Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Paradiso!

Bimabet
edit 2 Februari 2016
Part Lost in Translation ane ganti pakai Part Streets Without Signs yang lebih gloomy.
 
Terakhir diubah:
Fragmen 8
Streets Without a Signs


Senja datang menjelang di Kuta yang semakin temaram. Matahari sudah menyembunyikan diri di balik horizon, menyisakan gradasi berwarna biru keunguan yang menyemburat dari balik kaki langit. Jalanan yang tadinya terik segera digantikan dengan riuh rendah dunia malam yang memenuhi setiap sudut jalan. Arus lalu lintas semakin padat merayap, dan trotoar mulai dipenuhi wisatawan asing yang baru pulang berselancar atau hendak keluar mengisi perut.

Jalan Legian. Jika kalian kebetulan melancong ke Bali, sempatkanlah mengunjungi tempat ini. Lewat tengah malam, niscaya engkau akan mendapati klub-klub yang menyesaki kiri-dan kanan jalan seolah saling berlomba dan tak mau kalah dalam menarik perhatian setiap calon pengunjung, maka didentamkanlah musik sekeras-kerasnya dan dinyalakan lampu sorot sekilau-kilaunya. Jangan heran jika nanti engkau melihat bule-bule yang berjoget hingga trotoar di antara kemacetan yang berarak-arak.

Seorang wanita dengan dandanan rocker menenteng hardcase berisi gitar di depan Pub bertuliskan The Crossing Fate. Sejenak ia tertegun, memandangi hamparan kerlap-kerlip cahaya di hadapannya. Sulit dipercaya betapa tempat itu kini kembali seperti semula, bahkan lebih gemerlap dari sebelumnya. Orang-orang mungkin lupa, atau berusaha melupakan bahwa di atas tempatnya berdiri, neraka pernah dibawa ke dunia demi untuk mengejar sebuah angan-angan semu bernama 'surga'.

Perempuan berambut pendek itu tersenyum getir, meraba bekas luka bakar yang memanjang di lengan kirinya yang kini tersembunyi di balik rangkaian tato Inferno-Purgatorio-Paradiso. Sheena tak pernah menyukai menjejakkan kaki di tempat ini, tidak untuk sedetikpun. "Tapi melarikan diri nggak akan menghilangkan rasa sakit, kan?" Sheena berkata dalam hati, menekankan pada dirinya sendiri.

10 tahun yang lalu dirinya terpaksa meninggalkan Pulau Dewata. Masih 15 tahun usianya ketika peristiwa itu terjadi. Masih terbayang jelas di benak Sheena, bahkan sampai detik ini, betapa jalanan ramai tempatnya berdiri saat ini pernah berubah menjadi lautan api. Pecahan kaca berterbangan. Mobil-mobil remuk redam. Di tengah warna merah itu ia seolah masih bisa menyaksikan tubuh-tubuh hangus yang bergelimpangan.

Sheena memejamkan matanya, namun yang terkilas hanya warna merah menyala dan api yang berkobar-kobar.

Inferno
Purgatorio
Paradiso


Pelan-pelan sesuatu dari masa lalu bergerak merasuk dari rerajahan di tangan kirinya, dan perlahan memenuhi dadanya yang kian sesak. Sheena memalingkan pandangan, kepalanya mendadak terasa berdenyut-denyut.


= = = = = = = = = = = = = = = = =​


"Ava? Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?"

"Enggak, Dek... aku nggak tahu... kenapa... kepala aku pusing..." Pemuda brewok itu berkata sambil memegangi kepalanya. Entah kenapa, sepulang dari kerja bakti di Pekuburan tadi pagi, kepalanya terasa semakin pening saja.

"Minum ini dulu, Va," Kadek berkata seraya menyodorkan segelas air putih dan Aspirin yang barusan dibelinya di apotek.

Duduk di tikar pandan di emperan toko, sebenarnya Kadek hendak mengajak Ava berjalan-jalan menikmati kota Denpasar. Kesibukan di tempat Pak De nyaris tidak menyisakan waktu bagi Ava untuk mengunjungi tempat lain kecuali studio dan galeri. Apalagi beberapa bulan ke depan Sang Maestro hendak menggelar pameran tunggalnya di luar negeri. Hanya beberapa hari di akhir pekan, itu pun hanya sesekali, Kadek berkesempatan mengajaknya berjalan-jalan menikmati suasana Pulau Dewata di malam hari.

Ava dan Kadek mengisi perut dengan makan Nasi Jenggo di emperan pertokoan di dekat Bioskop Wisata. Nasi Jenggo adalah sejenis nasi bungkus porsi kecil yang dibungkus daun pisang, berisi lauk telur ½ butir, suwiran ayam, oseng kacang, dan sambal yang pedas. Sejenis nasi kucing di tempat kelahirannya. Ava sedang lahap makan ketika kepalanya mendadak terasa pening, entah kenapa.

"Kamu itu... makanya... aku bilangin jangan ngelamun jorok di Kuburan! Bisa ketempelan!" kata Kadek, setengah berkelakar.

Ava menanggapinya dengan tersenyum kecut. Lawan bicaranya menghela nafas, dalam hati Kadek menyadari anak itu lebih banyak melamun setelah ia menceritakan tentang masa lalu Indira. Bukan salah Ava tentu saja, namun tetap saja, siapa yang bisa nyaman dipersalahkan atas kejahatan yang tak pernah dilakukannya?

Indira hanya sempat kembali sebentar sore tadi. Belum sempat Ava menjelaskan duduk perkaranya, Indira sudah berangkat lagi, dijemput dengan mobil oleh sang kekasih.

Kadek memutuskan mengajak Ava berjalan-jalan ke Kuta, siapa tahu anak itu kembali bersemangat jika diajak melihat bule-bule seksi. Tak lama berselang, skuter Kadek sudah menyelinap di antara belantara kemacetan Pulau Dewata. Suara knalpotnya yang nyaring seolah ingin bersaing dengan dentum house music dari klub-klub di sepanjang jalan.

"Kita mau ke mana, Dek?"

"Ada tempat nongkrong enak!"

"Oh ya? Di mana?"

"Pub Crossing Fate!"
 
Terakhir diubah:
Fragmen 9
The Crossing Fate



The Crossing Fate
. Tulisan neon itu berpendar terang di tepi jalan yang hiruk pikuk. Seorang bule yang mengenakan singlet Bir Bintang dan kacamata Oakley palsu memasukinya. Telinganya agak pengang mendengar suara distorsi yang menghentak ke seluruh penjuru ruangan yang remang-remang. Ingar bingar. Asap rokok dan aroma alkohol memenuhi pengap udara. Sementara lantai kotak-kotak hitam putih seperti papan catur dipenuhi pengunjung yang sudah terlebih dahulu berjoget dan moshing mengikuti alunan musik Punk-Rockabilly yang dimainkan di atas panggung.

Lagu cover version 'The Ramones' memantul ke dinding yang berwarna merah-hitam, dan atap beton yang tidak diplester.

Seorang Pemain Bass penuh tato, mengenakan celana ketat dan singlet ketat, dengan rambut jambul pompadour ala Elvis asyik memainkan bass betot putih berukuran besar, yang ditempeli stiker heart-spade-clover-diamond, layaknya kartu remi. Kadang ia beratraksi dengan berdiri menaiki bass betotnya itu sehingga memancing riuh tepuk tangan para hadirin.

Di belakang, sang drummer yang mengenakan topi koboi memandu ritme sambil berdiri memainkan set drum yang hanya terdiri dari bass drum, hi-hat, dan snare, tanpa tom-tom, tanpa symbal.

Sementara sang vokalis Sheena- mengenakan skinny jeans dan T-Shirt hitam ketat bertuliskan "ElectroHell" dibalut jaket kulit hitam. Wanita berambut pendek itu nampak asyik bernyanyi sambil memainkan gitar Grestch White Falcon yang putih mengkilap. Kakinya bergerak-gerak asyik ke sana kemari. Suaranya merdu tapi melengking parau sekilas mirip suara Karen-O, vokalis 'Yeah Yeah Yeahs'.

"Well the kids are all hopped up and ready to go / They're ready to go now / They've got their surfboards / And they're going to the discotheque a go go!"

Benak Sheena kembali mengenangkan pertemuannya dengan bidadari cantik bernama Indira tadi siang. Akankah dia datang malam ini seperti yang dijanjikannya tadi? Di antara nyanyiannya Sheena masih menyempatkan diri mencari-cari sang bidadari. Sepasang matanya yang tersembunyi di balik kacamata retro warna hitam sibuk menelisik kerumunan penonton, berharap Indira sedang menyaksikan permainannya.

Pencarian Sheena baru berhenti ketika sesosok bidadari menyelinap di antara keramaian. Malam ini Indira nampak mengenakan tank top hitam, lengkap dengan bracelet bling-bling bak seorang cheerleader yang ingin jadi punk rock star. Rok jins mini yang lebih pantas disebut pakaian dalam membalut ketat pantat bulat Indira, sengaja dikenakannya agak melorot sehingga memamerkan tali g-string pada pinggulnya.

Indira tersenyum dan melambaikan tangan ke arah panggung, gairah sang vokalis kian terbakar dibuatnya. Penuh semangat Sheena bernyanyi, ingin menarik perhatian sang bidadari.

"Sheena is a punk rocker! / Sheena is a punk rocker! / Sheena is a punk rocker now!"

"Kenalanmu?!" tanya seorang lelaki muda di samping Indira. Ia harus berteriak agak keras agar suaranya tidak tertelan suara musik. Pemuda itu berusia 20-an awal, wajahnya tampan-setengah bule seperti Indira. Berpakaian rapi dan mengenakan kaca mata kotak dengan frame tebal.

Indira hanya tersenyum dan menggandeng tangan laki-laki itu, "Ih, Dewa mau tahu aja!" jawab Indira bermanja-manja.

Adalah Dewa, kekasih Indira. Malam ini mereka datang bersama teman-teman kuliah Dewa, 2 orang laki-laki dan 2 orang wanita. Mengambil tempat duduk di pojokan, kumpulan muda-mudi itu duduk dan memesan minuman.

Tak seberapa lama, Indira sudah tak tahan untuk turun melantai. Ia menghambur ke arah panggung tanpa bisa dihalangi kekasihnya. Remaja blasteran itu mulai menggerakkan anggota tubuhnya mengikuti irama musik nan rancak bak bidadari di tengah gerombolan begundal yang asyik moshing dan crowd surfing.

Hingga akhirnya lagu selesai dimainkan. Sang vokalis melompat dan mendekatkan pick-up gitarnya pada amplifier sehingga menimbulkan bunyi berdenging. Indira bersorak histeris dan menaiki panggung tanpa dikomando. Sebuah kecupan mendarat di bibir Sheena, membuat sorakan penonton membahana ketika sesama jenis itu saling menempelkan bibir.

"Gila kamu!" protes Dewa yang disambut derai tawa indira seolah tidak peduli jika sang kekasih terbakar cemburu.

Indira melambaikan tangan ke arah bartender, sesaat kemudian ia sudah menenggak segelas tequilla langsung tandas, dua sloki datang lagi, hadir dengan garam dan perasan jeruk nipis. Indira menenggaknya habis. Puas sekali ia hari ini. Indira merasa bisa melampiaskan kekesalan kepada orang-orang yang sudah berbuat seenaknya pada dirinya, terutama sang ayah. Huh! Sloki ketiga menyusul ditandaskan.

Dewa duduk di samping Indira, melingkarkan lengannya di pinggang ramping sang bidadari. Harum parfum bercampur dengan aroma alkohol tercium begitu membius di hidung sang pemuda.

Lekat-lekat, Dewa memandangi wajah kekasihnya. Perpaduan antara darah Bali dan Australia membuatnya begitu eksotis sekaligus anggun pada saat yang sama. Sepasang dada Indira yang ranum dan membusung hanya ditutupi sehelai tank top ketat warna hitam. Sekilas nampak dua tonjolan kecil mencuat di atas dada mungil Indira. Senyum mesum segera membayang di wajah Dewa, nampaknya sang gadis sengaja tidak mengenakan penutup dada malam ini.

Gejolak remaja ditambah intoksikasi alkohol membuat Indira tak menolak ketika pria tampan itu mendaratkan kecupan di tengkuknya. Elakan setengah hati dari sang gadis tentu saja tak cukup mencegah tangan sang pemuda untuk jauh bergerilya. Indira menenggak segelas vodka, membiarkan konsentrasi etil alkohol dalam darahnya mengambil alih rasa malu dan jengah.

Semua orang di tempat itu seakan larut dalam pengaruh musik dan alkohol. Dan tak ada yang ambil peduli dengan pasangan muda yang sedang dimabuk asmara.

Tapi tidak Sheena. Dari kejauhan ia melihat bidadarinya jatuh ke dalam rayuan seorang pemuda. Cemburu mulai merambati hati wanita berambut pendek itu, dan segera dikandaskannya dengan menenggak sebotol Jack Daniels yang diletakkan di atas amplifier Gallien-Krueger.

Terdengar bunyi feedback yang berdenging begitu Sheena angkat bicara, "The next song is cover version from Superman Is Dead! King, Queen, and Poison!"

Sheena mulai memainkan intro, jemarinya bergerak lincah di atas fret gitar. Suaranya melengking melalui mikrofon yang digantungi hiasan dadu besar, dan disambut riuh sorakan para hadirin yang mulai berjoget pogo.

"When the sky is dark, and my passion seems to strong / guess the queen has left this thorned heart alone..."

"tomorrow's broken dream is harder than i thought / i fought the devil,
find emptiness in me.."

Di antara raungan suara sang vokalis dan euforia penonton yang menggelora, Dewa menarik kekasihnya ke pojokan, ke balik bayangan tiang beton yang tersamar dari pandangan, di mana ia bisa mencumbui Indira dengan lebih leluasa. Dihimpitnya tubuh mungil Indira ke dinding, ke arah yang dirasanya cukup remang. Wajah tampan sang kekasih membuat Indira pasrah saja ketika lehernya diciumi dan pantat ranumnya diremas gemas. Sementara deru sayatan gitar Sheena terdengar semakin resah, semakin gelisah, namun ia hanya bisa bernyanyi tanpa bisa berbuat apa-apa menyaksikan bidadarinya merintih tak berdaya di seberang sana.

Bibir Dewa bergerak ke atas menyusuri tulang rahang Indira, naik ke atas dan mulai melumati bibir lembut kekasihnya. Sang bidadari melengguh pelan, dan mulai membalas lumatan Dewa. Dihisapnya lidah Dewa yang mencoba memasuki bibirnya lalu dibelainya lidah itu sehingga menimbulkan sensasi geli yang menakjubkan. Mmmmmh.... Mereka berpagutan di tengah deru sayatan gitar Sheena yang semakin resah.

"Everything is a blur, a picture of your kiss, tasted so sweet and poison, here i come!"

Erangan Indira dengan mudah ditenggelamkan suara bising. Dibiarkannya tangan Dewa menyusup ke balik roknya, meremas-remas pantat dan membelai belahannya yang sudah membasah semenjak tadi. Indira melengguh keras, tidak ambil peduli meskipun beberapa orang di sekitarnya mulai memperhatikan gerak-gerik mereka berdua. Indira tersenyu puas, menikmati sensasi mendebarkan itu. Adakah si bartender memperhatikannya? Adakah bule di depan melihat dadanya yang ranum di remas dengan kasar? Oh! Membayangkan ini saja sudah membuat sekujur tubuh Indira merinding, dan selangkangannya semakin gatal dan basah oleh lendir!

Mengerang, Indira mendekap pasangannya semakin erat dan balik menciumi leher sang pemuda sambil balas menggerayangi selangkangan kekasihnya. Merasa mendapat angin, Dewa semakin berani menjelajah lebih jauh lagi. Sengaja disusupkan jemarinya ke balik g-string Indira yang basah kuyup, mencari belahan sempit yang kini telah diliputi lendir licin. Klitoris Indira yang membengkak maksimal segera diusap dan dibelai, membuat sang gadis kian blingsatan dan meracau binal di telinga kekasihnya.

"Jangan.... di sini... jangan... ohhh.... aaah!" rengek Indira tak berdaya. Namun jemari sang kekasih yang terus mengorek dan menggaruk dinding-dinding kewanitaannya hingga birahi sang gadis binal tak terbendung lagi. Cairan cintanya sudah meleleh-leleh tanpa terkendali, menimbulkan suara berkecipak setiap kali jemari Dewa masuk keluar menggobel-gobel kewanitaannya dengan brutal. Remaja belia itu hanya bisa mengejang, meregang, dan menggelinjang dalam keramaian.

"Oooouuuh... Ooouuuuh... oooouuuuh!" Indira memekik tertahan, memeluk erat-erat tubuh Dewa ketika puncak kenikmatannya dirasa hampir tiba. Jambakan keras menyusul medarat di rambut sang kekasih, mengikuti sekujur otot-otot tubuhnya yang mengejang dalam gerakan involunter. Bergemeletar. Bergemuruh. Berguncang-guncang, seirama dentuman amplifier. Cairan cinta memancar deras dari selangkangan Indira dan merembes melelehi paha dan betisnya.

Suara musik terdengar meraung, mengiringi enggahan nafas Indira yang tergolek lemas dalam pelukan kekasihnya. Namun seolah tidak peduli, Dewa tetap mencumbui Indira, meski remaja itu sudah mengaduh-aduh ngilu. Semakin perih hati Sheena melihat pemandangan itu, tapi ia hanya bisa bernyanyi tanpa bisa berbuat apa-apa menyaksikan bidadarinya merintih tak berdaya di seberang sana.

"Inject myself with angels wings / lay me down here in a burning ring /
oh no my lady, the memory remains."



= = = = = = = = = = = = = = = = =​


Suara nyanyian yang meraung-raung terdengar sampai jalan ketika Ava dan Kadek tiba di tempat itu. Benar saja, seperti yang sudah diduga oleh Kadek, Ava segera berlagak seperti orang kampung yang pertama ke kota. Matanya jelalatan, tak bisa tinggal diam melihat cewek-cewek cantik yang bertebaran. Sungguh pemandangan yang tidak biasa disaksikannya di kampung halamannya.

Ava memperhatikan seorang wanita tomboy namun seksi yang sedang asyik bernyanyi sambil bermain gitar di atas panggung. Benar-benar keseksian yang liar! Batin Ava. Matanya kemudian bergerak jalang ke seantero ruangan, mengagumi para bule yang berpakaian tak kalah seksi.

"Dek! Ini baru mantap!" Ava harus agak berteriak agar suaranya tidak tenggelam dalam keriuhan. Kadek hanya tertawa melihat gelagat udik sang pemuda. "Dek, aku mau kenalan sama bule!" jerit Ava lagi. "Siapa tahu dapat ngentot gratisan!"

"Jangan ngimpi kamu, woy! Hahahaha!"

"Ya udah, aku kenalan sama yang lokal aja!" Ava berkata sembari sibuk mencari-cari target operasi yang sekiranya bisa diprospek. Tak lama, matanya langsung menyalang begitu melihat sosok bening di kejauhan. "Dek! arah jam 1. Lokal, Dek!"

"Mana? Iya! jegeg! Tapi udah ada anjingnya, nok!"

"Wah, lagi digrepe tuh!"

"Eh, kok kayaknya pernah lihat?" kata Kadek.

"Weh, Indira itu, Dek!"

Kadek segera menghampiri Indira. Ava tak tahu yang mereka bicarakan, namun sepertinya Kadek terlibat adu mulut dengan Dewa dan 2 orang temannya. Mereka tampak saling tuding dan saling dorong. Ava hendak memisahkan mereka, namun tiba-tiba satu orang tampak tidak terima dan memukul Kadek.

Astaga! jerit Ava dalam hati.

Kadek tentu membalas, namun ia kalah jumlah dan segera terjerembab di lantai, dipukuli beramai-ramai. Indira berusaha melerai, namun sebuah bogem nyasar mendarat di wajah cantiknya, membuatnya jatuh terhuyung.

Sheena tidak bisa diam lagi-

-Ava pun tidak bisa tinggal diam.

Bidadarinya telah disakiti bidadari mereka telah disakiti!

Ava segera mengambil bangku kayu dan melompat. Sang pemuda brewok segera menghantamkan bangku itu dengan sekuat tenaga ke tengkuk seseorang yang dianggapnya paling kekar, membuatnya tersungkur dan tak bergerak di detik berikutnya.

Ava bergerak ke sasaran berikutnya, Dewa. Sang pemuda tampan menangkis serangannya, namun Ava mengayunkan senjatanya secara membabi buta. Kacamata Dewa pecah terhantam bangku. Pecahannya masuk ke mata, hingga terpaksa ia memegangi matanya dengan kesakitan.

Seorang lagi tidak terima dan memecahkan sebotol bir untuk dijadikan senjata. Namun sebuah hantaman keras dari gitar Grescth membuatnya kejang-kejang di lantai bersamaan dengan body gitar yang patah jadi dua.

Dewa memegangi matanya sambil mengacung-acungkan pisau lipat. Keadaan hampir bertambah gawat. Indira menangis histeris, memegangi Kadek yang nampak kesakitan. Begitu juga dua orang cewek rombongan Dewa ikut memekik ketakutan. Malam itu betul-betul chaos, sampai-sampai keamanan Pub melerai mereka. Lama mereka terlibat adu mulut, hingga akhirnyaDewa dan teman-temannya pergi dengan menaiki mobil sambil memaki.

"MAU IKUT AKU ATAU MEREKA?!" bentak Dewa.

Indira tak menjawab, hanya menangis tersedu, hingga akhirnya Dewa meninggalkan kekasihnya yang sedang sesengukan di lantai kotak-kotak itu.

"Huk... huk... Jangan bilangin Ajik. Ya, Dek...," rengek Indira di antara tangisnya, namun Kadek terus saja mengomeli gadis itu.

"Udah lah, Dek, udah malem nie... besok aja diomongin lagi." Ava menepuk pundak Kadek, berusaha menengahi. Orang-orang semakin ramai berkerumun, dan pemuda itu hanya berharap malam ini tidak bertambah buruk.


= = = = = = = = = = = = = = = = =​


Duduk di depan Pub, di tepian Jalan Legian, Sheena mencoba menenangkan Indira yang tak juga berhenti menangis. Wanita berambut pendek itu memeluk tubuh Indira yang masih saja sesengukan. Ava mendekat perlahan, hendak mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah menolongnya tadi. Dingin, Sheena merespon tangan Ava yang mengulur ke arahnya.

"Mbak... temannya Indira...? makasih...," Ava berkata kepada wanita dengan tangan dipenuhi tato itu. Sheena melirik malas ke arah Ava.

Ada sekitar satu detik ketika dua pasang mata itu bersitatap. Satu detik yang cukup lama untuk membuat rangkaian imaji berkelebatan liar dari alam bawah sadar Sheena.

Tubuhnya mendadak limbung.

"Mbak...?" suara Ava membuyarkan kelebatan imaji itu.

"Dont mention it," Sheena menukas cepat, memalingkan pandangannya jauh-jauh dari wajah brewok yang ada di hadapannya.

Akhirnya Kadek mengambil keputusan: Ava dan Indira pulang naik taksi, sementara ia mengikuti dari belakang dengan skuter. Good point. Ava segera menyetop taksi berwarna biru yang kebetulan melintas tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Ubud, Pak," kata Ava.

"Yakin, Bli? Jauh itu." Supir taksi segera mengernyitkan dahi mendengar tujuan mereka.

Ava melirik pada Indira dan Kadek, meminta pertimbangan.

"Nggak apa-apa," kata Indira.

Anak itu memberikan ucapan terima kasih pada Sheena yang mengantarnya hingga pintu taksi. Hingga akhirnya taksi berlalu, meninggalkan Sheena yang kini membatu seperti patung.
 
Terakhir diubah:
Fragmen 10
Samsara


Taksi yang ditumpangi Ava dan Indira melaju di sepanjang Jl. By Pass, jalan besar yang sekilas mengingatkan Ava pada Ringroad di Jogja. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga berpendar di wajah Indira yang duduk di sampingnya.

"Ava," Indira memecah kebisuan.

"Ya?"

Gadis itu memandangi pipi Ava yang membiru terkena bogem. "Aku beneran nggak nyangka semuanya jadi kaya gini."

Ava tak langsung menjawab.

"Yang tadi pagi juga..." Indira menyebut peristiwa di air terjun tadi pagi, di mana ia telah mengata-ngatai Ava sebagai teroris.

Bisu menyelinap lagi di antara jarak yang memisahkan tempat duduk mereka. Ava menarik nafas panjang. "Kenapa sih, kamu?" tanya Ava.

"Nggak tahu," jawab Indira pelan. Sungguh, dirinya sendiri pun tidak tahu kenapa ia bisa membenci pemuda itu.

Ava mendengus, nafasnya mengembun pada kaca mobil yang dingin. "Pasti gara-gara namaku, kan?"

Indira tidak menjawab, meski hatinya mengatakan: iya.

"Namamu Indira kan?" retorik, Ava bertanya.

"Kenapa tanya?"

"Namaku Mustava Ibrahim."

"Terus?"

"Aku nggak pernah minta diberi nama ini."

Indira terdiam. Ikut menyandarkan kepalanya ke kaca jendela yang berembun.

"Aku nggak pernah minta dilahirkan dari keluarga mana, di belahan bumi mana, dan dengan agama apa. Orang bilang ini takdir, Samsara. Tapi aku bisa apa dengan itu semua?"

Indira masih terdiam.

"My name is Mustava, and I'm not a terrorist," Ava mengutip kata-kata Shahrukh Khan.

"Of course you're not..." Indira menjawab lirih. "Kamu itu orang paling lucu yang pernah aku temuin."

Ava tersenyum, diusapnya punggung tangan Indira. "Aku nggak keberatan kamu bilang apapun. Aku cuma nggak pengin kamu sedih."

Sayup-sayup Ava mendengar suara isak tertahan. Terbit rasa iba di hatinya melihat bidadari yang ternyata demikian rapuh ini. Hati-hati, Ava membelai rambut Indira. Belaian itu tahu-tahu saja membangkitkan kenangan akan belaian yang dulu pernah dirasakan Indira dari ibunya, dari kakaknya, atau dari ayahnya yang sudah lama tidak didapatinya lagi.

Tahu-tahu Indira sudah memeluk Ava dan menangis di dadanya. Iba bercampur bingung, Ava benar-benar serba salah dengan keadaan ini. Pemuda itu hanya bisa membelai Indira, lembut sangat lembut. Belaian yang malah membuat tangis Indira semakin menjadi-jadi.

"Ava, maafin aku... . bukan salah kamu... kalau... kalau kak Raka dan mama..." Tangis Indira pecah. Tubuhnya berguncang-guncang hebat dalam pelukan Ava.

Taksi itu melaju di jalan yang telah lenggang. Melewati Patung Bayi Raksasa di perempatan Sakah. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga bependar resah, seperti resah yang kian bergelayut di hati Indira.


= = = = = = = = = = = = = =​


Sementara itu, Sheena diomeli habis-habisan oleh manajer Pub karena ikut membuat kerusuhan. Namun ia tidak peduli. Ia lebih peduli dengan raut wajah brewok yang ditemuinya barusan. Sheena merasa pernah mengenalnya, entah di mana. Namun, semakin ia mengingat, semakin kepalanya terasa sakit. Ia berusaha mengingat lebih jauh lagi, namun ruangan di sekitarnya seperti memendar. Tato naga di lengan kirinya seakan bergerak-gerak, berubah menjadi ratusan tangan berdarah yang meraba-raba tubuhnya. Sheena berteriak histeris. Tubuhnya jatuh ke lantai. Sesaat kemudian ia sudah tidak ingat apa-apa lagi.
 
Terakhir diubah:
Fragmen 11
The Aftermath



-Dewa-

Ruangan UGD RSUP Sanglah dini hari itu nampak lengang. hanya ada satu-dua pasien yang datang, itu pun karena permasalahan yang tidak seberapa parah: demam dan diare. Hanya satu orang di pojokan datang dengan pelipis yang berdarah-darah, korban perkelahian.

"Aduh! Aduh! Sakit, woi!" jerit seorang lelaki tampan sambil memegangi pelipisnya.

"Ya elah, cemen! Tahan dikit napa!"

"Anjrit! Dianestesi dulu, dong!"

"Pastilah dianastesi, ini apa!" yang disebut menunjukkan sebuah ampul kosong.

Wajah ganteng Dewa nampak berkerut-kerut hingga gantengnya tinggal tersisa sedikit saja. Pelipis kirinya tampak berwarna merah kebiruan sisa darah yang membeku. Di depannya seorang cewek cantik mengenakan jas putih sibuk mengusap luka itu dengan kapas dibasahi iod, sesaat kemudian tangannya kembali sibuk menggerakkan jarum berbentuk lengkung ke dalam kulitnya.

"Dah, beres... dasar ye tampang aja macho, tapi teriakan kaya cewek, cibir sang dokter muda sambil menutup bekas jahitan itu dengan perban. "Pacaran sama anak SMA sih! gini deh jadinya," imbuhnya di belakang kalimat.

Dewa hanya bisa tersenyum kecut mendengarnya. "Ikut campur saja kamu, Vi."

"Mending selesain dulu kuliahmu. Jangan pacaran aja. aKU aja sudah koass, kapan kamu koass, nyet?"

Senyum Dewa bertambah-tambah-tambah-tambah kecut.

"Kamu beneran sayang sama... siapa namanya?"

"Indira."

"Ya, Indira.."

"Sayang, kok..." kata Dewa.

"Sayang toket-nya... sayang meki-nya..."

"Anjrit! Gila lu!" Dewa protes yang ditimpali derai tawa Vi.

"Aku beneran ngomomg. Kamu serius sama dia?"

"Serius, lah! Memang kamu kira aku cowok apaan?"

Vi menarik nafas panjang, berusaha menangkap keseriusan dari pemuda di sebelahnya.

"Kamu tahu kan, Indira itu anak cewek satu-satunya di keluarganya."

Dewa terdiam, tentu saja ia tahu hal ini.

"Kamu tahu kan, konsekuensinya?"

Dewa terdiam lama, sangat lama. Ia tahu ada konsekuensi adat yang berat apabila seorang laki-laki menjalin hubungan dengan seorang perempuan, yang tidak memiliki saudara laki-laki dalam keluarganya. Namun dirinya tidak bisa berbuat apa-apa, tidak juga Indira. Semua sudah berjalan terlalu jauh bagi mereka berdua.


= = = = = = = = = = = = = = =

-Indira-

Sementara di Villa Pak De, Indira sedang menangis tersedu mendengar omelan Pak De yang gusar, dan bertambah gusar ketika mengetahui Indira membuat tatoo di tempat yang aneh.

"Mau jadi apa kamu, hah?!" Pak De tampak murka, wajahnya memerah menahan marah.

"Maaf, jik... maaf. Huk..."

"Sekarang kamu mabuk! Badan di tato! Besok kamu mau apa! Hamil!? Pulang jadi mayat?!"

"Huk-huk... Ajik... Maaf, Jik... maafin Dira.."

"Nggak malu kamu sama ibumu? Sama kak Raka?!" Pak De menghempaskan pantatnya di sofa dengan gusar.

Mendengar nama ibu dan kakaknya disebut-sebut, tangis Indira pecah. Ia memeluk lutut Pak De sambil tersedu-sedu. "Maaf, Jik... huk-huk..." Indira menangis meraung-raung.

Pak De luluh hatinya, ia mengusap rambut Indira. "Ajik sayang sama kamu... tinggal kamu yang Ajik punya..." Suara Pak De sedemikian bergetar menahan tangis.

Indira tidak menjawab, ia terus menangis yang lambat laun ditimpali isak Pak De. Ava mendengar tangis itu dari luar, sambil mengompres muka Kadek yang biru-biru.


= = = = = = = = = = = = = = = =

-Sheena-


Untuk sesaat Sheena tidak bisa mendengar apa-apa, hanya suara berdenging yang ada di gendang telinganya. Berapa saat kemudian terdengar sayup-sayup suara.

"Sheena... Sheena... bangun woi!"

Pandangan mata Sheena masih mengabur, segalanya terlihat membundar seperti Lensa Fish Eye. Seorang lelaki berjambul Elvis -si bassist- menepuk-nepuk pipi Sheena.

"Gue... di mana... Jek?" Sheena mendapati dirinya terbaring di sofa.

Si bassist berjambul Elvis, yang dipanggil Jek menyahut. "Masih di Pub-lah, lu kenapa? Tiba-tiba jatoh gitu? Lu make ya?"

"Enggak.." Sheena memegangi kepalanya.

"Lu sakit? Gue anter pulang ya?" kata Jek.

"Nggak usah.."

Beberapa detik kemudian, bayangan masa lalu kembali berkilas, memenuhi benak dan dada Sheena. Ia menutup wajahnya, agar isaknya tidak terlihat rekan satu band-nya.

"Sheen, lu kenapa?"

"Pergi sana." ia benar-benar tidak ingin terlihat seperti ini di depan Jek.

"Sheen?" Jek membelai rambut Sheena, namun ditepisnya kasar.

"Gue bilang pergi! Lu budek ya!" Sheena berteriak, namun teriaknya lebih terdengar seperti isak.

Ava, Indira Sheena. Dari persilangan takdir ketiganya, muncul sekian pertanyaan. Potongan-potongan teka-teki yang menanti untuk dirakit menjadi satu kesatuan utuh, menjadi sebuah perjalanan menuju: Paradiso.



To Be Continued...


 
Terakhir diubah:
Terakhir diubah:
Pernah nginep di Kuta, Harmony Hotel. Emang kalo weekend malam harinya jalan Legian arah Kuta rame banget hiburan malamnya. Sayang kemarin bareng bini, kalo gak......hehehe.
Tapi beneran tuh dari Kuta ke Ubud jauh jek....
 
Pernah nginep di Kuta, Harmony Hotel. Emang kalo weekend malam harinya jalan Legian arah Kuta rame banget hiburan malamnya. Sayang kemarin bareng bini, kalo gak......hehehe.
Tapi beneran tuh dari Kuta ke Ubud jauh jek....

Legian emang rame banget broh :beer:
thx dah baca ;)


silahkan gan ;)

Paradiso ... Oh Paradiso ...

:alamak:


:cup:

Widdihh...suhu jay muncul kembali meramaikan di sini...asyik nich saya selalu menunggu goresan-goresan cerita yang selalu menggugah hati para semproters nich...welcomeback suhu....
sip... pembaca lama nih.... yoi gan... sering2 komen di mari yah :beer:

Sekian lama jd silent rider akhirnya punya akun dn bisa coment khusus utk apreciate paradiso.

:galau: ane jadi terharu gan... sering2 komen gan...

Ini remake nya kah suhu?
Atau membangkitkan cerita lalu yang pernah ada :D
remake gan.... tapi ada juga yang nggak dirubah paragrafnya

di lanjut suhu ...
dah ane aplod gan

mana nih ts-nya :ngupil:

di sini aja sis, gak kemana2
 
Lek Jay... :kk:

akhirnya datang juga.. borong update..
:haha:

itu serius, artinya kek gt Lek?
lmyan dapat ilmu dr Bali.. :D

Indira jadi kek gt.. :hua:
 
suwun, lek.. :ampun:
yang episode sebelumnya jg tak ubah banyak terutama SS-nya :beer:
monggo... silahkan dibaca sambil :ngeteh: atau :bacol: wkwkwkw

oiya, itu artinya emang gitu wkwkwkwk
 
walau ga menyeluruh.. hot bgt SS di club remang2 + di balik bayangan tiang beton..
:ngiler:
dari sesi hot ke sesi haru biru.. :hua:

entah kenapa kok gambaran ane si Indira itu kek Pevita Pearce yak?
:ampun:
 
kan emang model karakternya Pevita waktu SMA :ngiler:
sukur deh kalau SS-nya masih :bacol: ngggak aku ubah dari versi awal soalnya (dikit doang cuma)
 
gubahannya kali ni keren Gay, ehh Jay! kalo kata para master suhu bacanya ngalir beud! hampir ga ada lobang yg bisa bikin kaki kesleo! enteng ja bahkan hampir disetiap pergantian fragmen!

dah gitu ja dulu! mw lanjut nguli lagi!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd