pujasejagat
Semprot Lover
- Daftar
- 29 Jun 2015
- Post
- 277
- Like diterima
- 1.128
Halo selamat malam agan2 sekalian, kembali lagi nubie ingin membagi sebuah cerita karangan penulis idola ane, om jakongsu
Oke langsung saja agan2 sekalian.
Copas/ Repost
Merasakan Hidup Nudist
By Jakongsu
Suatu hari kolegaku, seorang wartawati mengajak makan siang. Aku memang biasa makan siang bareng dia, jadi ajakan kali ini tidak aneh bagiku. Namun dia kali ini ngajak makan di restoran yang rada tenang. Biasanya kami selalu berburu makanan enak setiap jam makan siang. Kami sering bertemu jika melakukan tugas liputan. Dia penggemar makanan enak, seperti juga aku.
“Dik, yuk kita jalan-jalan ke Eropa, sekaligus liputan, aku kepengin keliling Eropa,” kata mbak Tati.
Gagasan mbak Tati agak menggugahku. Pertama, yang mengajak adalah Mbak Tati, wartawati senior, perawan tua. Karena asyik dengan pekerjaannya sampai umur 35 belum juga kawin. Padahal orangnya ramah, badannya proporsional, kulitnya putih. Kami beberapakali berkesempatan liputan bersama dia ke beberapa kota dan ada juga ke luar negeri. Namun bukan kami jalan berdua tapi, tetapi bersama rombongan wartawan.
Aku dan mbak Tati cukup akrab, hubungan kami hanya sebatas bersahabat, tidak lebih dari itu. Aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk mendekati mbak Tati lebih dari sahabat. Padahal kesempatan itu ada. Kami pernah tidur sekamar ketika melakukan liputan ke Tokyo. Sebetulnya kondisinya tidak sepenuhnya seperti itu, tapi ketika aku sedang dilanda sakit perut, aku memilih tinggal di kamar tidak meliput. Rupanya Mbak Tati rada malas , sehingga dia pun memilih tinggal di hotel. Dia memilih tinggal di kamarku. Namun tidak ada kejadian apa-apa, karena aku memang tidak berpikiran ke arah ngesek, dia pun mungkin begitu. Apalagi perutku mules dan mondar-mandir nongkrong di kamar mandi.
Ke Eropa, sebenarnya bukan hal baru bagi ku mungkin juga bagi Mbak Tati, Aku pernah ke Prancis, Austria, Swiss dan Jerman. Semua perjalananku hanya semata-mata tugas jurnalistik. Jadi tidak banyak waktu untuk jalan-jalan. Kesempatan di sela-sela kunjungan itu, paling-paling hanya melihat beberapa tempat terkenal dan tentunya mencari sesuatu untuk di beli. Itu berarti keliling ke pusat-pusat perbelanjaan. Ajakan Mbak Tati ini cukup menarik. Ada beberapa hal yang ingin kulihat mungkin juga mengalaminya. Ketika kutanya Mbak Tati apa yang ingin dilihat di Eropa, dia tidak secara spesifik menyebutkan. Dia hanya menginginkan jalan-jalan tour. Dia katanya juga pernah ke Eropa beberapa kali seperti ke Belanda, Inggris dan Swiss, tapi semua itu tidak bisa dinikmati sepenuhnya karena dalam rangka peliputan. Aku memahaminya, karena aku pun demikian. Dia ingin bebas tidak terikat waktu dan menikmati alam Eropa. Aku dipilihnya karena dia merasa cocok jika jalan denganku. Mbak Tati jika jalan keluar kota atau keluar negeri, jika ada waktu luang memang selalu menggandengku untuk menemaninya. Bahkan ketika dia ingin berdisko di Kuta Bali ketika kami sedang meliput di sana, dia mengajakku juga.
Itulah sedikit gambaran kearabanku dengan mbak Tati. Aku memang menjadi sahabatnya yang paling dekat, dia menganggap aku yang kala itu berumur 28 tahun sebagai adiknya.
Kami sama-sama bekerja di mass media Cuma beda surat kabar.
Mbak Tati lalu membeberkan rencananya keliling Eropa, dia ingin ke Belanda, Prancis, Jerman dan beberapa negara lainnya. Kami berbagi tugas. Dia menyusun strategi agar kami bisa dapat penugasan dari kantor untuk jalan ke Eropa. Sedangkan aku menyusun rencana dan memilih tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi.
Tidak mudah bagi kami untuk mendapat izin dari kantor melakukan liputan ke luar negeri, tetapi Mbak Tati punya kiat agar dapat izin. Jika peristiwanya tidak betul-betul menarik, maka mustahil kantor kami mengirim kami ke sana. Apalagi biaya untuk peliputan ke luar negeri, cukup besar.
Mbak Tati dengan antusias memastikan bahwa aku hanya perlu membekali diri dengan uang saku saja. Soal biaya yang lain-lain akan diusahakan Mbak Tati.
Dia menyarankan mulai menabung dari sekarang. Rencananya perjalanan itu pada bulan Juli tahun depan.
Strategi Mbak Tati aku acungi jempol. Dia mencari suatu acara yang layak diliput dan kantor kami kemungkinan besar bakal menyetujui untuk diliput. Acara-acara itu seperti Konferensi Tingkat Tinggi, atau pameran internasional, atau acara apa pun yang erat kaitannya dengan kepentingan Indonesia.
Mbak Tati memang trampil, dalam 3 hari dia sudah berhasil mengumpulkan acara-acara besar pada bulan Juli di Eropa. Kami lalu berdiskusi untuk memilah dan menentukan acara apa yang akan kami liput. Pilihan jatuh pada pameran furniture internasional di Paris. Sebelum kami putuskan untuk meliput acara itu, kami lalu menghubungi beberapa pengusaha besar furniture di Jakarta. Beberapa dari mereka ternyata berencana ikut dalam pameran itu, karena pameran itu dianggap banyak pembeli potensial dari seluruh Eropa.
Mbak Tati aku akui memang wartawan yang gesit dan kreatif. Belum sampai sebulan sejak pembicaraan kami di resto hari itu, dia sudah mengantongi komitment tiket dan hotel dari calon peserta pameran dari Indonesia. Para pengusaha itu antusias kesertaan mereka mendapat liputan dari media nasional, oleh karena itu mereka dengan senang hati menyediakan tiket pesawat, hotel, transportasi dan konsumsi selama mereka berpameran.
Tiket dan hotel itu bukan hanya untuk dia, tetapi juga untukku. Amanlah, tiket dan hotel sudah ditangan, masalahnya tinggal kami mengumpulkan untuk uang saku. Aku dan Mbak Tati akhirnya menjadi anggota delegasi untuk pameran ke Paris. Berbekal itu, kami bisa bebas fiskal di airport.
Kami targetkan dalam setahun ini bisa terkumpul masing-masing kami 2 ribu dolar. Jumlah yang lumayan besar di Indonesia, tetapi kalau dipakai melancong mungkin tidak terlalu besar. Memadailah.
Kami apply untuk peliputan ke panitia pameran di Paris, Prancis . Semua persiapan sudah rapi, tinggal apply visa dan izin dari kantor. Waktunya masih panjang jadi kami tidak perlu mengajukan perjalanan itu ke kantor kami masing-masing.
Untuk berjalan keliling Eropa, minimal harus menguasai bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Aku mengusulkan Mbak Tati untuk belajar bahasa Eropa melalui kursus. Dia setuju dan memilih belajar bahasa Prancis. Aku memilih bahasa Jerman. Bahasa Inggris tentunya sudah kami kuasai lah.
Jadwal perjalanan sudah selesai aku susun. Draft perjalanan ini sudah lebih dari 10 kali berubah karena berbagai keinginan dan penyesuaian di tempat tujuan. Semula aku menyontek dari acara tour dari travel biro. Namun setelah kupelajari tempat-tempat yang dikunjungi, terasa kurang menarik. Aku dan Mbak Tati tentunya tidak perlu berkunjung ke tempat-tempat seperti kalau di Jakarta, Dufan, Taman Mini, Taman Mekarsari atau ke Monas. Kami ingin lebih menyelami kehidupan masyarakat di berapa tempat di Eropa, yang pastinya jauh berbeda dengan kehidupan di Asia.
Sejak awal menerima ajakan mbak Tati, aku sebenarnya sudah memendam keinginan untuk mengunjungi tempat nudist. Aku bukan ingin melihat orang telanjang semata-mata, tetapi ingin merasakan, gimana sih rasanya telanjang secara bebas. Gagasan ini akhirnya aku utarakan juga kepada Mbak Tati, dengan rada malu-malu. Dia mulanya kurang setuju, karena dia tidak siap ikut menjadi nudis. Tapi kuyakinkan bahwa di tempat nudis, tidak perlu juga harus ikut nudis. Di beberapa tempat diperbolehkan tetap memakai bikini. Aku beralasan bahwa sampai saat ini belum ada media di Indonesia yang membuat reportase mengenai nudis. Rupanya liputan yang bakal ekslusif itu menggelitik Mbak Tati. “ Iya ya belum pernah aku baca laporan dari daerah nudis oleh wartawan Indonesia,” kata mbak Tati.
Akhirnya dia setuju. Aku lalu membayangkan bakal melihat mbak Tati bugil. Mbak Tati sebenarnya bukan wanita yang tergolong kurang menarik. Wajahnya rata-rata saja, tetapi kalau lama-lama di perhatikan banyak juga yang menarik darinya. Wajahnya ayu khas Jawa, badannya berisi dan nyaris over weight.
Setelah mantap menjelang 3 bulan keberangkatan kami mengajukan permohonan visa ke Kedutaan Prancis. Dengan dalih melakukan liputan, akhirnya kami mendapat visa Schengen tanpa kerepotan yang berarti.
Izin dari kantor sudah ditangan, bahkan kami sudah mengatur, selesai acara liputan kami langsung cuti 12 hari. Prakteknya kami cuti 15 hari karena ada 2 hari minggu dan sehari tanggal merah. Untuk acara peliputan sendiri adalah 4 hari. Jadi termasuk perjalanan pulang pergi kami melakukan perjalanan 21 hari.
Pada hari H kami berjanji ketemu langsung di Terminal 2D Soekarno Hatta. Ternyata hanya kami berdua yang statusnya wartawan, selebihnya ada sekitar 20 orang adalah para pengusaha mebel yang ikut di pameran itu.
Aku berhasil mengumpulkan 2000 dolar, bahkan kantor masih memberi tambahan 500 dolar.
Sesampai di tempat tujuan, ternyata aku dan Mbak Tati tinggal sekamar. Aku kuatir tapi juga senang. Kuatir karena bisa menimbulkan gossip diantara pengusaha mebel rombongan kami, tapi juga senang karena ya sekamar, jadi komunikasi lebih lancar. Yang membuat aku kikuk dan nggak enak hati adalah tempat tidur di kamar kami hanya satu bed yang lebar. Aku sudah mengurus ke front office, tapi katanya hotel penuh, jadi tidak bisa tukar kamar.
Mbak Tati tidak mempersoalkan , dia malah tenang-tenang saja. Untuk mengurangi rasa risih dan kikuk, aku candai dia bahwa mulai malam ini jadi suami istri yang tidur satu selimut. Mbak Tati hanya senyum mesem.
Malam pertama dan malam kedua tidak ada kejadian penting untuk diceritakan. Kami tidur dengan damai dan aku pun tidak berusaha memperkeruh suasana.
Mungkin karena sudah terbiasa, Mbak Tati jadi lebih santai. Pakaian dalamnya sering dibeber-beber di atas tempat tidur tanpa rikuh. Kadang-kadang malah hilir mudik hanya berbalut handuk hotel. Kalau melihat itu aku jadi kesengsem juga, pahanya kelihatan tebel dan lipatan buah dadanya sangat menggairahkan. Bokongnya tidak kalah menarik, karena menonjol banget..
Kesanku Mbak Tati meneruskan kebiasaannya dirumah dalam hal mau dan sesudah mandi. Aku memang dianggapnya anak kecil yang tidak perlu harus malu terhadapku.
Aku harusnya memang siap sampai pada tingkat melihat mbak Tati telanjang.
Di malam ketiga, atau malam terakhir kami di Paris, aku iseng ngomong ke mbak Tati. “ Mbak aku boleh nggak latihan nudis,”
“Latihan, gimana dik, kamu ini ada-ada saja, koq pake latihan segala.” katanya.
Aku mengatakan bahwa malam ini aku mencoba nudis di kamar dan tidur pun nudis. Aku tawarkan ke Mbak Tati, kalau dia mau ikut latihan ya monggo. “Ah aku nanti aja ah kalau sudah ditempatnya, masak di sini, kan kamarnya dingin, kalau telanjang kan tambah dingin ,” katanya.
Sepulang kami dari liputan kami lalu kembali ke hotel. Acara jalan-jalan keliling Paris, udah bosan. Semuanya mahal-mahal. Aku langsung kekamar mandi. Selain kebelet bab, aku ingin mandi.
Dari kamar mandi, aku keluar begitu saja telanjang sambil mengusap-usap handuk. mBak Tati kaget melihat aku bugil. “ Kamu kayak orang gila yang jalan-jalan telanjang di Jakarta,” ledek mbak Tati.
Untungnya penisku tidak berdiri, sebab di kamar mandi tadi sudah aku paksa keluar spermanya agar adiku yang satu ini anteng.
Jujur saja rasanya di dalam hati aku khawatir, malu dan sebagainya untuk memulai telanjang . Tapi semua itu aku redam. “ Kalau orang lain bisa, kenapa aku enggak,” begitu tekadku.
Aku sengaja mondar-mandir di kamar, membuat kopi, memanaskan air untuk bikin mi instan lalu duduk sambil nonton TV.
Aku leluasa ketika mbak Tati di kamar mandi. Keluar dari kamar mandi dia nekat juga hanya mengenakan celana dalam. Buset teteknya ternyata gede banget, gundal-gandul.
Untung aku lagi duduk sambil mengangkat kaki, sehingga penisku yang berdiri pelan-pelan jadi gak kelihatan. “Gitu dong mbak, jadi kita nanti terbiasa,” kataku.
“Ah kamu yang enak liat aku telanjang, “ kata mbak Tati sambil mondar-mandir membereskan baju dan memasukkannya ke koper.
“Aku nggak nyangka kalau tetek mbak ternyata besar dan bagus ,” kataku memuji.
Dipuji begitu Mbak Tati hanya menoleh ke arahku sambil memonyongkan mulutnya.
Mbak Tati kemudian berdiri dan memeriksa celana dalamnya. Dia seperti membetulkan letak sesuatu di dalamnya. “Mbak lagi dapet ya,” tanyaku seenaknya.
“Iya nih tinggal dikit, mungkin hari terakhir,” katanya.
Mbak Tati lalu berjalan senaknya, dengan hanya pakai CD. Aku pun berusaha cuek saja, tidak memperhatikan susunya. Dia pun seperti tidak memperhatikan penisku yang akhirnya kuyu kedinginan.
Aku masuk ke bawah selimut karena memang AC kamar dingin sekali. Aku sudah mematikan sejak tadi, tetapi sisa dingin AC sebelumnya masih menyengat.
Sambil tiduran aku berselimut dan menonton TV.
Benar-benar hebat, kami tidur satu selimut berdua dalam keadaan telanjang (mbak Tati nyaris telanjang sih), tetapi tidak terjadi apa-apa. Aku tidak percaya seandainya ada yang cerita begini ke aku.
Pagi-pagi aku langsung masuk kamar mandi dan bab lalu mandi. Takut bau, aku bab sambil merokok. Mandi buru-buru sambil keramas. Di kamar mandi udaranya dingin juga sih. Aku lalu mengeringkan badan dengan handuk. Tiba-tiba masuk Mbak Ratih tergopoh-gopoh dia lalu duduk di toilet dan terdengarlah desisan pancaran air seni. Ku ledek, “siulannya bisa dilaguin nggak”
“Jangan ngeledek, gua lagi kebelet banget nih,” katanya.
Setelah pipisnya reda, dibukanya celananya. Dia memperhatikan pembalutnya hanya ada noda coklat sedikit.
Tanpa basa-basi, Mbak Tati masuk ke bath tub dan menyiram seluruh tubuhnya termasuk rambutnya dengan air hangat. Aku yang sedang gosok gigi melihat dari pantulan cermin bahwa jembut Mbak Tati ternyata tebal sekali.
Mbak Tati minta aku menyabuni punggungnya. Aku menurutinya dan menanyakan bagian mana lagi. Dia bilang “ Enak aja, udah ah, punggung aja. “
Badannya lembut dengan lapisan lemak. Penisku jadi bangun. Mbak Tati meledek, “wah itu burung bangunnya kesiangan,” katanya. Ucapan singkatnya itu malah membuatku penasaran. Apa kira-kira maksud dibalik kata-kata itu. Apakah yang dia maksudkan bahwa aku tidak berani mengambil inisiatif mencumbunya, atau memang arti yang harafiah. Dari pada salah, laebih baik aku dianggap tidak berani mengambil inisiatif. Pilihan ini kuanggap terbaik, sebab kalau aku berinisiatif, kalau dia tidak bisa terima, dan aku dianggap menangguk di air keruh, akibatnya bisa runyam. Buktinya tadi waktu akusabuni dia tidak menizinkanku untuk menjamah tubuhnya lebih jauh. Akhirnya aku menjawab dengan lagak bodok. “Dari tadi udah bangun, dan tidur lagi, gara-gara liat mbak sih dia jadi marah,” kataku.
Aku cuek saja seperti tidak menginginkan apa-apa. Selesai gosok gigi aku langsung ngloyor keluar dan membuat sarapan sambil tetap telanjang.
Mbak Tati keluar dari kamar mandi juga telanjang bulat rupanya. Dia memilih-milih baju lalu dipakainya satu persatu. Seolah-olah dia di kamar sendirian sehingga tidak terlihat ada rasa malunya. Karena dia berlaku begitu, aku pun juga mencoba bersikap yang sama.
Kami lalu bersiap-siap chek out.
Lanjut di bawah gan.....
Oke langsung saja agan2 sekalian.
Copas/ Repost
Merasakan Hidup Nudist
By Jakongsu
Suatu hari kolegaku, seorang wartawati mengajak makan siang. Aku memang biasa makan siang bareng dia, jadi ajakan kali ini tidak aneh bagiku. Namun dia kali ini ngajak makan di restoran yang rada tenang. Biasanya kami selalu berburu makanan enak setiap jam makan siang. Kami sering bertemu jika melakukan tugas liputan. Dia penggemar makanan enak, seperti juga aku.
“Dik, yuk kita jalan-jalan ke Eropa, sekaligus liputan, aku kepengin keliling Eropa,” kata mbak Tati.
Gagasan mbak Tati agak menggugahku. Pertama, yang mengajak adalah Mbak Tati, wartawati senior, perawan tua. Karena asyik dengan pekerjaannya sampai umur 35 belum juga kawin. Padahal orangnya ramah, badannya proporsional, kulitnya putih. Kami beberapakali berkesempatan liputan bersama dia ke beberapa kota dan ada juga ke luar negeri. Namun bukan kami jalan berdua tapi, tetapi bersama rombongan wartawan.
Aku dan mbak Tati cukup akrab, hubungan kami hanya sebatas bersahabat, tidak lebih dari itu. Aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk mendekati mbak Tati lebih dari sahabat. Padahal kesempatan itu ada. Kami pernah tidur sekamar ketika melakukan liputan ke Tokyo. Sebetulnya kondisinya tidak sepenuhnya seperti itu, tapi ketika aku sedang dilanda sakit perut, aku memilih tinggal di kamar tidak meliput. Rupanya Mbak Tati rada malas , sehingga dia pun memilih tinggal di hotel. Dia memilih tinggal di kamarku. Namun tidak ada kejadian apa-apa, karena aku memang tidak berpikiran ke arah ngesek, dia pun mungkin begitu. Apalagi perutku mules dan mondar-mandir nongkrong di kamar mandi.
Ke Eropa, sebenarnya bukan hal baru bagi ku mungkin juga bagi Mbak Tati, Aku pernah ke Prancis, Austria, Swiss dan Jerman. Semua perjalananku hanya semata-mata tugas jurnalistik. Jadi tidak banyak waktu untuk jalan-jalan. Kesempatan di sela-sela kunjungan itu, paling-paling hanya melihat beberapa tempat terkenal dan tentunya mencari sesuatu untuk di beli. Itu berarti keliling ke pusat-pusat perbelanjaan. Ajakan Mbak Tati ini cukup menarik. Ada beberapa hal yang ingin kulihat mungkin juga mengalaminya. Ketika kutanya Mbak Tati apa yang ingin dilihat di Eropa, dia tidak secara spesifik menyebutkan. Dia hanya menginginkan jalan-jalan tour. Dia katanya juga pernah ke Eropa beberapa kali seperti ke Belanda, Inggris dan Swiss, tapi semua itu tidak bisa dinikmati sepenuhnya karena dalam rangka peliputan. Aku memahaminya, karena aku pun demikian. Dia ingin bebas tidak terikat waktu dan menikmati alam Eropa. Aku dipilihnya karena dia merasa cocok jika jalan denganku. Mbak Tati jika jalan keluar kota atau keluar negeri, jika ada waktu luang memang selalu menggandengku untuk menemaninya. Bahkan ketika dia ingin berdisko di Kuta Bali ketika kami sedang meliput di sana, dia mengajakku juga.
Itulah sedikit gambaran kearabanku dengan mbak Tati. Aku memang menjadi sahabatnya yang paling dekat, dia menganggap aku yang kala itu berumur 28 tahun sebagai adiknya.
Kami sama-sama bekerja di mass media Cuma beda surat kabar.
Mbak Tati lalu membeberkan rencananya keliling Eropa, dia ingin ke Belanda, Prancis, Jerman dan beberapa negara lainnya. Kami berbagi tugas. Dia menyusun strategi agar kami bisa dapat penugasan dari kantor untuk jalan ke Eropa. Sedangkan aku menyusun rencana dan memilih tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi.
Tidak mudah bagi kami untuk mendapat izin dari kantor melakukan liputan ke luar negeri, tetapi Mbak Tati punya kiat agar dapat izin. Jika peristiwanya tidak betul-betul menarik, maka mustahil kantor kami mengirim kami ke sana. Apalagi biaya untuk peliputan ke luar negeri, cukup besar.
Mbak Tati dengan antusias memastikan bahwa aku hanya perlu membekali diri dengan uang saku saja. Soal biaya yang lain-lain akan diusahakan Mbak Tati.
Dia menyarankan mulai menabung dari sekarang. Rencananya perjalanan itu pada bulan Juli tahun depan.
Strategi Mbak Tati aku acungi jempol. Dia mencari suatu acara yang layak diliput dan kantor kami kemungkinan besar bakal menyetujui untuk diliput. Acara-acara itu seperti Konferensi Tingkat Tinggi, atau pameran internasional, atau acara apa pun yang erat kaitannya dengan kepentingan Indonesia.
Mbak Tati memang trampil, dalam 3 hari dia sudah berhasil mengumpulkan acara-acara besar pada bulan Juli di Eropa. Kami lalu berdiskusi untuk memilah dan menentukan acara apa yang akan kami liput. Pilihan jatuh pada pameran furniture internasional di Paris. Sebelum kami putuskan untuk meliput acara itu, kami lalu menghubungi beberapa pengusaha besar furniture di Jakarta. Beberapa dari mereka ternyata berencana ikut dalam pameran itu, karena pameran itu dianggap banyak pembeli potensial dari seluruh Eropa.
Mbak Tati aku akui memang wartawan yang gesit dan kreatif. Belum sampai sebulan sejak pembicaraan kami di resto hari itu, dia sudah mengantongi komitment tiket dan hotel dari calon peserta pameran dari Indonesia. Para pengusaha itu antusias kesertaan mereka mendapat liputan dari media nasional, oleh karena itu mereka dengan senang hati menyediakan tiket pesawat, hotel, transportasi dan konsumsi selama mereka berpameran.
Tiket dan hotel itu bukan hanya untuk dia, tetapi juga untukku. Amanlah, tiket dan hotel sudah ditangan, masalahnya tinggal kami mengumpulkan untuk uang saku. Aku dan Mbak Tati akhirnya menjadi anggota delegasi untuk pameran ke Paris. Berbekal itu, kami bisa bebas fiskal di airport.
Kami targetkan dalam setahun ini bisa terkumpul masing-masing kami 2 ribu dolar. Jumlah yang lumayan besar di Indonesia, tetapi kalau dipakai melancong mungkin tidak terlalu besar. Memadailah.
Kami apply untuk peliputan ke panitia pameran di Paris, Prancis . Semua persiapan sudah rapi, tinggal apply visa dan izin dari kantor. Waktunya masih panjang jadi kami tidak perlu mengajukan perjalanan itu ke kantor kami masing-masing.
Untuk berjalan keliling Eropa, minimal harus menguasai bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Aku mengusulkan Mbak Tati untuk belajar bahasa Eropa melalui kursus. Dia setuju dan memilih belajar bahasa Prancis. Aku memilih bahasa Jerman. Bahasa Inggris tentunya sudah kami kuasai lah.
Jadwal perjalanan sudah selesai aku susun. Draft perjalanan ini sudah lebih dari 10 kali berubah karena berbagai keinginan dan penyesuaian di tempat tujuan. Semula aku menyontek dari acara tour dari travel biro. Namun setelah kupelajari tempat-tempat yang dikunjungi, terasa kurang menarik. Aku dan Mbak Tati tentunya tidak perlu berkunjung ke tempat-tempat seperti kalau di Jakarta, Dufan, Taman Mini, Taman Mekarsari atau ke Monas. Kami ingin lebih menyelami kehidupan masyarakat di berapa tempat di Eropa, yang pastinya jauh berbeda dengan kehidupan di Asia.
Sejak awal menerima ajakan mbak Tati, aku sebenarnya sudah memendam keinginan untuk mengunjungi tempat nudist. Aku bukan ingin melihat orang telanjang semata-mata, tetapi ingin merasakan, gimana sih rasanya telanjang secara bebas. Gagasan ini akhirnya aku utarakan juga kepada Mbak Tati, dengan rada malu-malu. Dia mulanya kurang setuju, karena dia tidak siap ikut menjadi nudis. Tapi kuyakinkan bahwa di tempat nudis, tidak perlu juga harus ikut nudis. Di beberapa tempat diperbolehkan tetap memakai bikini. Aku beralasan bahwa sampai saat ini belum ada media di Indonesia yang membuat reportase mengenai nudis. Rupanya liputan yang bakal ekslusif itu menggelitik Mbak Tati. “ Iya ya belum pernah aku baca laporan dari daerah nudis oleh wartawan Indonesia,” kata mbak Tati.
Akhirnya dia setuju. Aku lalu membayangkan bakal melihat mbak Tati bugil. Mbak Tati sebenarnya bukan wanita yang tergolong kurang menarik. Wajahnya rata-rata saja, tetapi kalau lama-lama di perhatikan banyak juga yang menarik darinya. Wajahnya ayu khas Jawa, badannya berisi dan nyaris over weight.
Setelah mantap menjelang 3 bulan keberangkatan kami mengajukan permohonan visa ke Kedutaan Prancis. Dengan dalih melakukan liputan, akhirnya kami mendapat visa Schengen tanpa kerepotan yang berarti.
Izin dari kantor sudah ditangan, bahkan kami sudah mengatur, selesai acara liputan kami langsung cuti 12 hari. Prakteknya kami cuti 15 hari karena ada 2 hari minggu dan sehari tanggal merah. Untuk acara peliputan sendiri adalah 4 hari. Jadi termasuk perjalanan pulang pergi kami melakukan perjalanan 21 hari.
Pada hari H kami berjanji ketemu langsung di Terminal 2D Soekarno Hatta. Ternyata hanya kami berdua yang statusnya wartawan, selebihnya ada sekitar 20 orang adalah para pengusaha mebel yang ikut di pameran itu.
Aku berhasil mengumpulkan 2000 dolar, bahkan kantor masih memberi tambahan 500 dolar.
Sesampai di tempat tujuan, ternyata aku dan Mbak Tati tinggal sekamar. Aku kuatir tapi juga senang. Kuatir karena bisa menimbulkan gossip diantara pengusaha mebel rombongan kami, tapi juga senang karena ya sekamar, jadi komunikasi lebih lancar. Yang membuat aku kikuk dan nggak enak hati adalah tempat tidur di kamar kami hanya satu bed yang lebar. Aku sudah mengurus ke front office, tapi katanya hotel penuh, jadi tidak bisa tukar kamar.
Mbak Tati tidak mempersoalkan , dia malah tenang-tenang saja. Untuk mengurangi rasa risih dan kikuk, aku candai dia bahwa mulai malam ini jadi suami istri yang tidur satu selimut. Mbak Tati hanya senyum mesem.
Malam pertama dan malam kedua tidak ada kejadian penting untuk diceritakan. Kami tidur dengan damai dan aku pun tidak berusaha memperkeruh suasana.
Mungkin karena sudah terbiasa, Mbak Tati jadi lebih santai. Pakaian dalamnya sering dibeber-beber di atas tempat tidur tanpa rikuh. Kadang-kadang malah hilir mudik hanya berbalut handuk hotel. Kalau melihat itu aku jadi kesengsem juga, pahanya kelihatan tebel dan lipatan buah dadanya sangat menggairahkan. Bokongnya tidak kalah menarik, karena menonjol banget..
Kesanku Mbak Tati meneruskan kebiasaannya dirumah dalam hal mau dan sesudah mandi. Aku memang dianggapnya anak kecil yang tidak perlu harus malu terhadapku.
Aku harusnya memang siap sampai pada tingkat melihat mbak Tati telanjang.
Di malam ketiga, atau malam terakhir kami di Paris, aku iseng ngomong ke mbak Tati. “ Mbak aku boleh nggak latihan nudis,”
“Latihan, gimana dik, kamu ini ada-ada saja, koq pake latihan segala.” katanya.
Aku mengatakan bahwa malam ini aku mencoba nudis di kamar dan tidur pun nudis. Aku tawarkan ke Mbak Tati, kalau dia mau ikut latihan ya monggo. “Ah aku nanti aja ah kalau sudah ditempatnya, masak di sini, kan kamarnya dingin, kalau telanjang kan tambah dingin ,” katanya.
Sepulang kami dari liputan kami lalu kembali ke hotel. Acara jalan-jalan keliling Paris, udah bosan. Semuanya mahal-mahal. Aku langsung kekamar mandi. Selain kebelet bab, aku ingin mandi.
Dari kamar mandi, aku keluar begitu saja telanjang sambil mengusap-usap handuk. mBak Tati kaget melihat aku bugil. “ Kamu kayak orang gila yang jalan-jalan telanjang di Jakarta,” ledek mbak Tati.
Untungnya penisku tidak berdiri, sebab di kamar mandi tadi sudah aku paksa keluar spermanya agar adiku yang satu ini anteng.
Jujur saja rasanya di dalam hati aku khawatir, malu dan sebagainya untuk memulai telanjang . Tapi semua itu aku redam. “ Kalau orang lain bisa, kenapa aku enggak,” begitu tekadku.
Aku sengaja mondar-mandir di kamar, membuat kopi, memanaskan air untuk bikin mi instan lalu duduk sambil nonton TV.
Aku leluasa ketika mbak Tati di kamar mandi. Keluar dari kamar mandi dia nekat juga hanya mengenakan celana dalam. Buset teteknya ternyata gede banget, gundal-gandul.
Untung aku lagi duduk sambil mengangkat kaki, sehingga penisku yang berdiri pelan-pelan jadi gak kelihatan. “Gitu dong mbak, jadi kita nanti terbiasa,” kataku.
“Ah kamu yang enak liat aku telanjang, “ kata mbak Tati sambil mondar-mandir membereskan baju dan memasukkannya ke koper.
“Aku nggak nyangka kalau tetek mbak ternyata besar dan bagus ,” kataku memuji.
Dipuji begitu Mbak Tati hanya menoleh ke arahku sambil memonyongkan mulutnya.
Mbak Tati kemudian berdiri dan memeriksa celana dalamnya. Dia seperti membetulkan letak sesuatu di dalamnya. “Mbak lagi dapet ya,” tanyaku seenaknya.
“Iya nih tinggal dikit, mungkin hari terakhir,” katanya.
Mbak Tati lalu berjalan senaknya, dengan hanya pakai CD. Aku pun berusaha cuek saja, tidak memperhatikan susunya. Dia pun seperti tidak memperhatikan penisku yang akhirnya kuyu kedinginan.
Aku masuk ke bawah selimut karena memang AC kamar dingin sekali. Aku sudah mematikan sejak tadi, tetapi sisa dingin AC sebelumnya masih menyengat.
Sambil tiduran aku berselimut dan menonton TV.
Benar-benar hebat, kami tidur satu selimut berdua dalam keadaan telanjang (mbak Tati nyaris telanjang sih), tetapi tidak terjadi apa-apa. Aku tidak percaya seandainya ada yang cerita begini ke aku.
Pagi-pagi aku langsung masuk kamar mandi dan bab lalu mandi. Takut bau, aku bab sambil merokok. Mandi buru-buru sambil keramas. Di kamar mandi udaranya dingin juga sih. Aku lalu mengeringkan badan dengan handuk. Tiba-tiba masuk Mbak Ratih tergopoh-gopoh dia lalu duduk di toilet dan terdengarlah desisan pancaran air seni. Ku ledek, “siulannya bisa dilaguin nggak”
“Jangan ngeledek, gua lagi kebelet banget nih,” katanya.
Setelah pipisnya reda, dibukanya celananya. Dia memperhatikan pembalutnya hanya ada noda coklat sedikit.
Tanpa basa-basi, Mbak Tati masuk ke bath tub dan menyiram seluruh tubuhnya termasuk rambutnya dengan air hangat. Aku yang sedang gosok gigi melihat dari pantulan cermin bahwa jembut Mbak Tati ternyata tebal sekali.
Mbak Tati minta aku menyabuni punggungnya. Aku menurutinya dan menanyakan bagian mana lagi. Dia bilang “ Enak aja, udah ah, punggung aja. “
Badannya lembut dengan lapisan lemak. Penisku jadi bangun. Mbak Tati meledek, “wah itu burung bangunnya kesiangan,” katanya. Ucapan singkatnya itu malah membuatku penasaran. Apa kira-kira maksud dibalik kata-kata itu. Apakah yang dia maksudkan bahwa aku tidak berani mengambil inisiatif mencumbunya, atau memang arti yang harafiah. Dari pada salah, laebih baik aku dianggap tidak berani mengambil inisiatif. Pilihan ini kuanggap terbaik, sebab kalau aku berinisiatif, kalau dia tidak bisa terima, dan aku dianggap menangguk di air keruh, akibatnya bisa runyam. Buktinya tadi waktu akusabuni dia tidak menizinkanku untuk menjamah tubuhnya lebih jauh. Akhirnya aku menjawab dengan lagak bodok. “Dari tadi udah bangun, dan tidur lagi, gara-gara liat mbak sih dia jadi marah,” kataku.
Aku cuek saja seperti tidak menginginkan apa-apa. Selesai gosok gigi aku langsung ngloyor keluar dan membuat sarapan sambil tetap telanjang.
Mbak Tati keluar dari kamar mandi juga telanjang bulat rupanya. Dia memilih-milih baju lalu dipakainya satu persatu. Seolah-olah dia di kamar sendirian sehingga tidak terlihat ada rasa malunya. Karena dia berlaku begitu, aku pun juga mencoba bersikap yang sama.
Kami lalu bersiap-siap chek out.
Lanjut di bawah gan.....