? Tidak ada kabar dan tidak ada pesan yang terbalas. Semuanya terkirim, tapi tak terbaca. Tidak ada centang dua biru yang menghiasi halama chatku dengan dia. Beberapa orang sudah mulai menanyakan keberadaan dirinya di grup. Karena mungkin Sena sadar, batang penis, eh… batang hidung Toni tidak terlihat sedikitpun.

Tadi pagi sampai jam makan siang aku berusaha menjelaskan di grup bahwa Toni bermalam di tempat temannya dan akan menyusul. Harusnya Toni sendiri yang menjawab. Tapi ini malah aku. Entah aku yang terlalu baik atau aku terlalu bodoh. Mungkin dua-duanya.

“Anak-anak pasti udah nyadar nih kalo ada yang ga beres” Stefan sudah berpakaian lengkap dan siap untuk berangkat. Tas peralatanku sudah di dalam mobil, dan aku sengaja mengulur-ngulur waktu dengan masuk lagi ke dalam kamar dan entah ngapain.

“Duh, gimana yak…” aku memperhatikan layar handphoneku. Tak ada kabar dari Toni. Kalau saja aku tahu bakal begini, aku bakal menyuruh semua anggota rombongan untuk menginstall aplikasi GPS tracker di handphone mereka. Kalau-kalau ada apa-apa kayak gini gak senewen.

Mungkin saja Toni kesasar, ya kan? Mungkin kan? Bener gak?

“Ano… Aya San..” Shigeo dengan nada canggung membuka pintu dan menegurku.
“Ah, yes…”
“We have to go now…. Toni San wa?”

“Ahh.. Emm…”
“Ya, lo wa aja, bilang kalo kita duluan kesana, dia nyusul.. Kalo dia gak sampe-sampe batalin aja lah, abis gimana?” Stefan mencoba memberi solusi yang mudah.

“Iya sih cuman…”
“Malu?”
“Ya malu lah gila, kenapa mesti tanya lagi…” jawabku dengan nada tak jelas. Benar-benar kacau sih ini. Mau diganti sama drummer paling jago se dunia akhirat juga gak bisa, karena hal-hal seperti ini butuh latihan. Butuh ngapalin list lagu. Butuh ngapalin lagu. Butuh segala macam. Belum lagi chemistry.

Duh, pusing, sumpah…

“Udah buruan lo wa, mau apa lagi, kita mesti jalan”
“Terus kalo ga nyampe gimana dia?”
“Makanya buruan bangsat kita jalan… Pikirin aja ntar, pusing… Ga usah ribet…” kesal Stefan sambil berlalu. Dia membuang muka sambil jalan ke luar kamar ini.

Sial. Apakah ini yang di khawatirkan Bagas?

Ya sudah, kita kirim dulu pesannya, baru pikirkan nanti. Pusing.

--------------------------------------------

cotton10.jpg

Jam 4.

4 jam lagi showcaseku dimulai.

Toni?

Gak ada.

Sialan.

Aku melirik kesana kemari, Shigeo dan Anin sibuk menelpon Toni. Arka tampak bersalah karena dia yang merekomendasikan Toni kepadaku. Stefan merokok di smoking area, sambil melihat handphonenya. Jacob sedang mengatur sound bass di panggung. Bagas? Diam sambil duduk terpaku. Eh, sampai lupa. Sena ada di FOH dan Zee sedang beraksi dengan kamera kesana kemari.

“Kemana tu orang…. Jadi senewen gini gue…. Jam 6 udah ga boleh check sound” aku bicara entah pada siapa. Seperti bergumam sendiri tapi Shigeo dan Anin melirikku. Shigeo mungkin tidak mengerti apa yang aku bicarakan, tapi dia sepertinya paham kalau aku tak nyaman dengan melihat gesturku.

Tak ada yang merespon omonganku. Karena mereka semua tahu kalau aku stress. Seumur-umur aku ngeband dan manggung dari jaman kuliah, tidak pernah ada personilku yang telat. Tidak pernah ada yang kayak gini. Sepulang dari Jepang, aku pasti tidak akan memakainya lagi. Masih banyak drummer lain yang attitudenya lebih bagus.

Sekarang, semua keanehan dan kejanggalan Toni dari pertama bertemu seperti diputar ulang di dalam kepalaku.

Semuanya jadi make sense sekarang, kenapa Bagas bisa tidak suka pada dirinya. Harusnya dari awal aku juga sudah bisa mengira kalau dia bisa bertindak seperti ini, tidak ada kabar dan telat datang, tidak sesuai dengan rencana dan perjanjian.

Bagas mungkin lebih aware dari awal. Entah bagaimana caranya. Bagas punya cara-nya sendiri dalam menilai manusia. Tapi Bagas tidak pernah punya alasan yang buruk untuk benci pada seseorang atau apapun.

“How?” Stefan menghampiriku, dia sudah selesai merokok rupanya. Aku hanya bisa menjawabnya dengan gelengan kepala. Gak ada kabar Fan. Mau jawab apa?

“Menurut gue lo harus tegas sih Ya…. Dari sekarang aja pecat” lanjut sang pendeta dewa kontol.
“Kalo dia ntar dateng gimana, awkward dong… Ntar sisa tur juga jadi garing sama dia”
“Ya daripada daripada….. Lo kebiasaan sih, ga tegas orangnya…”

“Hmmm….”

Sialan. Benar juga.

Aku celingukan kesana kemari, dengan perasaan tak nyaman. Aku menatap Anin dan Shigeo yang sedang berjibaku berusaha mengontak Toni. Stefan menatapku dengan tatapan yang sama-sama tak nyamannya. Gak bisa kayak gini terus, bener.

Sekarang malah pikiranku melantur. Gara-gara Stefan mention soal ketegasanku yang kurang. Aku menarik nafas panjang dan memikirkan hal-hal yang perlu dilakukan andaikan Toni berhasil dihubungi.

“Ya!”

“Eh, kenapa?”

“Ini…. Ton, dimana sih lo?” Anin bertanya dengan nada khawatir. Tampaknya dia berhasil menghubungin Toni. Aku melihat ke arah Anin dengan perasaan yang campur aduk. Antara khawatir dan kesal. Aku agak sangsi Toni bisa dengan cepat ke Cotton Club, jadi aku khawatir. Kalau kesalnya tidak usah ditanya, pasti tahu kenapa penyebabnya.

“Nin… Sini…” aku menjulurkan tangan ke arah Anin, meminta handphonenya. Aku harus bicara kepada Toni. Aku sudah mengarang ribuan kata jadi kalimat-kalimat pendek yang mungkin akan kuucapkan padanya.

“Halo Mas Anin… Gini, saya…”

“Ini Arya” aku memotong omongan Toni, yang masing mengira dia bicara dengan Anin. Anin memang tidak memberitahu Toni kalau dia memberikan handphonenya padaku.

“Eh Mas Arya…. Ah, saya…”
“Dimana lo?”
“Di… Yokohama”
“Ngapain?”
“Ini ketiduran di tempat temen…. Hehehe. Semalem begadang, soalnya udah lama ga ketemu jadi……”

“Gak usah kesini ya”
“Hah?”
“Gak usah kesini”

Aku menutup telpon. Aku mengembalikan handphone itu ke Anin dengan gerakan pelan. Aku menutup mata, menghela nafas panjang dan bertopang dagu. Stefan, Anin dan Shigeo menatapku dalam-dalam.

“Ya, lo barusan….” Anin membuka omongan.

“Hmm?”
“Menurut gue udah bener lo” sambung Stefan, setelah mendengar jawabanku tadi.
“Bunuh diri tapi itu namanya” suara Anin terdengar pelan, dia mungkin tidak ingin Arka dan Jacob mendengar obrolan ini.

“Gak tau lah” jawabku, tidak kalah pelannya.
“Mau gimana lagi?” Stefan ikut berkomentar.

“Show lo bisa batal, bego….”
“Kepala gue langsung cenat-cenut”

Aku, Anin dan Stefan saling melempar pandangan. Shigeo tampak bingung karena dia tidak mengerti bahasa Indonesia. Hening. Kami semua diam.

“Arya, what happen?”

Kami masih diam. Aku membayangkan Kairi yang marah karena kejadian ini. Sudah pasti marah, tidak mungkin dia tidak marah.

“Jelasin aja men, bukan salah lo ini kan” Stefan menegurku yang diam seribu bahasa.
“Gak segampang itu Fan, efeknya panjang” Anin menimpali Stefan. “Walau gue pikir jawaban Arya ke Toni udah bener ya….”

“Arya? Can yu tell me?” Shigeo tampak bingung, dan menunggu jawaban dariku.
“Well….”

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
muke gileee.... parah juga kalo begitu.... well ...mau ga mau deh ....Bagas yang ngegasssss..... the show must go on..... :semangat::semangat::semangat::beer::beer::beer:
 
Cakep nih bagas maen jazz..
Anin dan perang2annya jg ane tungguin om..
Terimakasih banyak untuk tetap berkarya..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd