"Salah ya, Va? bermimpi terlalu tinggi?" Indira membuka suara, namun lawan bicaranya hanya mengangkat bahu.
Gelap pekat membungkus tubuh keduanya.
Sang Surya yang telah menyembunyikan diri di balik selimut gelap, digantikan
Sang Chandra yang bersinar temaram. Cahayanya tertutup beberapa awan yang berarak seperti iring-iringan peziarah menuju pekuburan. Cahaya lampu villa yang berleret-leret di kejauhan tak mampu menerangi areal persawahan di depan kediaman Pak De sehingga, tak menyisakan sedikitpun keindahan yang memukau saat pagi ataupun senja.
Sudah jam setengah 11 malam, Ava merokok di pinggir pematang sawah ditemani Indira yang menelpon kekasihnya sedari tadi.
Dan kali ini Ava terpaksa dibuat gemas. Betapa tidak, dari tadi ia hanya bisa menyaksikan Indira seperti orang bodoh berbicara di telepon. Kadang gadis itu mengigit-gigit jarinya, kadang ia menutup bibirnya dengan telapak tangan seperti menahan tangis. Seganteng apakah Dewa? Hingga bisa membuat bidadari seperti Indira demikian gulananya.
Telepon ditutup. Cahaya kunang-kunang berpendar di kejauhan menimbulkan kilauan biru keunguan yang menari redup, mata Indira mengawang memandangi itu semua.
"...atau aku aja kali yang terlalu naif, terlalu percaya sama Dewa," sambung Indira lagi.
Ava mendengus gemas, kupingnya agak panas ketika nama itu disebut-sebut.
"Kenapa sih masih ngomongin Dewa? Setelah apa yang dia lakuin, masih aja kamu ngarepin dia."
"Kamu nggak bakalan ngerti, Va. Ini lebih rumit dari yang kamu kira!"
"Makanya jelasin, dong!"
"Buat apa? Kamu nggak bakalan ngerti juga!"
"Ya nggak bakal ngerti lah, kalau nggak dijelasin."
"Cuma Dewa yang mau nerima aku, Va..." Indira akhirnya berucap. Pelan dan getir.
"Dira, dengerin aku. Kamu itu cantik, lucu. Masih banyak cowok yang lebih baik dari Dewa yang mau sama kamu!"
"Kamu emang nggak ngerti...," desah Indira putus asa. "Nggak ada cowok di Bali yang mau nikah sama aku..."
"Aku?"
"Iiiiiiiiiiiiih! Ava ngareeeep!" Indira mencubit Ava dengan wajah tersipu sehingga pemuda itu terkekeh-kekeh salah tingkah.
"Yah, namanya juga usaha," sahut Ava lalu menggaruk-garuk rambut gondrongnya.
"Klise tahu!" Indira menggembungkan pipi dan memasang tampang judesnya yang selalu, berusaha memungkiri bahwa jantungnya kini berdetak sedikit lebih kencang akibat perkataan sang pemuda.
Angin berhembus sendu. Hati-hati Indira melirik mata Ava, mencoba mencari sesuatu di dalamnya.
"Lagian, emangnya kamu mau masuk Hindu, Va?"
Di-skak seperti itu, seketika membuat Ava kehilangan kata-kata. Hingga akhirnya raut antusias di wajah Indira padam dan berganti kecewa. Indira memalingkan wajahnya.
"Kenapa, Va? Kamu takut masuk 'Neraka'?" sindir Indira agak sinis.
"Kalau sekarang pertanyaan itu aku balikin. Dira mau nyakitin Ajik?"
"Kamu nggak bakalan ngerti. Ini lebih rumit dari yang kamu kira. Nggak semudah itu. Keluarga, lapisan masyarakat, norma adat, kita hidup dalam itu semua. Bisa apa kita?" lirih Indira berkata, memepetkan tubuhnya ke hangat tubuh Ava. Embun jatuh di tajuk-tajuk padi yang merimbun di hadapan mereka, mengiringi sebuah cerita yang mulai bergulir....
Fragmen 17
Smaradhana
Ratih Dewi, citra khayalku,
prana dalam diriku,
yang haus asmara...
Nikmatnya bercinta...
Andika Dewa,
sirna duli Sang Smara,
Merasuk sukma,
menyita heningnya cipta...
Resah ku jadinya...
Prahara nestapa seakan tak kuasa
membendung asmara insan sedang bercinta
Gelora asmara di samudra cita
melenakan daku dibuai cinta...
Adalah Sang Smara, Sang Dewa Cinta, yang dibakar menjadi abu oleh mataketiga Hyang Shiwa karena mengusik meditasi Sang Mahadewa. "
Meski Sang Smara sudah tak mempunyai raga, dia akan tetap hidup. Hidup dalam raga mahluk dunia," bersabda Sang Shiwa. Maka, disebarkalah abu Dewa Smara ke Marcapada, dunia fana.
Didorong oleh rasa cintanya, Dewi Ratih, Sang Dewi Asmara ikut menyusul suaminya ke dunia. Smara hidup tanpa wujud dalam hati laki-laki, sementara Ratih bersemayam dalam hati perempuan. Rasa hati di dalam setiap manusia hadir dari peran mereka. Mereka yang selalu terpisah dan selalu ingin untuk bersatu, walau kesempatan itu tidak mudah. Terjal dan berbatu.
Keterpisahan dan penemuan kembali. Ratih Dewi dan Sang Smara, Adam yang terusur dari Paradiso dan mencari Hawa yang tercipta dari tulang rusuknya. Dengan apapun ia digambarkan, manusia menghabiskan setengah hidupnya untuk menemukan belahan jiwanya yang terpisah jasad, yang dulu pernah berjanji di alam Ruh untuk saling menemukan ketika terlahir di dunia.
Indira mengira bisa menemukannya dalam diri Dewa, mahasiswa kedokteran tampan, panitia kejuaraan bola basket tempat sekolahnya bertanding 2 tahun yang lalu. Dewa memang tampan dengan darah setengah bule seperti dirinya. Apalagi pemuda itu tercatat sebagai mahasiswa kedokteran tahun kedua. Sebuah alasan mutlak yang bisa membuat gadis manapun tergila-gila padanya.
Namun bukan itu yang membuat Indira jatuh cinta pada Dewa. Ngurah si Ketua Osis atau Gung Putra si Center Klub basket jauh lebih tampan dan lebih macho dari Dewa - yang menurutnya cenderung metroseksual. Permasalahannya, ada yang unik dari diri pemuda itu. Dewa benar-benar sulit ditebak! Dewa seperti segelas minuman yang lezat, tapi dia tidak membiarkan Indira menenggak habis. Dibiarkannya bibir gadis itu mencicip sedikit, sebelum menjauhkan gelasnya. Hingga tinggal Indira yang penasaran setengah mati.
Hari ini ia memuji potongan rambut Indira yang baru; besoknya dia bisa mencela sifat manja Indira. Di dalam Mall dia menolak membawakan barang belanjaan Indira; namun di parkiran kepala Indira sudah dipayungi dari hujan dengan jaketnya. Pernah di hari jadian mereka, Dewa alpa membawa bunga hingga Indira menangis; namun ketika hendak pulang baru nampak seekor boneka beruang raksasa yang membuat tangis Indira makin menjadi.
Dewa tidak pernah terlalu memuji, tetapi menantang Indira untuk lebih baik. Dewa tidak mengejar-ngejarnya seperti cowok-cowok lain, tapi membiarkan Indira yang mengejar-ngejarnya. Dewa tidak melakukan apapun yang diminta Indira, Dewa dapat menolaknya dengan tegas terlebih bila permintaan itu tidak masuk akal meski harus melihat Indira berguling-guling di tanah sekalipun.
= = = = = = = = = = = = = = = = =
Namun Dewa juga selalu berhasil memberi kejutan yang tak disangka-sangka bagi sang gadis kecil. Masih jelas teringat dalam benak Indira, ketika Dewa mengajaknya makan malam di rumah sang kekasih di daerah Bukit Ungasan, Jimbaran.
Dan waktu itu Indira tidak bisa untuk tidak terperenyak. Ia hanya bisa menutup bibirnya dengan tangan, karena pelupuk matanya sudah penuh dengan perasan haru yang siap membuncah. Seumur hidup belum pernah ada yang melakukan hal seperti ini untuk dirinya:
Rimbun pepohonan di hadapannya sudah dihiasi ribuan lampu yang berkelap kelip seperti gugus-gugus bintang. Sementara di ujung membentang kain tetoron raksasa, disorot dengan proyektor LCD bertuliskan "
Happy Birthday Indira" yang kemudian berganti dengan montase video dari Dewa dan teman-teman Indira diiringi lagu "
If You're not The One"-nya Daniel Bedingfield yang mengalun dari sepasang
amplifier.
"Dewa... ngapain kamu.... buat... kaya ginian?" terbata, Indira berkata, karena tangannya kini sibuk mengusapi matanya yang membasah.
Dewa bahkan tidak perlu menjawab. Kecupan di kening sang kekasih sudah menjawab semua tanpa perlu sepotongpun aksara.
= = = = = = = = = = = = = = = = =
"Bohong, masa Dewa romantis kaya gitu?" sambar Ava, tidak terima mendengar penuturan Indira.
"Dia dulu beda, Va," sahut Indira getir. "Dia dulu nggak kaya gini..."
Kepada pemuda brewok di sampingnya Indira lalu bercerita, kehadiran Dewa dalam kehidupannya bagaikan sebuah oase segar bagi remaja belia yang haus akan kasih sayang orang tua. Indira masih ingat benar, waktu itu Dewa bukanlah lelaki yang kasar, dan dirinya bukanlah bidadari yang liar, atau begitulah setidaknya yang dikenangkannya. Semuanya terasa semakin jauh kini. Namun sedapatnya Indira mencoba kembali mengenang kembali saat-saat Dewa mendekap tangannya sambil berdansa berputar-putar setelah menyelesaikan makan malam romantis malam itu....
Mereka berdansa di halaman villa milik keluarga Dewa di Bukit Ungasan, Jimbaran, Villa yang terletak tepat di gigir tebing di mana Samudra Hindia bergolak ganas di bawahnya. Mereka terus berdansa di halaman yang dihias seperti Taman Langit dengan ratusan lampu. Sementara lagu dari The Carpenters mengiringi langkah keduanya.
Why do stars fall down from the sky
Every time you walk by?
Just like me, they long to be
Close to you...
Mereka saling bercekikikan. Dan Indira harus tersenyum-senyum melihat kekasihnya melangkahkan kaki dengan kikuk. Gadis remaja itu melingkarkan sepasang tangannya di leher dan bahu Dewa, sementara pemuda itu mendekap pinggang Indira lembut.
Happiest momment of her life, begitulah setidaknya yang diingat Indira kini. Walau semakin tersamar, Indira masih bisa mengenang ketika bibir lembut kekasihnya menempel di bibirnya, atau ketika sepasang matanya memejam, membiarkan cinta mereka mengalir seiring desah nafas yang saling mengisi...
On the day that you were born the angels got together
And decided to create a dream come true
So they sprinkled moon dust in your hair
Of golden starlight in your eyes of blue