Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

:: My Name Elang ::

Cerita lama. Coba search d google, keyword elang srida, nanti muncul banyak web tentang cerita ini. Gak tau TS penulis aslinya gak yah?
 
Kereta tiba di Gambir telat,
dengan buru-buru aku
meloncat keluar. Dengan
memanggul ransel Levi's
kuningku, aku nyaris berlari
menuruni tangga. Srida berada di sebuah kursi sambil
membaca novel Danielle Stelle.
Dia mengenakan sack dress
warna hitam dipadu blazer
abu-abu. "Hai", sapaku.
Dia mengalihkan matanya dari
bacaan, tersenyum malas
kepadaku.
"Kita pergi sekarang."
Kami pun melangkah. "Kemana kita?" Tanyaku
"Terserah kamu."
Aku bingung, memang tidak
punya tujuan yang jelas yang
kurencanakan. Aku hanya ingin
berbicara dengannya. Kami naik taksi, masih belum jelas hendak
kemana.
"Kita ke Pharaoh saja", kataku.
"Di mana? Apa itu?"
"Acacia Hotel. Tempat karaoke."
"Kita bukan hendak berkaraoke, Lang."
"Iya. Aku hanya mencari
tempat yang nikmat untuk
bicara. Terserah nanti saja
soal karaokenya."
"Terserahmulah." Taksi pun menuju jalan Kramat
Raya.
Di dalam taksi, Srida tidak
banyak bersuara. Bungkam
saja. Sesekali dia menguap.
"Kamu mengantuk?" "Tidak."
"Jangan berdusta."
"Sedikit."
"Kamu kurang tidur?"
"He eh. Kebanyakan ngobrol
sama anak-anak." "Benar?"
"Tak tahulah. Aku merasa
susah tidur. Pikiranku buntu,
mumet."
"Kalau aku penyebabnya, aku
minta maaf." Dia kembali tersenyum malas.
"Begini deh. Kita jangan di
karaokenya. Aku pesan kamar
saja. Aku tidak mengajakmu
menginap. Aku yang akan
menginap di situ. Setahuku ada tayangan bola di sana. Kalau
nanti kau ingin pulang, aku
akan antar, setelah segalanya
selesai."
"Aku bisa pulang sendiri."
"Whatever.." Maka sesampai di Acacia Hotel,
aku memesan kamar. Saat
front office-nya bertanya jenis
kamarnya, aku memesan
kamar dengan dua tempat
tidur. Biar lebih nikmat bagi Srida, pikirku. Sesampai di
kamar, kupersilakan dia mandi.
Tapi dia menolak. Aku tak
memaksanya. Kami duduk di
sepasang kursi, menatap
keluar. Kolam renang tepat berada di bawah kami. Aku
menatapnya. Dia mengalihkan
pandangnya.
"Aku harus ngomong apa,
Srida? Apa yang ingin kau
ketahui?" "Lang. Aku hanya ingin
kejujuranmu."
"Soal apa? Aku dan Venus?"
Dia mengangguk. Aku menghela
nafas.
"Yang kau dengar dari Ilen benar, Srida. Aku memang
telah bertunangan dengan
Venus. Kami akan segera
menikah. Tapi.."
"Mengapa kau tak berterus
terang sebelumnya? Mengapa kau memberikan kepadaku
harapan?"
"Kau tidak bertanya. Lelaki tak
pernah berterus terang Srida,
terutama jika tidak diminta."
"Kau berbohong kepadaku, Lang."
"Srida. Ini karena.. karena, aku
cinta padamu."
Dia menatapku tajam. Sambil
mengeluarkan sesuatu,
sebungkus A-Mild. Mengeluarkan sebatang, dan
menyulutnya.
Aku tak tahu dia mulai
merokok.
"Jangan menipuku, Lang." Asap
mengepul dari mulutnya yang mungil.
"Sungguh. Aku tak pernah
mencoba berbohong padamu.
Aku cinta kau. Bukan saja
sekarang, saat kita berjumpa
lagi. Waktu kita masih kuliah, aku sudah mencintaimu. Tapi
kau tak pernah menanggapi,
larilah aku ke Venus. Dan,
jujur, aku tak salah pula
memilihnya."
"Kenapa kau tak berterus terang dahulu?"
"Kau yang tak menanggapinya,
Srida. Ingat, berapa kali aku
menelponmu, mencari alasan
untuk bertemu? Sayangnya
Ilen tak pernah mau membantuku."
"Kau dulu beda dengan yang
sekarang, Lang."
"Itu relatif, segalanya bisa
berubah. Toh, aku tak pernah
menduakan Venus. Sejak 93." "Dan sekarang? Denganku?"
"Kau berbeda, Srida. Aku
mencintaimu sejak lama. Kau
tak tahu bagaimana senangnya
aku waktu pertama kali kau
menelponku. Sumpah." Srida menatapku, mencoba
mencari pembuktian kata-
kataku. Aku menganggukkan
kepalaku. Tersenyum.
"So, waktulah yang salah?"
"Ya." "Aku tak mengerti, Lang. Sejak
kita bertemu kembali, hatiku
tentram. Aku tak bisa
mengenyahkan dirimu dari
benakku. Makanya, saat Ilen
bilang kau telah terikat, duniaku serasa diputarbalikkan.
Gelap."
"Jangan merasa seperti itu.
Nanti akan ada orang yang
lebih dariku." Kujulurkan
tanganku, meraih tangannya, "Singkirkan rokokmu, Srida.
Tak pantas buatmu." Kuambil rokoknya, lalu
kumatikan. Setelah itu
tangannya kembali kugenggam,
dia tidak menolak. Hatiku
tambah tenang.
"Srida. Sampai saat ini pun aku masih mencintai kau."
"Jangan, Lang."
"Kenapa. Cinta bukan harus
memiliki." Genggamanku
bertambah erat.
"Ya, kau benar. Cinta tak harus memiliki."
"Srida. Aku punya permintaan.
Maukah kau bersamaku malam
ini. Hanya untuk sekedar
bercakap-cakap, mengingat
masa lalu?" Dia tak menjawab. "Please.. Aku janji tidak akan
melakukan sesuatu yang
bodoh. Aku, aku hanya ingin
merasakan kembali saat-saat
yang tak pernah kumiliki. Masa
yang harusnya dulu kita rasakan.. Please.."
Dia masih belum menjawab.
"Mau khan..? Please, Srida,
please."
"Baiklah."
 
Jawaban yang sangat
melegakan hati. Sumpah, aku
tidak punya keinginan macam-
macam dengan mengajaknya
menginap. Sesuai dengan
ucapanku tadi, aku hanya ingin bersamanya di sedikit waktu
yang kami punya. Dan, aku
berjanji dalam hatiku, tak akan
melakukan hal-hal yang tidak
dikehendakinya. Srida kemudian
mandi. Keluar dari kamar mandi, dia telah memakai
piyama cendek, dari bahan
kaos warna putih dengan motif
bunga-bunga biru. Tubuhnya
memukau mataku. Dia
tersenyum, melihat aku mengawasinya.
"Maaf ya atas pakaian tidurku
ini."
"Kamu tampak cantik dengan
baju itu"
"Thanks." Kemudian aku mandi. Karena
aku tidak membawa pakaian
tidur satu pun, aku kembali
memakai celana jeans-ku dan
t-shirt putih. Lalu kami pesan
makanan. Sop buntut, buah- buahan dan teh panas.
Semangkuk kami habiskan
berdua, karena dia malas
makan. Dan malam itu, seperti
bocah kecil, aku disuapinya.
Selepas makan, kami berbincang sambil menonton
TV. Aku di ranjangku, dia di
ranjangnya. Pahanya yang
putih terpampang jelas, karena
dia belum memakai selimut. Dia
tidak merokok lagi karena kularang tadi. Kami berbicara
banyak hal. Dan anehnya,
akhir-akhirnya pembicaraan
kami membuat kami semakin
menyadari kalau aku dan dia
masih saling mencintai. Bahkan di diriku, rasa sayang itu
bertambah besar. "Lang, pindahlah ke sampingku.
Agar bicaranya lebih nikmat."
Dia duduk dari tidurnya. Aku
pun menurut. Yakin akan
janjiku, aku pun berbaring di
sebelahnya. Dia merebahkan kepalanya di bahuku,
memelukku dengan lengannya.
Aku baru sadar kalau dia tidak
memakai bra, kebiasaan semua
gadis dan wanita kalau hendak
tidur. Tapi sungguh, itu tak membangkitkan gairahku. "Bicaralah, Lang. Apa saja."
Kami pun kembali bercakap-
cakap, sampai suatu ketika,
Srida mencium pipiku, bibirku.
Aku menatapnya. Dia tak
berkata-kata. "Hei!" Aku memperingatkannya.
Dia tertawa. Gemas aku
melihatnya. Lantas kurengkuh
tubuhnya, kupeluk erat. Dia
menatapku, matanya meredup.
Kucium bibirnya. Dia tidak mengadakan perlawanan, malah
bibirnya membalas dengan
penuh perasaan. Kami
terhanyut. Tanganku bergerak
aktif. Pikiran dan akal sehatku
telah dibalut nafsu hewani. Kusentuh dadanya. Memegang
dan meremasnya perlahan.
Nafas Srida tak beraturan.
Kuciumi pipinya, lalu lidahku
telah bermain-main di
telinganya. Srida memelukku erat. Satu tanganku
menangkap bongkah
pantatnya, mengusapnya.
Lantas ke selangkangannya.
Srida mengerang. Baju
piyamanya kubuka. Kini tampaklah tubuh bagian
atasnya yang polos. Putih
kemilau, berpendar oleh
cahaya lampu kamar. Aku
mencium payudaranya, mulutku
menggapai-gapai, bagai bayi mencari-cari puting susu ibu.
Tangan Srida mencengkeram
rambutku yang sedikit
gondrong itu. Menekan
kepalaku ke dadanya. Kuhisap
payudaranya yang putih dan harum itu. Srida mengerang.
"Elang.." Tanganku yang di pantatnya
telah merayap, masuk melalui
celah celana pendeknya.
Merasakan sisi panty yang
dipakainya. Aku bermain-main
dengan pantatnya yang besar dan padat tersebut. Aku tak
tahan. Ingin segera
menghangatkan tubuhnya dan
tubuhku. Aku duduk, membuka
bajuku, dan mulai membuka
kancing 501-ku. Saat itulah Srida menutup kembali
piyamanya, mendorong
tubuhku. Lalu membalikkan
badan membelakangiku. "Srida.."
"Kau ingkar janji, Elang",
katanya.
Yang membuatku kaget, ada
isak tangis di situ.
"Tapi.. tapi.. kau yang memulainya."
"Aku hanya mengujimu."
"Mengapa kau menanggapi
perlakuanku, Srida?" Dia tidak menjawab, malah
menutup wajahnya dengan
bantal. Aku salah tingkah.
Apalagi melihat badannya
terguncang-guncang oleh
tangis. Oooh, apa yang terjadi. Beberapa saat yang lalu
segalanya begitu manis.
Sialan, aku terlalu gegabah!
Aku berusaha menenangkannya
dengan kata-kata. Tapi tak
ada reaksi darinya. Aku semakin kebingungan. Akhirnya
kuputuskan untuk kembali ke
tempat tidurku. Sesaat lama
aku hanya dapat menonton TV
tanpa memperhatikan
acaranya. Channel demi channel kuganti. Bingung! Akhirnya
kuambil rokoknya. Aku
merokok. Bayangkan, aku yang
sekian lama memusuhi asap
rokok kali ini merokok gara-
gara perempuan bernama Srida ini. Gila! Aku masih
mencoba menenangkannya,
membujuknya. Tapi Srida tetap
tak berkata-kata. Akhirnya
aku menyerah, kupadamkan
lampu tidurku, memejamkan mata. Cukup lama sebelum aku
jatuh tidur. Tak ada reaksi
dari ranjang di seberangku.
Brengseknya, aku tak dapat
menonton partai Belanda
malam itu. Huhh!
 
Tapi ketika sekitar pukul
empat aku terbangun,
kurasakan kehangatan tubuh
seseorang memelukku. Aku
kaget juga, masih antara
sadar dan tidak. Dimana aku? Lalu aku sadari itu Srida. Dia
masih tidur, memelukku dengan
penuh damai. Aneh, kapan dia
pindah. Aku sungguh tak sadar.
Aku tak berani bergerak.
Takut membangunkannya. Hanya kukecup keningnya. Dia
tidak bergerak sampai pukul
setengah lima lewat.
Senyumnya terbit seiring fajar.
"Maafkan aku, Lang." Dia
berbisik ke telingaku. Aku hanya mengangguk. Dia
mengecup pipiku. Kali ini aku
tak membalasnya, takut. Ragu.
Kami setelah itu bercakap-
cakap kembali. Mentertawakan
kejadian semalam. Lalu kami mandi, dan sarapan di
restoran. Bercakap-cakap
kembali. Selepas itu, kami
kembali ke kamar, bersiap-siap
untuk ke kantor. Di kamar,
aku menyalakan televisi, di MTV Shania Twain sedang
menyanyikan You Still The One.
Srida duduk di tepi tempat
tidurku, menyisir rambutnya
yang ikal. Sinar matahari dari
jendela memantul di sekujur tubuhnya. sementara aku
bersandar di dinding. Aku
menatapnya, mengagumi
keindahan yang ada di atas
bed cover kuning gading itu.
Sesaat lamanya aku tertegun. Ini adalah kali terakhir aku
akan bertemu dirinya.
"Elang." Suaranya
membuyarkan lamunanku, "Cium
aku untuk terakhir kali." Aku
mendekati, membungkuk, dan mencium bibir Srida. Kupegang
wajah Srida dengan kedua
tangan, seperti mengagumi
objet d'art (karya seni). Srida
memejamkan mata dan
membuka mulutnya, mengecap lidahku. Oh, pikirku, aku tak
ingin saat-saat ini berlalu.
Srida meletakkan tangannya di
punggungku, bertumpu di
bahuku, kemudian turun ke
bagian bawah punggung. Ia menyelipkan jemarinya ke
bawah sabukku dan
meletakkannya di sana,
menikmati kehangatan dan
kelembutan bokongku. Lidahku perlahan bergerak
memasuki mulutnya, menjelajahi
bagian dalam mulut Srida, dan
memegang wajahnya lebih erat.
"Srida", erangku.
"Aku menikmati saat ini", kataku dalam hati, sangat
menikmati. Aku merasakan
pikiranku akhirnya mulai
menjauh dari rasa kesal dan
ketidakpastian. Kepalaku
terasa ringan. Tanganku perlahan mengelus lehernya,
bahunya, kemudian memegang
payudaranya dari samping,
lembut. Srida mengerang,
tampaknya merasakan
kehangatan menyelimutinya, merasa terangsang. Sulit
dipercaya kalau ini benar-
benar terjadi, pikirku. Sulit
dipercaya. Aku membuka
kancing atas blus, membelai
kulitnya dengan hangat, kemudian menciumi
payudaranya.
"mmph", erang Srida.
Srida menyelinapkan jemarinya
ke balik underwear-ku,
merasakan kerasnya bokongku namun berkulit bagaikan
beledu. Pada saat yang sama
aku meraih ke belakang
punggungnya untuk membuka
kancing blus Srida yang lain,
kemudian melepaskan branya, dan Srida terbuai. Aku
menanggalkan roknya dan
membiarkannya jatuh ke lantai. Pelan-pelan, sangat lambat,
kepalaku bergerak turun
sambil terus menciumi perut
Srida dengan panas, terus
hingga ke bawah pusar sambil
melepaskan panty berwarna ungu Srida, dan.. "Elang", kata
Srida, usaha sia-sia untuk
mengontrol diri. Kepalaku
bergerak maju mundur,
kemudian naik turun. Srida
menggerakkan pinggulnya, sementara titik-titik
kenikmatan yang menggodanya
semakin memuncak, menjadi
gelombang tajam yang semakin
lama semakin kuat dan besar.
Tangan kiriku menyibak bulu- bulu halus di sekitar
vaginanya, sementara yang
kanan meremas-remas
payudaranya yang lembut tapi
telah mengeras itu. Putingnya
kupermainkan dengan ibu jari dan telunjukku. "mmph." Srida
mengerang lembut. Menendang
lepas sepasang sepatunya.
Lidahku menjilati sebentuk
daging berwarna merah muda
yang mencuat dari balik lapisan vaginanya. Aroma lendir yang
khas bermain-main di hidungku.
Lendir itu telah bercampur
dengan air ludahku. Srida mengejang, pahanya
dibuka lebar, mempermudah
akses bagi lidahku untuk
keluar masuk di pintu lubang
kenikmatannya.
"mmph", erangnya lagi, "Teruskan Lang, teruskan."
Tangannya menggapai
rambutku, meremasnya dengan
penuh nafsu. Lidahku mulai
memasuki celah vaginanya
yang sangat sempit, kedua tanganku membuka tirai
vaginanya, lalu kusodorkan
lidahku, menjulur, berputar-
putar di situ. Kurasakan
cengkeraman tangan Srida di
rambutku bertambah kencang. "Uuugh, uugh, Elang, nikmat
Elang, uugh, terus Elang,
terus!" dia telah tak sadar,
meracau, berteriak-teriak
penuh syahwat. Kejantananku
terasa sesak dalam jeans yang kukenakan. Lidahku mengecap,
suatu rasa yang tak dapat
diungkapkan keunikannya. Rasa
wanita dewasa, rasa segala
kenikmatan dunia. Lidahku terus bergelung di
situ, mundur maju membakar
gairah wanita ini, merasakan
tekstur yang sungguh
sensasional. Dia menjerit,
meraung. Pinggulnya berputar, terkadang mendesak kepalaku.
Seakan meminta lidahku
menggapai lebih dalam lagi.
Tangannya tak lagi
mencengkeram rambutku, tapi
telah mencakar seprai tempat tidur. Dengan mataku kulirik,
mulutnya menggigit ujung
bantal, menahan jeritnya agar
tak lagi keluar. Lalu tubuhnya
mengejang, sesaat kurasakan
pinggulnya terlempar, menghantam wajahku dengan
kelembutan bukit kemaluannya.
Dia sudah sampai di ujung
keindahan seksual manusia. Bau
kewanitaannya semakin marak.
Mengetahui dia sudah menikmati permainanku,
kutarik keluar lidahku,
menjauhkan kepalaku dari
kewanitaan, sambil tetap
memandangi bentuknya yang
sempurna. Kukeluarkan sapu tangan dari saku celana,
membersihkan lendir yang ada
pada bibir dan hidungku. Srida
menatapku sendu.
"Elang.."
Aku tersenyum, dia membalasnya lemah. Aku tak
berhenti sampai di situ, kuciumi
rambut kemaluannya, menciumi
pahanya, lutut, bagian dalam
betisnya, lalu kembali naik ke
atas. Bermain-main dengan lidahku di perutnya yang
lembut seperti sutra, lalu ke
dadanya yang ranum merah
muda, yang sekarang terdapat
titik-titik merah darah di
sekitarnya. Tanda orgasme, begitu orang bilang. Bersambung . . . .
 
PART 5 FINAL CHAPTER

Aku menciumi lehernya,
kemudian dagunya. Sampai
akhirnya ke bibirnya. Srida
membalas, perlahan-lahan.
Lidahku kumasukkan ke
mulutnya yang hangat. Pertama ada penolakan
darinya (mungkin sedikit jijik
dengan sisa lendir tubuhnya
sendiri), namun akhirnya
pasrah. Lidah kami saling pilin,
simpul menyimpul. Kuhisap nafasnya. Kugigit pinggir bibir
bawahnya, dia mengerang.
Nafsunya tumbuh kembali. Lidahnya dengan agresif
melesak ke dalam mulutku,
bergulat di situ. Ciuman kami
pun menjadi panas, keringat
telah mengucur di seluruh
tubuhku. Baju kotak-kotak biru kecil yang kukenakan,
terasa melekat di bagian
punggung. Tangan Srida
bergerak teratur, menuju
bagian bawah tubuhku.
Meraba-raba bagian depan celanaku. Mengusap-usap
kejantananku yang meradang
di dalamnya. Aku mengerang
dan melenguh. Mulutku
disumpalnya dengan bibirnya
yang manis. Lipstik yang dipakainya telah belepotan di
sekitar bibirku. Tangannya
terus mengusap-usap benda
kebanggaanku itu. Semakin
panas kurasakan daerah
perutku. Sesuatu seperti menggelepar di lambungku, dan
hantaman godam menyambar
kepalaku. Apalagi ketika
jemarinya masuk, di sela-sela
button fly celana Levi's-ku.
Aku sudah tak tahan. Ini harus kutuntaskan. Aku berdiri, Srida
pun duduk kembali. Aku
membuka sabukku dan
membiarkan 501 kremku
melorot, kakiku kutarik keluar
dari sepatu model Harley Davidson-ku. Srida menatapku,
bisa melihat tonjolan di balik
underwear-ku. Dan perlahan
dia menurunkannya. Aku
membuka kancing-kancing
kemeja, lalu melemparkannya serampangan. Kelelakianku pun
terlontar keluar. Srida
 
menatapku, pandangannya
meredup. Lalu dengan kedua
tangannya, digenggamnya
kejantananku. Dibelai, diusapnya. Kehangatan
mengalir deras dalam perutku.
Kejantananku telah tegak
bagai mercu suar di pinggir
tebing, mengacung. Srida
mencium ujungnya. Aku hanya dapat mengerang. Dicucupnya
pinggir-pinggir azimatku itu,
diciuminya dengan penuh
perasaan. Lututku serasa
bergetar, menahan sensasi
yang telah tak terperi. Lidahnya menjilat-jilat,
sementara tangannya
mengurut lembut. Ke atas dan
ke bawah. Ereksiku tambah
sempurna. "Uuugh.." Aku hanya dapat
mengejan.
Sebelah tangannya mengepit
lembut kepala kejantananku,
sementara lidahnya terjulur,
berselasap, menembus lubang seniku dengan ujung lidahnya.
Pastilah dapat dirasakannya
lendir permulaan spermaku.
"Eeegh.." Tangan Srida yang kiri telah
berada di pantatku,
meremasnya dengan penuh
gairah. Sementara yang
sebelah lagi kembali mengurut-
urut batang kehidupanku. Lalu perlahan dan meyakinkan
mulutnya terbuka, menelan
kepala kelelakianku,
menghisapnya. Lidahnya
membelit, membelai. Aku tahu
sulit baginya untuk menggerakkan lidah dengan
kegempalan urat yang ada di
dalam mulutnya. Tapi dia
berhasil melakukannya, dan dia
melakukan dengan fantastis. Kepala Srida maju mundur,
lututku pun seperti bergoyang.
Bunyi yang ditimbulkan
gerakan pinggulku terdengar
samar, ditimpali bunyi
kejantananku keluar masuk di mulut Srida, kantung sperma
yang menghamtam dagunya,
dan lenguhan yang tidak
beraturan. Demikian pula
nafasku.
"aah.. aah.. Aghh." Nafsuku memuncak tinggi.
Kuremas dan kujambak
rambutnya. Aku tersadar,
kalau aku ingin memperpanjang
permainan ini, aku harus
menahan ejakulasiku yang kuyakin telah bertengger di
ujung kelelakianku.
"Sssh.. istirahat dulu, sayang." Kurebahkan dia di atas tempat
tidur, kuciumi bibirnya.
Kutelusuri tubuhnya kembali.
Kami berguling, dia berada di
atasku sekarang. Kuciumi
pipinya, lalu ke telinganya yang kanan, kumainkan lidahku ke
tempat yang sensitif tersebut.
Srida mengerang. Kuremas-
remas bukit kembarnya.
Kupermainkan kedua putingnya.
Srida melenguh. Kemudian kuangkat pinggangnya ke atas.
Srida lalu berjongkok di
mukaku. Sambil memeluk
pinggangnya, lidahku kembali
menggeluti clitorisnya. Tangan
Srida menopang tubuhnya, mencengkeramnya. Seprai telah
kusut masai tak karuan. Jari
tengahku menyelisip, mencoba
menguak lubang
kenikmatannya. Srida jadi
semakin bernafsu. Teriakannya diredam sambil menggigit bibir
bawahnya. Jariku sesaat
merasakan sesuatu.
Astaga.., Srida masih perawan!
Kutarik jariku yang nakal itu.
Srida menatapku. "Teruskanlah, Elang. Kenapa
berhenti?"
"Kamu, kamu.. masih perawan?"
Aku bertanya tak percaya.
Dia menatapku dengan mata
sayu, "Lakukanlah. Aku ingin menyerahkannya padamu."
Aku terkesima.
"Kamu yakin?"
Tak ada jawaban, hanya
tubuhnya menggelosor ke
bawah. Kejantananku bersentuhan dengan
keperempuanannya. Kini tiap
jengkal bagian muka tubuh
kami telah bertemu dengan
pasangannya.
"Lakukanlah, Elang." Dia berbisik di telingaku, "Lakukanlah demi
cinta kita."
 
