Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bimabet
Fragmen 2
Deviasi Sikap dan Perilaku



_____________________________

Cerita ini hanya fiktif belaka dan ditujukan untuk kepentingan hiburan semata. Cerita ini ditulis tanpa maksud untuk mendiskreditkan agama, suku, atau kepercayaan apapun. Kesamaan nama, tempat, dan kejadian adalah kebetulan semata. Penulis tidak bertanggung jawab atas adanya perbedaan penafsiran mengenai tulisan ini.
_____________________________

Mungkin lukisan besar di ruang tamu kakeknya yang jadi alasan.

‘Rajapala dan 7 Bidadari’, begitulah sang ibu menjelaskan nama lukisan itu. Konon kakeknya mendapatkan lukisan tersebut dari seorang sahabat, seniman besar dari Ubud yang terkenal dengan kepiawaiannya mengabadikan bentuk tubuh telanjang manusia ke dalam kanvas.

“Kenapa ndak pakai baju?” tanya Kinan waktu itu, polos. Mengomentari gambaran para bidadari yang sedang mandi di sungai tanpa sehelai benangpun menutupi tubuh mereka, sementara seorang pria mengintip di balik pepohonan dengan dahan ranting yang terjuntai di tangan untuk mencuri baju calon korbannya.

“Ya, namanya saja mandi, pasti ndak pakai baju,” jawab ibunya dengan logat Bali yang kental.

“Tapi apa mereka ndak malu bertelanjang di depan banyak orang? Ramai-ramai seperti itu?” Kinan bertanya dalam dialek yang tak kalah kental.

Sang ibunda lalu bercerita tentang masa kecilnya di desa, di mana ia beserta almarhum nenek bisa dengan tenang mandi di alam bebas tanpa harus merasa risih dan malu.

“Ibu pernah mandi di sungai?” tanya Kinan takjub.

Ibunya mengangguk.

Ndak pakai apa-apa?”

Ibunya mengangguk lagi.

Ndak malu?”

Ibunya menggeleng, lalu meneruskan cerita.

Ibunda Kinan bercerita bahwa jaman dahulu orang-orang di desa masih biasa mandi sungai, termasuk dirinya. Namun semenjak memeluk agama Nabi, beliau mulai diajari bahwasanya ada daerah-daerah terlarang dari tubuh kita yang harus ditutupi rapat-rapat. Malu sama malaikat, katanya. Tapi hal itu juga membuat Kinan bertanya-tanya, kenapa ada nilai-nilai yang menempatkan ketelanjangan pada konteksnya, kenapa ada nilai lain yang menganggapnya tabu.

Waktu itu Kinan masih terlalu muda untuk memahami bahwa dunia tidak bisa hanya dipandang dalam dua warna; hitam-putih, benar-salah, halal-haram. Waktu itu Kinan kecil hanya tersenyum sambil menyimak dongeng sang ibu. Meski dalam diam, mata Kinanti tak henti menatap terpana pada lukisan sang maestro di mana para bidadari bisa mandi di alam bebas tanpa harus merasa jengah ataupun malu.

“Bagaimana rasanya mandi di sungai, bu?” tanya Kinan ketika sang ibu menutup ceritanya.

Ibunya tak langsung menjawab. Pandangannya mengawang sejenak, mungkin terkenang masa kanak-kanaknya di arus-arus sungai yang mengalir di antara persawahan di Ubud. Senyum kecil membersit di bibirnya, sebelum akhirnya beliau berkata:

Bebas...”


●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●

Konon manusia diciptakan tanpa sehelai benangpun di Paradiso. Barulah ketika Bapa Adam dan Bunda Hawa memakan Buah Pengetahuan, mereka merasakan jengah dan malu atas ketelanjangannya sehingga masing-masing terpaksa mencari dedaunan untuk menutupi bagian intim yang terbuka.

Manusia kehilangan keluguannya begitu memakan buah pengetahuan, bersamanya hadir rasa malu dan birahi yang akan senantiasa menyertai ketelanjangan sampai akhir zaman. Andai saja Adam dan Hawa tidak pernah memakan buah Pohon Pengetahuan, kemungkinan besar keturunannya akan tetap berada di Taman Surga dalam keadaan telanjang bulat tanpa harus merasa malu.

Sebelum mendapat pengaruh dari ajaran agama-agama Monoteis, nenek moyang bangsa Indonesia memandang ketelanjangan sesuai dengan konteksnya. Telanjang bulat bersama-sama untuk di sungai tentu berbeda konteks dari ketelanjangan yang terjadi saat persetubuhan. Dan bertelanjang di sungai tak lantas membuatmu dicap sebagai makhluk tak bermoral.

Sayangnya Kinan berasal dari kaum yang telah mengecap rasa buah larangan. Lahir dan besar dalam keluarga muslim di pulau Dewata membuat Kinan dibesarkan dalam nilai-nilai yang saling berkontradiksi. Di satu sisi ajaran monoteis dari keluarga sang ayah yang mengajarkan ketelanjangan adalah tabu yang dapat memicu birahi. Sementara di sisi satunya Kinan sudah terlanjur bersinggungan dengan nilai-nilai yang memandang ketelanjangan dalam paradigma yang sama sekali berbeda.

Kinan tidak bisa lagi memandang ketelanjangan sepolos ibu atau kakeknya yang belum memakan buah larangan. Kinan tidak pernah mengenal mengenal prinsip ‘body acceptance’ seperti kaum nudis di belahan bumi barat. Kinan juga tidak pernah dibesarkan dalam kepolosan seperti para penduduk desa. Ajaran monoteisme sudah terlanjur menanamkan bahwa ketelanjangan adalah hal yang membangkitkan birahi. Maka ketika menyadari bahwa ada orang lain sedang melihatnya dalam kondisi tanpa busana, Kinan ikut terjebak dalam dua kutub yang saling berkontradiksi pula: malu... sekaligus birahi pada saat yang sama....


●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●​


Kilasan kenangan masa kecilnya bergerak cepat mengikuti bayang-bayang pohon nyiur dan pisang yang berkelebatan di pinggir jalan protokol Batubulan-Kintamani.

Kinan menyempatkan diri mengisi perut dengan nasi ayam yang terkenal di desa Kedewatan dan membeli beberapa bungkus ketupat dan sebotol air minum dalam kemasan sebagai bekalnya nanti.

Matahari beranjak meninggi ketika motor Grand Astrea Kinan bergerak menyusuri jalan sawah yang mensejajari lembah sungai kecil di kejauhan. Kembali ke titik awal petualangannya, Kinan memarkir motornya di balik semak-semak. Pakaian dan barang bawaannya kini telah dimasukkan ke dalam ransel dan disembunyikan di ceruk batu yang dirasanya aman dari pandangan dan air hujan, menyisakan sesosok tubuh telanjang yang bersiap melakukan sebuah petualangan birahi.

Bagi Kinan, ini bukan yang pertama kali. Kinan pernah masturbasi di halaman rumahnya di tengah malam. Kinan pernah masturbasi di tempat jemuran lantai 3. Kinan pernah masturbasi di toilet sekolah. Kinan pernah masturbasi di taman bermain kompleks perumahannya dini hari. Dan kali ini Kinan ingin menantang dirinya sendiri; sejauh mana ia bisa berjalan hanya dengan mengenakan sepasang alas kaki?

Telanjang bulat, Kinan berjalan mengikuti aliran sungai kecil ke arah hilir. Kinan melangkah menyusuri jalan setapak di tepian sungai yang dipenuhi semak paku-pakuan dan popohonan yang merimbun membentuk terowongan hijau daun. Hingga semakin lama jalan tanah itu semakin menjauh dari sungai dan mengarah jauh ke dalam hutan belantara.

Matahari yang bergerak meninggi dan menampakkan diri dari sela-sela kanopi dededaunan menandakan hari yang semakin terik. Kinan mengibas-ngibas gerah. Bulir-bulir keringat menetes-netes di atas kulit yang sudah diolesi lotion penolak nyamuk, menimbulkan kilatan-kilatan eksotis tiap kali tubuh mengkal itu berjalan di bawah terik matahari. Kinan mengusap peluh di dahinya sekali. Semakin jauh berjalan, semakin terjal jalan yang dilaluinya hingga sepasang payudara montoknya ikut berguncang-guncang setiap kali Kinan mendaki bebatuan besar yang kian curam.

Sandal gunung berguna untuk melindungi kaki gadis itu dari bebatuan tajam, tapi tubuh telanjangnya tak ayal tergesek semak-semak perdu yang terpaksa diterabas. Kinan menggigit bibir. Sensasi ketika rambut lebat kemaluannya bergesekan dengan dedaunan menimbulkan perasaan menyenangkan yang meriap-riap memenuhi dada sang eksibisionis manis kita.

Tersenyum nakal, Kinan meremas sepasang bongkahan kenyalnya seorang diri di antara pohon-pohon, membayangkan dirinya sebagai peri hutan yang bertelanjang bulat di halaman bermainnya. Kinan merangkak, bermain-main di atas daun-daun kering, kemudian berjingkat-jingkat bahagia di antara rumpun-rumpun bambu sebelum berlonjakan girang di atas batu besar.

Kinan memejamkan mata, menajamkan keempat inderanya yang lain. Suara aliran sungai memenuhi gedang telinganya. Harum aroma pegunungan memenuhi paru-parunya. Dibiarkannya desir angin membelai tubuh telanjangnya. Coba diacuhkannya kedutan-kedutan erotis di selangkangan dan pucuk-pucuk payudaranya yang timbul tenggelam bersama kesadaran bahwa ia sedang bertelanjang bulat di tempat yang tidak semestinya. Hingga tanpa sadar, ia sudah berjalan jauh dari tempatnya semula.

Kinan menoleh ke arah hulu, barang bawaannya kini yang tertinggal semakin jauh di belakang. Pakaian, dompet, tanda pengenal, dan kunci motor ada di dalam ranselnya. Kinan menelan ludah. Menyadari bahwa dirinya berada di tengah hutan dalam keadaan telanjang bulat. Jarak yang terpaut sangat jauh dari pakaian dan motornya mendadak membuat gadis itu merasa sedikit terancam sekaligus bergairah pada saat yang sama.

Bagaimana jika ia berpapasan dengan penduduk desa dalam kondisi memalukan seperti ini? Lalu bagaimana cara ia menjelaskan ketelanjangannya? Bagaimana jika pakaiannya disembunyikan orang tak dikenal dan ia dipaksa pulang berjalan kaki dalam keadaan telanjang bulat? Bagaimana kalau ia diperkosa orang tak dikenal? Pemikiran-pemikiran itu mau tak mau memercikkan kembali api birahi yang tadinya padam menjadi nyala yang mulai membara. Selangkangannya kembali meremang seiring dengan cairan hangat yang mulai mengalir membasahi belahannya yang mulai berkilat-kilat.

Kinan sempat tergoda untuk untuk menyentuh dirinya sendiri di tempat ini. Namun dengan segera Kinan menggelengkan kepala kuat-kuat, mengibas jauh-jauh gagasan tersebut. Kinan perlu audiens, dirinya tahu itu. Yang jelas bukan sekedar burung kutilang dan gelatik yang bernyanyi-nyanyi riang di atas kepalanya.

Sambil menahan rasa geli yang meremang-remang di antara kedua pahanya, Kinan terus melangkah mengikuti suara aliran air yang terdengar bergemuruh di kejauhan. Kinan melewati beberapa turunan curam, dan mendaki beberapa pohon tumbang sebelum matanya disambut oleh pemandangan menakjubkan.


●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●

Adalah langit biru terang yang dikurung tebing-tebing tinggi yang pertama dilihatnya, disusul gumpalan awan putih bersama daun-daun tumbuhan epifit di dinding-dinding terjal yang mengurung tempat itu dalam warna hijau jamrud.

Benar kata ibu-ibu tadi. Sungai kecil itu ternyata bermuara di sebuah sungai lebar yang berarus deras. Di kiri-kanannya berdiri tebing cadas yang dipenuhi lumut dan tumbuhan paku-pakuan, dan tak jauh dari tempatnya berdiri terdapat tangga batu menuju jalan setapak yang mengarah ke desa terdekat. Ada beberapa pipa bambu yang mengalirkan air menuju ceruk kecil di antara tebing yang dilengkapi pembatas dari anyaman daun kelapa. Penduduk rupanya menggunakan tempat ini sebagai pemandian, batin Kinan sedikit kecewa, karena tak menemukan satupun penduduk setempat di tempat ini.

Tepian berpasir membentang sepanjang 10 meter di arah hulu yang berakhir pada ceruk curam yang ditumbuhi beragam semak, sementara di sebelah hilir terdapat jeram-jeram terjal dengan riam deras yang tampaknya berbahaya.

Kinan terduduk terenggah, dirinya tak memiliki niat untuk menjelajah lebih jauh lagi. Tubuhnya basah kuyup peluh yang membuat kulit telanjangnya berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Berjalan sejauh beberapa kilometer menyusuri hutan dan sungai membuat kulitnya terasa lengket dan Kinan tak sabar ingin segera menceburkan diri di bawah air jernih yang mengucur dari ujung bambu.

Setelah menghabiskan bekalnya, gadis sintal berkulit kuning langsat itu melepas sandal gunung lalu berlari-lari kecil menuju ke salah satu bilik mandi. Suhu dingin air pegunungan yang membasahi kulit telanjangnya membuat Kinan berjingkat beberapa kali dan payudara montoknya ikut berguncang memantul-mantulkan butiran air ke udara. Kinan membasuhkan air banyak-banyak ke wajahnya, meminum beberapa teguk untuk menggantikan cairan tubuhnya yang hilang sepanjang perjalanan.

Kinan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Rumpun-rumpun pandan tumbuh bersama lidah buaya tak jauh dari leretan pipa-pipa bambu. Di dekatnya ada pohon pohon sirih dan jeruk limau yang dibiarkan tumbuh merimbun untuk digunakan sebagai sabun alami. Kinan mengambil beberapa helai.

Tertawa-tawa riang, Kinan menggesek seluruh kulit tubuhnya dengan batu kali dan daun sirih yang tumbuh di dekat sana. Seluruh lekuk lepit diusapnya tanpa terkecuali, termasuk ketiak dan sela-sela kewanitaannya yang sedari tadi sudah mengajukan petisi untuk segera diperhatikan.

Khusyuk, Kinan menghayati setiap desir-desir kenikmatan ketika jari-jarinya bergerak membelai belahan kewanitaannya, tanpa menyadari sebuah perahu karet mendekat dari arah hulu. Kinan benar-benar lupa, bahwa sungai tempatnya mandi adalah jalur wahana arung jeram yang tengah populer di kalangan turis di pertengahan 90-an. Kinan baru menyadari kehadiran sekelompok pemuda-pemuda dari ibukota yang tengah asyik mendayung perahu ketika mereka berada dalam jarak pandang.

Dibekukan pada tempatnya berdiri, Kinan tak mampu menggerakkan barang satu helaipun serabut otot luriknya. Remaja itu tak bisa berbuat apapun selain berdiri mematung membelakangi perahu karet yang melaju terpaut 3 meter di belakangnya. Kinan menahan nafas, mengatupkan kelopak matanya kuat-kuat, ketika terdengar suara sorak-sorai heboh dari pemuda-pemuda kota yang mendayung perahu, entah karena derasnya arus ataukah melihat belahan pantat montoknya yang dibasahi air pancuran yang mengalir deras di atas tubuh telanjangnya.

Kinan baru bisa bernafas lega ketika perahu itu menghilang di riam curam di kejauhan. Otot-ototnya kehilangan tenaga untuk menopang berat tubuhnya sendiri, hingga Kinan jatuh terduduk di atas pasir. Tanpa bisa diantisipasi, jantung Kinanti berdetak semakin cepat dan
kehangatan mulai mengalir dari relung tubuhnya yang paling rahasia, bahkan setelah perahu karet berlalu meninggalkanya.

Jantung Kinan masih belum berhenti memburu, dan selangkangannya masih mengalirkan lendir segar ketika perahu kedua terdengar mendekat dalam kecepatan yang sama, kali ini dipenuhi wisatawan asing. Seorang pemuda tengil melambai begitu melihat seorang gadis muda bersimpuh telanjang dalam jarak tak lebih dari 10 meter.

Dan seketika itu juga sekujur tubuh Kinan kembali disengat oleh aliran listrik yang membuat otot-otot tubuhnya bergetar tanpa sadar. Kinan menggigit kuat-kuat bibirnya, hanya agar desahan erotisnya tidak sampai keluar dari rongga mulut.

WOHOOOOO!!! Look at that!!!

SHOW ME YOUR TITS!!!” jerit seorang pemuda begundal berlogat Australia.

Tawa melecehkan terdengar tergelak-gelak. Malunya luar biasa, sungguh.

Kinan balas melambai dengan senyum sendu, menatap sayu pada selusin pemuda tengik yang menyeringai mesum ke arahnya sebelum berlalu. Pasrah, Kinan memejamkan matanya rapat-rapat, hingga yang tersisa kini hanyalah suara air di antara bunyi degub jantungnya sendiri. Angin bertiup menggesek dedaunan, dan nafas Kinan kini terdengar kian memburu hingga nyaris menyerupai desahan ketika satu persatu simpul birahinya mulai terurai bersama aliran hangat yang mengalir deras dari relung paling rahasianya.

Selama ini Kinan hanya mampu berfantasi, menginginkan audiens untuk menyaksikan ketelanjangannya, namun kehadiran penonton yang sama sekali tidak diduga-duga seperti ini justru menghadirkan komplikasi antara perasaan dipermalukan, takut, tegang, dan (tentu saja) birahi yang saling bersenyawa di selangkangannya dan mengalir deras dari rahimnya menuju celah sempit di antara kedua paha yang kini tak bisa berhenti melelehkan kehangatan....

Kinan menarik nafas panjang, memberanikan diri berbalik menghadapi arus sungai. Gadis kota itu kini berpura-pura sebagai warga desa yang sedang mandi. Kinan membatin, toh tempat ini adalah pemandian umum, dirinya tidak melangggar sedikitpun norma kesopanan, sembari tetap mengusapi kulitnya dengan batu kali layaknya seorang pribumi asli.

Masih dalam keadaan bersimpuh, Kinan mengatur posisi terbaik agar penumpang perahu karet bisa melihat payudara montoknya yang berguncang-guncang dihantam puluhan galon air yang dicurahkan sekaligus dari bilah-bilah bambu di atas kepalanya.

Tak lama kemudian perahu karet berwarna kuning masuk ke dalam jarak pandang Kinan, disusul teriakan pemuda-pemudi kota yang bersorak girang menghadapi riam-riam ganas di depan mereka.

Kinan bersiap-siap. Ia meremas segenggam daun sirih, menimbulkan lendir licin dan buih yang diusapkan penuh perasaan ke atas kulit kuning langsatnya. Sementara itu, dari kejauhan pemuda-pemudi yang berada di atas perahu karet mulai bisa melihat sang gadis pribumi yang asyik mengusap lekuk tubuhnya seorang diri.

Bayangan tubuh telanjangnya yang tengah disaksikan banyak orang justru membuat relung paling rahasia Kinan mengeluarkan desiran-desiran erotis yang membujuk Kinan untuk menyentuh dirinya sendiri. Birahinya meleleh, tak mampu lagi menyembunyikan diri. Tajuk-tajuk payudaranya kini gelisah untuk dipetik. Dan himpitan rapat bagian terahasianya tak mampu lagi menahan hasrat untuk kembali disibakkan.

Bersimpuh anggun, jemari Kinan bergerak menyusuri bagian samping tubuhnya, ketiak, sisi payudara, perut, dan terus turun ke arah rimbunan lebat di antara pahanya, namun ketika nyaris menyentuh daerah intim, Kinan dan sengaja berhenti dan pura-pura kembali menyabuni bagian lengan dan ketiak. Demonstratif, gadis manis itu mengangkat sebelah lengannya ketika menyabuni ketiak sehingga payudara sintalnya terlihat semakin membulat sempurna di hadapan para audiens.

Barulah ketika perahu karet itu lewat tepat di hadapannya, Kinan mengusap payudaranya dengan buih daun sirih, meratakan cairan antiseptik alami itu ke atas bongkahan padat yang kini berkilat-kilat dipenuhi buih dan bulir-bulir air. Tajuk-tajuk payudaranya yang kini berdiri tegak tak luput dari belaian erotis: dijepit dengan jari, ikut diusap pelan, bahkan dipilin dengan penuh perasaan.

Sssssh..... uummmmh......”

Mata Kinan setengah memejam penuh penghayatan, namun dari sela-sela kelopaknya, ia bisa melihat penumpang perahu karet yang terperangah melihat seorang gadis montok telanjang dalam pose menantang, membuat desahan pelan tak kuasa keluar dari bibirnya yang membuka secelah.

Eh? Ngapain tuh cewek?

Mandi, lah... elu kira ngapain?

Emang mandi bisa ampe sange kaya gitu mukanya?

Woh iya sob! Lagi sange berat tuh cewek!

Yoi! Jangan-jangan nggak bener, tuh!

Auk ah... ngaceng gue jadinya... Taek, lah!

Wahahahaha!!!!!

“Woy cewek! Lagi ngapain tuh, hahahaha!!!” seorang pemuda menjerit ke arah Kinan.

Kasak-kusuk melecehkan terdengar dari atas perahu, beberapa menatap aneh ke arahnya, tapi Kinan hanya membalas dengan senyuman manis di atas wajahnya yang memerah sayu sembari memamerkan lebih banyak lagi bagian depan tubuhnya yang telanjang. Gelombang kenikmatannya belum hilang betul, menghantam berkali-kali hingga kewanitaannya tak bisa berhenti menyemburkan cairan kenikmatan, bahkan ketika perahu karet itu menghilang dari pandangan.

Eksibisinya semakin berani ketika Kinan mendengar perahu keempat mendekat dari kejauhan. Gadis kota yang menyaru sebagai penduduk desa itu mengubah posisi duduknya yang tadi bersimpuh menjadi berjongkok menghadap aliran sungai.

Kinan menegakkan punggung sehingga sepasang bukit kenyal di atas dada terlihat semakin membulat menantang. Dan sepasang pahanya sengaja dibuka lebar-lebar, memamerkan lebih banyak lagi dari liang-lepitan rapat yang dirimbuni bulu lebat pada siapapun yang melintas di sungai deras di depannya.

Perahu keempat mendekat ketika Kinan pura-pura menceboki pantatnya dalam posisi posisi berjongkok. Tapi apa lacur, tak seperti dua perahu sebelumnya, pemandu arung jeram mengarahkan perahu karet merapat di tepian berpasir tak jauh dari tempatnya berpijak. Jari kelingking Kinan sedang asyik menusuk-nusuk lubang anus ketika penumpang perahu karet berlompatan sigap ke daratan padat.

Aliran darahnya seketika terasa membeku. Jantung Kinan seperti ingin berhenti berdetak kini. Delapan orang wisatawan berlogat Jakarta, dan satu orang pemandu berlogat Bali berjalan mendekat. Panik, Kinan segera merapatkan kaki dan memeluk erat-erat paha dan kedua lututnya -masih dalam posisi berjongkok- ketika mendapati tubuh telanjangnya sudah dikepung dari berbagai penjuru.

Gek ngudiang dini manjus pedidian?” tanya seorang laki-laki yang tampaknya pemandu wisata. “Saya tanya, kenapa mandi sendirian? Di mana teman-temannya?”

“Saya... eh... tiang....” Kinan menjawab tergagap. “Iya... tiang... sedang.... manjus....”

|Gek = sapaan terhadap perempuan yang lebih muda |
|Tiang
= saya |
|Manjus
= mandi |

“Kenapa mandi siang-siang begini?”

“Karena... saya....”

“Adik dari desa mana? Kenapa saya tidak pernah melihat adik sebelumnya?”

Dan rentetan-rentetan pertanyaan itu terdengar seperti menginterogasi. Kinan hanya mampu meringkuk ketakutan, menutupi bagian-bagian paling pribadi erat-erat dari tatapan-tatapan mata pemuda kota yang kini saling berebut menjarah setiap jengkal tubuh montok itu....


To Be Continude

:hore:

makasiih atas apresiasinya atas cerita ini
makasih buat yang udah komen dan like
next update besok pagi lagi, yah...

-​
 
Terakhir diubah:
Aseek ada tempat nongkrong baru.
Kalo karya suhu Jay wajib dipantengin nih :beer:
 
Aseek ada tempat nongkrong baru.
Kalo karya suhu Jay wajib dipantengin nih :beer:
mudah2an betah yah gan moko..... cerita Kinan ini bakal beda banget soalnya sama Paradiso.....
 
Suka banget genre ekbhisi...
Pasti booming nih cerita
Apalagi si penulis Jaya S master pujangga...


Numpang geler tikar suhuuu
 
Ane jd member gegara pernah baca karya subes lejen inih...

sayangnya ane lupa judulnya...:hammer:

Badewei,,,:ampun: dulu aah sama subes penulis lejen di forum tercinta ini....salkem dari nubie penikmat karya² subes...
 
lanjut hu.....
 
salam kenal juga gan diemas
yoi gan, tahun 90an gan setingnya.....soalnya tahun 2017 udah jarang lagi orang mandi di sungai

Emang kerasa 90's nya :malu:/

Klo tahun sekarang mah paling d area pedalaman aja Om yang masih bebas seperti itu..

Nuhun buat apdet nya Om, detil nya :thumbup Emang harus d nikmati pelan" biar ikut kerasa :malu:/

Ditunggu berikutnya :kopi:











:Paws:
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd