Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PEMBELOTAN SEORANG ISTERI

Status
Please reply by conversation.

Lanimadyani

Suka Semprot
Daftar
28 Jul 2019
Post
19
Like diterima
49
Bimabet


Bab 1





P
ada waktu aku disahkan sebagai istri Glen, usiaku baru 24 tahun, sementara Glen sudah berumur 27 tahun. Mungkin keputusan kami untuk menikah ini terlalu buru-buru, tanpa memikirkan baik buruknya nikah di usia dini (untuk ukuran zaman sekarang). Orangtuaku pun cepat saja menyetujui pernikahan kami, karena mereka merasa cemas melihat hubungan aku dengan Glen yang memang sudah terlalu intim.

Setelah kami menikah, barulah kami menyadari banyak hal.Bahwa aku sudah bekerja di perusahaan swasta, sementara Glen masih menganggur. Menurut pengakuannya, Glen sedang menunggu panggilan untuk bekerja di kapal. Semua persyaratan untuk bekerja di kapal itu sudah dilengkapinya, termasuk tes kesehatannya secara general. Paspor pun sudah dimilikinya, karena ia akan bekerja di kapal barang milik asing, dengan line Eropa - Afrika.

Sampai pada suatu saat, dengan wajah ceria Glen memegang pergelangan tanganku (kami terbiasa saling panggil nama saja, karena Glen tak mau pake embel-embel Bang, Kang, Kak, Mas dan sebangsanya).

“Akhirnya yang kita tunggu-tunggu datang juga,” kata Glen sambil memberikan sehelai surat panggilan. Panggilan untuk mulai bekerja di kapal barang yang kebetulan sedang sandar di Tanjung Priok.

Setelah membaca surat panggilan itu, aku merasa sedih juga, karena saat itu aku sedang dalam keadaan hamil 3 bulan. Kehamilan pertama pula.

Ketika hal itu kusampaikan, Glen berkata, “Kita jangan cengeng, Win. Aku kan mau berjuang untuk masa depan kita dan anak-anak kita.”

“Tapi…berapa bulan di laut nanti ?”

“Seperti udah kuceritakan, system kerja di kapal itu sepuluh bulan di laut, dua bulan di darat. Lalu di laut lagi selama sepuluh bulan dan begitu seterusnya.”

“Berarti pada waktu aku melahirkan nanti….?!” kataku tersendat dan tidak kuasa menyelesaikannya.

Glen mengelus rambutku, “Perjuangan butuh pengorbanan, Sayang. Coba bayangkan, mending mana melahirkan di saat aku masih nganggur atau berjauhan tapi aku sedang berjuang untuk masa depan anak kita ? Cobalah berpikir secara dewasa…”

Aku pun mencoba untuk berpikir secara dewasa seperti yang Glen minta. Benar juga sih. Untuk apa Glen hadir pada masa aku sedang melahirkan, tapi dalam keadaan masih menganggur ? Bagaimana pandangan Papa dan Mama kelak ? Selain daripada itu, bukankah aku masih tinggal dirumah orang tuaku ? Bukankah Papa dan Mama pasti bersedia untuk menemaniku pada saat aku melahirkan kelak ?

Berjam-jam aku memikirkan baik-buruknya tentang semua itu. Sampai akhirnya aku mencoba untuk berbesar jiwa dan bersikap sebagai seorang wanita dewasa. Ya, akhirnya kuizinkan Glen memenuhi panggilan itu, lalu kami saling mendoakan agar Glen sukses dalam perjuangannya, sementara aku pun selamat pada waktunya melahirkan kelak.

Begitulah. Pada suatu hari Glen meninggalkanku, diiringi cucuran air mataku, tapi dengan hati yang ikhlas kurelakan dia pergi untuk berjuang di negara orang.

Pada saat itu kami belum mengenal handphone. Komunikasi yang paling efektif adalah lewat telepon rumah, meski hubungan antar negara masih terasa sangat mahal bagi kami. Dan Glen menyempatkan diri menelepon setelah berada di Hamburg, kota pelabuhan terbesar di Jerman.

Di telepon itu Glen menjelaskan secara singkat, bahwa kapal di mana ia dipekerjakan, sudah dikontrak untuk mengirimkan lokomotif dan gerbong-gerbong kereta api dari Jerman ke beberapa negara di Afrika. Jadi selama kontraknya masih berjalan, kapal itu akan bolak-balik antara Jerman-Afrika.

Hatiku lega setelah mendengar penuturan lewat telepon itu.



Hari demi hari berputar terus. Aku pun mulai membiasakan diri dengan kenyataan baru ini. Membiasakan diri tidur sendirian di kala malam, sementara perutku makin membesar. Sehingga teman-teman sekantorku mulai menyadari bahwa aku sedang hamil.

Tapi yang paling sering memperhatikan kehamilanku ini adalah Anton, teman sekantor yang paling akrab denganku. Seperti pada suatu hari, ketika aku sedang makan siang di warung nasi dekat kantorku, Anton duduk di sampingku sambil berkata setengah berbisik, “Kata orang, kalau seorang wanita tampak lebih cantik pada waktu hamil, berarti bayinya itu perempuan. Jadi…mungkin bayi yang ada di dalam perutmu itu perempuan. Karena…karena kamu tampak jauh lebih cantik…lebih seksi daripada biasanya, Win.”

“Emang sebelum hamil aku jelek ya ?” sahutku asal-asalan.

“Hush…biasanya pun kamu cantik, bahkan tercantik di antara semua karyawati di kantor kita. Tapi sekarang jauh lebih cantik lagi. Mmm…kehamilanmu udah berapa bulan sekarang ?”

“Hampir lima bulan.”

“Hmm…kayak apa ya rasanya punya istri sedang hamil ?”

“Ohya…kamu belum punya anak ya ?”

“Belum. Padahal perkawinanku sudah tiga tahun lebih.”

“Emangnya kamu kawin pada usia berapa tahun ?”

“Duapuluh dua tahun. Tapi istriku tujuh tahun lebih tua dariku.”

“Ohya ?! Berarti sekarang istrimu sudah lebih dari tigapuluh tahun dong.”

“Iya, sudah hampir tigapuluh dua tahun.”

Diam-diam aku menghitung usia Anton, kawin di usia 22 tahun, berarti sekarang usianya sudah 25 tahun lebih…kira-kira sebaya dengan umurku.

“Istrimu belum pernah hamil ?” tanyaku.

“Belum,” Anton menggeleng, “Makanya aku terobsesi berat kalau melihat wanita hamil.”

Aku cuma tersenyum. Tapi kenapa sorot mata Anton terasa lain dari biasanya ? Ah, aku gak boleh memikirkan hal yang aneh-aneh. Karena aku sudah punya suami. Sedang hamil pula.

“Hari Rabu lusa kita libur ya,” kata Anton sesaat kemudian.

“Iya. Kan boss mengadakan resepsi pernikahan putrinya. Makanya kita diliburkan, untuk memberi kesempatan untuk hadir di resepsi itu.”

“Iya…kamu mau datang ke gedung tempat resepsi itu kan ?”

“Tentu aja. Masa gak datang ke pesta boss kita sendiri. Sudah dikasih libur pula.”

“Mau ikut rombongan karyawan pakai bus antar-jemput atau mau bareng sama aku aja?”

“Dibonceng pake motormu ? Ogah ah. Aku kan lagi hamil. Kalau hamilnya udah lewat tujuh bulan sih gakpapa.”

“Kalau kamu mau ikut aku, nanti aku pinjam mobil kakakku. Pasti dikasih lah.”

“Jemput ke rumahku, bisa ?”

“Boleh.”



Dua hari kemudian Anton benar-benar menjemputku pada saat aku sudah selesai berdandan.

“Kamu mau ke mana, Win ?” tanya Mama di ambang pintu kamarku, ketika aku sudah siap berangkat.

“Lho, kan kemaren udah bilang, hari ini ada resepsi pernikahan anak boss Wina.”

“Kenapa sepagi ini benar perginya ?”

“Yang ngadain resepsi kan boss Wina sendiri, Mam. Sebagai anak buahnya, Wina kan harus bantu-bantu dong. Jangan kayak tamu undangan biasa.”

“Mmm…gitu…ya udah…baik-baik di jalan dan di tempat pestanya ya.”

“Iya Mam,” sahutku sambil melangkah ke ruang depan, di mana Anton sudah menungguku.

Begitu masuk ke dalam mobil, aku langsung “laporan” kepada Anton, “Aku bawa pakaian casual nih, pulangnya gak mau pakaian pesta gini…ribet.”

“Bagus,” sahut Anton sambil menghidupkan mesin mobilnya, “kalau bisa pulang cepat, aku ingin ngajak ke Puncak nanti. Gimana ?”

Aku mengernyit. Puncak memang tempat yang kurindukan. Tapi…apakah aku harus mengikuti ajakan sahabatku itu ?

“Kok ke Puncak segala…” sahutku mengambang.

“Kita kan perlu refreshing. Mudah-mudahan di Puncak gak terlalu ramai karena hari ini bukan hari libur. Jadi…kita bisa diskusi dengan tenang di kebun teh nanti, sambil menghirup segarnya udara pegunungan.”

Aku terdiam. Anton pun mulai menjalankan mobil kakaknya. “Bagaimana ? Setuju kalau pulangnya ke Puncak dulu ?”

Tiba-tiba kubayangkan nikmatnya makan jagung rebus di Puncak. Apakah ini sebagian dari hasrat ngidam atau memang karena aku memang penggemar jagung rebus ? Entahlah. Yang jelas aku menjawabnya dengan, “Boleh. Tapi aku pengen ngemil jagung rebus atau bakar. Di Puncak kan banyak yang jualan ya ?”

“Oke…oke…gampang nyari jagung sih,” kata Anton terdengar bersemangat.

“Tapi di sananya jangan terlalu lama. Takut dimarahi Mama. Sebelum magrib harus sudah berada di rumah lagi.”

“Iya…iya…” Anton mengangguk-angguk.

“Emangnya yang kamu maksud diskusi itu tentang masalah apa ?”

“Nanti aja kita bahas di Puncak. Biar jelas.”

Aku tidak mendesaknya lagi. Lalu kami tak berbicara lagi, sementara Anton pun tampak serius mengemudikan mobil kakaknya.

Tak lama kemudian kami tiba di gedung convention hall, tempat resepsi pernikahan putri boss kami itu.

Resepsi yang mewah di dalam gedung yang luas dan megah. Membuatku terkagum-kagum menyaksikan semuanya itu. Maklum, pernikahan putri seorang konglomerat. Segalanya serba wah.



Sejam kemudian aku dan Anton sudah berada di dalam mobil kembali. Mobil yang sudah ditujukan ke arah pintu tol Jagorawi. Gaun pestaku juga sudah diganti dengan gaun casual, bukan gaun hamil karena kehamilanku belum begitu kelihatan.

“Mewah sekali pestanya tadi ya ?” cetus Anton di belakang setirnya.

“Iya,” sahutku, “Tamunya juga level atas semua. Cuma kita dan teman-teman aja yang level bawahan.”

“Siapa tau satu saat kita juga bisa jadi boss, Win.”

“Amien.”

Kami membisu beberapa saat. Sementara mobil yang kutumpangi sudah berada di jalan tol menuju Ciawi.

“Win…” terdengar suara Anton perlahan ketika kami sudah keluar dari pintu tol Ciawi.

“Ya ?”aku menoleh.

“Terus terang…dalam beberapa hari ini aku mikirin kamu terus,” sahut Anton dengan suara agak bergetar.

Aku agak kaget dan heran mendengar pernyataan sahabatku itu. “Kok bisa ?!” cetusku datar.

“Mmm…sebenarnya sejak pertama kali aku melihatmu, hatiku berdesir lain. Tapi aku juga menyadari bahwa kita sudah sama-sama punya pasangan. Karena itu kupendam aja perasaan itu di dalam hatiku. Tapi…kuharap kamu jangan marah mendengar semuanya ini ya Win.”

“Marah sih gak, cuma heran aja,” sahutku dengan perasaan bercampur aduk. Soalnya aku yakin pernyataan Anton itu terbit dari hati nurani yang sejujurnya.

“Gak ada yang mengherankan. Kekagumanku adalah sesuatu yang wajar, karena kamu…kamu cantik sekali, Win.”

Ucapan Anton itu membuatku tersanjung. Wanita mana pula yang tak suka mendengar pujian tentang kecantikannya? Apalagi pujian itu disampaikan oleh lelaki muda setampan Anton.

“Tapi aku kan udah jadi istri orang Ton,” ucapku lirih.

“Iya,” Anton mengangguk dengan pandangan tetap ke depan, ke arah jalan, “Kalau kamu bukan istri orang, sejak dua tahun yang lalu aku sudah membuka isi hatiku ini. Karena kamu istri orang, baru sekarang aku menyampaikannya.”

Aku tak mau jadi manusia munafik. Sejak pertama kalinya berjumpa dengan Anton di tempat kerjaku, aku menyimpan perasaan kagum padanya. Tapi sekadar kagum saja, karena saat itu aku sudah hampir menikah dengan Glen. Dankini…ia membuka isi hatinya…yang aku percaya bahwa semuanya itu terbit dari hatinya. Bukan sekadar gombal.

Lalu terdengar lagi suara Anton, “Dan…pada waktu dalam keadaan hamil begitu, aku…aku semakin mengagumimu, Win.”

Banyak lagi yang Anton ucapkan dalam mobil menuju Puncak itu.

Anton tak lupa pada permintaanku, untuk membeli jagung rebus panas sebelum membelokkan mobilnya ke daerah perkebunan teh yang siang itu tampak sepi.

Dan kami temukan gubuk di tengah kebun teh yang lengang dan tenang. Di situlah kami duduk, menikmati jagung rebus sambil mengamati indahnya alam pegunungan. Namun setelah jagung rebusku habis, aku baru menyadari bahwa Anton terus-terusan menatapku dengan senyum menggoda di bibirnya.

Dan inilah awal dari semuanya itu, dimulai dengan pegangan lembut Anton di pergelangan tanganku. Tanpa kata-kata. Tapi batinku mulai tergetar dan lupa bahwa aku ini seorang istri. Dalam keterlenaan inilah tiba-tiba bibir Anton menyergap bibirku dengan hangatnya. “Anton…jangan…” cetusku sambil meronta, namun akhirnya aku tenggelam dalam ciuman dan lumatan hangatnya.

Lalu kenapa semuanya ini sangat menggetarkan ? Apakah karena aku sudah lebih dari dua bulan tak disentuh lelaki ? Ataukah karena Anton begitu tampannya sehingga aku seolah tunduk pada aksinya ?

Celakanya, baik aku maupun Anton sudah sama-sama berpengalaman. Sehingga ketika aku terlena dalam ciuman hangatnya, aku tak tahu lagi harus bersikap bagaimana di saat tangannya mulai merayapi betisku, lalu menyelinap ke dalam gaunku….merayapi pahaku yang terasa mulai menghangat.

Lama kubiarkan telapak tangan Anton merayapi pahaku sampai ke pangkalnya. Namun, ketika jemarinya terasa menyelinap ke balik celana dalamku, dengan tenaga yang sudah melemah aku berusaha menepiskannya. “Ton…ja…jangan…” ucapku lemah, dengan perasaan semakin tak menentu.

“Kasihanilah aku, Win,” sahut Anton dengan jari-jemari yang sudah mulai menyentuh kemaluanku, “Aku ingin merasakan menyentuh vagina perempuan hamil…”

Gilanya, aku malah memejamkan mata, karena sentuhan jemari Anton itu…oooh…sangat menggetarkan birahiku yang sudah cukup lama tak dipuasi suamiku. “Oooh…Anton…kalau diginiin…aku ja…jadi horny…” desahku sambil memeluk leher teman sekantorku itu.

Jujur, saat itu aku sudah dikuasai nafsu. Tapi sesaat kemudian terdengar bunyi langkah manusia, menyadarkan Anton dan secepatnya ia menarik tangannya dari balik celana dalamku. Dan sepasang remaja lewat di depan kami, berjalan sambil saling memeluk pinggang. Mereka berjalan terus ke arah utara yang lebih rimbun., tanpa mempedulikan kami berdua. Tapi kami sadar bahwa saat itu kami tengah berada di tempat terbuka, di mana orang lain bisa memergoki kami.

“Win…biar lebih tenang, gimana kalau kita cari hotel di dekat-dekat sini ?” tanya Anton setelah sepasang remaja itu hilang dari pandangan.

“Mau ngapain ?” tanyaku agak tersendat.

Anton menjawabnya dengan bisikan, “Biar leluasa… biar aku bisa menjilati vegy kamu sepuasnya.”

Bisikan Anton itu membuatku merinding. Tapi ini bukan merinding takut. Ini merinding karena membayangkan seandainya ucapan Anton itu benar-benar kurasakan !

“Gimana ? Gak keberatan kalau kuajak ke hotel yang dekat-dekat sini ?” desak Anton.

“Terserah,” sahutku sambil menundukkan kepala.

“Nah gitu dong…mmmm….senangnya aku…!” seru Anton sambil mengecup pipiku.

“Tapi…jangan sampai kebablasan Ton….aku kan punya suami…lagi hamil pula…”

Anton tak menjawab. Cuma menatapku sambil tersenyum. O, betapa manisnya senyum Anton itu di mataku…!

Beberapa saat kemudian aku sudah berada didalam mobil Anton lagi. Sampai akhirnya berbelok ke pekarangan hotel kecil, tapi letaknya agak tersembunyi, tidak di pinggir jalan raya benar.

Aku tidak tahu lagi, kenapa aku harus mengikuti ajakan Anton. Padahal aku tahu ini suatu kesalahan besar. Lalu kenapa aku mendadak seperti robot yang patuh saja pada setiap ajakan Anton ? Kenapa kubiarkan saja Anton mencium bibirku dan menggerayangi kemaluanku di gubuk itu ?

Ah…rasanya semua sudah telanjur basah. Maka aku manut saja pada ajakan Anton, masuk ke dalam kamar hotel kecil ini. Dan di dalam kamar ini, Anton langsung memeluk leherku, sambil mencium dan melumat bibirku dengan ganasnya.

Aku memang sudah memberi peringatan tadi, agar Anton jangan sampai “kebablasan”. Tapi mungkinkah hal itu bisa kucegah ?

Entahlah. Yang jelas ketika Anton berkata agar gaunku ditanggalkan agar jangan kusut, aku hanya menyahutnya dengan, “Terserah…tapi jangan kebablasan ya Ton…”

“Iya…akan kuusahakan…” sahut Anton sambil melepaskan kancing gaunku. Lalu dengan hati-hati menanggalkan gaun casualku. Sehingga tubuhku tinggal dilekati beha dan celana dalam saja.

Anton menggantungkan gaunku di kapstok, lalu kembali mendekatiku yang masih berdiri canggung di dekat bed.

Seperti menemukan sesuatu yang sangat menyenangkan, Anton mengelus perutku sambil bergumam, “Alangkah indahnya bentuk wanita yang tengah hamil. Bentuk lengkap seorang wanita…sebagai calon ibu….aaaah…seandainya kamu jadi istriku…”

Lalu Anton memegang kancing behaku yang terletak di punggungku dan melepaskannya.

“Lho…mau ngapain ? Kok mau buka beha segala ?” protesku perlahan.

“”Payudaramu juga pasti beda dengan wanita yang tidak sedang hamil…aku pengen lihat, Sayang…” sahut Anton. Itu untuk pertama kalinya aku mendengar sebutan “sayang” darinya.

Untuk yang kesekian kalinya aku seperti tak punya daya lagi untuk menolak apa pun yang Anton inginkan. Kubiarkan saja ia menanggalkan behaku, sehingga sepasang payudaraku yang agak montok ini terbuka penuh di depan mata teman sekantorku yang memang berwajah tampan dan berperawakan tinggi langsing itu.

Tapi setelah behaku direnggut oleh Anton, aku masih berusaha menutupi sepasang payudaraku dengan sepasang telapak tanganku. Dengan senyum malu-malu.

“Jangan ditutupin dong,” kata Anton sambil berusaha menjauhkan kedua tanganku dari buah dadaku. “Aku kan ingin lihat payudara wanita yang sedang hamil.”

Aku pun duduk di pinggiran bed sambil meletakkan kedua tanganku di atas lutut. “Mau diapain sih ? Kan istrimu juga ada teteknya.”

“O my God…memang beda ya payudara wanita yang sedang hamil. Terlihat kencang dan mengkilap gini…” kata Anton sambil mengelus-elus payudaraku dengan lembut. Lalu menciumi putingnya, membuatku merinding-rinding lagi.

“Kan sedang persiapan memproduksi asi,” sahutku, tanpa penolakan ketika Anton mendorongku dengan lembut, sehingga aku jadi menelentang di bed.

“Sekarang sudah ada asinya ?” tanya Anton sambil mendekatkan mulutnya ke puting payudara kiriku…lalu mengulum dan menyedot-nyedot seperti bayi sedang menetek.

“Belum ada susunya lah…nanti kalau hamilnya sudah di atas tujuh bulan biasanya sudah ada asinya,” sahutku sambil mengelus rambut Anton, dengan perasaan semakin terlena…semakin lupa bahwa aku ini milik Glen yang sekarang sedang berjuang di lautan nun jauh di sana.

Mulut Anton tak sekadar mengemut puting payudaraku. Mulut itu menurun ke arah pusar perutku. Di sini terasa jilatan-jilatan Anton yang membuatku semakin lemas dan terhanyut, sehingga aku tak kuasa menolak lagi ketika celana dalamku dipelorotkan sedikit demi sedikit dan…ooooh….Anton mulai menjilati kemaluanku yang sudah lama tidak disentuh oleh suamiku.

Yang bisa kulakukan cuma menahan-nahan nafasku, terkadang merintih histeris sambil mengelus rambut Anton yang sedang berada di bawah perutku, “Anton…ooohh…Antoon….oooooh….”

Bukan cuma merintih. Aku pun mulai menggeliat-geliat dalam…nikmat. Ya…aku tak mau munafik. Aku harus mengakuinya bahwa jilatan dan isapan Anton di kemaluanku benar-benar nikmat. Sungguh…aku sedang menikmati sesuatu yang kurindukan selama ini.

Terlebih lagi ketika Anton memusatkan jilatan dan isapannya di kelentitku. Terasa liang kemaluanku mulai basah. Ooooh…ini terlalu nikmat rasanya, sehingga aku benar-benar lupa diri, seolah terhanyut dalam arus birahi. Bahkan akhirnya tanpa malu-malu lagi aku merengek seperti minta dikasihani : “Udah Ton…udah…pake penismu aja…aku udah gak tahan…”

Anton tampak ceria. Buru-buru ia menanggalkan seluruh busananya, sampai tiada sehelai benang pun melekat di tubuhnya.

Dan aku degdegan ketika kulihat batang kemaluan Anton yang sudah begitu tegangnya. Seandainya aku belum diapa-apain, mau saja kuemut penis ngaceng itu dengan ketrampilan oral yang kumiliki. Tapi aku sudah tak sabar lagi, ingin segera disetubuhi oleh teman sekantorku itu.

Maka di saat ia merayap ke atas tubuhku, spontan saja kurenggangkan sepasang pahaku lebar-lebar, seolah mempersilakan untuk hadirnya alat kelamin pria itu ke dalam lorong surgawiku.

“Gak apa-apa perutmu terhimpit sama aku ?” tanya Anton sambil mengarahkan moncong penisnya ke kemaluanku.

“Asal jangan perutmu jangan terlalu ditumpukan ke perutku aja,” sahutku, “Kan bisa tanganmu menahan agar jangan terlalu membebani perutku.”

Anton mengangguk-angguk, sementara moncong penisnya terasa sudah menyentuh mulut vaginaku. Membuatku semakin lupa diri. Dan kubantu memegangi penis teman sekantorku itu agar arahnya tepat.

Lalu kuberi isyarat dengan kedipan mata, sebagai pertanda bahwa ia sudah boleh mendorong penisnya.

Anton pun mendesakkan batang kemaluannya. Dan oooh…terasa penis teman sekantorku itu membenam dengan mudahnya ke dalam liang kemaluanku yang sudah basah kuyup ini. Blessssss……!

“Duuuh…Tooon…su…sudah masuuuk…” rintihku perlahan, karena takut suaraku terdengar ke luar.

“Ini pertama kalinya aku menyetubuhi wanita hamil,” kata Anton sambil menggerakkan penisnya perlahan-lahan.

“Aku juga untuk pertama kalinya dibeginiin oleh lelaki yang bukan suamiku,” sahutku sambil menatap wajah teman sekantorku itu.



Dan ketika penis Anton mulai diayun, maju-mundur di dalam liang kemaluanku dengan mantapnya, aku pun tak ragu lagi memeluk lehernya sambil menciumi bibirnya.

Aku tidak tahu lagi apakah persetubuhan ini dibantu oleh setan atau gimana... yang jelas setiap gesekan penis Anton membuatku berdesir-desir dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun di kepalaku... luar biasa nikmatnya.

Tak ayal lagi aku mulai merintih-rintih histeris, tak terkendalikan lagi. “Antooon... duuuh... kontolmu kok enak sekali Tooon.... iyaaaa... entot terus Tooon... ini luar biasa nikmatnya Tooon.... “

Luar biasanya nikmat yang tengah kurasakan ini, membuatku tak peduli lagi dengan kehamilanku. Kugoyang pinggulku sebinal mungkin, sehingga nafas Anton semakin berdengus-dengus. Entotannya pun semakin habis-habisan.....
 
Wow ini bukan lagi binal atau hotwife.. Ini perempuan murahan yg sdh berperan jd istri... Ayo dilanjut dan bikin semurah2nya ini perempuan... Toh g ada sedikit pun rasa bersalah, dan kayaknya ini eormepuan cenderung ******... Ayo lanjut hu
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd