Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Paradiso!

Bimabet
Tumben nih 1 chapter...hihihi, pake contijon edisi penasaran pula

Ane fantengin nih. ( ada adegan tante Lucile sama Ava gak ya....ngelus2 keris tumpul biar tetap mulus ...hahaha)
 
Berat berat,,,
Keren keren,,,
Mantap mantap,,,
Vote Jaya Suporno for president
:beer:
 
Di wattpad gan... cari aja judulnya TRJBK NSTLG
Pengarangnya @adipatijayamahardika
udah ane pm link-nya ya..

baru sempat buka semprot , dapet update an om jay..
makasih suhu..
ijin follow wattpad nya ya..

:beer:
 
terima kasih bwt updatenya om jay :baca: slalu menarik untuk di ikuti. cm tanya y om, ada rencana terjebak nostalgia di rilis di sini ? di sebelah ribet copynya :sendiri: . sekedar untuk koleksi pribadi :pandapeace:
makasih juga dah baca :beer:
TRJBK NSTLG keknya biar disebelah aja gpp ya... klo mw dikoleksi, PM aja emailny tar ane kirimin pdf-nya... sex scene gak dipotong+bonus story... tapi tar klo dah tamat aja yaaa...
 
Seorang maestro lukis tetapi dilukis oleh seorang maestro tulis.
Makasih updatenya oom jay
ane jadi pengen dilukis telanjang sama maestro lukis... sama model cowok... eh sama model cewek...

makasih buat komenya :beer:
 
terpaksa ane jawab komennya model gini biar ganti page huhuhu...

Pasti lah om..nubi udh dri awal ngikutin.*** mungkin d tinggalin
Wong nubi penasaran tingkat tinggi...
Hehe
Makasi om jay
:ampun:
sama-sama :pandapeace:
 
akhire update jg..

Ava kisah e podo Sang Maestro..
2 lawan 1..
:pandajahat:

klimak nya.. sebuah pilihan yg sulit.. beda keyakinan..
marai edan..
:sendirian:

GWS Ajik..
hehehehe... begitulah lek ocit... tar makin kebelakang makin edan :mati:
makasih doanya :ampun:
 
Tumben nih 1 chapter...hihihi, pake contijon edisi penasaran pula

Ane fantengin nih. ( ada adegan tante Lucile sama Ava gak ya....ngelus2 keris tumpul biar tetap mulus ...hahaha)
:ngeteh:
tante lucile ni emang bikin penasaran :ngeteh:
aaaada dech :hore:
nantikan di season 3....

Berat berat,,,
Keren keren,,,
Mantap mantap,,,
Vote Jaya Suporno for president
:beer:
hehehe.. makasih...
nie mau ane apdet lagi gan...
 
Last apdet for season 2, makasih buat temen-temen semua yang udah ngikutin Paradiso sampai saat ini... :ampun:
sampai ketemu di season 3 :bye:
 
Fragmen 45
The Bohemian Healer
-Lucille-

Kadek menghambur ke dalam rumah Pak De, matanya berkaca-kaca.

“Ava! Ava! Ajik! Ajik nggak apa-apa!” ia bertanya pada Sheena yang melihat dari luar ruangan. Dari dalam Ava melotot, memberi isyarat agar Kadek tutup mulut, sambil sibuk menggosok punggung dan dada Pak De dengan minyak kayu putih. Sementara nafas Sang Maestro masih kembang kempis berusaha menghirup oksigen yang terasa makin tipis.

Bagaikan bom waktu, nikotin dari yang mengendap di paru-paru Pak De mulai menampakkan pengaruhnya. Perlahan tapi pasti, racun yang disamarkan sebagai lambang kelaki-lakian itu menggerogoti kesehatan lelaki tua itu.

“Ajik, sih… kan sudah sering dibilangin, kurangin rokok!” mulut Indira mengomel, tapi matanya bercucuran air mata. “Ajik... nggak usah dah ya… berangkat ke Paris…”

“Nggak bisa… uhuk… ajik harus… …”

Lucille berdiri di bibir pintu di samping Sheena, berkali-kali menghela nafas melihat kakak iparnya yang keras kepala. Pak De melirik sekilas ke arah Lucille, memberi isyarat untuk mendekat.

Wanita berkulit putih itu mendekat, duduk di pinggir dipan. “Kak Gede, sekarang kita ke dokter, ya. Nanti saya yang bicara ke Mister Piere.” Lucille berkata sambil menggenggam punggung tangan Pak De.

“The show... must... go... on...”

“Ajik!” Indira protes keras.

“Ajik nggak apa-apa… ini.. cuma.. hah.. h… sesak nafas biasa…”

Lucille dan Indira saling pandang, sebelum sama-sama menghela nafas, putus asa.

Lucille menggigit bibirnya, matanya bergerak-gerak seperti berpikir keras, sebelum akhirnya berkata.“Kak, saya nggak bisa janji, ini manjur atau tidak… tapi kalau boleh… saya…” Lucille berkata ragu, “mau membagi energi… Reiki…”

Kadek, Sheena, Ava, dan Indira saling berpandangan begitu mendengar kata-kata asing itu. Mereka belum memahami, bahwa Lucille mempelajari Reiki Tummo. Seni Penyembuhan Alternatif yang berasal dari Tibet. Prinsipnya bahwa seluruh alam semesta dialiri energi kosmik, termasuk tubuh manusia. Seorang praktisi Reiki belajar untuk menyerap energi kosmik dari alam semesta, untuk kemudian dialirkan menuju tubuh pasien untuk mengobati berbagai macam penyakit.

“Nggak apa… apa…”

“Tapi habis itu kita ke dokter, ya,” bujuk Lucille.

“Saya juga nggak... janji…”

Lucille menghadapi batu. Tidak boleh sama-sama keras dalam menghadapi batu, maka Lucille tersenyum, menepuk-nepuk punggung tangan Pak De. “Saya mulai, ya…”

Pak De mengangguk, Lucille memejamkan mata, membuka telapak tangannya ke atas, seperti hendak menyerap sesuatu yang tak terlihat.

Untuk beberapa detik cuma ada hening diselingi suara nafas Pak De yang memberat, membuat Indira dan Ava saling menggenggam tangan, tegang.

Lucille meletakkan tangannya di atas dada Pak De tanpa menyentuh langsung. Matanya tetap memejam, takzim dan khusyuk. Pelan-pelan Pak De merasakan panas yang memancar dari telapak tangan Lucille, padahal tangan itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Energi yang tak terlihat itu berpusar keluar dari cakra telapak tangan Lucille. Gelombang panas itu menyebar pelan, membelai kulitnya. Panas, namun tidak mengancam, melainkan hangat yang menenangkan.

Perlahan dada Pak De dipenuhi oleh gelombang panas nyang berpusar-pusar seperti gulungan ombak. Merasuki setiap alveolusnya, melegakan bronkhiolus-nya, membuat nafasnya mulai teratur. Naik-turun, tenang, seperti anak bayi.

Pak masih memejam, sekujur tubuhnya dipenuhi oleh sensasi nyaman yang sepertinya pernah ia rasakan.

“Julia… is it you?” Pak memegang tangan Lucille yang hangat.

Lucille menggigit bibirnya sendiri, konsentrasinya buyar sudah.
 
Terakhir diubah:
Fragmen 47
4 Sosok yang Kembali Memeluk

Bandara Ngurah Rai sedang dalam tahap renovasi. Harus berjalan cukup jauh dari tempat parkir menuju terminal keberangkatan Internasional. Maka Ava mengarahkan mobil Lucille ke Lobby terminal keberangkatan, agar Pak De tidak perlu berjalan terlalu jauh.

“Ajik yakin berangkat?” Kata Ava, saat mobilnya dipotong oleh taksi yang menurunkan penumpang.

“Hahahaha… lihat saya sudah seger gini.”

Ava melihat gerak-gerik gurunya yang sudah kembali lincah, dengan sinar mata yang kembali menyala-nyala. Setelah mendapatkan transfer enegi dari Lucille, mendadak Pak De kembali bugar, nafasnya yang tadinya sesak, sekarang ringan, dan rautnya yang tadi kuyu kini nampak cerah dan bersemangat, dan Ava tahu tidak ada kalimat yang tepat untuk mendeskripsikan kejadian ini melainkan: keajaiban energi kosmos itu memang eksis.

“Tapi sampai Paris jangan lupa cari dokter ya,” pesan indira

“Halah, buat apa, hahaha…” pak De berkata sambil mengeluarkan kotak rokoknya. Indira segera merebut dan memasang wajah cemberut.

“Eh, bandel, ya! Pokoknya Ajik nggak boleh ngerokok lagi!” Indira berkacak pinggang, dan Pak De cuma cengar-cengir hingga sulit membedakan yang mana ayah, yang mana anak.

Ava menghentikan mobilnya di lobby, Lucille turun, mengeluarkan koper dari bagasi, dan dengan sigap segera dibantu sang pemuda.

“Jik, saya parkir mobil dulu ya.” kata Ava sebelum meninggalkan Pak De, Indira, dan Lucille bertiga.


= = = = = = = = = = = =​


Pak De menghela nafas panjang merangkul Indira, sementara Lucille memperhatikan dari kejauhan, memberi kesempatan ayah dan anak itu berbicara empat mata.

“Indira, Ajik sudah tua… Mama dan Kak Raka sudah nggak ada…” Pak De menarik nafas, berat. “sebentar lagi Ajik berangkat ke Paris… kalau misalnya ada apa-apa sama Ajik…”

“Ajik!” Indira menyelak cepat. “Jangan ngomong aneh-aneh, deh!”

“Hidup ini… cuma sementara, Gek… kita cuma mampir…”

“Ajik! Dira nangis, nih! Kalau Ajik masih ngomong yang aneh-aneh!” Indira setengah mengancam, karena memang matanya mulai berkaca-kaca.

Pak De terbatuk pelan. “Ajik, sudah pesan sama Ava. Buat jaga kamu, kalau Ajik nggak ada.”

“Ajik ngom-“ Indira tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, Pak De keburu menukas.

“Ajik sudah minta Ava jadi suami-nya Dira, kalau ada apa-apa sama Ajik.”

Indira terhenyak sejenak, sebelum berkata, “Jangan ngarep yang aneh-aneh, deh! Ajik kan tahu kita sama Ava itu beda! Ava yang nggak bakal mau, Ajik ngerti?”

“Kalau misalnya Ava mau?”

Kali ini Indira tak menjawab.

“Indira… tresna teken Ava?[SUP](1)[/SUP]”

(1) Indira cinta sama Ava?

Indira masih tidak menjawab. Namun sepasang mata yang takut mengharap itu, bisa menjawab pertanyaan sang ayah.

Sesaat kemudian, hanya ada keheningan di tengah keramaian, mereka berdua seperti meresapi kebersamaan yang terasa semakin singkat berlalu. Hingga akhirnya, Ava berlari tergopoh dari arah tempat parkir, menghampiri Pak De.

“Tempat parkirnya jauh… banget…. saya kira Ajik sudah berangkat….”

Pak De tersenyum, melihat pangeran harapannya datang.

“Ajik, sehat-sehat ya…” Ava memeluk tubuh tua Pak De, tulus, erat. Hingga membuat mata Pak De sedikit berkaca menerima peluk yang hangat itu.

Pak De menepuk-nepuk punggung Ava, dan berkata. “Ava, kamu tahu? Tahun 1990, Freddie Mercury yang sedang sekarat nekat take vokal untuk lagu The Show Must go on. Hahaha…”

Bulu kuduk Ava merinding mendengar kata “Sekarat”

Pak De merentangkan tangannya, membiarkan Indira ikut menghambur ke dalam rentangan lengannya. Pak De melirik ke arah Lucille yang tersenyum melihat mereka, sebuah anggukan kecil dari Pak De cukup sebagai isyarat bagi Lucille untuk bergabung, menjadi 4 sosok yang saling memeluk.

Hangat, sekaligus perih. 10 tahun merupakan waktu yang lama bagi Indira untuk kembali merasakan pelukan yang lama ia rindukan. Dan sebentar lagi ia akan berpisah dengan kehangatan yang singkat ini. Malam ini tangis Indira pecah tanpa bisa ditahan lagi.

“Indira jegeg, jangan na’e nangis gitu…” Pak De menepuk-nepuk kepala Indira. “Ava, jaga Indira ya…”

Ava mengangguk.

“Sama yang tadi saya bilang itu…”

Kali ini Ava mematung, membiarkan Pak De diantar Indira sampai pintu masuk.

Lucille menggigiti bibir bawahnya, memandangi Pak De yang sedang diperiksa tiketnya oleh petugas.

“Kak Gede!” Lucille berseru.

Pak De menoleh, belum sempat menyahut, dan Lucille kembali menghambur kikuk ke dalam pelukannya.

“H-hati... hati ya…” Lucille terbata.

Pak De mengangguk, menggenggam tangan Lucille erat. “Titip anak-anak saya ya, Gek.” Pak De tersenyum, karena ia lagi-lagi mengucapkan bentuk jamak untuk kata ‘anak’.

Pak De melambai ke arah Ava dan Indira yang saling menggenggam tangan, sebelum menghilang di balik pintu geser dan roda mesin x-ray yang terus berputar. Seperti roda kehidupan.

Indira mengusap matanya yang tak henti berair. Ia merasa, kali ini sepertinya ayahnya akan pergi jauh, sangat jauh.
 
Fragmen 47
Sepasang Jantung yang Saling Berdegup

Lembayung warna jingga memayungi areal persawahan dan mobil mini cooper yang melintas perlahan. Ava menurunkan visor, agar matanya tidak terlalu silau tertimpa sinar matahari yang menyeruak dari balik pohon kelapa di kejauhan. Di bangku belakang, duduk Indira yang tercenung memandangi barisan pematang yang bertingkat, setelah barusan menerima telepon dari ayahnya yang hendak boarding.

“Jangan dipikirin, gek… nanti Kak Gede juga ikut kepikiran…” Lucille yang duduk di samping Ava membuka suara. Indira tidak menjawab, hingga hanya ada hening sampai mobil tiba di candi bentar Villa Pak De.

Kadek yang duduk di teras, menyerbu Ava dengan pertanyaan, “Ajik gimana? Sudah berangkat? Sehat?”

“Sehat Dek, sudah boarding barusan.”

Kadek manggut-manggut. “Oh iya… Sheena…”

“Kenapa?”

“Ng… anu… Tadi pamit…” Kadek terdiam lama.

“Hah? sekarang anaknya mana? Udah berangkat?” Ava berkata, sedikit panik.

“Hoi!” Sheena berteriak, tiba-tiba muncul dan cengar-cengir sambil menggotong ranselnya. Ia sudah mengenakan pakaian kebanggaannya celana jins belel dan jaket jins lusuh penuh emblem band punk, lengkap dengan kaca mata hitam model retro.

“Kak Na? mau ke mana?” Indira berkata, agak khawatir.

“Pulang kampung, hehehe.” Sheena mencoba tertawa, tapi ada riak di wajahnya yang tidak bisa dibohongi saat Indira menggenggam tangan Ava. “Ini mau dianter Kadek sampai terminal Batu Bulan. Yuk, Dek.” Sheena melangkah buru-buru ke arah vespa Kadek saat Indira menggamit lengan Ava semakin erat.

Kadek menghela nafas menyadari raut Ava yang juga mendadak berubah. “Aku harus bantu ngelawar di rumah… Ava aja yang nganter ya…”

“Apa?”

Kunci motor melayang di udara, dan segera ditangkap Ava. Bersamaan dengan Indira yang menghambur memeluk Sheena.

“Kak Na!” Indira mendekap tubuh Sheena, erat. “Kak Na, balik lagi, kan?”

“Iya… Balik lagi kok… Pasti…” Sheena membelai rambut Indira. “Pasti…” Sheena berbisik lagi, kali ini untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Indira tertawa, tapi sedikit tercampur tangis yang tercetus satu-satu. “Sedih, banget sih… tadi habis ditinggal Ajik, sekarang ditinggal Kak Na…”

Sheena mencoba tersenyum. “Kan udah ada Tante Lucille… dan…” Sheena terdiam, “Ava…”

Indira tak mejawab, hanya memeluk Sheena erat-dan lebih erat lagi. “Dira… sayang Kak Na….”

Dan Sheena pun tahu, ia juga sudah jatuh sayang pada Indira, dan Sheena tak ingin Indira kehilangan lebih banyak lagi.


= = = = = = = = = = = =​


Demikianlah, hidup seperti dua sisi uang logam yang saling bertautan. Gelap-Terang, Hidup-Mati, Paradiso-Inferno, Rwa Bhineda[SUP](1)[/SUP]. Dan pada pertemuan pasti ada perpisahan. Dan setiap yang hilang akan digantikan oleh yang datang. Semua berputar terus dan saling balik membalik, seperti roda kehidupan, yang terus melaju tanpa tahu kapan akan terhenti.

Dan sepanjang perjalanan itu, mulut Sheena tetap mengatup. Sheena hanya bisa melingkarkan tanganya di pinggang Ava, meresapi. Menikmati perjalanan yang pasti akan berakhir. Seperti hidup, yang hanya menempuhi satu titik ke titik lain sebelum berakhir di penghujung.

“Have to go…” kata Sheena begitu sampai di tujuan.

“Hati-hati, ya…” Ava tersenyum, dan Sheena mendapati lagi tatapan itu.

Sheena mengangguk, tak sempat menjawab. Karena sedetik kemudian ia sudah mendapati tubuhnya berada dalam rengkuhan Ava.

Sheena memejam, sedapatnya menikmati hangat yang membungkus seluruh tubuhnya, dan pasti akan terlepas, entah sedetik atau tiga detik yang akan datang. Sheena menyadari itu: ia, kamu, kita, semua… tidak pernah memiliki. Bumi yang ia pijak, juga langit yang membentang berlapis-lapis di atasnya bukanlah kepunyaannya.

Bahkan nyawa yang mengalir di darahnya, dan sepasang jantung yang saling berdegupan hanyalah barang titipan yang bisa diambil sewaktu-waktu. Dan Sheena, sudah dipinjami tiga hari terindah dalam hidupnya.

Juga 15 detik dalam dekapan yang tak pernah ia lupakan.

Semua hanya titipan.

Dan kita tidak akan pernah merasa kehilangan.

Karena kita tak pernah memiliki.

Sedetikpun.
 
Terakhir diubah:
Fragmen 48
Sajak yang Tak Sempat Bersuara

"Lho katanya sibuk ngelawar?" kata Ava saat melihat Kadek duduk santai di teras.

Kadek hanya terkekeh penuh arti saat Ava mengembalikan kunci motor kepadanya.

"Akhirnya gimana, Sheena?"

Ava mengangkat kedua bahunya, sebelum melangkah lunglai ke arah gazebo.

Lesu, Ava memasuki kamarnya, dan mendapati sebuah kertas terlipat di atas meja kecil.

Setengah ragu, ia membuka lipatan itu hati-hati: Sebuah sketsa digambar pensil. Suasana warung tenda yang hangat, juga gambar dirinya dan Sheena sedang menikmati sate-gule, dengan latar panggangan yang mengepulkan asap. Di bawahnya dibubuhkan tulisan yang luntur oleh sesuatu. “Tolong jaga Indira. Aku akan menemukan langitku.”

Ava mendekap kertas itu erat-erat. Seharusnya Sheena hanyalah karakter figuran yang sekedar lewat. Namun sesuatu dari sketsa itu, membuatnya merasa mengenal Sheena lebih dari 6 bulan yang sekedar mampir. Lebih dari itu…

Ava menatap ruangan yang mendadak lenggang, juga tawa kemarin pagi yang masih terngiang-ngiang. Sebelum akhirnya ia menyadari, ternyata masih ada banyak hal yang belum sempat dikatakan kepada Sheena -banyak hal-.


Sajak tetap rahasia
bagi dia yang tak pernah
mendengar suara nyawa.

Kata-kata tersembul dari alam lain
di mana berkuasa sakit, mati
dan cinta. Kekosongan harap
justru melahirkan ilham
yang timbul-tenggelam dalam arus
mimpi. Biarlah terungkap sendiri
makna dari ketelanjangan bumi.

Masih adakah tersisa pengalaman
yang harus terdengar dalam bunyi?

Sajak sempurna sebaiknya bisu
seperti pohon, mega dan gunung
yang hadir utuh tanpa bicara


Paradiso Season 2
The End

To Be Continued on Season 3


:ngeteh:


coming soon...

 
Terakhir diubah:
Bimabet
Playlist

Salam Kepada Heidegger | Subagio Sastrowardoyo
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd