Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT MILF di Sekolah

Bimabet
Kan diawal sudah saya kasih keterangan...ini hasil karya suhu Isamu Takeo, saya juga sudah mohon ijin kepada yang bersangkutan
Boleh tahu cara masuknya blog suhu Isamu Takeo?
 
Update lagi ya!!! Part terakhir

Part XI


Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Saat itu masih pagi, dan badanku masih capek sehabis bekerja lembur melayani dua wanita di rumah Dearani. Siapa sangka, Bu Irda yang di sekolah selalu tampil anggun dan kalem, bisa berubah menjadi binal begitu bertemu sama kontol. Hampir aku takluk dengan serangannya. Rupanya dia tergoda ketika secara tak sengaja mendengar pembicaraan para Ibu yang membahas tentang kejantananku, dan akhirnya bertekad untuk membuktikannya. Secara dia sendiri juga kesepian karena tak mendapatkan kepuasan dari sang suami.
“Memang tak salah, Pak Bakri sungguh jantan dan perkasa!” begitu dia berkata saat kembali kubikin orgasme, terlihat begitu puas dan nikmat. Di sebelahnya, Dearani hanya tertawa saja. Aku menggeliat dan bangun, bersiap untuk mengantar Rangga ke sekolah.
Langit terlihat biru cerah, sama sekali tak ada awan yang mengusik. Semakin jauh, semakin biru dan kabur nampaknya. Setelah mandi dan sarapan, kami berangkat lewat jalan kecil seperti
biasanya. Di tikungan, kami bertemu dengan tiga Ibu-ibu lain. Anak-anak segera asyik ngobrol dan bercanda sesama mereka, sedangkan aku dengan senang hati menikmati pemandangan indah yang ada di depan mata. Perempuan pertama adalah Ranty, seorang ibu muda yang tubuhnya bikin ngiler karena memang montok sekali. Khaila berjalan di sebelahnya dengan jilbab lebar seperti biasanya. Dia inilah yang ditawarkan Shella kemarin, tapi terpaksa kutolak karena aku sudah ada janji dengan Dearani. Sedangkan di sampingku, Shella tersenyum-senyum melihatku. “Mungkin siang ini,” begitu aku berbisik kepadanya, yang langsung mendapat anggukan senang dari Khaila. “Memangnya ada acara apa?” Ranty bertanya penasaran. “Oh, bukan apa-apa,” Shella yang menjawab. “Pak Bakri cuma mau membantuku memasang lampu teras yang kemarin putus.” Kami menyusuri jalan setapak kompleks yang berlapis paving sambil terus berbincang-bincang. Saat itu matahari sudah sepenggalah tingginya. Sinarnya sudah mulai terasa panas. Aku hanya memakai kaos tipis serta celana pendek saja, tapi walau begitu tetap saja kegerahan. Kami melewati deretan rumah kosong yang belum ditempati. Sepi karena jalan ini memang jarang dilalui orang, tapi lebih cepat sampai di sekolah. Tiba-tiba Shella menangkap sesuatu yang melintas di depannya. Ranty langsung waspada. "A-apa itu?" tanyanya dengan sikap cemas.
"Ini," kata Shella. la memperlihatkan seekor binatang yang menyerupai ular. Warnanya kelabu keperakan, sedang matanya yang kecil berkilat-kilat. Ranty kontan terpekik. Apalagi saat dengan tiba-tiba Shella melemparkan binatang itu masuk ke dalam celah bajunya. "Hii, ular!" teriaknya sambil berjingkrak-jingkrak. Dia histeris. Benar-benar geli dan takut merasakan kulit binatang itu yang menggesek dingin di kulit tubuhnya. Gerakannya yang sembarangan membuat tonjolan payudaranya jadi terpental-pental, indah sekali. Aku dengan tak berkedip memperhatikan.
"Keluarkan, Mbak! Ambil dia dari tubuhku!” Ranty terus menggelinjang. Ingin dia mengambil binatang itu, tapi terlalu takut untuk memegangnya.
“Haha... biar saja, biar kamu nggak takut lagi sama binatang!” ujar Shella tega. Khaila ikut tersenyum melihat tingkah mereka. Bisa saja sebenarnya dia membantu, tapi sengaja diam saja. Sekali-kali bolehlah Ranty diberi pelajaran sedikit.
“Ambil ular ini, nanti aku digigit!” teriak Ranty, nampak semakin ketakutan.
"Mana mungkin," kata Shella sambil mencibir. "Itu bukan ular kok, tapi kadal" “Sama saja!” Ranty masih tetap takut. Dia begitu ngeri pada ular, sehingga baginya semua yang bergerak menggelincir pasti termasuk jenis ular. Dikibas-kibaskan kain bajunya yang tipis, sedikit diangkat juga, berharap binatang itu akan terlepas dan jatuh. Namun usahanya terlihat sia-sia. Malah yang ada, kulit perut dan sedikit payudaranya jadi kelihatan. Payudara yang masih terbungkus beha warna putih. Aku sedari tadi diam saja karena terus menatap benda itu, dengan kontol mulai ngaceng tentunya.
“Mbak, kumohon!” Ranty memekik menghiba. Terasa binatang berwarna kelabu keperakan itu menggeleser di atas dadanya. Tepat di atas belahan payudara. Dia menunduk untuk menjatuhkannya. Tapi bukan binatang itu yang muncul, malah belahan dadanya yang terlihat mengintip keluar. Karena bajunya berkerah lebar, maka saat ia membungkuk, siapa pun bisa dengan jelas melihat betapa besar dan padat tonjolan payudara yang ia miliki.
"Hiih... geli rasanya, Mbak! Cepat ambilkan!" kata Ranty sambil bergidik, payudaranya yang besar jadi bergoyang indah karenanya. Dan lagi-lagi, semua itu tak luput dari perhatianku. "Tolong, Mbak! Dari mana Mbak bisa tahu pasti kalau binatang ini bukan ular?"
"Lihat matanya, tadi dia berkedip-kedip. Sedang ular, matanya tidak mengedip," kata Shella. Sementara dia memberi penjelasan, Ranty yang sudah terlalu ketakutan melakukan sesuatu yang sama sekali tidak disangka oleh semua orang. Dia mengangkat dan melepas bajunya, memperlihatkan bentuk tubuhnya yang mulus menggoda. Payudaranya nampak besar, dengan ekor binatang itu mencuat tepat di tengah-tengah belahan. Kepalanya nyungsep di antara buah dada Ranty yang bulat dan empuk. Masih dengan tangan gemetar, Ranty berusaha untuk menariknya. Tapi tetap terlalu takut.
“Eh!” Shella terpana, Khaila memekik, sedangkan aku melongo. Baru sekali ini aku melihat payudara Ranty, lengkap dengan kesintalan tubuhnya, langsung tepat di depan mata. Sebenarnya, sudah sejak tadi aku merindukan hal ini. Dan sekarang, begitu sudah ada, tentu tak akan kusia-siakan. Memoriku yang tajam dengan cepat menyerap betapa besar dan padatnya benda itu. Kulitnya putih sekali, terlihat mengkilat oleh titik-titik keringat yang mulai muncul. Saat Ranty bergerak, benda itu juga turut memantul indah. Kalau misalnya payudara itu dijual di pasaran, aku pasti akan membelinya dengan harga berapa pun!
“Pak Bakri, tolongin nih! Aku... binatang ini, cepat ambil!” Ranty masih terus berteriak-teriak dan menggoyangkan badan. Shella yang tadinya terpana, kini malah tertawa. “Wah, dia nampaknya suka tuh, Mbak, bersarang di dadamu!”
Khaila terlihat kuatir, dia tahu apa yang sebentar lagi akan dilakukan Ranty kalau usahanya yang ini tidak berhasil. “Sini, Mbak. Aku bantu.” Dia maju menghampiri. Namun terlambat. Sedetik sebelum dia sampai, Ranty sudah keburu melepas behanya. Bukan melepas seutuhnya, Ranty hanya membuka bagian cup. Kiri dan kanan. Tapi itu pun sudah cukup membuat daging payudaranya terburai keluar, dua-duanya.
“Eh, Mbak!” Khaila memekik bingung, berusaha menutupi benda bulat sebesar semangka berwarna putih itu. Putingnya yang kemerahan nampak mengacung tegak, menunjuk ke depan. Sepertinya bakal nikmat sekali kalau dikulum dan dihisap. Shella terus tertawa, merasa lucu dengan tingkah sahabatnya. “Goyangkan
susumu, Mbak. Binatang itu terjepit tuh,” teriaknya. Ranty menurut. Dia menggoyangkan bulatan payudaranya, memberi pemandangan paling indah kepadaku. Panorama sejuk pagi hari yang sejak tadi kunikmati, langsung sirna tidak ada apa-apanya dibandingkan yang ini. Aku tersedak, nampak kesulitan menelan ludah. Tapi mataku terus menatap, bibirku menyunggingkan senyum aneh, sementara batang penisku menegak semakin kencang.
“Tenang, Mbak. Jangan bergerak.” Mata binatang melata itu berkedip-kedip menatap Khaila yang mendekat. Ia tetap tenang bertengger di antara bulatan payudara Ranty, tanpa berusaha untuk lari. Khaila mengambilnya, membuangnya ke tanah. Lalu membantu Ranty memasukkan kembali tonjolan buah dadanya ke dalam beha. Shella tetap tertawa, sedangkan aku hanya mesem saja. Selesai sudah pemandangan indah itu, tapi aku sudah memiliki cukup bahan untuk memimpikan Ranty malam nanti.
“Iihh... Mbak Shella nakal! Tega ya, aku kan jadi malu.” Ranty memukul bahu Shella berkali-kali. Wajah cantiknya memerah, dia terlihat kesal sekali pada Shella.
“Haha, aku kan cuma bercanda, Mbak.” Shella menjawab santai.
“Pakai dulu bajumu, Mbak.” Khaila memberikan baju Ranty. Selama itu, aku tetap diam. Mataku terus melirik penuh minat pada buah dada Ranty yang kini sudah tertutup rapat. Tapi bagiku, benda itu masih tetap terbuka, telanjang seperti tadi, memantul-mantul tepat di depan mata. Indah sekali.
“Tuh mulutnya ditutup, Pak!” Khaila menepuk bahuku. “Nanti kemasukan lalat!”
“Eh, i-iya!” jawabku tergagap.
Shella yang baru sadar kalau aku sedari tadi melongo memandangi kesintalan tubuh Ranty, ikut berkata, “Tenang, Pak. Bisa kurundingkan kalau memang Pak Bakri mau. Haha...” godanya.
“Ah, benarkah?” jawabku sambil terus memelototi dada Ranty.
“Lihat nanti aja. Sekarang ayo kita lanjutkan perjalanan, nanti keburu siang.”
Shella buru-buru menggandeng lenganku.
“Hihi... nggak usah grogi begitu, Pak. Santai saja.” kata Khaila sambil ikut melangkah. “Kayak nggak pernah lihat susu aja!”
"Sudah ah, jangan dibicarakan lagi.” pungkas Ranty, dan semua langsung terdiam.
Kami pun meneruskan perjalanan menuju ke sekolah. Rasanya tak sabar menunggu siang, saat aku bisa mencicipi tubuh mulus Khaila—dan Ranty juga?
Ah, mudah-mudahan saja. Dalam hati aku berterima kasih kepada Shella, ulahnya tadi membuat suasana pagi ini menjadi lebih seru. Sekolah berjalan seperti biasa, aku menunggui Rangga sambil menatap kerumunan Ibu-ibu yang lagi asyik ngerumpi. Yang tersenyum-senyum melirikku, itu tandanya mereka sudah kutiduri. Jumlahnya hampir separoh dan nampaknya akan terus bertambah. Bubar sekolah, agak telat aku tiba di rumah. Selain sekolah berlangsung sedikit lebih lama, aku juga harus dua kali memuaskan Bu Irda yang tiba-tiba menyeretku masuk ke toilet guru di saat jam pelajaran berlangsung. Rupanya
Ibu Kepala Sekolah itu sudah ngebet sekali, mungkin karena malamnya tidak mendapat jatah dari sang suami. Jadilah kami bermain dalam diam, takut dipergoki oleh orang lain. Janji dengan Khaila terpaksa kubatalkan karena badanku memang capek sekali. Shella bisa mengerti, malah dia berkata, “Yang penting uang aja dulu, Pak. Khaila butuh buat belikan sepatu anaknya.” Kuberikan tiga lembaran merah kepadanya. “Kalau Ranty, bagaimana?”
“Masih kuusahakan, tapi sepertinya gampang.”
“Sip! Jangan lama-lama ya?” Kupeluk dia dan kuremas sebentar bulatan payudaranya, lalu kami berpisah. Dan sekarang, dengan lemas aku masuk ke dalam rumah. Badanku letih sekali. Aku langsung menuju ke kamar setelah sebelumnya menghidupkan TV untuk Rangga yang mau bermain PS. Penat setelah ngentot membuatku cuma punya satu pikiran, mandi air dingin! Lekas aku melepas baju dan melangkah menuju kamar mandi. Kubuka pintunya yang tak terkunci dan... astaga! Hampir lepas jantungku begitu di dalam bathtubs kulihat sesosok tubuh berbaring telentang. Dengan tubuh telanjang.
“Furi!” teriakku sambil kalap menutupi kontolku yang telanjang. Furi adalah menantuku. Sekilas tentang dia: Furi berumur sekitar dua puluh tujuh tahun, bodinya bongsor, langsing dan tidak gemuk, dadanya lumayan besar, dan yang menurutku paling menarik, pantatnya kelihatan bulat dan padat sekali. Mendengar jeritanku, Furi tetap tidak bergeming dengan mata terpejam dan headset di telinganya. Oo, rupanya dia ketiduran. Pantas saja dia tidak mendengar ketika aku masuk. Pelan-pelan aku beringsut, ingin balik ke kamar lagi. Tapi, “Lho, ayah!” Aku mendengar dia menjerit kaget melihatku yang telanjang bulat berdiri di hadapan tubuh bugilnya.
“Iya, Fur. Ini aku! Kamu ngapain berendam di sini?” jawabku sambil berusaha menutupi kontolku yang jadi setengah tegang melihat tubuh putih mulus miliknya.
“Hehehe… Maaf, Yah. Aku pinjam bathtubs-nya, habis gerah sekali sehabis pulang kerja.”
“Memang kamar mandi di kamarmu rusak ya?” Dia memang punya kamar mandi sendiri, jarang sekali memakai yang ini.
“Lagi males aja. Aku pengen berendam, di kamarku kan nggak ada bathtubs-nya. Begitu datang tadi, ayah belum pulang. Kamar mandi kosong, ya aku manfaatkan.” cerocosnya dengan hanya melintangkan tangan kirinya ke dada untuk menutupi puting susu. Yah paling tidak putingnya terhalang, dan tangan kanannya menjulur ke bawah untuk menutupi belahan memeknya. Tanpa berusaha untuk bangun, alias masih dengan cueknya telentang di hadapanku. Furi ini anaknya memang santai. Selain seenaknya sendiri, sebenarnya dia orangnya asyik dan terbuka, juga berwawasan luas. Aku sangat cocok ngobrol sama dia. Ya tapi maksudnya bukan ngobrol dalam keadaan bugil. Aku sendiri kalang kabut berusaha menutupi kontolku yang semakin membesar dan mengeras di depan tubuh bugilnya.
“Sudah, gantian kalau begitu. Aku juga pengen berendam, Fur.” sahutku serak.
“Ah, lagi enak ini, Yah. Kalau ayah cuma mau berendam, kenapa harus ribut? Ini tempatnya masih luas.” katanya lagi. Aku garuk-garuk kepala menyadari maksud dari ucapannya. Tanpa sadar kulepaskan tangan yang kupakai menutup kontolku. “Enggak, Fur. Kamu keluar dulu, aku mau berendam!” kataku lagi.
“Ayah tega ah! Tinggal masuk aja kenapa sih? Kan muat berdua…”
“Tapi, Fur...”
“Takut burung ayah yang beringas itu nyenggol aku, ya?” katanya riang. Aku kembali teringat kontolku yang memang sudah setengah tegang. Dengan reflek aku kembali membekapnya memakai kedua tangan. “Fur, aku nggak bisa berendam berdua sama kamu.” kataku lagi.
“Ya itu urusan ayah. Kalau mau berendam harus mau berbagi.” jawabnya santai sambil membenahi headsetnya dengan tangan kanan, dan mulai menutup matanya kembali, meneruskan tidur. Alhasil belahan memeknya yang berambut tebal jadi kembali terhidang bebas di hadapanku. Aku jadi bingung, apa yang harus kulakukan? Dia ini menantuku sendiri, istri dari anakku. Tapi sikapnya yang menantang itu bikin aku geregetan. Tubuh bugilnya yang begitu indah juga membuat kontolku kian membesar.
“Geser, Fur!” kataku pada akhirnya, menyerah pada nafsuku sendiri. Kalau memang dia yang meminta, kenapa aku harus menolak? Cepat kususul dia masuk ke dalam bathtubs. Furi hanya melenguh dan menggeser sedikit posisinya ke kiri. Aku berbaring di sebelah kanannya, bathtubs itu cukup besar tapi pada dasarnya adalah single bathtubs, jadi kami tetap berhimpitan. Bagian kiri tubuhku bersentuhan dengan bagian samping kanan tubuhnya. Aku lirik susunya yang kurang berhasil ditutup dengan tangan kiri, menggelembung naik turun seiring dengan tarikan napasnya.
“Jangan lihat-lihat, Yah. Nanti nafsu lagi!” katanya sambil masih memejamkan mata.
Sialan nih anak! batinku. “Memang aku ini manusia nggak bermoral, Fur, nafsu sama menantu sendiri?” sanggahku.
“Kalau ayah sih, aku yakin bermoral. Tapi bagaimana dengan burung ayah yang masih terasa beringas, nyundul-nyundul di pahaku?” katanya santai.
”Lho, berarti kamu perhatian ya sama kontolku?” Sengaja aku langsung menyebut kata ‘kontol’ biar terdengar vulgar dan kasar untuk menyindir kata-sarkasmenya barusan.
”Hahaha…” dia malah tertawa. “Lha kontol ayah besarnya segitu, masak nggak menarik perhatian. Aku kan wanita normal, Yah!” sahutnya dengan menekankan kata ‘kontol’, membalas sindiranku sambil membalikkan tubuh. Sekarang dia terbaring miring memunggungi aku. Aku ikutan miring menghadap ke dia. Tanpa penghalang, mau tidak mau kontolku jadi menempel di belahan pantat sekalnya.
“Eh, sekarang malah nempel di pantat!” katanya masih selebor.
“Salah siapa ngotot berendam bareng, sudah tahu bathtubs-nya sempit!”
“Aduh, kaku sekali sih kontol ayah.” keluhnya. “Ihh, jangan digerak-gerakkan, Yah, nanti bisa masuk ke lubangku, soalnya kepalanya pas berada di tengah-tengah!”
Karena bentuk kontolku yang panjang dan agak bengkok ke dalam, posisi ini tentu saja sangat menguntungkan, soalnya kepala kontolku langsung berhadapan dan menempel di mulut memek Furi. Meski mertua dan menantu, kami adalah manusia bukan patung. Tentu saja aku terus bergerak, minimal kontolku pasti berkedut-kedut menempel di memeknya. Tidak memakan waktu lama, kepala kontolku sudah menyeruak di pangkal bibir memek Furi dari arah belakang, membuka kelopak memeknya dan bersentuhan dengan ujung jalan masuk ke relung vaginanya. Ditambah licinnya air bathtubs yang dicampur dengan sabun aromatherapy, makin mudahlah senjataku meluncur.
“Yah, mundur sedikit. Kepala batang ayah sudah mulai masuk di lubangku, geli sekali.” kata Furi berbisik.
“Iya, sebentar.” kataku, tapi aku tidak juga segera mundur. Aku sengaja membiarkan kontolku dalam posisi itu, habis enak sih.
“Kalau begini yang nakal siapa, aku atau ayah?” Furi cekikikan.
“Hehehe… memang aku pernah bilang kalau aku orangnya alim?”
Bless…!! Pelan tapi pasti, karena licinnya lubang memek Furi, atau mungkin juga karena cairan memeknya yang sudah mulai mengalir, dari belakang kontolku meluncur semakin dalam ke relung memek menantuku itu.
“Aaaagghh…” erang Furi lembut. “Jangan dimasukkan, Yah! Cepat cabut! Aaarrgghhh…” erangnya lagi, tapi tanpa reaksi penolakan apapun dari gerakan tubuhnya. Tak seberapa lama, tanpa dorongan pinggul pun, kontolku sudah masuk setengahnya ke lobang kewanitaan dia. Masih tidak ada reaksi penolakan, hanya Furi jadi diam, tidak banyak bicara seperti tadi. Pelan tapi pasti, aku mencoba menggoyang pinggulku naik turun. Di dalam kepalaku memang seperti ada teriakan penolakan, “Dasar gila! Apa yang aku lakukan? Masa aku ngentoti menantuku sendiri?!” Tapi kalau dilihat dari awal muasal kejadian ini, kan dia yang memulai. Lagipula, juga tidak ada pemaksaan maupun penolakan, jadi ini bukanlan sebuah pemerkosaan. Kami hanya dua manusia dewasa yang menyalurkan kebutuhan, pikirku mencari pembenaran dari tindakanku ini. Selang beberapa lama aku menggoyang-goyangkan pinggul, terasa seperti ada empotan di dalam liang memek Furi. Gila! pikirku. Empotan ayam! Aku memejamkam mata menikmati sedotan-sedotan erotis dari liang vagina menantuku ini, hingga pada satu titik aku tidak tahan lagi. Sambil berkata,
“Maaf, Fur!” Kupeluk pinggangnya dan kuhujamkan kontolku sedalam mungkin.
“Arrrgghhh… Ayaaaahhhh!” erangnya tertahan. Dengan posisi miring tersebut, aku genjot dia sejadi-jadinya. Air memercik kemana-mana, sedangkan Furi menggelepar-gelepar seiring genjotanku yang semakin cepat. Ia tanpa canggung mengerang-erang dan berteriak. “Aarrghh… ayaaahhh… oogghhh… aghh… agh… agh... aagghhh…”
Karena di bathtubs, aku merasa kurang bebas menyetubuhinya, sedangkan nafsuku sudah benar-benar meledak-ledak. Maka kucabut kontolku, lalu berdiri. Kubopong dia dari bathtubs—masih tanpa penolakan—lalu kutaruh tubuh bugil dan basah kuyupnya di lantai kamar mandi yang dingin. Dengan penuh nafsu kusosor mulutnya yang sedari tadi mengerang-erang. Sambil berciuman kutindih dia dan kembali kuarahkan kontolku ke lubang memeknya Blessh! Kali ini dengan mudah kontolku menerobos memek Furi yang sudah basah kuyup. “Aahh… ahh… arrggghhh… mmmpppfftt… mmppfttt…” dia mengerang keenakan.
Setengah jam aku menghajar memeknya dengan posisi aku berada di atas. Memang sengaja aku tidak berganti posisi karena disamping aku malas, aku juga sangat menikmati jepitan memek Furi yang istimewa sambil tak henti-henti
melumat bibir dan lidahnya yang menggemaskan. Hingga akhirnya terasa lahar pejuhku hampir meledak.
Aku lepaskan ciumanku dan bertanya, “Fur, boleh kukeluarkan di dalam?”
“Aagghh... terserah ayah! Aku lagi amannn… dan aku juga mau dapet lagii…”
“Kalau begitu kita keluar barengan, Fur! Aarrrrgghhhh!”
Tak berapa lama kemudian, aku muntahkan sperma panasku di rahimnya. Kuhujamkan dalam-dalam kontolku ke belahan memek menantuku itu. Furi juga mengerang keras sambil mendekap erat dan mencakari punggungku. Setelah berguncang-guncang hebat, akhirnya tubuhnya terhempas ke lantai dengan lemas. Masih dalam posisi menelungkup, kubiarkan kontolku terus menancap di lubang memeknya.
Aku cuma bergeser ke samping agar Furi bisa bernafas. Dengan masih memeluk, sesekali kusosor bibirnya yang menggemaskan itu, seakan tak ada puas-puasnya aku melumat. Furi hanya tertawa-tawa kecil dan melayani setiap kecupan-kecupan nakalku dengan senang hati.
“Sudah, Yah!” katanya sambil beranjak dari lantai, lalu menuju ke bathtubs lagi.
“Mau berendam lagi, Fur?” tanyaku.
“Enggak. Mau mandi aja, terus makan yuk?” ajaknya.
“Ayo, kebetulan aku juga sudah lapar. Mana lemes lagi.”
“Hihihi, habisnya ayah menggoyang seperti kesetanan begitu.” jawabnya.
“Gara-gara memek kamu yang enak sekali, bikin aku jadi lupa diri. Dapat berapa kali kamu, Fur?” tanyaku menggoda. “Tiga!” jawabnya selebor. Sama sekali tak terlihat menyesal sudah berselingkuh dengan mertuanya sendiri. Aku menyusul dia ke shower, kami mandi bersama. Hampir saja aku tak tahan, mau kuentoti lagi dia dari belakang. Habis pantatnya putih dan montok benar. Sungguh beruntung anakku yang bisa mendapatkannya sebagai istri.
Kami makan makanan yang tadi dibawa Furi di ruang tengah. Rangga sudah tertidur pulas di depan TV, yang segera dipindahkan Furi ke kamar. Belahan dada menantuku itu terlihat mengintip nakal dari kaos yang ia kenakan, sedangkan pinggul montoknya hanya dibungkus hotpants ketat dan kekecilan, tanpa memakai cd. Jadinya memek Furi nampak menerawang dan sedikit basah, mungkin akibat terkena sisa-sisa spermaku yang masih sedikit mengalir keluar dari lubang memeknya.
“Kamu tadi ke sini naik apa, Fur?” tanyaku memecah keheningan, karena tak kulihat mobilnya di garasi.
“Diantar teman.” jawabnya.
“Mau balik ke butik apa enggak?” tanyaku sambil masih jelalatan melihat tubuh indahnya.
“Balik, tapi nanti agak-agak sore.” jawabnya. “Lagian kalau di sini, alamat nggak bisa istirahat, diganggu terus sama ayah. Hihihi…” tambahnya lagi. Tidak menjawab, aku hanya bisa ikut tersenyum. Furi beres-beres piring bekas makan kami, dibawanya ke tempat cuci piring dan mulai membilasnya. Dari belakang, celana hotpants yang dia pakai terlihat hampir tidak dapat menutupi benda apapun yang ada di baliknya. Pantatnya nampak membulat penuh, bergoyang-goyang indah seiring kegiatan dia mencuci piring. Libidoku langsung terbakar dengan cepat melihat bodi menantuku yang baru saja aku entoti tadi
“Satu ronde lagi yuk, Fur!” Aku tiba-tiba sudah berada di belakangnya, menempelkan kontolku yang sudah setengah tegang ke belahan pantatnya dan berbisik tepat di telinga. Aroma rambut yang habis keramas menusuk sekali ke hidung, membuat libidoku tambah tak karu-karuan. Furi menoleh ke arahku, menempelkan bibirnya di bibirku dan menggigitnya kecil, lalu sambil masih mencium dia berkata, “Ogah ah, aku merasa bersalah sama Mas Ijang, Yah.” Ijang adalah nama anakku, suami Furi.
“Ayolah! Kalau kita simpan ini di antara kita saja, mana ada yang tahu?” sanggahku sambil bibirku mulai mengenyoti bibirnya.
“J-jangan, Yah!” katanya pendek sambil menjulurkan lidah hangatnya, menyentuh ujung lidahku. Libidoku tambah terbakar habis-habisan. Cepat aku nyosor bermaksud untuk melumat dalam-dalam, tapi Furi lebih cepat menarik kepalanya ke samping sehingga aku hanya menghantam angin. Melihat aku tidak mengenai
sasaran, dia cekakak-cekikik tertawa sambil menjulur-julurkan lidah, mengejek. Tangannya lalu menjulur meremas kontolku dan bilang, “Coba ini sedikit dikendalikan, Yah! Selain sama aku, pasti ayah sudah ngeseks sama puluhan wanita lain? Bener nggak? Ayo ngaku, sudah berapa wanita yang ayah entoti sampai saat ini?” katanya lagi.
“Emm...” aku tak langsung menjawab. “Memang kamu tahu darimana?” tanyaku lanjut.
Perbincangan ini terjadi dalam posisi aku masih memeluk Furi dari belakang, dan kontolku yang setengah tegang menempel erat di belahan pantatnya yang hanya dialasi oleh celana hotpants ketat, tanpa celana dalam.
“Jawab dulu pertanyaanku, sudah berapa wanita yang Ayah tiduri?” dia mendesak.
“Hmm, cuma kamu.” jawabku asal.
“Bohong!” Furi menggoyang-goyangkan pantatnya yang bulat sekal, membuat kontolku yang masih menempel di sana jadi semakin keras menegang. “Berapa, Yah?” desaknya lagi. “Kenapa sih kamu pingin tahu?” aku masih mencoba mengelak.
“Jujur saja sama aku, yah! Kalau Ayah jujur, mungkin aku bisa membantu mencari jalan keluar buat libido Ayah yang ugal-ugalan itu!”
Tawarannya tampak menggiurkan. “Baik, aku akan jujur. Tapi jawab dulu pertanyaanku dengan jujur pula" kataku menantang. “Oke, silakan. Ayah pengen tahu apa?” jawab Furi.
Masih dengan memeluknya, aku berkata, “Apa pertimbangan kamu kok sampai mau ngentot sama ayah tadi, soalnya ayah tahu kamu orang yang selalu penuh pertimbangan?”
“Hihihi…” Furi tertawa kecil. “Pertanyaan ayah kurang berbobot. Agak susah mikir ya, Yah, pas lagi horny begini?” lanjutnya sambil masih ketawa-tawa dan menggoyang-goyangkan pantatnya menggoda.
”Ayo jawab!” Tak kutanggapi ejekannya.
“Oo... apa tadi pertanyaannya?”
“Ah, ngeles aja kamu. Apa pertimbangan kamu mau ngentot sama ayah?
Nggak mungkin kalau kamu khilaf, aku kenal siapa dirimu, Fur!” jawabku. Furi menarik napas sejenak. “Percaya apa nggak, sejujurnya aku memang khilaf, Yah. Aku lagi punya masalah sama Mas Ijang, dia tak pernah bisa memuaskan aku! Melihat burung ayah, juga dari cerita Ibu-ibu di sekolah, aku jadi kepikiran buat membuktikannya. Dan akhirnya, siang ini... ngentot-ngentot deh. Masa orang lain dapat enak, tapi menantu sendiri cuma diiming-iming saja?”
”Ah, dasar kamu!” Kuremas payudaranya. “Ngomong-ngomong, kamu pernah nggak tidur sama laki-laki lain selain Ayah? Kan tadi kamu bilangnya nggak puas sama Ijang.”
Dia tersenyum. ”Ayah pengen tahu?”
Aku mengangguk, memeluknya semakin erat.
“Iya pernah. Tapi aku menyesal, Yah.”
“Menyesal? Kenapa?”
“Menyesal karena beberapa pria yang pernah kugoda, tidak ada yang seberingas Ayah, hehehe…”
“Bisa saja kamu, Fur.” Kucium pipinya dan kuremas-remas lagi bulatan payudaranya. Tak berkedip kuperhatikan dua tonjolan bukit kembar di puncak buah dadanya. Puting itu seakan berlomba ingin melompat ke luar dari kaos tipis tanpa beha yang dia kenakan. Naik turun seirama dengan aliran nafas Furi yang menurutku tampak sedikit kurang teratur. Gairahku semakin naik ke ubun-ubun, remasan lembutku berubah menjadi keras, semakin kuat, lalu berlanjut menjadi gerakan jari yang melingkar-lingkar di seputaran puting. Melingkar dan sesekali mencolek dengan lembut ujung puncak puting yang terasa semakin mengeras itu. Lalu gerakan itu berubah menjadi pilinan terhadap puting Furi. Seperti sedang mencari chanel radio, aku memilin-milin puting yang semakin keras itu. Kontolku juga sudah ngaceng sepenuhnya. Entah kenapa, sensasi ini benar-benar membakar birahiku, membara panas dan liar. Furi sendiri hanya mendesah-desah, malah sesekali aku mendengar rintihan halus keluar dari mulut manisnya. Walaupun aku orangnya suka tidak kontrol terhadap birahi, tetapi aku dapat menjadi orang yang sangat sabar apabila melakukan foreplay dan merangsang pasangan. Bisa dibilang, aku selalu mengerti dimana titik lemah seorang wanita, perlakuan apa yang paling dia sukai, dan apa yang dapat membakar birahinya. Masih bermain-main dengan keterampilan jariku, tangan kananku meremas dan memilin-milin dada Furi, sedang tangan kiriku bergerak dari bawah ke arah pangkal lehernya, menyusur belakang telinganya, lalu berbalik ke depan dan mengusap lembut bibirnya. Furi mulai lebih jauh terpancing, lidahnya mulai terjulur menyambut jari-jariku yang bermain-main di bibirnya. Sejurus kemudian jariku telah bertarung dengan sengit melawan lidahnya yang menjilat-jilat liar. Seiring dengan puntiran tangan kananku di kedua putingnya, kumasukkan kedua jariku ke mulutnya dan menjepit lidahnya.
“Arghhh…” Furi menggelinjang, lalu tiba-tiba mengubah posisinya menjadi telentang di atas meja makan. Ia kangkangkan kedua kakinya. Aku tidak menyadari kapan tangannya sudah masuk ke celana hotpants yang ia kenakan dan mengobel memeknya sendiri dengan kedua tangannya. Kukeluarkan tanganku dari mulutnya dan kugunakan keduanya untuk memproses buah dada dan putingnya. Furi semakin kesetanan mengobel lubang memeknya. Aku pun semakin tak tahan, dengan penuh nafsu kutarik kaosnya ke atas hingga tarpampanglah buah dada menantuku yang montok itu, lalu dengan segera aku menunduk dan mempermainkannya dengan mulut dan lidahku.
Furi semakin menjadi-jadi, diobelnya sendiri memeknya dengan kedua tangan sambil mendesah-desah tak karuan. Jilatanku pun semakin turun, ke arah perutnya, lalu kusodok-sodok pusarnya dan kupermainkan dengan lidahku. Erangan dan lenguhan Furi semakin keras, aku pun semakin bergerak ke arah bagian bawah tubuhnya. Dengan posisi merangkak di atas badannya dalam gaya enam-sembilan, kupelorotkan hotpants yang menutupi memek tanpa cd itu. Aku tercengang melihat tiga jari Furi sudah masuk ke lubang memeknya yang sudah sangat basah.
Aku segera mencabut jari-jari itu, menyingkirkan tangannya dan menggantikannya dengan mulut dan lidahku. Baru beberapa jilatan dan hisapan, Furi sudah mengejang-ngejang dengan keras dan menyemburkan cairan orgsmenya beberapa kali ke mulutku. Tanpa menyia-nyiakan cairan favorit yang beraroma sangat aku sukai itu, aku menghisapnya habis tanpa ampun. Furi pun akhirnya menggelosoh lemas seusai orgasme. Terengah-engah dia berkata, “Hehehe... trims ya, Ayah.”
“Kamu enak?”
“Banget…”
“Mau mandi lagi?”
“Ah, nanti saja. Aku masih mau menikmati sisa orgasmeku dulu.”
Aku kembali duduk dan memegangi kontolku. “Kalau tak keberatan, kamu tetap saja di posisi itu. Ayah mau ngocok sebentar.”
“He’eh. Silakan, Yah!” jawabnya.
Aku pun segera mengeluarkan kontolku dan dengan posisi mengangkang di antara kepalanya, aku mulai mengocok sambil memperhatikan matanya yang sayu menatap kontolku yang kukocok dengan tanganku sendiri. Praktis kontolku hanya berjarak beberapa centi dari mukanya. Lalu sengaja aku menurunkan sedikit posisiku sehingga biji pelirku menggesek hidung dan mulutnya. Aku berharap dia sedikit terangsang dan mau membantuku dengan menjilati buah pelir maupun batang kontolku. Sialnya, Furi tidak bereaksi. Aku tahu dia sengaja melakukan itu. Tapi tidak masalah, dengan pemandangan seperti ini—matanya yang tidak berkedip menatap kontolku yang sedang kukocok, dadanya yang terpampang indah, dan memeknya yang masih kelihatan licin mengkilap—tidak butuh waktu lama bagiku sebelum akhirnya menyemburkan sperma. Aku memang tidak berniat menahannya terlalu lama walau aku mempunyai kemampuan untuk itu. Dan semburan spermaku sengaja kuarahkan ke atas bibir menantuku. Furi pun tidak protes atau pun mengubah posisinya sehingga spermaku sukses membanjiri mulutnya. Malah dia tersenyum dan menjilat sedikit pejuh yang belepotan di bibirnya itu. Hanya itulah yang terjadi siang hari itu. Kami tidak ngentot lagi, hanya tidur berpelukan sampai sorenya aku mengantar Furi balik lagi ke butik. Hari bergulir kembali, memang paginya aku sempat menindih Furi kembali sebelum dia berangkat kerja. Ada pandangan aneh di mata Ijang waktu mengetahui istrinya agak lama berada di dalam kamarku, tapi dia diam dan tidak bertanya macam-macam. Di sekolah kubatalkan janjiku dengan Khaila karena Shella ternyata tidak mampu membujuk Ranty. Aku maunya mereka jadi satu paket, langsung kuentoti berdua. Aku tak mau kalau cuma Khaila sendirian, habis dia tidak terlalu cantik sih. Untuk uang tiga ratus ribu yang kadung kuberikan, biarlah jadi sedekah penebus dosa-dosaku selama ini. Sementara petualangan mesumku dengan Furi terus berlanjut dan tak terasa sudah menginjak hari kelima. Di dalam kamarnya, selesai kami bergumul dan bersenggama sore itu, Furi menunjukkan kepadaku beberapa foto di
ponselnya.
“Gimana, Yah, cantik-cantik kan?”
Aku mengangguk. “Siapa mereka?”
“Itu teman-teman bisnisku, rata-rata kesepian dan butuh kontol seperti aku, ayah mau?"
Tentu saja aku langsung mengangguk. Siapa juga yang bisa menolak tawaran menggiurkan seperti itu? Tapi itu untuk nanti, di cerita bagian kedua, kalau aku tidak malas nulis. Sekarang aku mau memuas-muaskan dulu hasrat menggeluti tubuh bugil Furi yang senantiasa sanggup membuatku tergoda. Ah, betapa indahnya hidup ini.

TAMAT
Jiah tamatt, to be kontolnyut dong?
 
Menginspirasi 👍🏻
Mengatjengkan 👌🏻

Baca berulang kali pun tetap berpejuh-pejuh.

Agan TS diunggah lanjutannya kisah kawan2 Furi.
Atau karya Iisamu Takeo lainnya.
Kisah MILF yg spt ini, mamanya kawan atau majikan pembantu beda ras itu favorit Saya.☺️🤭



Tolong bisikin blog Iisamu Takeo yg aktif atau masih eksis dong.🙏🏻
Tks banyak2.🙇🏻‍♂️
 
Kok udah tamat aja hu?
 
Menginspirasi 👍🏻
Mengatjengkan 👌🏻

Baca berulang kali pun tetap berpejuh-pejuh.

Agan TS diunggah lanjutannya kisah kawan2 Furi.
Atau karya Iisamu Takeo lainnya.
Kisah MILF yg spt ini, mamanya kawan atau majikan pembantu beda ras itu favorit Saya.☺🤭



Tolong bisikin blog Iisamu Takeo yg aktif atau masih eksis dong.🙏🏻
Tks banyak2.🙇🏻‍♂️
Untuk blog Iisamu yg aktif sampe saat ini saya juga belum menemukannya🙏🙏
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd