Tapi ketika sekitar pukul
empat aku terbangun,
kurasakan kehangatan tubuh
seseorang memelukku. Aku
kaget juga, masih antara
sadar dan tidak. Dimana aku? Lalu aku sadari itu Srida. Dia
masih tidur, memelukku dengan
penuh damai. Aneh, kapan dia
pindah. Aku sungguh tak sadar.
Aku tak berani bergerak.
Takut membangunkannya. Hanya kukecup keningnya. Dia
tidak bergerak sampai pukul
setengah lima lewat.
Senyumnya terbit seiring fajar.
"Maafkan aku, Lang." Dia
berbisik ke telingaku. Aku hanya mengangguk. Dia
mengecup pipiku. Kali ini aku
tak membalasnya, takut. Ragu.
Kami setelah itu bercakap-
cakap kembali. Mentertawakan
kejadian semalam. Lalu kami mandi, dan sarapan di
restoran. Bercakap-cakap
kembali. Selepas itu, kami
kembali ke kamar, bersiap-siap
untuk ke kantor. Di kamar,
aku menyalakan televisi, di MTV Shania Twain sedang
menyanyikan You Still The One.
Srida duduk di tepi tempat
tidurku, menyisir rambutnya
yang ikal. Sinar matahari dari
jendela memantul di sekujur tubuhnya. sementara aku
bersandar di dinding. Aku
menatapnya, mengagumi
keindahan yang ada di atas
bed cover kuning gading itu.
Sesaat lamanya aku tertegun. Ini adalah kali terakhir aku
akan bertemu dirinya.
"Elang." Suaranya
membuyarkan lamunanku, "Cium
aku untuk terakhir kali." Aku
mendekati, membungkuk, dan mencium bibir Srida. Kupegang
wajah Srida dengan kedua
tangan, seperti mengagumi
objet d'art (karya seni). Srida
memejamkan mata dan
membuka mulutnya, mengecap lidahku. Oh, pikirku, aku tak
ingin saat-saat ini berlalu.
Srida meletakkan tangannya di
punggungku, bertumpu di
bahuku, kemudian turun ke
bagian bawah punggung. Ia menyelipkan jemarinya ke
bawah sabukku dan
meletakkannya di sana,
menikmati kehangatan dan
kelembutan bokongku. Lidahku perlahan bergerak
memasuki mulutnya, menjelajahi
bagian dalam mulut Srida, dan
memegang wajahnya lebih erat.
"Srida", erangku.
"Aku menikmati saat ini", kataku dalam hati, sangat
menikmati. Aku merasakan
pikiranku akhirnya mulai
menjauh dari rasa kesal dan
ketidakpastian. Kepalaku
terasa ringan. Tanganku perlahan mengelus lehernya,
bahunya, kemudian memegang
payudaranya dari samping,
lembut. Srida mengerang,
tampaknya merasakan
kehangatan menyelimutinya, merasa terangsang. Sulit
dipercaya kalau ini benar-
benar terjadi, pikirku. Sulit
dipercaya. Aku membuka
kancing atas blus, membelai
kulitnya dengan hangat, kemudian menciumi
payudaranya.
"mmph", erang Srida.
Srida menyelinapkan jemarinya
ke balik underwear-ku,
merasakan kerasnya bokongku namun berkulit bagaikan
beledu. Pada saat yang sama
aku meraih ke belakang
punggungnya untuk membuka
kancing blus Srida yang lain,
kemudian melepaskan branya, dan Srida terbuai. Aku
menanggalkan roknya dan
membiarkannya jatuh ke lantai. Pelan-pelan, sangat lambat,
kepalaku bergerak turun
sambil terus menciumi perut
Srida dengan panas, terus
hingga ke bawah pusar sambil
melepaskan panty berwarna ungu Srida, dan.. "Elang", kata
Srida, usaha sia-sia untuk
mengontrol diri. Kepalaku
bergerak maju mundur,
kemudian naik turun. Srida
menggerakkan pinggulnya, sementara titik-titik
kenikmatan yang menggodanya
semakin memuncak, menjadi
gelombang tajam yang semakin
lama semakin kuat dan besar.
Tangan kiriku menyibak bulu- bulu halus di sekitar
vaginanya, sementara yang
kanan meremas-remas
payudaranya yang lembut tapi
telah mengeras itu. Putingnya
kupermainkan dengan ibu jari dan telunjukku. "mmph." Srida
mengerang lembut. Menendang
lepas sepasang sepatunya.
Lidahku menjilati sebentuk
daging berwarna merah muda
yang mencuat dari balik lapisan vaginanya. Aroma lendir yang
khas bermain-main di hidungku.
Lendir itu telah bercampur
dengan air ludahku. Srida mengejang, pahanya
dibuka lebar, mempermudah
akses bagi lidahku untuk
keluar masuk di pintu lubang
kenikmatannya.
"mmph", erangnya lagi, "Teruskan Lang, teruskan."
Tangannya menggapai
rambutku, meremasnya dengan
penuh nafsu. Lidahku mulai
memasuki celah vaginanya
yang sangat sempit, kedua tanganku membuka tirai
vaginanya, lalu kusodorkan
lidahku, menjulur, berputar-
putar di situ. Kurasakan
cengkeraman tangan Srida di
rambutku bertambah kencang. "Uuugh, uugh, Elang, nikmat
Elang, uugh, terus Elang,
terus!" dia telah tak sadar,
meracau, berteriak-teriak
penuh syahwat. Kejantananku
terasa sesak dalam jeans yang kukenakan. Lidahku mengecap,
suatu rasa yang tak dapat
diungkapkan keunikannya. Rasa
wanita dewasa, rasa segala
kenikmatan dunia. Lidahku terus bergelung di
situ, mundur maju membakar
gairah wanita ini, merasakan
tekstur yang sungguh
sensasional. Dia menjerit,
meraung. Pinggulnya berputar, terkadang mendesak kepalaku.
Seakan meminta lidahku
menggapai lebih dalam lagi.
Tangannya tak lagi
mencengkeram rambutku, tapi
telah mencakar seprai tempat tidur. Dengan mataku kulirik,
mulutnya menggigit ujung
bantal, menahan jeritnya agar
tak lagi keluar. Lalu tubuhnya
mengejang, sesaat kurasakan
pinggulnya terlempar, menghantam wajahku dengan
kelembutan bukit kemaluannya.
Dia sudah sampai di ujung
keindahan seksual manusia. Bau
kewanitaannya semakin marak.
Mengetahui dia sudah menikmati permainanku,
kutarik keluar lidahku,
menjauhkan kepalaku dari
kewanitaan, sambil tetap
memandangi bentuknya yang
sempurna. Kukeluarkan sapu tangan dari saku celana,
membersihkan lendir yang ada
pada bibir dan hidungku. Srida
menatapku sendu.
"Elang.."
Aku tersenyum, dia membalasnya lemah. Aku tak
berhenti sampai di situ, kuciumi
rambut kemaluannya, menciumi
pahanya, lutut, bagian dalam
betisnya, lalu kembali naik ke
atas. Bermain-main dengan lidahku di perutnya yang
lembut seperti sutra, lalu ke
dadanya yang ranum merah
muda, yang sekarang terdapat
titik-titik merah darah di
sekitarnya. Tanda orgasme, begitu orang bilang. Bersambung . . . .