Peperangan terjadi dalam
bathinku. Sesuatu
mendorongku untuk tidak
melaksanakan keinginan Srida.
Tubuhnya perlahan kutolak.
Tapi dengan tangannya, Srida telah memasukkan kepala
kejantananku ke mulut
rahimnya. Aku hanya terpana.
Sesaat kurasakan sensasi
terindah dalam tubuhku.
Menggeleparkan setiap syarafku, membakar setiap sel
dalam ragaku.
"Srida.."
"Lakukanlah Elang. Terimalah
aku." Aku pun tak dapat berbuat
apa-apa, selain membiarkan
insting hewaniku bekerja.
Kugulingkan badan kami
berdua, kini aku berada di
atasnya. Dengan perlahan, kutekan pinggangku, mencoba
untuk tidak menyakiti Srida.
Terlontar jeritan kecil, ketika
ujung kelelakianku melesak,
merobek dinding tipis
keperawanannya. Terasa hangat darah kegadisan Srida,
mengalir di urat kelaminku.
"aah." Srida mengerang.
Pantatku memompa pelan.
Pelan sekali. Dan lenguhan
Srida mengiringi setiap gerakanku. Kucium bibirnya,
kutekan. Lalu kemudian beralih
ke telinganya.
"Nikmatilah, Srida, sayang."
"Ya.. Elang, ya, kunikmati
kehangatanmu dalam diriku", jawabnya serak.
Setelah beberapa belas
tekanan keluar masuk, lubang
kenikmatan Srida semakin
lancar. Walaupun bibir
vaginanya tetap tertarik saat kejantananku ke arah luar. Aku merubah posisi kami.
Kubopong dia ke ujung
ranjang. Lalu dengan posisi aku
berjongkok, kutikam lagi
kemaluannya. Sekarang
senjataku dapat bertambah aktif mencecarnya. Lenguhan
Srida semakin ganas, seiring
dengan bunyi nafasku yang
berat. Terus kupompa
tubuhnya. Srida kini semakin
ahli, dia mulai menggerakkan pinggulnya memutar, mencari
sensasi yang dapat dirasakan
kami berdua.
"Uuugh. Kamu memang
memabukkan Srida", pujiku
dengan suara geram. Sebagai jawabannya kuku-kuku tajam
Srida menancap di daging
punggungku. Bunyi berkecipak
yang kami buat semakin cepat
iramanya. Aku menghatur
nafas sekian detik. Kucabut kelelakianku dari sarangnya
yang lembut dan hangat itu.
Srida mendelik.
"Ssshh.., sebentar sayang, kau
tak ingin ini segera berakhir
bukan?" Dia mengangguk. "Berbaliklah, cintaku."
Dia mengikuti perintahku. Kutarik pinggangnya, membuat
dia berada dalam posisi
merangkak. Lalu kusibakkan
belahan pantatnya.
Mendaratkan kepala
kelelakianku pada lubang vaginanya kembali. Kusetubuhi
dia kembali. Tanganku meraih
payudaranya. Pinggulku
menghantam pantatnya. Kami
terus berpacu. Keringat
semakin membanjiri tubuh kami berdua. Seprei telah basah.
Srida terus menjerit.
Orgasmenya terjadi entah
berapa kali. Enaknya wanita
begitu, dapat merasakan
kenikmatan yang menerpa berulang-ulang. Sedang lelaki
jarang ada yang dapat
mencapai orgasme berulang
kali kecuali dia telah dapat
mengamalkan petunjuk di buku
Pria Multi Orgasme yang terkenal itu. Dan aku
mengakui, aku hanya seorang
yang bisa orgasme apabila
telah ejakulasi. Aku tak
sesuper pria-pria tersebut.
Aku harus beristirahat sejenak, sebelum dapat
mendaki kembali. Kuberikan
tanganku kepadanya, dia
mengulum satu persatu
jemariku. Sekian menit kami
terus bersenggama dengan posisi ini. Kemudian kami
berguling berdua. Kucium
bibirnya.
"Istirahat sebentar, sayang."
Bisikku.
 
Tapi dia tak ambil peduli,
langsung saja hendak melahap
lagi kemaluanku dengan
vaginanya. Terpaksa kuatur
strategi untuk tidak
mengecewakannya. "Bersihkan punyaku, sayang."
Kusodorkan seprei tempat
tidur untuknya.
"E.. engh." Srida menggeleng.
Dikulumnya kemaluanku.
Sementara itu belahan kewanitaannya diajukannya ke
mukaku. Kulihat sisa darah
bercampur dengan lendir
mengalir di pahanya.
Kubersihkan dengan sapu
tanganku. Kujilati vaginanya. Sementara itu Srida telah
melaksanakan tugasnya.
Lidahnya kini melakukan
gerakan memutar di antara
kantong kemaluan dan anusku.
Sesekali dikulumnya kantong spermaku yang cukup besar
itu. Syarafku bergetar, bulu
kudukku meremang. Kutepuk
pantatnya. Dia mengerti, lalu
membalikkan tubuhnya. Dengan
perlahan dia duduk tepat di atas kejantananku yang
mengacung, keras dan semakin
membesar. Sempitnya kemaluan
Srida kembali kurasakan,
menimbulkan sensasi pijatan-
pijatan halus yang mengakibatkan tubuhku
bergetar. Srida melonjak-lonjak
di atas tubuhku, seperti
seorang koboi di atas pelana
kuda jantan liar dalam
permainan rodeo. Teriakannya berpadu dengan nafasku yang
memburu. Sesekali pinggangnya
diputar. Kugenggam kedua
belah pantatnya. Oooh, aku
tak ingin ini berakhir. Aku merubah posisiku, menjadi
duduk berhadap-hadapan
dengannya. Dia masih tetap
bergerak liar, matanya
mendelik ke atas. Suatu
pemandangan yang luar biasa, wajah seorang perempuan
matang menggapai
kesempurnaan permainan cinta.
Intercourse kami terus
berlanjut belasan menit dengan
gaya itu. Tubuhnya kupeluk, kurengkuh dengan kasar, saat
kenikmatan dan kerinduan
tertumpahkan di tubuh
hangatnya. Oooh, sungguh
kurindukan tubuh wanitanya.
Sebentar kemudian Srida telah sangat kelelahan. Aku lalu
membaringkannya. Kucabut
kejantananku. Membersihkan
lendirnya dari kemaluanku.
Kuambil kedua kakinya, kubuat
berselonjor di tepi ranjang. Lantas dengan aku berada di
bawah, dengan lutut menjadi
tumpuanku, kutanamkan
kelelakianku kembali.
Kugerakkan pinggulku maju
mundur. Kebasahan kelaminnya membuat bunyi kecipak yang
sangat keras. Aku terus saja
menghantamkan tubuhku ke
arahnya. Srida meringis, agak
kesakitan dengan kekasaran
yang kuperbuat. Aku terus mempercepat gerakanku,
kantung spermaku memukul-
mukul ke sela-sela pantatnya.
Aku makin mempercepat
hantaman di vaginanya. Srida
menjerit. "Aku.. aku.. akan sampai
sayang. Egh, ergh.." Lenguhku.
"Letupkanlah, tanamkan di
rahimku. Ah.. ah.. Elang.. ah."
sahutnya dalam erangan. Aku pun menekan pinggulku ke
depan. Melesak di dalam
kewanitaannya. Lalu lahar
kehidupan itu terpancarkan.
Hangat, membara, mengisi
ruang-ruang kosong dalam rahimnya. Srida mengerang,
aku melenguh di setiap
semprotan spermaku. aahg..
Lalu tubuhku menggelosor,
menimpa tubuhnya yang
berkilauan oleh sinar matahari yang dipantulkan butir-butir
keringatnya yang harum.
Kucium bibirnya, pipinya,
keningnya.
"Terima kasih, sayang", ujarku.
"Aku cinta padamu." Dia tersenyum manis. Senyum
terindah yang pernah
diberikannya kepadaku.
"Aku pun cinta kamu, Elang.
Sayang, cuma ada satu Elang.
Itu pun telah menjadi milik orang lain." Suaranya lirih
terdengar.
Lima menitan kami berbaring
berpelukan. Kubelai tubuhnya,
payudaranya. Menatap langit-
langit kamar yang kosong. "Indahnya dirimu, sayang",
kataku.
Dia mengecup bibirku, lalu
berdiri. Mengumpulkan
pakaiannya yang tergeletak
dimana-mana. Mengedipkan matanya kepadaku, sambil
tersenyum.
"Kamu memang buas Elang.
Kamu nakal."
Aku hanya tersenyum tengil
mengomentarinya. "Ini kejantanan Dayak, sayang."
"Aku terpaksa mandi lagi
karena kelakuanmu."
Srida berlalu ke kamar mandi.
Aku menyusulnya setelah
melihat di jam yang menempel di meja hias menunjukkan
pukul setengah delapan pagi.
Kami mandi berdua, berpelukan
dan berciuman. Sudah tak ada
lagi waktu untuk bercinta.
Kami berdua harus bekerja. Seprei putih yang terkena
tetesan darah kegadisannya
kupotong 30 kali 30
centimeter, lalu kuberikan
kepada Srida. Dia
mengambilnya, tersenyum penuh pengertian. Lalu dia
membantuku menyembunyikan
lubang yang ada di bawah bed
cover. [Untuk Hotel Acacia,
sorry!]. Sisa kenangan yang
sangat berarti buat kami. Aku mengantar ke kantornya
memakai taksi. Setelah itu
minta diantar ke stasiun
Gambir. Kenapa? Karena aku
mengaku pada supir taksi itu
aku dan Srida adalah suami istri yang berpisah tempat
kerja, aku di Bandung, dan dia
di sini. Karena aku hendak
tugas di Kalimantan, aku akan
naik Damri dari Gambir. Dari
Gambir aku naik taksi lain menuju kantorku. Tiba di
kantor, aku telah terlambat.
Saat itu baru terasa tulang-
tulangku terlolosi, kehabisan
tenaga. Di meja kerjaku,
Margie rekan kerjaku sedang makan indomie yang dipesan
dari Tono, office boy divisiku.
Aku menjadi lapar. Kupesan
juga indomie.
"Tumben terlambat, Lang?
Bagaimana kabar Bandung? Gila? Kamu langsung nih?" "Iya.
Kereta pertama tadi pagi."
Bohongku.
"Aduh." Margie menjerit,
ternyata matanya terciprat
kuah pedas indomie, "Tissue, tissue, tolong tissue-nya Lang."
Aku tak melihat ada tissue di
mejaku (karena aku tak
pernah punya). Reflek kutarik
sapu tangan dari saku
belakangku. Kuberikan kepadanya. Dia segera
menghapus noda di wajahnya.
Aku tersadar, sapu tangan itu..
Tapi telah terlambat!
"Sapu tangan ini kok baunya
aneh? Kayak.." Margie menatapku takjub, kemudian
tawanya berderai-derai.
"Elaang! Gila kamu ya!"
Sebelum dia berteriak,
kubekap mulutnya. Dia
meronta. "Ingat Marg, kita punya
rahasia masing-masing." Kataku
dengan nada mengancam. Dia
berhenti meronta, lalu
menatapku. Sebelum
mengembalikan sapu tanganku dia membolak-baliknya.
"Edan, ada darahnya. perawan,
Lang?"
"Hush. Entar aku cerita.
Kembalikan."
Dia menyerahkan slayer itu. Lalu tersadar, lantas
menyumpah-nyumpah dengan
bergidik kegelian.
"Iiih. Huek, aku mengelap
mukaku dengan sisa.. Huek..
huek." Dia melompat berlari meninggalkanku. Aku tahu dia
menuju toilet. Aku tertawa
melihat gadis itu menghilang di
kamar kecil. Kumasukkan
kembali slayerku ke kantong,
lalu berpikir untuk menyimpannya di tas Levi's
kuningku saja, bersama
pakaian kotorku. Agar tak ada
korban sapu tangan itu lagi.
Tentu saja tak akan pernah
kucuci, ini sisa-sisa kenangan yang luar bisa. Walaupun ada
bau kuah indomie, tak
mengapa. Malah membuat
kenangannya tambah nyata. Sesaat kemudian Margie telah
keluar dari kamar kecil.
Matanya melotot
memandangku.
"Maaf, Marg.. maaf.."
"Sialan lu. Tapi harum juga.." Lalu kami tertawa bersama.
Kupeluk tubuhnya penuh
persahabatan. TAMAT
 
Salah satu strory writer favorit neh di mbah wiro.. =))º°˚˚°º≈нåнåн庰˚˚°º≈º=)).

Mulai muncul lagi para masternya nich.
 
Salah satu strory writer favorit neh di mbah wiro.. =))º°˚˚°º≈нåнåн庰˚˚°º≈º=)).

Mulai muncul lagi para masternya nich.


yah sekedar share ini mas bro. .
Lumayan lah buat ngeganjel. .Hehe. .
Sambil nunggu para master updete. . :)
 
nice story bro bagus banget...teruskan dng crita yg lbih bagus 2 tomb 4 u....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd