Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Mengejar Masa Silam

Suhu @AjatSurajati2 ini master ternyata. Terutama untuk cerita yang ini. Pemilihan kata n bahasa juga enak. nggak kaku or cuma asal-asalan. makanya pas kalo di pake ke alur cerita yg cepat atau lambat.

Karya dengan kualitas novel begini sebenernya cocok untuk diterbitkan secara eksklusif.

Harapan gue sih, ni cerita jgn terlalu cepat end. Gw yakin penulis se master ente pasti bisalah improve plot. Supaya kepuasan pembaca bisa bener-bener klimaks.

#ngarep.com

Hak... hak.. hak..

Anyway, thanks ya suhu udah mau berbagi karya ente secara cuma-cuma. Gw angkat topi sama karya-karya ente, terutama yang satu ini. Cheerss... 🍻
 
Terimakasih apresiasinya suhu @Gypsydanger dan juga suhu @Jawirman juga yang lainnya.

Saran dari suhu suhu semua sangat saya perhatikan semoga dapat saya laksanakan dengan bajk.

Saya memang sedang dalam proses membuat sebuah karya yang rencananya akan dipublikasikan secara komersial. Mkhon doanya supaya lancar dan tetap memiliki waktu untuk terus mengupdate cerita di forum tercinta ini.

Sekali lagi mohon maaf kalau belum bisa menghasilkan karya terbaik tapu akan terus saya coba
 
5. RUMAH TUA

Udara pagi begitu dingin, tak mengherankan karena sejak subuh gerimis telah turun. Sella yang kedinginan berusaha menarik selimut tipis yang ukurannya sangat nanggung. Kalau dia berusaha menutupi kakinya, maka kepala dan sebagian dadanya akan terbuka. Kalau dia tarik menutup kepala maka kakinya yang akan terbuka dan kedinginan. Sella menekuk lututnya ke arah dada dan tidur menyamping agar selimut itu cukup untuk menutupi seluruh tubuhnya dari kepala hingga kaki.

Samar-samar Sella mendengar sebuah gumaman yang tak terlalu jelas karena hujan gerimis jatuh bergemerincing pada atap seng di warung kecil itu. Setiap selesai melaksanakan kewajiban sholat Subuh, Ki Ardayat selalu membaca wirid memohon ampunan atas segala kesalahan hidupnya di masa lalu.

Ingatan Sella lari ke masa lalu saat dinyanyikan Nina Bobo oleh mamanya di toko milik kukung. Kesederhanaan hidup ini memberikan ketenangan yang selama ini tak pernah didapatkannya. Sella tak ingin bangun dari tidurnya jika diciumnya wangi kopi yang semerbak memenuhi ruangan. Dengan mata terpicing, samar-samar dilihatnya sang ayah sedang mengocek dua kopi hitam.

"Bangun, nak... temeni bapak minum kopi." Ki Ardayat bergumam lalu mengambil sebungkus roti murahan dari rak daganggan.

Dengan malas Sella terbangun dan duduk sambil tetap menyelimuti dirinya dengan selimut di kedua bahu. Dilihatnya Ki Ardayat duduk dengan berselimutkan sejadah beludru yang tersampir pada kedua bahunya. Kopiah hitam yang sudah menguning dikenakan secara miring ke kiri di kepalanya, posisi kopiahnya mirip yang dikenakan para pejuang veteran.

Di tengah gemerincing hujan gerimis, mereka berdua menikmati roti yang dicelupkan pada kopi hitam. Sebetulnya roti itu bukan roti dari patisserie yang sering dinikmati Sella, tetapi suasana dingin yang basah membuat roti itu sangat nikmat dengan kopi yang kelewat manis.

"Hidup bapak waktu muda dulu banyak melakukan kebodohan dan kesalahan. Begitu juga yang bapak lakukan pada mama Lily. Tapi nak.... kamu bukan kesalahan. Di usia bapak yang sudah tua ini, bapak bahagia sekali bisa bertemu lagi dengan kamu."

"Bapak bukannya tak pernah ingat, tapi keadaan waktu dulu tidak memungkinkan bapak untuk dekat dengan kamu. Bapak minta maaf, nak."

Mata Ki Ardayat yang penuh keriput di sudutnya itu terlihat berkaca-kaca. Sella tak pernah marah atas ketidak-hadiran sosok bapak dalam hidupnya. Kesal memang ada, tetapi rasa kesal itu lebih kepada kesal terhadap nasib yang tak pernah memberinya kesempatan lebih lama untuk hidup dengan mamanya, sesakit apapun mental mamanya, dan tak mengecap kasih sayang dari seeorang bapak. Kini ditengah ketidakpastian masa depan dan rasa terpinggirkan, sang bapak seolah menjadi tambatan yang bisa dia pegang.

Sella menyimpan roti yang tengah dipegangnya ke meja kecil. Dia bangkit dari kursi dan menghampiri Ki Ardayat, memeluknya erat. Ki Ardayat tergugu akan rasa haru mengingat kesalahan di masa lalu.
"Bapak bersyukur, kamu datang kesini."

Sella yang merunduk memeluk Ki Ardayat yang duduk merasa pelukan yang lama ini membuat punggungnya pegal. Sambil tetap memeluk Ki Ardayat, sella duduk di pangkuannya.

Sambil tetap berpangkuan seperti anak kecil, Sella kemudian bercerita tentang masa lalu dimana dia merindukan sang bapak. Dilanjutkan juga dengan cerita saat kukung dan popoh meninggal, dia merasa sendirian dalam hidup. Perkenalan dengan Donny memberikan sedikit ketentraman, tetapi Donny tak punya keberanian untuk melawan kehendak orang tua. Jadilah dia terpinggirkan.

Handphone bergetar, sebuah nama terpampang pada layar. Sella segera mengangkatnya.

"Ya...." Sella tak menyebut kata 'halo' seperti layaknya orang menerima telepon.

"Sella... kamu pergi kemana ?" Ki Ardayat dapat mendengar suara di seberang telepon.

"Pulang kampung." Jawaban Sella ketus.

"Kamu kan nggga punya kampung."

"Punya."

"Nyari apa sih di kampung ?"

"Kalau aku ga punya masa depan, aku mau kembali ke masa lalu."

Mendengar jawaban Sella, maka Donny paham kemana arah pembicaraan itu.

"Kan aku udah bilang... nanti kalau udah saatnya, aku bakal cerai sama Kristin."

"Kapan ? dari dulu kamu bilang begitu. Nunggu papa dan mama kamu meninggal ?"

Sella tahu, selama Donny tak berani melawan orang tuanya maka Kristin sebagai istri yang dipilihkan orang tuanya akan tetap menjadi istri Donny.

"Sabar dong sayang, nanti pasti ada jalan."

"Umur aku udah 32 tahun ini, aku nggak bisa hidup begini terus."

"Ya udah... sekarang kamu dimana ? Aku janji kita bicarakan nanti supaya niat kita bisa berjalan." Bujukan Donny melunakkan Sella.

Sella tahu kelemahan dirinya dari dulu adalah di kuping. Dia selalu kalah dengan rayuan. Maka dari itu, dia memberikan lokasinya pada Donny di aplikasi pesan singkat yang populer.

Setelah menaruh handphone ke meja, Sella kembali ke pelukan hangat yang menenangkan itu. Dalam usianya yang sudah lanjut, Ki Ardayat sebetulnya merasa berat dan engap memangku Sella. Apalagi pantat empuk Sella menindih sesuatu disana. Ki Ardayat berusaha menghilangkan segala pikiran jahat yang tiba-tiba bermunculan.

Tok tok tok

"Kiii.... beli rokok." Seseorang mengetuk pintu warung yang masih tertutup. Ki Ardayat mengeluh.

"Kenapa semua laki-laki jadi membeli rokok di warung bapak ya Sel ?"

Sella tertawa, "Ya udah jadi rejeki bapak kayanya."

Perempuan cantik itu melepaskan pelukan dan melangkah menuju pintu.

"Eeeh.... neng Sella.... maaf ngeganggu, mau beli rokok." Seorang remaja tanggung cengengesan ketika Sella membuka pintu warung.

Akhirnya sepanjang pagi itu Sella mencoba membantu sang bapak sebaik-baiknya melayani pembeli yang tiba-tiba menjadi banyak berdatangan. Banyak diantaranya adalah remaja lelaki dan pemuda kampung, tetapi tak kurang juga ibu-ibu yang datang sambil memandang Sella dari ujung rambut ke ujung kaki. Akhirnya Sella merasa rikuh juga dengan pakaian yang dikenakannya sejak kemarin. Sepertinya di kampung ini tidak cocok mengenakan pakaian model begini.

"Pak... nyari makan yuk. Sella lapar."

Ki Ardayat tertawa terkekeh-kekeh.
"Disini nggak seperti di Jakarta nak, nggak ada orang jual jajanan pagi-pagi begini."

"Ya udah pak, pokoknya keluar yuk liat-liat kampung. Warungnya tutup aja."

"Bapak mah udah tua atuh Sella, kamu pergi dianter si Ramli aja ya, ituu... anak tetangga sebelah."

Ramli tentu merasa mendapat durian runtuh, dengan senang hati dia bolos dari pekerjaannya di sebuah bengkel motor "Itikurih" yang sederhana (satu-satunya bengkel di kampung itu) demi mengantar perempuan cantik dari kota berjalan-jalan melihat pemandangan kampung.


**********

https://www.imagebam.com/view/MEHQOAP][/URL]
(Ilustrasi Sella)

"Kamu bisa nyupir, Ramli ?"

Yang ditanya sedari tadi selalu cengengesan, tak sekalipun berusaha menutupi atau menyamarkan rasa senangnya.

"Nyupirin Neng Sella ?" Dalam pikiran Ramli ada khayalan dia 'nyupirin' Sella ibarat menunggangi motor.

"Nyupir mobil !" Dari cengengesan pemuda tanggung itu Sella dapat memperkirakan arah pikiran Ramli.

"Iya... nyupir mobil.... bisa atuh neng." Cengengesan itu hilang dari wajahnya, berganti serius. Padahal, otaknya tetap cengengesan.

Dengan bangga, Ramli duduk mengemudi sambil memperlihatkan keadaan seisi kampung Campaka Mekar yang tak terlalu besar. Jalanan becek tak menghalangi mereka berkeliling kampung dengan sedan putih kecil dengan lambang H pada bonnetnya.

"Anjir... coba liat itu si Ramli mau kemana ?" Segerombolan pemuda yang di pos siskamling sampai menghentikan kegiatan mereka yang sedang gotong royong memperbaiki gubuk yang menjadi pos sikamling. Mereka semua berdiri dan memandang Ramli yang lewat dengan jendela mobil terbuka lebar.

"Punten ah barudak..... saya ngga bisa ikut bantu." Ramli dengan bangga lewat sambil cengengesan meledek yang sedang kerja bakti.

"Awas neng.... jangan mau dicium... si Ramli ngga pernah mandi...." Satu diantara mereka mengejek balik.

Sella tak menggubris perkataan mereka.

"Temen kamu, Ramli ?" Tanya Sella.

"Temen saya sekarang mah kan Neng Sella." Ramli menjawab dengan tetap genit sambil melihat paha Sella yang membuatnya tak henti-henti mencuri pandang.

Sepanjang siang Ramli dengan bersemangat menunjukkan spot-spot pemandanggan terbaik di kampungnya mulai dari sawah yang hijau, air terjun kecil pada sebuah lembah, juga kesejukan hutan pinus milik Perhutani yang berbatasan dengan kampung.

Setiap kali mereka melewati penduduk, Ramli selalu menyapa. Selain memang kebiasaan di kampung itu untuk selalu saling menyapa, ada kebanggan tersendiri bagi Ramli untuk mengemudi bersama seorang perempuan cantik di sampingnya.

Bagi Sella sendiri, ada untungnya memiliki guide yang tahu spot-spot terbaik di daerah itu. Kegiatan berkeliling seharian itu membuatnya secara sementara mampu melupakan masalah-masalah hidup yang dihadapi. Dia tak terlalu keberatan jika guide-nya sedikit genit dan dari tadi mencuri-curi pandang pada paha nya.

Matahari telah bergerak ke barat pada saat mereka dalam perjalanan pulang ke rumah Ki Ardayat. Di pinggiran kampung yang agak jauh, Sella melihat sebuah bangunan yang berkesan tua. Bangunan itu modelnya sama sekali jauh berbeda dengan model-model rumah penduduk lainnya. Rumah yang cukup besar itu mendapat sentuhan bergaya eropa.



"Rumah siapa itu ?" Tanya Sella.

Ramli tak segera menjawab, membuat Sella makin penasaran.

"Eh... malah ngelamun." Sella bersungut-sungut.

Ramli bukannya tak ingin segera menjawab, tetapi dia sedang mencari kalimat yang tepat untuk jawaban atas pertanyaan itu.

"Dulu, itu rumah keluarga pemilik perkebunan karet yang sekarang diambil alih Perhutani."

"Oooh.... terus sekarang punya siapa ?"

"Masih milik keluarga itu, tapi mereka jarang sekali datang."

"Setiap hari kosong ?" Tanya Sella saat mereka lewat tepat di depan rumah tua yang terlihat agak terbengkalai.

"Iya hampir setiap hari kosong, tapi sepertinya sekarang ada yang mengisi. Udah empat bulan kayanya ada orang disitu."

"Kok kamu tau ada orang ?"

"Kata orang kampung yang jadi penjaga disini."

"Sebentar.... sebentar.... berenti dulu Ramli."

Ramli mengikuti permintaan Sella. Dia memberhentikan mobilnya di pinggir jalan batu.

"Kamu denger nggak ...... ?" Sella menatap Ramli. Ramli menelengkan wajahnya agar kupingnya lebih terarah mendengarkan. Dia menggelengkan kepalanya karena hanya suara angin sore yang dia dengar.

"Matiin mobil, coba."

Ramli kembali mengikuti permintaan Sella. Dia mematikan mesin mobil. Suara angin sore yang membuat daun-daun bambu saling bergesekan malah yang terdengar.

"Suara angin ?" tanya Ramli.

"Suara..... piano."

Ya, Ramli samar-samar mendengar suara seseorang memainkan piano. Musik apa itu ? Serem amat.

Ramli mengangguk.

"Kamu kenal yang bisa main piano disitu ?"

Sejauh pengetahuan Ramli yang bisa kita ragukan keluasannya, dirinya hanya tahu seorang pemain organ tunggal yang biasa meramaikan acara pesta kawinan di kampungnya. Tapi tidak mungkin Kang Barna memainkan lagu yang nggak jelas juntrungannya seperti itu. Kang Barna adalah satu-satunya pemain organ tunggal yang paling jago mengiringi lagu Juragan Empang atau Daun Puspa. Ramli selalu paling depan joget di panggung, nyawer uang dua ribuan yang dia selipkan pada dada pesinden.

Tapi lagu ini ?
apa'an cuman tang ting tang ting nggak jelas.
Ramli menggelengkan kepala.

"Sonata ke 14 Beethoven." Kata Sella.

"Masa lagunya Rhoma Irama kaya gini ?" Ramli protes, karena dia adalah penggemar berat Rhoma Irama dan tidak pernah ada lagu yang seperti didengarnya saat ini.

"Itu Soneta, bambang." Sella merasa sia-sia memberitahu.

Beda yah, Soneta dengan Sonata ? Batin Ramli.

Tangan Ramli bergerak untuk menyalakan mesin lagi, tapi dilarang oleh Sella.

"Tunggu....." Katanya.

Rumah tua itu ditimpa bayangan pohon yang bergerak-gerak ditiup angin. Matahari telah demikian condong ke barat membuat langut berwarna jingga. Suara piano malah menjadi berkesan seram.

"Cocok dengan lagunya." Kata Sella.
"Sonata ke 14 Beethoven dikenal sebagai Moonlight Sonata."
"Tapi matahari sore juga bolehlah."
"Aku suka Adagio-nya yang sedih."


Ramli tak paham, dia hanya mengangguk saja mengiyakan segala ucapan Sella yang terlihat sangat terkesan. Dirinya lekat-lekat menatap paha Sella yang semakin terbuka karena sedang serius mendengarkan suara piano itu sambil kepalanya melongok ke arah rumah tua. Kenapa paha itu begitu putih ya ? pori-porinya agak pink membuat paha Sella makin menggiurkan. Kalau diperhatikan lebih lekat lagi, Ramli sampai bisa melihat bulu-bulu halus yang menghiasi paha Sella yang semakin terbuka.

Sedikit lagi....
Oooh
Sedikit lagi....
Batin Ramli, yang tercekat melihat rok jeans Sella yang robek-robek makin tertarik keatas.

Aaaahhhhhh
Nafasnya dihembus dengan perasaan lega saat bagian robek di rok itu terangkat tepat pada bagian yang diinginkannya.

Celana dalamnya.... aduuuh.... pink renda-renda

Hampir saja air liur Ramli menetes.

"Ini bagian Allegretto nya." Kata Sella masih terpana.

Ramli agak kaget mendengar Sella berbicara mengomentari piano itu, tapi setelah disadari bahwa Sella sedang berbicara sendiri Ramli lalu mengusap air liur yang hampir jatuh.

Sella makin penasaran, siapa yang memainkan karya Ludwig Van Beethoven di kampung seperti ini ? Karya yang diciptakan tahun 1801 itu.... ya benar, 1801, lebih dari 200 tahun lalu. Karya Beethoven yang sekarang sedang terdengar memuncak dramatis.

"Ini Presto-Agitato yang indah...." Sella berbisik pada diri sendiri.


Saya mah tidak perduliiii mau bandeng presto atau apalah, terserah neng Sella ajaaaa.... saya mah pengen pegang paha mulus iniiii..... batin Ramli berteriak memohon-mohon untuk berani saja mengusap paha yang berjarak hanya sekitar 10 centimeter dari tangannya yang bersandar pada console box itu.

Sella masih penasaran dengan pemain piano di rumah tua itu saat mereka kembali melanjutkan perjalanan ke warung Ki Ardayat.


**********


"Ih Ramli kamu teh kenapa ? Kesurupan ya ?" Onih mengeplak kepala Ramli yang sejak datang langsung saja menciumi pahanya seperti kucing menjilati ikan bandeng presto, padahal beberapa orang tengah makan di meja warungnya.

Onih adalah seorang janda yang membuka Warung Nasi Sunda. Dulu dia dinikahi pada saat umurnya baru 16 tahun untuk menjadi istri kedua dari seorang supir truk. Rumah tangganya tak bertahan lama karena istri pertama suaminya melabrak. Suami keduanya juga sama seorang supir, tapi supir bus. Itu juga tak bertahan lama karena satu dan lain hal.

Di usianya yang sekarang 18 tahun, Onih sudah dua kali menjanda. Dia menerima Ramli sebagai pacar yang kerja di bengkel untuk bisa lepas dari circle-nya yang seputar supir.

Kulit Onih tidak seputih maupun semulus Sella, tetapi cukuplah untuk menuntaskan hasrat Ramli yang sepanjang siang disuguhi pemandangan menakjubkan hingga ia nyaris tak tahan lagi saat selesai menjadi supir Sella dan mendapat upah dua ratus ribu rupiah.

Maka dari itu, begitu sampai di warung nasi milik pacarnya itu Ramli langsung saja main serobot menarik Onih ke belakang, tepatnya di dapur. Onih yang berdiri langsung dia suruh nungging berpegangan pada meja. Dari belakang, Ramli menyingkapkan daster yang dikenakan Onih sampai ke pinggangnya.

Pantat yang bulat ini mungkin ukurannya sedikit terlalu besar kalau dibandingin sama neng Sella. Dan beberapa bentol kemerahan yang bermunculan memang agak mengganggu pemandangan, tidak semulus kulit pahanya neng Sella. Tapi cukuplah, batin Ramli.

Hidung Ramli yang agak pesek itu menyosor paha Onih dari mulai lutut sampai ke pangkalnya.
"Aa.... nanti kalau ada yang lihat gimana ?"

"Sebentar aja atuh Onih.... Aa ngga kuat."

"Aa teh habis liat apa tadi ? Nonton bokep nya ?" Onih sudah tau kalau Ramli bertindak seperti ini biasanya kalau habis lihat film di internet.

"Bukan...." Hidung Ramli sekarang bersarang di selangkangan Onih yang masih tetap nungging.

"Aaaaahhhh...apa atuh." Onih menjerit lirih yang langsung menutup mulut dengan tangannya, takut terdengar orang yang sedang makan di depan.

"Seharian nganter neng Sella, anak Ki Ardayat yang dateng dari Jakarta." Ramli selalu jujur pada Onih.

"Oooh... kata orang-orang, neng Sella cantik ya ?" Onih tak pernah cemburuan, apalagi dia telah dua kali menjadi janda. Dia memegang teguh prinsip kalau perawan memang menawan, tapi janda pasti lebih menggoda. Baru janda aja sudah menggoda, apalagi janda dua kali seperti dirinya sudah pasti punya sesuatu yang bisa dibanggakan untuk melayani lelaki.

Mengingat posisinya sebagai janda dua kali, Onih tersenyum lalu mulai menggerakkan bokongnya yang semok seperti penari Jaipong melakukan goyang 'blaktuk'. Goyangan pantat Onih terbukti tak mampu ditahan lagi oleh Ramli. Dia segera memerosotkan celana dalam Onih. Kejantanannya segera menerobos, itupun tak lama.

Onih tersenyum puas telah membuat Ramli bertekuk lutut dalam tiga kali goyang blaktuk. Dirinya bangga bahwa status janda dua kalinya masih punya marwah, sebuah kata yang saat ini sering dia dengar di televisi pada persidangan beberapa orang penegak hukum.


**********


"Permisi....." Sebuah suara terdengar dari pintu warung yang tertutup. Sella tengah bercengkrama mengenai masa lalu dengan Ki Ardayat.

"Siapa.... ?" Ki Ardayat membuka pintu dan menatap dua orang lelaki berseragam montir berdiri.

"Ini betul rumah ibu Sella ?"

Ki Ardayat tertegun, secara teknis ini bukan rumah, dan secara teknis pula warung ini bukan punya Sella.

"Iya...." Jawab Ki Ardayat.

"Saya ditugaskan mengantar pesanan untuk Ibu Sella Anastasia. Beliau ada pak ?"

Ki Ardayat melongok ke belakang, Sella segera menghampiri.

"Ada apa ya pak ?" Tanya Sella.

"Ini ada kiriman buat ibu." Dua lelaki itu menunjuk ke jalan.

Sella kebingungan melihat sebuah mobil Pajero warna putih terparkir di pinggir jalan depan warung.

"Mana kirimannya pak ? nggak dibawa kesini aja ?"

"Itu bu.... kiriman dari Pak Donny dari Jakarta. Beliau memesan mobil Pajero dari showroom mobil second kami. Tapi mobil lama Honda Brio yang ibu gunakan akan kami bawa karena tukar tambah." Lelaki yang menjadi sopir showroom itu menjelaskan.

"Ini mohon ibu tanda tangan dulu bukti terimanya."

Setengah tak percaya, Sella menanda tangan dokumen yang diberikan lalu menerima kunci. Dia juga menyerahkan kunci mobil sedan kecil yang selama ini dia gunakan.

"Donny itu siapa ?" Tanya Ki Ardayat setelah kedua lelaki itu pergi membawa mobil Honda Brio.

"Itu pak..... Donny itu nama pacar Sella yang tadi pagi udah Sella ceritakan."

"Oooh....." Ki Ardayat tak habis pikir bagaimana orang kaya dengan begitu saja membeli mobil seperti kacang goreng saja. Memang mobil second, tapi sepertinya tetep mahal kan ?

"Halo.... sayang, ngapain sih ngirim mobil ?" Tanya Sella pada Donny di telepon.

"Bilang terimakasih dong... hehe... aku khawatir kalau kamu pakai mobil kecil itu disana sayang. Jadi mendingan ditukar aja lah pakai yang besar, biar kamu aman kalau lewat jalanan yang jelek."

"Terima kasih yaaa sayang.... "

Sella kemudian ngobrol sambil tertawa-tawa di telepon, lamaaa sekali. Ki Ardayat menggelengkan kepalanya, memandang dari jauh.

Emh, perempuan.... tak pernah tahan oleh hadiah.

Bersambung.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd