Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Nenekku, Pahlawanku [TAMAT]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    492
***

Mungkin sudah saatnya aku memperkenalkan keluarga besarku.

Jadi, Kakek dan Nenek dulu menikah muda karena perjodohan. Tepatnya Kakek yang berumur 17 tahun, Nenek yang masih 14 tahun. Biasa, tradisi lama.

Kakek memiliki nama lengkap Dewo Suryopranoto. Darah beliau mengalir dari bangsawan Jawa. Sedangkan Nenek yang nama panjangnya Siti Nurul Fauziah Aruminingtyas berangkat dari keluarga priyayi yang notabene keluarga terpandang ahli agama di kota kabupaten.

Dari pernikahan dua anak manusia gesrek inilah, menghasilkan empat keturunan, yang kesemuanya perempuan.

Anak pertama tak lain adalah wanita tercantik di dunia yang umurnya genap 40 tahun. Adalah ibuku sendiri, Siti Aminah. Menolak dijodohkan dan memilih kabur dari rumah. Hidup di perantauan dengan mengandalkan bakatnya di bidang musik sebagai solo singer. Hari-hari ibuku hanya soal perform dan perform. Mengisi event-event dari yang terkecil sampai yang terbesar. hingga akhirnya, takdir mempertemukan ibu dengan seorang lelaki tampan rupawan yang usianya 2 tahun lebih tua di salah satu restoran yang baru opening. Karim Wijaya nama ayahku. Dari pernikahan mereka, satu anak tampan terlahir. Sudah jelas aku, dong.

Berikutnya ada anak kedua Kakek dan Nenek, Miftachul Jannah. Aku jarang sekali bertemu dengan keluarga kecil Bulikku ini jika ada perkumpulan keluarga besar. Bukan apa-apa. Wanita 38 tahun yang kupanggil Bulik Anna ini seorang dokter spesialis kandungan dan ginekologi gelar di belakang namanya saja Sp.OG, yang jelas memiliki keahlian khusus di dua bidang, yaitu keahlian seputar kehamilan dan proses melahirkan alias obstetri, dan keahlian seputar kesehatan reproduksi alias ginekologi. Ditempatkan di luar pulau, menjadikan Bulik Anna tak memiliki waktu luang hanya sekadar berkumpul bersama. Wanita yang memiliki anak kembar laki-laki ini sukses mendidik kedua putranya untuk menggeluti minat bakat masing-masing. Hal itu tak terlepas dari andil besar suami Bulik Anna yang seorang dosen, Sigit Priambodo. Pria berusia 44 tahun yang mengajar di tiga perguruan tinggi ternama.

Adalah benar jikalau di sebuah keluarga ada beban. Itu adalah si anak ketiga yang hanya bisa minta uang, uang, dan uang. Ayu Nafisah. Wanita 33 tahun yang manja bin centil. Jelas saja aku jadi punya panggilan akrab kepadanya: Bunda Ayu. Sama seperti kedua kakaknya, Bunda Ayu diajak merantau oleh teman-teman geng SMA-nya. Setahuku, pekerjaannya sebelum mengenal Paklik Hendro ialah staff gerai toko hijab. Yang kemudian, setelah melahirkan seorang anak perempuan, Bunda Ayu memiliki gerai toko hijabnya sendiri. Hendro Siswanto yang umurnya 6 tahun lebih tua dari Bunda Ayu ini seorang duda kaya tanpa anak.

Nah, yang terakhir, atau si bungsu, diberi nama Fatimah Salfahira. Aku memanggilnya Tante Ima karena wanita berumur 30 tahun ini menolak dipanggil 'bulik' dengan alasan kuno. Terhitung hari ini, usianya memasuki kepala tiga. Berbeda dengan ketiga anak Nenek yang lebih memilih keluar dari zona nyaman, Tante Ima yang agak tomboy ini memilih menikah dengan seorang pengangguran. Tidak apa-apa kalau tidak becus bekerja, asal ganteng. Katanya. Bajingan memang. Namanya Hasan Fahlevi. Umur mereka sepantaran. Tak segan cekcok di hadapan keluarga besar kami saat berkumpul. Pemenangnya? Sudah jelas Tante Ima, kan? Kombinasi wanita tomboy, jago beladiri, dan mewarisi keras kepalanya Nenek, hampir mustahil Tante Ima terkalahkan. Masih belum ditemukan pawang yang bisa mengatasi si beruang betina ini.

Dan sekarang, si tomboy Tante Ima tanpa tedeng aling-aling memberikan ceramah lembut yang pernah kudengar. Diimbangi makian serta hujatan penuh cak-cok-cak-cok, Tante Ima marah besar melihat kelakukan ibunya sendiri yang bermain gila bersamaku, keponakannya. Apalagi ada Kakek yang sedang berjuang melawan sakitnya di kamar sebelah.

"Entah setan apa yang merasuki Umi sampai merusak cucunya sendiri. Ingat umur, Umi. Umur. Umi sudah ndak muda lagi. Kalian juga punya hubungan darah. Yang begini apa pantas kalian disebut manusia? Pantasnya sih disebut musang birahi." Rangkaian kata membentuk kalimat yang diucapkan Tante Ima membuat Nenek menggeram marah. Bekas sendok makan Nenek lempar ke wajah Tante Ima. Tetapi, wanita berparas galak itu bisa menghindarinya dengan mudah.

"Baru sekarang kamu peduli sama Umi. Kemarin-kemarin pas Abah sakit, atau pas Umi lagi digenjot bocah-bocah yang KKN di desa, kamu ke mana? Ada kamu bantuin Umi?" lantang suara Nenek, berikut menunjuk-nunjuk wajah Tante Ima menggunakan jari tengah. Setan!

Tante Ima membalas dengan intonasi tak kalah tinggi, "itu salah Umi sendiri! Kenapa mau?! Terus, Umi sadar ndak apa yang sudah Umi perbuat ini sekarang?! Hah?! Kalau Umi emang rusak, ndak usah buat orang lain rusak juga! Dasar orang tua bejat!"

"Jaga ucapanmu, Ima! Umi ndak ingin mendengar ucapan itu keluar dari anak durhaka yang ndak pernah perhatian sama Umi dan Abah! Kita abaikan soal bocah KKN kurang ajar. Sekarang, Umi sudah punya Kobe."

"Hentikan omong kosong ini sebelum Ima telepon Mbak Ami biar Kobe dijemput lagi."

Bajingan!

Kok kesannya aku jadi rebutan, ya? Aku seperti berada di tengah-tengah konflik lama yang baru hari ini berada di puncak tertinggi masalah yang menggunung satu sama lain selama bertahun-tahun.

"Jangan suka melibatkan orang lain. Selain itu, kamu itu wanita, harusnya kamu sudah tahu kalau Umi ini juga wanita normal seperti lainnya. Kesampingkan umur Umi, Umi masih mens, pun punya hasrat."

"Dan hasrat itu dilampiaskan ke cucumu sendiri? Sinting! Apa ndak cukup kontol-kontol anak desa yang suka ngecrot di memek Umi sampai Umi hamil dulu? Ndak cukup?!"

"Kan Umi sudah bilang ke kamu waktu itu kalau Umi hamil karena Adam. Kamu jangan mengada-ada!"

"Terus Umi bangga, gitu? Iya?" Tante Ima naik pitam.

"Kalau iya, kamu mau apa?" Nenek balas ngegas. "Kalau kamu datang hanya untuk menghakimi Umi, lebih baik kamu pulang, daripada ...."

"Daripada apa? Ngajak berantem?" tantang Tante Ima dengan sorot mata nyalang binatang.

"MAJU!" seru Nenek, sambil berdiri.

Disaksikan oleh diriku yang cosplay jadi figuran, ibu dan anak di hadapanku memulai pertarungan. Perkelahian menegakkan idealis masing-masing tak terelakkan. Aku ingin melerai. Ingin sekali. Namun, kuurangkan niatku saat melihat ilmu beladiri keduanya berada di tingkat berbeda. Penuh teknik. Jual beli serangan dilancarkan. Nenek menghantam pipi Tante Ima. Sementara Tante Ima menendang perut Nenek sekuat tenaga.

Karena tak tahu harus berbuat apa, kuputuskan untuk membakar rokok. Jaga-jaga agar perkelahian tidak melampaui batas, aku hanya memantau pertarungan dua wanita yang sama-sama memiliki postur bongsor.

Tetapi, pemikiran naifku harus segera disingkirkan. Itu karena pertarungan keduanya mulai memasuki fase adu senjata. Nenek yang penuh lebam dan berdarah-darah menggenggam erat batang kayu panjang. Di lain pihak, sebelah mata Tante Ima membengkak terkena bogem Nenek mengambil bekas rantai sepeda kebo di belakang rumah.

"Sudah cukup." Aku berjalan santai. Berdiri di tengah-tengah dua wanita yang terbakar amarah. Kutatap bergantian Nenek dan Tante Ima. Sejurus, aku mendorong mereka pelan tapi bertenaga untuk saling menjauhi. "Daripada sampeyan berdua berkelahi, lebih baik telanjang terus berkelahi sama aku di kamar."

"BANGSAT!" bentak Tante Ima, seraya menyabetkan rantai ke kepalaku. Namun, rantai itu dengan cepat aku cengkram dengan tangan kosong. Kembali aku menghisap rokok santai. Menyaksikan perubahan ekspresi Tante Ima, dari yang semula garang seperti beruang betina, kini ciut layaknya marmut.

Senyum tipisku tersungging. "Kalau Tante teruskan, aku bakal marah, lho." Seraya menarik rantai tersebut, membuat Tante Ima ikut tertarik ke arahku. Detik itu juga, aku rengkuh pinggangnya yang padat berisi. Susunya yang sekal tertutup pakaian syar'i kontan bersentuhan dengan lenganku. Tinggi kami hanya beda beberapa centi. Tante Ima yang hanya sepundakku, sejenak terpekur. Hingga aku menekan keras pinggangnya, Tante Ima tersadar dari lamunannya. Tatapannya terpancar gelap. Murka.

"JANGAN SENTUH-SENTUH AKU, SETAN!" sentakan Tante Ima, sekaligus melepaskan diri dariku. Aku membiarkan saja.

Dengan masih tersenyum, aku menatap ke arah Nenek dan Tante Ima bergantian. "Oke, oke. Kita bicarakan baik-baik tanpa emosi, ya."

Masih penuh tatapan marah, Nenek berkata dingin, "Ndak ada yang perlu dibicarakan kalau sama Tantemu itu, Le. Hanya kepalan tangan yang bisa menyadarkannya kalau di sini Nenek berdiri di sisi yang benar."

Sambil menyeka darah yang terus mengalir di hidungnya, Tante Ima meludah darah merah kental ke tanah. "Inilah gambaran air bekas mandi junub dikasih nyawa. Pantes aja mbak-mbakku dari dulu ndak pernah tahan sama Umi. Menyebalkan."

Adu mulut pun tak terhindarkan. Panas sekali telingaku mendengar umpatan demi umpatan yang saling diucapkan. Nenek yang tak mau disalahkan. Tante Ima yang terus menyalahkan.

Kuhisap rokokku sampai setengah, lalu menghela nafas. Nenek dan Tante Ima kompak menatapku. Pandangan Nenek kepadaku tidak segalak saat memandang Tante Ima. Namun, berbeda dengan Tante Ima yang justru nampak jelas kebencian pada sorot tajam manik mata hitamnya.

"Sudah, sudah. Nenek salah. Tante juga salah. Aku pun salah. Kita ini manusia yang nggak pernah lepas dari kesalahan. Jadi, aku harap untuk selanjutnya kita selesaikan dengan kepala dingin. Setuju? Nenek? Tante Ima?" aku mencoba melerai. Entah berhasil atau tidak, itu urusan belakang.

"Diam dulu kamu, bocah. Jangan ikut campur urusan orang tua!" sembur Tante Ima.

"Nggak bisa. Aku keponakan Tante. Aku juga cucu Nenek. Sampeyan berdua adalah orang yang aku sayang, meskipun kelakuan sampeyan berdua kayak jaran."

Ucapanku ini menjadi akhir dari pertarungan berdarah antara Nenek dan Tante Ima.

Seperti anjing dan kucing, keduanya sama-sama membuang muka. Kemudian, aku mundur perlahan. Menyuruh mereka untuk gencatan senjata. Lalu, mengarahkan keduanya duduk di atas kursi bambu.

Sementara aku kembali ke dalam rumah. Mencari mandiri kotak P3K. kemudian, kembali ke halaman belakang. Mengambil air hangat, lantas kutuang ke dalam baskom.

Dengan dua kain kompres tipis yang kulipat-lipat, aku mengkondisikan luka fisik keduanya. Baik Nenek dan Tante Ima tidak banyak bicara. Hanya tatapan mereka yang masih tajam menyiratkan terbukanya ronde kedua.

Beres.

Aku membuang bekas kain penuh darah ke tong sampah. Setelahnya, sibuk di dapur membuat tiga teh hangat.

Aku sajikan di atas nampan kayu, sekalian pula mempersiapkan tiga mangkok putih bergambar ayam jago, berikut isiannya berupa hidangan yang sebelumnya aku masak untuk sarapan.

Aroma harum hidangan yang kubawa praktis membuat Nenek dan Tante Ima melunak. Wajah mereka yang semula merah karena emosi, perlahan kembali semula.

Krucuk, krucuk!

Terdengar suara perut keduanya yang keroncongan. Kontan saja mereka menunduk malu.

"Diminum dulu. Habis gitu sarapan. Berantem juga butuh tenaga."

"Panganan opo iki?" (Makanan opo iki?) celetuk Tante Ima dengan liur menetes.

"Ketokane enak, Le. Awakmu ta seng masak?" (Kelihatannya enak, Nak. Kamu kah yang masak?) Nenek ikut menimpali.

"Ini namanya sup Penggesek Itil, Te." Aku mencoba bergurau. Lantas, aku menatap Nenek jenaka. "Bukan, Nek. Kebetulan tadi Chef Renata mampir. Numpang masak di rumah Nenek."

"Bocah edan!"

"Emang menjancukkan."

Aku hany nyengir kuda sebagai tanggapan.

Sejurus kemudian, tanpa banyak kata pengantar, kami mulai sarapan dalam diam. Tenang. Menikmati hidangan buatanku dengan nasi panas yang mengenyangkan.

Yang pertama selesai adalah aku. Disusul Tante Ima, lalu Nenek. Tak kusangka, mereka makan begitu lahap. Yang membagongkan, keduanya sama-sama menyodorkan mangkok yang telah habis kepadaku. Minta tambah.

Aku tersenyum.

Mengambilkan porsi kedua lebih banyak. Dan tanpa suara, mereka makan lagi. Aku yang sudah lumayan kenyang, hanya mengamati kerakusan keduanya. Sambil kembali membakar rokok, aku duduk di atas batu tempat biasa mengasah kontol. Maksudku, mengasah senjata tajam untuk berkebun.

Tak berselang lama, acara sarapan telah usai. Nenek menumpuk mangkoknya di atas bekas mangkokku. Disusul Tante Ima yang meletakkan mangkoknya di sembarang tempat.

Setelahnya, Nenek berdiri. Turun dari kursi bambu untuk duduk lagi. Duduk di pangkuanku. Bengkak pipi Nenek mulai kempis. Nenek mengambil rokokku. Membakarnya. Sebal-sebul tanpa dosa.

"Barusan Ima ingin minta maaf sama Umi. Tapi ndak jadi." Tante Ima menatap jijik ke arah Nenek.

"Minta maaf pun ndak bakal Umi maafkan," ucap Nenek, santai.

"Gelud?!" Tante Ima melempar gelas kosong.

"MAJU!" Nenek balas melempar batu.

"Mulai lagi." Aku tepuk jidat. Saat Nenek hendak berdiri, aku melingkarkan tanganku di perutnya. Kutahan Nenek agar tidak menggila lagi. Sejurus, tatapanku serius terarah pada Budhe Ima. "Tante, aku minta tolong banget, nih. Kalau Tante ke sini cuma mau nyari keributan, lebih baik Tante pulang."

Tante Ima mencebik. "Bilang aja kamu mau ngusir Tante biar bisa ngocokin tempek Nenekmu itu, kan?"

"Sudah jelas."

Tante Ima menatapku hina. "Aku laporin ibumu enak kayaknya."

"Lakukan kalau Tante berani. Paling-paling ibu cuma ketawa."

"Maksudmu?"

"Ya Tante tahulah kalau tujuan orang tuaku, terutama ibu, mengirimku ke sini adalah untuk menjaga Kakek dan Nenek. Tapi, Tante nggak tahu kan kalau ibuku punya tujuan terselubung?"

"Omonganmu mbulet kayak benang layangan, Le."

"Itu karena Tante lebih banyak pakai otot daripada otak, jadi nggak nangkep maksud dari ucapanku."

"Tante ndak nyangka kalau keponakan Tante ini begitu kurang ajar. Pasti ini didikan Nenekmu itu. Ya, tho?" tembak Tante Ima, tajam.

"Mungkin." Aku mengelus-elus perut Nenek lembut. Lalu, tanganku bergerak menjamah sebelah susu Nenek. Seperti dugaanku, Nenek tak menahanku. Justru menampilkan wajah sange campur mengejek ke arah Tante Ima. Kemudian, aku kembali berkata sambil tersenyum miring, "Ini yang aku maksud, Te. Ibu ingin aku yang masih perjaka menjadi rem untuk mobil tua yang cuma tahu ngegas aja."

"Le, ayo ngenthu maneh. Jarno ae pendekar Majapahit iku." (Nak, ayo ngentot lagi. Biarkan saja pendekar Majapahit itu.) Nenek berbisik serak.

Aku dibuat cengo. "Nenek serius mengatakan itu di depan Tante?"

Sebelum Nenek membalas ucapanku, terdengar desisan kesal dari mulut Tante Ima, yang kini menatap lurus ke arah kami dengan kedua bola mata berkaca-kaca. "KALIAN BERDUA SAMA-SAMA SINTING!" serunya. Lantas, secara tiba-tiba Tante Ima menangis. Menangkup kedua tangan di wajah. Badannya bergetar hebat di sela-sela tangisnya yang tersedu sedan.

Aku dan Nenek saling pandang. Aku ingin sekali mendatangi Tante Ima, tapi Nenek melarang. Ia berkata kalau Tante Ima kadang suka ngereog seperti ini.

Saat aku tanya alasannya, Nenek hanya tersenyum pedih. "itu karena suami Tantemu menikah lagi karena Tantemu mandul ndak bisa ngasih keturunan."
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd