Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENABUR BENIH (CUCKOLD INSIDE)

CHAPTER 2
KEPUTUSAN HERI PART 1



BASTIAN POV

Saat aku memasuki ruang pemeriksaan dokter, suasana tenang dan teratur langsung menyambutku. Pencahayaan lembut dari lampu ruangan menyelimuti setiap sudut, memberikan kesan yang nyaman. Aroma antiseptik menyelubungi udara, memberikan kesan kebersihan yang melekat. Duduk di atas meja pemeriksaan, tatapanku melintasi instrumen medis yang tersusun dengan rapi. Aku melakukan pemeriksaan rutin untuk menjaga kesehatan seksual, sebuah upaya preventif mengingat kecenderunganku sering berganti-ganti pasangan seks.

“Apa ada keluhan?” Tanya dokter spesialis kelamin yang sudah tiga tahun ini menjadi dokterku.

“Tidak ada Dok … Hanya pemeriksaan rutin saja.” Jawabku.

"Tes urin, air mani, dan darah harus dilakukan, ditambah pemeriksaan visual. Buka celanamu?” Perintah Dokter Wandi.

Aku duduk di kursi pasien, sementara Dokter Wandi memeriksa catatan medis dan mengajukan beberapa pertanyaan terkait kesehatan seksualku. Pemeriksaan pun dimulai dengan profesionalisme dan teliti, tanpa ada ekspresi keterkejutan atau kekhawatiran berlebihan. Di tengah pembicaraan serius mengenai kesehatan, aku merasa adanya rasa percaya diri dan keamanan yang diberikan oleh keahlian Dokter Wandi.

"Apakah ada rasa terbakar saat buang air kecil, keluarnya cairan yang tidak biasa, atau urin yang berubah warna?"

"Tidak, tidak, dan tidak."

Apakah kamu buang air kecil dengan aliran yang stabil, sering buang air kecil, atau harus bangun lebih dari sekali untuk buang air kecil di malam hari?

“Alirannya stabil. Saya tidak perlu bangun sampai saya bangun di pagi hari.”

“Apakah ada rasa sakit saat ejakulasi dan apakah air manimu tampak berwarna normal?”

"Tidak dan ya."

Dia mengambil beberapa botol darah, “Saya akan melakukan tes PSA untuk memeriksa kemungkinan masalah prostat.”

"Apa itu PSA?"

“PSA atau Antigen Spesifik Prostat adalah protein yang diproduksi oleh sel-sel prostat. Fungsinya sangat penting, membantu menjaga kecairan sperma dan memfasilitasi pergerakan sperma dalam tubuh. Meskipun PSA normalnya ada dalam darah, konsentrasinya dapat meningkat pada beberapa kondisi, seperti prostatitis, pembesaran prostat, atau bahkan kanker prostat. Ini adalah alat skrining yang bermanfaat untuk mendeteksi dini masalah kesehatan prostat. Penting untuk dicatat bahwa hasil tinggi tidak selalu berarti kanker prostat; faktor lain seperti usia, riwayat keluarga, dan gejala yang dialami juga perlu dipertimbangkan.” Jelas Dokter Wandi memusingkan.

Dengan profesionalisme yang terpercaya, Dokter Wandi memandu langkah-langkah pemeriksaan tersebut tanpa kata-kata yang berlebihan. Aku diinstruksikan untuk membungkuk, dan Dokter Wandi dengan cermat mengencangkan sarung tangan sebelum menekan prostatku dengan tekanan yang tak terlalu menyenangkan. Aku merasa sedikit tidak nyaman ketika cairan muncul di alat vital, dan Dokter Wandi dengan hati-hati mengumpulkannya di slide mikroskop. Dia memberikan beberapa lembar tisu untuk membersihkan diri saya.

"Seberapa cepat saya bisa mendapatkan hasilnya?" Tanyaku sambil memakai celana kembali.

"Kamu bisa mengambil hasil pemeriksaanmu pada hari Rabu sore. Kamu tidak perlu membuat janji, cukup datang kapan saja setelah makan siang."

"Terima kasih, Dok.”

Setelah meninggalkan ruang pemeriksaan, langkahku melaju menuju mobil yang setia menantiku di halaman rumah sakit. Aku membuka pintu dan memasuki kendaraanku, yang biasanya lebih sering terparkir di garasi. Jakarta yang kerap macet membuatku lebih memilih motor untuk mobilitas sehari-hari. Saat duduk di balik kemudi, mataku tiba-tiba menangkap sosok yang akrab. Itu Vera Ayu Pertiwi, temanku semasa SMA yang terkenal sebagai siswi paling badung di sekolah kami dulu. Tanpa ragu, aku turun dari mobil, menyambut kejutan tak terduga ini di halaman rumah sakit.

“Ver … Vera …!” Panggilku dengan suara lantang.

Vera menengok dan langsung saja matanya terbuka lebar dengan senyuman yang mengembang di wajahnya, “Bastian!”

Aku melangkah cepat mendekati Vera, teman SMA-ku itu. Tanpa ragu, dia juga menghampiri dengan langkah yang cepat, bahkan dengan sedikit berlari kecil. Pertemuan kami terjadi di tengah halaman rumah sakit, dan tanpa aba-aba, Vera melompat dan memelukku, tanpa memedulikan pandangan orang-orang di sekitar kami.

“Aih … Kamu tambah ganteng aja, Bas …” Seru Vera sambil tangannya melingkari leherku. Dadanya yang montok berhimpitan dengan dadaku.

“Kamu juga tambah seksi saja. Oh ya, bukannya kamu kerja di Bali?” Tanyaku kemudian.

“Aku pindah kerja ke sini, Bas … Gak betah di Bali. Ini aku baru saja ngambil surat keterangan sehat untuk ngelamar kerja.” Jawab Vera terlihat begitu ceria.

“Oh … Kenapa bisa begitu?” Tanyaku.

“Gimana kalau kamu traktir aku minum, nanti aku ceritain kisah seruku.” Ujarnya masih dengan menggelayuti leherku.

“Oke … Dimana?” Aku setuju dengan usulannya.

“Tuh … Ada kafe.” Vera menunjuk ke arah jalan. Aku baru sadar kalau di seberang jalan ada sebuah kafe.

“Ayo!” Ajakku seketika.

Aku berjalan bergandengan tangan dengan Vera, yang dengan gigih memeluk lenganku. Buah dadanya yang lembut terasa tersenggol oleh lenganku, menyulut sedikit gairah di dalam diriku. Kami tiba di kafe dan duduk di kursi kosong. Setelah memesan makanan dan minuman, kita memulai pembicaraan.

“Bagaimana kabarmu, Ver?” Aku yang memulai percakapan.

“Ya, gini aja. Gak ada berubah. Aku sehat, Bas. Dan kamu kelihatannya semakin bugar saja.” Ucap Vera.

“Ini berkat doamu, Ver.” Candaku.

“Dih … Mana ada aku mendoakanmu. Jujur, kalau kita gak ketemu di sini, mungkin aku lupa selamanya.” Ujarnya sambil mencibir bibirnya.

“He he he … Aku kira kamu gak lupa sama kontolku.” Aku terkekeh.

“Sialan … Banyak tau yang punya kontol sepertimu.” Vera kini tersenyum.

“Nah … Kenapa kamu pindah kerja ke sini? Kata si Renata, kamu makmur di sana.” Kataku mengingat ucapan sahabat Vera yang bernama Renata saat mengisahkan kehidupan Vera yang glamour di Bali.

“Ah, gak juga. Si Renata terlalu membesar-besarkan. Aku malah stress di sana. Gimana pun juga masih enak di tanah kelahiran daripada di negeri orang.” Vera menjawab sambil mencibirkan bibirnya lagi.

“Ya elah … Hidup tuh jangan dibawa stress. Nikmatin aja.” Kataku sekenanya.

“Bener sih Bas. Tapi kalau keadaan memaksa, mau apa lagi?” Vera berkata sambil mengangkat bahunya.

“Keadaan memaksa? Maksudmu?” Tanyaku ingin tahu.

“Gara-garanya aku dikejar-kejar nenek lampir. Biasalah, suaminya jadi sumber income-ku. Itu penyebab aku stress.” Jawab Vera santai.

“Sekeji itukah? Sampai-sampai kamu jadi stress.” Aku heran karena Vera adalah orang yang paling cuek.

“Si nenek lampir itu sambil ngancam-ngancam sih. Dia selalu bawa preman.” Ujar Vera.

“Oh … Main kamu gak cantik sih.” Sahutku sambil tersenyum.

“Aki-aki peot itu yang gak hati-hati. Ah, pokoknya kacau deh. Dan kamu gimana? Udah punya pacar belom?” Tanya Vera mengubah arah pembicaraan.

“Kamu seperti gak tau aku aja … Anti pacaran, anti menikah.” Jawabku.

“Kamu masih jadi petualang, Bas?” Tanyanya dengan mata menatapku dalam.

“Itulah hidupku, Ver … Aku suka hidup seperti ini. Aku adalah seekor lebah yang ingin menyerbuki bunga sebanyak mungkin dan mencicipi madu sebanyak yang aku bisa.” Kataku.

“Berapa cewek yang kamu petualangi?” Tanya Vera lagi.

“Aku gak inget berapa. Mereka datang dan pergi begitu saja. Tapi aku sekarang sedang deket sama Binor.”

“Kamu ngewe sama bini orang?”

“Ya …”

“Gile … Umur berapa?”

“Sekitar 29 tahunan.”

“Hi hi hi … Rasanya pasti beda kan?” Vera menggodaku.

“Setubuh …”

Kami pun bercanda bersama sampai lupa waktu. Malam datang lebih awal, hadir pula bulatan putih besar utuh sempurna menemaninya. Kebahagiaan akan selalu datang di tengah kebersamaan. Akhirnya, aku dan Vera berpisah setelah saling menukar nomor kontak. Kendaraanku membawa aku kembali ke rumah, dan aku memilih untuk santai di ruang tengah. Suasana tenang dan rileks menyelimuti ruangan saat aku duduk, merenungkan pertemuan tadi. Penuh dengan kesan yang baru, nomor telepon baru, dan itu tentunya akan menjadi jembatan menuju lebih banyak pertemuan dan kisah yang akan datang.

Saat tengah asyik menyimak debat Cawapres yang sedang berlangsung dengan penuh ketegangan, tiba-tiba suara smartphone-ku membuyarkan fokus. Aku menengok layar yang tergeletak di atas meja dan melihat nama Riska terpampang di sana. Tanpa berlama-lama, aku mengambil alat komunikasi itu dan segera menerima panggilannya.

“Hallo.” Sapaku.

“Bas … Suamiku ingin bertemu denganmu.” Ujar Riska di seberang sana.

"Kenapa dia tidak meneleponku?"

“Kamu tidak mengenal nomornya, takut teleponnya kamu abaikan.”

“Aku bukan orang yang suka mengabaikan telepon. Telepon siapa saja, yang kukenal maupun yang tidak, pasti akan aku jawab.” Kataku.

“Iya, Bas … Aku baru tahu kalau kamu begitu. Bas … Suamiku ingin mengenalmu dan mengajakmu ketemuan.” Ungkap Riska.

"Riska, aku ingin meyakinkan suamimu kalau aku tidak memiliki niat apapun untuk melakukan sesuatu di antara kita di belakangnya. Semua urusan kita haruslah transparan dan melibatkan dia. Aku tidak ingin suamimu memiliki anggapan kalau aku ingin merebut istrinya. Aku bersumpah demi apapun kalau hal itu tidak akan terjadi. Aku ingin hubungan kita jujur dan terbuka, tanpa rahasia. Jika aku atau kamu ingin berkomunikasi, kita harus melibatkan suamimu. Apakah kamu memahami hal ini?" Kataku bersungguh-sungguh.

“Ya …” Jawab Riska singkat.

“Kalau begitu … Aku ingin bicara dengan suamimu.” Kataku.

Seketika, suara di speaker ponselku berubah, kali ini berganti menjadi suara Heri. Pikiranku melayang, yakin bahwa saat aku berbicara dengan Riska tadi, Heri pasti juga mendengarkan setiap kata yang terucap.

“Bisakah kita bertemu sekarang?” Kata Heri di seberang sana.

“Tentu saja … Silahkan tentukan tempatnya.” Jawabku mantap.

“Bagaimana kalau di Resto Keyaki Kebayoran?” Ajak Heri.

“Ya, aku tahu tempatnya. Aku akan segera ke sana.” Jawabku antusias.

“Oke … Kita ketemuan di sana.” Ujar Heri.

“Em … Heri … Aku ingin kamu datang sendiri tanpa Riska.” Pintaku.

“Oke … Tak jadi masalah.” Jawabnya lalu terputus sambungan telepon.

Aku segera bersiap dengan mengganti pakaian yang agak rapi dan berdandan seperlunya. Setelah itu, langkahku mengarahkan ke garasi, dan aku memutuskan untuk menggunakan mobil mengingat cuaca yang agak mendung malam ini. Setelah memanaskan mesin selama sekitar tiga menit, aku meluncur ke lokasi pertemuan dengan Heri. Tanpa menunggu lama, perjalanan setengah jam sudah cukup untuk sampai di pelataran parkir restoran. Mobilku terparkir dengan rapi di sana. Sebelum keluar, aku menelepon Heri untuk memastikan posisinya, dan ternyata dia sudah berada di dalam restoran, memberikan petunjuk tempatnya beserta ciri-cirinya. Aku pun memasuki restoran dan menemukan Heri duduk di sebuah meja dekat jendela.

“Hai … Bastian …” Kataku sambil mengulurkan tangan.

Dia menyambut tanganku lalu menjabatnya erat, “Heri …”

“Senang akhirnya bisa bertemu langsung.” Ucapku sambil duduk di kursi depannya.

“Senang juga bisa kenalan bisa berkenalan denganmu.” Sambut Heri dengan senyuman tipisnya.

“Gimana, sudah memesan sesuatu untuk makan?" Tanyaku.

"Belum, aku masih menunggu pilihanmu. Kamu pilih dulu saja." Jawab Heri.

Kami pun memanggil pelayan dan dengan santai memesan makanan. Sambil menunggu pesanan datang, obrolan kami berfokus pada pekerjaan dan kehidupan pribadi masing-masing. Akhirnya, pesanan tiba di meja, dan kami menyantapnya dengan lahap sambil terus melanjutkan percakapan. Suasana semakin akrab ketika kita mulai berbagi lelucon yang mengundang tawa, menciptakan suasana yang penuh dengan keceriaan di sekitar meja kami.

“Aku sangat mengenal Riska. Kami sudah saling berkenalan lebih dari tiga tahun, dan waktu itu, aku merasa akrab dengannya. Aku ingin jujur padamu, awalnya aku tertarik pada Riska karena aku mengira dia masih single. Tetapi saat aku mengetahui bahwa Riska sudah menikah, aku langsung memutuskan untuk mengubur perasaan itu. Bagiku, prinsip tidak suka mengganggu hubungan orang lain sangat penting. Aku mengakui, aku adalah 'penjahat kelamin,' tapi aku selalu menjaga batas dan tidak pernah terlibat dalam hubungan fisik dengan istri orang lain. Pengalaman dengan Riska adalah pertama kalinya aku terlibat dengan wanita yang sudah bersuami.” Jujurku pada Heri.

“Menurutmu, bagaimana sikap Riska di tempat kerjanya? Maksudku pergaulan Riska dengan laki-laki.” Tanya Heri.

“Dia orangnya rendah hati dan banyak disukai oleh rekan-rekan kerjanya. Seringkali, pria-pria mencoba menggoda, namun Riska selalu mampu menahan godaan itu dengan anggun. Menurutku, dia sangat setia padamu. Meskipun begitu banyak yang menggodanya, dia tetap memegang teguh komitmen untuk rumah tangganya. Makanya saat Riska mengatakan keinginanmu dan Riska pun menyetujuinya, aku sangat tak percaya. Sungguh, aku seperti sedang bermimpi, bagaimana mungkin Riska seperti itu.” Jelasku.

“Sebenarnya aku yang memaksa Riska untuk berhubungan dengan pria lain. Ini terjadi setelah aku divonis mandul oleh dokter, dan Riska sangat ingin memiliki bayi. Aku khawatir kalau kelemahanku ini akan membuatnya kecewa dan meninggalkanku. Aku tidak sanggup membayangkan hidup tanpa Riska, dan aku tahu betapa pentingnya memiliki keluarga yang sempurna bagi dirinya.” Suara Heri mengandung kesedihan yang dalam.

“Ya, aku mengerti akan hal itu … Tapi … Maaf … Bagaimana dengan kelainanmu yang lain? Sekali lagi minta maaf menanyakan hal tak pantas ini padamu.” Tanyaku sangat berhati-hati.

“Cuckold …” Lirihnya sangat pelan nyaris seperti bisikan.

“Ya.” Jawabku singkat.

“Aku sendiri tidak tahu persis kenapa aku seperti ini. Aku mengakui kalau aku punya kelainan itu. Mungkin, ini hanya perkiraanku, kelainanku ini berhubungan trauma masa kecilku. Dulu aku mempunyai ayah yang sangat kejam pada ibu dan anak-anaknya. Aku tidak sanggup menceritakan kekejaman ayahmu saking kejamnya. Suatu ketika aku melihat ibu bercinta dengan orang lain dan itu disaksikan ayah. Saat itu ayah tidak bisa berkutik karena diancam oleh anak buah dari orang yang bercinta dengan ibu. Aku melihat ayahku yang sangat kejam itu tidak berkutik dan saat itu juga aku sangat senang melihat ayah yang tanpa daya. Aku membela ibuku, dan sekali lagi mungkin, rasa senang melihat ibuku bahagia waktu sedang bercinta dengan orang lain itu mempengaruhi pada jiwaku. Aku merasa bergairah jika melihat seorang istri bercinta dengan orang lain yang disaksikan suaminya.” Jelas Heri panjang lebar.

“Aku tidak mengerti, Heri … Kenapa kamu tidak melihat dari sudut pandang ayahmu yang menderita?” Tanyaku.

“Seperti yang aku katakan, ayahku sangat kejam, dan aku suka dia menderita.” Jawabnya.

Memang sulit bagiku untuk benar-benar mencerna cerita Heri. Pengalaman traumatis yang diungkapkannya, meskipun sungguh mengerikan, belum cukup membuatku sepenuhnya memahami bagaimana hal itu bisa membentuknya menjadi seorang "cuckold." Mungkin karena aku tidak pernah mengalami kekejaman semacam itu dalam hidupku, atau mungkin karena aku hanya belum dapat memahami kompleksitas emosi dan perasaannya. Jujur, seluruh cerita itu sangat membingungkanku.

“Oke … Aku ingin membicarakan tentang kita sekarang. Apa yang ingin kamu tanyakan perihal masalah kita ini?” Tanyaku agak serius.

“Apakah ada riwayat penyakit genetik dalam riwayat keluargamu?” Tanya Heri.

“Tidak ada … Aku dan keluargaku sehat walafiat. Tapi jika kamu membutuhkan bukti, aku bisa memberimu riwayat kesehatanku hasil tes kedokteran. Aku akan berkonsultasi dengan dokter umum pada hari Senin, di mana darah, urin, dan air maniku diuji. Aku bisa mengambil hasil tes laboratorium itu besok sorenya.” Jelasku.

“Baiklah … Aku menunggu hasil laboraorium itu. Pertanyaanku lainnya adalah bagaimana pendapatmu jika aku keberatan kamu tinggal di rumahku?” Tanya Heri lagi.

“Sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, perlu kamu tahu kalau aku bukan gigolo dan hidupku tidak bergantung pada wanita atau suami mereka. Apa yang terjadi sekarang ini di luar kebiasaanku selama ini, dan Riska adalah wanita pertama yang membuatku terlibat dalam hubungan seks dengan seorang wanita yang bersuami. Aku masih mencoba memahami fenomena ini, terutama karena aku belum bisa sepenuhnya menerima ide bahwa ada suami yang mendukung istrinya untuk berhubungan seks dengan pria lain. Tapi, aku akan berusaha melupakan itu. Sekarang, faktanya, aku terlibat dalam hubungan seks dengan istrimu, yang sebenarnya memiliki dua tujuan. Pertama, membantu Riska hamil, dan kedua, membantumu mewujudkan fantasimu. Jika kamu merasa keberatan aku tinggal di rumahmu, maka Riska yang datang ke rumahku, dan aku hanya bertugas membuat istrimu hamil saja. Di sini, aku tidak akan membantumu untuk mewujudkan fantasimu. Kamu tidak bisa menyaksikan aku bercinta dengan Riska. Artinya tujuan kedua akan aku tutup sepenuhnya. Aku berasumsi kalau yang kamu inginkan hanyalah seorang anak dan bukan wahana untuk merealisasikan fantasimu.” Jelasku panjang lebar.

“Bagaimana jika aku bersedia mengajakmu tinggal bersama di rumahku?” Tanya Heri kemudian.

“Pertama aku akan membayar sewa karena aku tinggal di rumahmu.” Kataku langsung disambat oleh Heri.

“Aku tidak membutuhkan uangmu.” Tegasnya.

“Aku tahu kamu tidak membutuhkannya, tapi ini kulakukan untuk menjaga harga diriku. Aku tidak ingin disebut penghuni gelap yang menggantungkan hidup pada orang lain.” Aku katakan alasanku.

Heri mengangguk sambil berkata, “Aku mengerti.”

“Kedua, dengan sangat menyesal harus aku katakan selama aku tinggal di rumahmu, aku adalah suami utama istrimu. Aku akan menggunakan kamar utama bersama Riska sampai Riska benar-benar hamil berdasarkan pemeriksaan dokter. Kewajibanmu sebagai pemberi nafkah batin akan aku ambil alih untuk sementara, dan jika kamu menginginkan istrimu maka kamu harus mendapat izinku terlebih dahulu.” Jelasku.

“Kenapa kamu begitu kejam?” Protes Heri keras.

“Aku tidak ingin ada perselisihan saat aku berada di rumahmu. Ini adalah upaya antisipasi agar kita saling menyadari kewajiban masing-masing.” Jawabku.

“Aku masih harus mempertimbangkan permintaanmu yang satu ini.” Ucap Heri terdengar keberatan.

“Sebenarnya aku tidak kejam, karena aku mempunyai usulan untuk menyeimbangkan permintaanku tadi. Aku berniat akan membawa seorang wanita cantik sebagai pengganti istrimu.” Aku pun tersenyum melihat ekspresi kaget Heri.

“Ka..kamu …” Heri seperti sedang tersedak.

“Heri … Istrimu bersamaku, dia punya laki-laki lain. Sudah sepantasnya keadaan dibuat berimbang dengan kamu mempunyai wanita lain yang akan menemanimu.” Ucapku lemah lembut.

“A..aku tidak yakin, Riska menyetujuinya.” Ujarnya dengan mata masih terbelalak.

“Oleh karena itulah, kamu dan Riska perlu berdiskusi.” Kataku.

“Oh ya, aku hampir lupa … Pintu kamar tidur utama tidak akan pernah aku kunci. Kamu bisa menyaksikan aku dan Riska bercinta. Kalau perlu kamu ikut bergabung bersama-sama. Kita bisa threesome atau foursome.” Kataku lagi.

“Aku akan memikirkannya dan bicara dengan Riska.” Kata Heri sebagai kalimat terakhir pembicaraan utama kami.

Pertemuan ini akhirnya kami akhiri tanpa menyentuh makanan yang telah kami pesan. Saat berpisah di pelataran parkir, aku memacu kendaraanku dengan tenang menuju rumah. Sungguh, tidak pernah terbayangkan olehku bahwa skenario hari ini akan berkembang sejauh ini. Tersenyum di balik kemudi, aku merenung bahwa hidup memang tak bisa diprediksi, dan tak seorang pun tahu dengan pasti apa yang akan terjadi dalam satu jam ke depan.


********


Pagi ini, keheranan menyapaku begitu aku memasuki kantor. Ruangan yang biasanya riuh dengan aktivitas sehari-hari, kini terdiam sepenuhnya. Aku terkejut mengetahui bahwa hari Jumat ini merupakan hari libur nasional. Terbiasa dengan rutinitas harian, aku melupakan keberadaan hari libur ini. Dengan gembira, aku meninggalkan kantor dan melangkah menuju parkiran. Motorku setia menanti, dan tanpa ragu, aku membesutnya untuk pulang ke rumah. Rasa lega menyelimuti pikiran, mengetahui bahwa hari ini aku bisa menikmati waktu istirahat yang tak terduga.

Di setengah perjalanan, aku tiba-tiba teringat akan sesuatu yang berkaitan dengan percakapanku dengan Heri semalam. Tanpa ragu, aku memutuskan untuk menepikan motorku di pinggir jalan yang lumayan sepi. Dengan cermat, aku mengambil smartphone dari dalam tas kerja. Jariku bergerak lincah di atas layar ponsel, mencari nomor kontak Vera. Langsung saja aku mencoba menghubunginya, membiarkan hela nafasku menyertai nada panggilan yang menunggu di seberang sana.

“Hallo …” Akhirnya Vera menyapaku.

“Ver … Aku ingin ketemu.” Kataku.

“Ah … Aku lagi menstruasi. Cari cewek lain aja.” Jawabnya sembarangan.

“Sialan. Aku gak peduli kamu lagi mens, aku bisa pake pantatmu.” Kataku juga sembarangan.

“Hi hi hi … Gayamu, seperti yang suka aja sama lobang pantat.” Vera tertawa lucu karena dia tahu kalau aku tidak suka lubang pantat. “Aku di rumah, datang aja ke sini. Kamu masih tahu kan rumah orangtuaku?” Katanya.

“Aku agak lupa. Lama sekali aku gak pernah ke rumahmu. Serlok aja ke ponselku.”

“Oke …”

Aku mengakhiri panggilan dengan Vera, dan dalam waktu singkat, aku mendapatkan informasi lokasi rumahnya. Pagi itu, di atas motor kesayanganku, aku melanjutkan perjalanan dengan harapan bisa menemukan rumah Vera tanpa kesulitan berarti. Navigasi di ponsel membantuku menjelajahi rute yang telah aku peroleh dari informasi yang Vera kirim. Denyut mesin motor dan deru angin pagi menjadi latar yang konsisten sepanjang perjalanan, menemaniku untuk mencapai tujuan. Tak berapa lama kemudian, dengan lega dan senyuman di wajah, aku berhasil menemukan rumah Vera.

“Gak sulit kan?” Sambut Vera di teras rumahnya.

Aku tak segera menjawab karena terpana oleh penampilan Vera yang menggugah selera. Gadis itu memamerkan fisik rampingnya dengan sepasang legging putih berusuk dan tank top kecil yang serasi, yang membuat perutnya yang kencang terlihat jelas. Sudut mataku full mentok ke arah buah dadanya yang menjulang, lebih dari rata-rata. Kali ini Vera benar-benar membuat jantungku berdebar dan darahku menghangat dengan hasrat yang menggelora.

“Kamu belum puas ngeliatin aku?” Tiba-tiba Vera mengibaskan tangannya di depan mukaku.

“Kamu benar-benar seksi, Ver … Aku kangen sama tubuhmu.” Kataku sambil mengikuti langkah Vera masuk ke dalam rumahnya.

Vera pun tersenyum, “Duduk dulu … Aku bikin kopi dulu …” Kata Vera dengan begitu saja meninggalkanku di ruang tamu.

Aku duduk di sofa yang nyaman, merenung sejenak sambil memperhatikan ruang tamu rumah Vera. Meski tidak terlalu luas, ruangan ini tersusun dengan rapi dan penuh dengan sentuhan kecil yang indah. Dinding dihiasi dengan lukisan-lukisan seni lokal, tepat di sudut ruang tamu terlihat sebuah rak kayu berisi koleksi buku-buku, beberapa perabotan antik pun menempati ruang ini tanpa mengurangi kenyamanan. Beberapa menit berselang, langkah Vera terdengar mendekati. Dengan ceria, Vera memasuki ruangan dengan dua gelas kopi di tangannya. Sambil tersenyum, dia duduk di sampingku, memberikan satu gelas kopi padaku.

“Jadi … Apa yang ingin kamu bicarakan?” Vera langsung menyasar tujuan kedatanganku.

“Aku memerlukan bantuanmu.” Jawabku lalu menyesap kopi yang masih panas.

“Langsung aja ceritain, jangan dipotong-potong.” Ungkap Vera yang memang kurang suka berbasa-basi.

“Oke … Seperti yang aku ceritakan padamu kemarin, aku sekarang sedang berpetualang dengan binor. Namanya Riska. Tapi ada yang unik dengan petualanganku kali ini. Binor itu punya suami yang cuckold.” Aku terpaksa berhenti karena tiba-tiba Vera bersuara.

“Wow! Luar biasa. Terus … terus …” Vera terlihat sekali antusias.

“Terus terang, ini kasus pertamaku tapi entah kenapa aku merasa sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatku kecanduan. Ini sungguh memacu adrenalin. Tapi, ada sisi hatiku yang menyayangkan, kenapa hal seperti ini terjadi pada sahabatku. Oh ya, binor itu teman kerja juga sahabatku.” Ungkapku.

Vera menyipitkan mata, senyumnya merayu, "Bastian, aku bisa nebak, ini bukan cuma soal petualangan, kan? Ada nuansa lain yang bikin kamu kerasan. Gairah, mungkin?" Dia menggoda dengan senyuman nakal.

Aku tertawa kecil, mengangguk setuju. "Iya, Ver ... Rasanya kayak ada sesuatu yang beda, sesuatu yang bikin aku penasaran terus."

Vera mengangkat alisnya, "Welcome to the wild side! Rasanya gak masalah punya sensasi baru, kan? Toh, hidup ini untuk dinikmati. Jadi, nikmati aja setiap momennya. Who knows what kind of pleasure it might bring? Saran dari aku sih, jangan terlalu banyak mikirin 'kenapa', tapi lebih ke 'kenapa nggak?' Gitu aja, relax, Bas ... Enjoy the ride!" Dia menyelingkuhkan senyuman simpul sebelum menyeruput kopinya

“Aku juga berusaha begitu, tapi tetap aja aku gak enak sama suaminya. Jadi aku merencanakan agar aku bisa make istrinya, tetapi suaminya juga enjoy.” Kataku.

Aku pun menceritakan semua kisahku dengan Riska dan Heri tanpa ada yang aku tutup-tutupi pada Vera.

Aku pun menceritakan semua kisahku dengan Riska dan Heri tanpa ada yang aku tutup-tutupi pada Vera. Saat aku berbagi pengalaman yang begitu intim, ekspresi Vera terkejut keterkejutan namun ada rasa ingin tahu yang mendampinginya. Matanya yang terbuka lebar mencerminkan kejutan ketika mendengar detail ceritaku, sementara senyum tipis di bibirnya memberikan nuansa keingintahuannya. Beberapa kali, ia mengangguk setuju atau menggerakkan tangannya dengan lembut, sebagai bentuk respon intuitif terhadap kisah yang aku bagikan.

“Nah … Aku perlu bantuanmu Ver … Aku ingin terlibat dalam rencanaku.” Aku pun mengakhiri ceritaku yang lumayan cukup panjang dan lama.

“Kamu ingin aku menjadi penghibur Heri … Itu yang aku tangkap dari ceritamu.” Prediksi Vera tepat sasaran.

“Ya …” Jawabku singkat dan tegas.

“Gimana orangnya?” Tanya Vera.

“Heri itu sebenarnya ganteng. Aku bisa bilang, dia di atas rata-rata. Hanya saja kontolnya rata-rata juga.” Jawabku sambil tersenyum.

“Ukuran kontol gak masalah bagiku, yang penting kuat ngentot aja.” Respon Vera dengan membalas senyumku.

“Aku gak tahu kalau soal itu.” Kuseruput lagi kopiku.

“Oke … Aku akan ikut, kayaknya seru juga. Tapi Bas, bisakah kamu mengusahakan aku untuk bekerja di perusahaanmu. Aku butuh kerjaan nih.” Vera mengalihkan pembicaraan.

“Nah … Itu dia … Riska adalah staf HRD yang lumayan berpengaruh. Kamu bisa meminta bantuan sama dia. Aku jamin kalau kamu bisa mengambil hatinya, kamu gak akan susah menjadi pegawai di perusahaanku.” Ucapanku itu membuat Vera terperangah.

“Serius, Bas? Riska bisa masukin aku bekerja?” Pekik Vera kegirangan.

“Aku yakin dia bisa. Tapi, ya tadi itu. Kamu harus bisa mengambil hatinya.” Tegasku lagi.

“Oke … Aku ikut denganmu. Kapan?” Vera sangat bersemangat.

“Ya, sabar dong … Suaminya masih menimbang-nimbang.” Kataku.

“Ya … Aku pikir tinggal pergi saja.” Vera pun tampak kecewa.

“Tapi percaya aja sama aku. Dia akan menerima tawaranku. Aku yakin dia akan mengundang kita ke rumahnya.”

“Mudah-mudahan perkiraanmu gak meleset.”

“He he he … Jadi orang itu jangan pesimis.”

“Bukan itu masalahnya, Bas. Tabunganku sudah menipis. Aku takut gak bisa makan di sini. Mana aku sebatang kara.” Keluh Vera yang memang dia tidak punya lagi siapa-siapa dalam hidupnya. Sudah lama kedua orangtuanya meninggal dunia.

“Hei … Kamu punya aku.” Ujarku.

“Emang kamu mau membiayai hidupku?” Vera mulai mengeluarkan jurus genitnya.

“Asal hidupmu gak kayak artis, aku mampu.” Jawabku.

“Kalau gitu …” Vera bangkit dari duduknya lalu berjalan menghampiriku dan duduk di pangkuanku. “Aku butuh duit sekarang.”

“Kamu ini belum apa-apa udah nyosor minta duit saja.” Kataku sedikit protes. Aku tidak bisa protes penuh karena di depan wajahku susu Vera seperti minta disentuh.

“Beneran, Bas … Aku butuh beli sepatu.” Kini Vera benar-benar menyentuhkan buah dadanya ke wajahku.

Aku pun mulai melingkarkan tanganku di perutnya yang terbuka, “Ya, nanti aku belikan.”

“Asik … Makasih darling …” Tiba-tiba Vera mengangkat daguku lalu mencium bibirku. Kalau saja dia tidak menstruasi, niscaya sudah aku gasak dia habis-habisan.

Entah berapa lama kami berciuman seperti itu. Kami saling pagut, berlomba menumpahkan seluruh hasrat. Tanganku meraba dadanya yang berukuran besar, kuremas lembut buah dadanya sehingga ia menggeliat. Bibir yang ranum dan buah dada yang kenyal, menggetarkan gelenyar birahi dalam diri.

“Ehem …!” Deheman itu sukses mengganggu aktivitasku dan Vera. Dengan cepat Vera langsung menjauhkan wajahnya dari wajahku.

“Ah! Harusnya aku kunci pintunya.” Gerutu Vera sambil bangkit dari pangkuanku.

“Seharusnya begitu.” Ucap wanita yang baru datang itu santai sambil masuk lalu duduk di dekatku. “Apa kabar ganteng?” Tanyanya sambil tersenyum padaku.

“Kabar baik, Renata.” Jawabku sambil tersenyum pada teman se-SMA, sahabat karib Vera.

“Gimana lamaranku?” Tanya Vera pada Renata. Vera pun sudah duduk di tempatnya semula.

“Tinggal diprint.” Jawab Renata singkat.

“Kenapa gak sekalian diprint?” Vera tampak kecewa.

“Nyantai dong … Kan kita ngelamarnya baru hari senin.” Renata manyun tak senang ketergesaan Vera.

“Aku tadinya mau nitip sama Bastian. Aku mau nelamar juga di perusahaannya.” Ujar Vera membuat Renata langsung memandangku.

“Aku juga dong, Bas …” Ucap Renata penuh harap.

“Bukan aku yang bisa masukin kerja kalian, tapi temanku.” Kataku meluruskan situasi.

“Kalau begitu, kenalin aku juga dong!” Renata memaksa.

“He he he … Boleh … Tapi aku gak jamin dia bakalan mau dititipin karena orangnya agak idealis. Pokoknya kalian harus bisa mengambil hatinya dulu, baru dia akan baik sama kalian.” Tegasku sebenar-benarnya.

“Makanya, Bas … Kapan aku bisa ketemu dia? Aku sudah empat ngelamar kerja, semuanya menolak semua.” Ucap Vera prihatin.

“Aku juga begitu, Bas … Kita butuh pekerjaan banget.” Sambung Renata tak kalah prihatin dari Vera.

“Pokoknya tenang saja. Pasti aku kenalin.” Kataku.

“Berarti Renata akan gabung dong sama kita?” Tanya Vera sambil menatapku.

“Mau gak mau …” Responku santai.

“Apanya yang gabung? Gabung apaan?” Renata menyambar pembicaraanku dan Vera.

“Jadi wanita penghibur suaminya yang mau masukin kerja.” Kata Vera.

“Gak apa-apa deh … Yang penting aku punya kerjaan.” Sahut Renata bersemangat.

Ketika Renata mengatakan itu, aku tidak merasa aneh sama sekali, karena aku tahu bahwa Vera dan Renata adalah dua wanita yang memiliki pandangan hidup serupa, keduanya mengagumi kehidupan yang bebas dan liar. Mereka punya semangat ‘petualang’ yang luar biasa. Kami bertiga kemudian terlibat dalam obrolan seru, mengupas masalah keluarga Riska dan Heri. Kami tidak hanya sekadar membahas, tetapi juga merencanakan langkah-langkah yang akan diambil ketika berada di dalam lingkungan keluarga itu. Pada saat itu juga, ide-ide pun terus bermunculan, membentuk jalinan rencana yang matang.

Tiba-tiba smartphone-ku berdering, segera saja aku mengambil alat komunikasiku itu dari dalam tas kerja. Aku melihat nama Heri di layar ponselku. Tanpa ragu, aku langsung menerima panggilannya. Rasanya seperti respons otomatis, dan aku siap untuk memulai percakapan dengan Heri.

“Hallo …” Sapaku setelah memberi kode pada Vera dan Renata untuk diam.

“Bas … Apakah kita bisa berkumpul lagi malam ini di tempat kemarin?” Tanya Heri di seberang sana.

“Aku punya tempat yang lebih cocok daripada tempat kemarin, karena aku akan memperkenalkanmu dengan dua wanita cantik.” Kataku.

“Oh … Ba..baiklah …” Terdengar suara Heri sangat gugup.

“Kita akan bertemu di Kafe Loman. Apakah kamu tahu tempatnya?” Tanyaku.

“Tidak …”

“Nanti aku akan kirim alamatnya padamu.”

“Baik …”

“Bawa juga Riska … Aku ingin kita semua berkumpul.”

“Baik … Sampai jumpa nanti malam di sana.” Ucap Heri langsung memutuskan sambungan telepon.

“Heri?” Tanya Vera.

“Iya …” Jawabku. “Kalian siap?” Tanyaku kemudian pada Vera dan Renata.

“Siap …” Jawab Vera dan Renata hampir bersamaan.

Kami sekali lagi diskusi tentang rencana-rencana untuk acara malam nanti. Aku, Vera, dan Renata begitu terlibat dalam perbincangan ini, penuh antusias terhadap petualangan yang akan kami jalani. Semua terasa begitu segar dan menantang, memancarkan semangat baru yang menggairahkan. Ide-ide pun berputar di sekitar kami seperti bola api yang menyala, membentuk rencana-rencana yang sangat menggairahkan.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd