Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENABUR BENIH (CUCKOLD INSIDE)

CHAPTER 9
KEPASTIAN


BASTIAN POV

Suasana kantor pagi ini terasa beda. Entahlah, suasana terasa lebih sepi dari biasanya. Mungkin hanya aku yang merasa sepi, karena aku merasa kehilangan seseorang yang berarti. Ya, aku kehilangan Riska yang sudah empat hari tak ada kabar berita. Dampaknya, aku merasa sedikit kehilangan semangat dan motivasi untuk melakukan apapun. Aku duduk di mejaku dengan pandangan kosong, memikirkan apa yang terjadi pada Riska. Setiap ponsel berbunyi, membuatku berharap itu adalah pesan dari Riska. Namun, harapan itu selalu pupus. Ponselku tergeletak di mejaku, tanpa satu pesan pun dari Riska.

Dua hari yang lalu, aku dan Linda melaporkan kehilangan Riska dan Heri kepada polisi secara resmi. Saat memberikan keterangan kepada petugas, aku berkisah tentang kecurigaanku kalau kepergian pasangan suami istri tersebut memiliki kaitan dengan kelompok berbahaya. Satu-satunya bukti yang aku miliki adalah momen ketika aku ditodong pistol oleh seseorang yang sepertinya terkait dengan kejadian itu di rumah Riska dan Heri. Meskipun telah memberikan laporan kepada polisi, sepertinya upaya pencarian untuk menemukan Riska dan Heri belum membuahkan hasil.

Aku memutuskan untuk percayakan semuanya pada polisi. Sungguh, kasus ini terlalu rumit dan berbahaya bagi aku untuk melibatkan diri secara langsung. Aku tak ingin risiko lebih banyak masalah atau membahayakan diriku sendiri. Oleh karena itu, langkah terbaik adalah memberikan informasi dan kepercayaan pada aparat kepolisian. Sambil menunggu, aku berharap agar mereka segera mengungkap misteri di balik hilangnya kedua sahabatku itu.

Akhirnya, aku memutuskan untuk menyibukkan diri agar pikiranku tidak terus terfokus pada kepergian Riska dan Heri. Aku tahu bahwa terus meratapi kepergian mereka hanya akan membuatku semakin tertekan. Sejak itu, aku mencoba menemukan cara untuk menjaga pikiran tetap sibuk. Aku mulai memberikan perhatian lebih pada pekerjaanku dan tiba-tiba merasa lebih ada motivasi untuk menyelesaikannya. Aku beraktivitas seperti biasa, menjalani rutinitas harian tanpa terlalu banyak berpikir tentang kejadian tragis tersebut. Walaupun ada rasa hampa yang masih menyelinap di hatiku, aku berusaha bersikap seolah-olah semuanya normal. Sampai akhirnya, tanpa kusadari, waktu kerja pun usai.

Roda motorku terus berputar, berbelok di setiap tikungan, dan melaju dengan cepat menyusuri jalanan yang ramai. Sekitar satu jam kemudian, aku sampai di rumah. Namun, terkejutlah aku saat melihat saudara sepupuku beserta istrinya sudah berada di rumahku. Tentu saja mereka tertahan di teras rumah. Segera saja aku memarkirkan motor di sisi teras dan langsung menghampiri mereka.

“Kenapa tidak mengabariku dulu?” Tanyaku sedikit kaget sambil menyalami sepupuku yang datang dari Surabaya.

“Tadinya kami akan menginap di hotel, Bas. Tapi kami kecopetan di stasiun kereta. Untung saja Eva menyimpan uang.” Jawab sepupuku sambil tersenyum kecut. Kami pun berjabat erat.

Aku menoleh ke arah istri sepupuku yang bernama Eva, “Kamu tambah cantik saja, Eva.” Godaku sambil menghampiri lalu bersalaman dengannya.

“Gilamu belum sembuh ya …?” Balas Eva sambil tersenyum tipis.

“He he he … Aku gila kalau lihat wanita cantik.” Kataku.

Aku mengajak sepupuku yang bernama Anton dan istrinya masuk ke dalam. Anton adalah anak dari adik ayahku yang tinggal di Surabaya, dan Eva adalah istri Anton yang sebenarnya masih terikat saudara. Kakek Eva adalah adik dari Kakekku dan Anton. Meskipun jarang bertemu, kebersamaan ini selalu membawa kehangatan. Kami pun berkumpul di dapur sambil ngopi dan menikmati pizza yang aku pesan melalui ojeg online. Suasana riang pun tercipta di antara obrolan ringan dan tawa yang menggema di ruangan.

“Aku ada pelatihan seminggu di sini, Bas. Dan Eva ingin ikut bersamaku. Niat kami awalnya ingin tinggal di hotel, tapi dompetku hilang, kayaknya dicopet di stasiun kereta pas turun tadi, masalahnya sebelum turun aku yakin benar dompetku ada di kantong celana.” Jelas Anton sambil geleng-geleng kepala.

“Wah, nasibmu buruk betul. He he he … Tapi emang sih di Jakarta kita harus ekstra berhati-hati, kejahatan sedang merajalela, terutama di tempat-tempat umum seperti stasiun kereta. Banyak pickpocket beraksi di sana.” Kataku ikut prihatin.

"Iya, Bas, nasib memang kadang suka bercanda," ujarnya sambil tersenyum tipis. "Tapi menurutku, bukan hanya di Jakarta, di Surabaya juga lagi marak kejahatan, terutama begal dan perampokan. Aku jadi mikir, pihak keamanan kayaknya gak berdaya menghadapi gelombang kejahatan sekarang ini.”

Eva menanggapi obrolan kami dengan serius, "Bahkan di Surabaya, kejahatan semakin mengkhawatirkan. Aku pernah mendengar beberapa kasus yang sangat mengerikan, seperti begal dan perampokan yang berakhir dengan kekerasan. Aparat keamanan sepertinya memang kewalahan menghadapi banyaknya tindakan kriminal ini. Sekarang orang-orang jahat sangat nekat, tidak segan-segan melukai korbannya bahkan membunuhnya.”

“Kita semua harus lebih waspada. Kejahatan selalu mengintai, dan seringkali memanfaatkan kelengahan kita. Saat ini, tidak hanya di Jakarta atau Surabaya, tapi di mana pun, kita harus ekstra hati-hati. Kita tidak pernah tahu kapan atau di mana kita bisa menjadi sasaran kejahatan." Kataku disambut dengan anggukan kepala mereka.

Di tengah obrolan, Eva tidak bisa menahan rasa kantuknya. Dengan senyum tipis, dia pamit untuk tidur duluan. "Maaf ya, guys, badan ini butuh istirahat sebentar. Sampai jumpa besok pagi," ujarnya sambil mengusap mata yang mulai berat.

Kami berdua mengangguk pengertian, dan aku berkata, "Selamat tidur, Eva."

Eva meresponku dengan cibiran bibir. Aku pun tersenyum melihat tingkahnya. Kini tinggal aku dan Anton yang melanjutkan obrolan. Kami membicarakan segala hal, dari kenangan masa kecil hingga rencana masa depan. Sambil berbincang, aku merasa kantuk mulai menyergap, tapi aku ingin menjaga keseruan obrolan ini. Tanpa pikir panjang, aku membuat kopi lagi untuk menemani obrolan kami berdua.

Anton tersenyum sambil menatapku, "Eh, Bas, ngomong-ngomong, kapan kamu rencana punya istri? Aku melihat banyak teman-teman kita sudah pada settle down, tapi kamu masih enjoy sendiri aja.”

“Aku masih menikmati kehidupan seperti ini. Saat ini, aku belum punya niat untuk punya istri dalam waktu dekat. Aku masih ingin menikmati kebebasan yang aku miliki. Jangankan menikah, pacaran pun tidak terlintas di pikiranku. Aku merasa belum siap untuk terikat oleh suatu komitmen yang serius, dan aku ingin menikmati hidup tanpa ada tekanan dari hubungan yang serius." Aku menyampaikan jawabanku dengan tegas dengan senyum ramah.

“Hei … Apa kamu gak butuh seks?” Tanya Anton dengan mimik lucu.

“He he he … Apa seks bisa didapat dengan pernikahan saja?” Jawabku dengan pertanyaan retoris.

“Hhhhmm … Kamu jajan ya?” Respon Anton sambil menatapku curiga.

“Tidak selalu … Aku bisa mendapatkannya tanpa harus mengeluarkan biaya.” Jawabku santai.

“Kamu penganut paham seks bebas ya?” Tanya Anton.

“Ya, seperti itu lah …” Jawabku sambil menyeruput kopi.

“Sebenarnya, aku ingin seperti kamu, Bas.” Ucap Anton dengan suara lemas.

“Terus masalahnya?” Tanyaku ingin tahu.

“Kamu ini tolol atau bodoh sih? Aku kan sudah menikah?!” Anton berkata agak keras.

“He he he … Aku tahu kalau kamu tidak ingin menyakiti Eva. Kenapa kamu gak ajak dia ikut dengan keinginanmu?” Kataku santai tanpa beban.

“Maksudmu?” Sepertinya Anton ingin kejelasan.

Aku mengangguk serius, "Nton … Sekarang ini banyak pasangan yang menjalani hubungan pasutri dengan cara yang unik. Ada yang terlibat dalam seks bertiga, swinging, atau poliamori. Tapi, syarat utamanya adalah saling jujur dan terbuka antara pasangan. Mungkin, kamu bisa membicarakan hal ini dengan Eva. Mengajaknya untuk masuk ke dalam dunia yang lebih terbuka dan memahami bahwa hubungan pasutri bukan hanya monogami saja.”

“Itu tidak mungkin … Eva sangat membenci itu.” Sambar Anton penuh keyakinan.

“Siapa bilang gak mungkin? Emangnya kamu pernah bicara dengannya tentang hal itu dengan Eva?” Tanyaku.

“Bicara sih belum. Tapi, dia pernah bilang gak akan mau membagiku dengan wanita lain.” Tegas Anton.

“Dia bicara dari sisi egonya. Pastilah dia akan bicara seperti itu. Coba kamu tanya sama dia, apakah dia punya hayalan bercinta dengan pria lain selain kamu?” Kataku.

“Hhhmm … Aku rasa dia tidak akan mau bercinta dengan pria lain …” Gumam Anton sambil geleng-geleng kepala.

“Kamu yakin?” Tanyaku serius.

“Ya.” Jawabnya tegas.

“Mau bertaruh denganku?” Tantangan pun meluncur dari mulutku.

Anton menatapku dengan pandangan terkejut. Tampak dia mengerutkan keningnya seperti sedang berpikir. Beberapa detik kemudian, Anton menyeruput kopinya dengan bahasa tubuh yang gelisah. Aku merasa perlu menjelaskan lebih lanjut atau mungkin mencari cara untuk membuatnya lebih nyaman dengan topik yang baru saja dibicarakan.

Aku memandang Anton dengan serius, "Nton, jika kamu memang menginginkan pernikahan yang lebih terbuka, menurutku, jalan terbaik adalah membicarakannya dengan jujur dengan Eva. Komunikasi terbuka adalah kunci dalam segala hubungan. Ceritakan keinginan dan pandanganmu, dan dengarkan juga apa yang Eva pikirkan dan inginkan. Tapi, jika kamu merasa tidak yakin bisa mempengaruhi Eva atau khawatir bagaimana reaksinya, mungkin kamu bisa memulainya dengan mendorong Eva untuk menjadi terbuka terlebih dahulu. Dorong Eva untuk menyukai dunia yang kamu impikan. Tapi, kalau ada keraguan atau keresahan, mungkin sebaiknya lupakan saja semuanya.”

“Maksud mendorong Eva itu adalah aku dorong dia terjun ke seks bebas?” Tanya Anton melongo.

“Ya.” Jawabku singkat.

“Seperti kataku tadi, dia tidak akan mau.” Respon Anton.

“Bagaimana jika dia mau?” Tanyaku sambil tersenyum.

“Ya, pastinya aku ….” Anton tampak ragu menjawab.

“Hentikan saja niatanmu, Nton … Masalah seperti ini gak boleh ada keraguan. Kalau mau maju harus seratus persen yakin. Jika kamu ragu lebih baik buang jauh-jauh pikiran untuk pernikahan terbuka.” Kataku tegas.

“Baiklah … Aku akan maju. Terus, bagaimana rencanamu?” Tanya Anton.

“Kamu bicarakan keinginanmu itu pada Eva.” Jawabku.

“Aku kan sudah bilang, kalau dia bakal menolak!” Anton melototiku.

“Kalau begitu, aku akan membuat dia mengenal dan menyukai seks bebas. Bagaimana? Kamu setuju gak?” Tanyaku sambil tersenyum.

“Oke, aku setuju.” Jawab Anton.

“Serius ya? Tidak ada penyesalan.” Tegasku lagi.

“Aku serius …” Jawabnya sambil tersenyum.

“Deal ya …” Aku mengajaknya bersalaman.

“Deal …” Anton menjawab yakin sambil menjabat tanganku erat.

“Oke … Sekarang, jawab pertanyaanku dengan sejujur-jujurnya. Kenapa kamu mempunyai keinginan membuat pernikahanmu terbuka?” Tanyaku sembari menyelidik mimik wajahnya.

Anton tertegun dengan pertanyaanku. Wajahnya terlihat tegang namun hanya sesaat, tampak sekali ada kekakuan yang tidak biasa. Jelas sekali aku bisa membaca kalau Anton sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Terlebih saat matanya mencoba menghindari tatapanku, terbersit ketidaknyamanan dalam ekspresinya, menciptakan keheningan yang agak canggung di antara kami.

“Kamu gak perlu menutup-nutupinya. Terus teranglah padaku.” Lanjutku setengah memaksa.

“Aku …” Anton menjeda ucapannya. Tak lama dia mendongak dan menatapku. “Aku punya selingkuhan.” Katanya sangat pelan nyaris tak terdengar.

“He he he … Wajah kayakmu itu gak mungkin setia. Aku sudah bisa memprediksi waktu kamu berkata ingin seperti aku. Dasar bajingan …” Kataku sambil terkekeh ringan.

“Ssssttt … Jangan keras-keras …” Ucap Anton pelan sambil menempelkan telunjuk di bibirnya.

“He he he …” Aku terus tertawa ringan lalu meneguk kopiku yang mulai menghangat.

Tanpa diminta, Anton bercerita tentang perselingkuhannya padaku dengan suara pelan. Ia memiliki hubungan dekat dengan tiga wanita, yang semuanya adalah mahasiswi dari universitas yang berbeda. Anton mengakui bahwa ia yang membiayai kehidupan ketiga wanita tersebut. Ia menjelaskan bahwa ketika ia menyebutkan 'ingin sepertiku,' maksudnya adalah bisa berselingkuh tanpa harus mengeluarkan biaya.

“Menurutku tidak apa-apa mengeluarkan biaya untuk mereka. Ya, anggap saja sedang menolong kehidupan mereka. Lagi pula, kamu kan banyak duit. Membiayai mereka bertiga aku pikir bukan masalah bagimu.” Kataku mencandainya.

“Sialan … Lama-lama aku bobol juga … Bahkan aku ingin lepas dari mereka dan mencari pengganti yang gratisan.” Ungkapnya.

Aku pun terkekeh lagi lalu melanjutkan obrolan dengan tema yang lain. Kami beralih ke topik-topik yang lebih ringan, menggali kenangan lucu dari masa lalu dan berbagi pengalaman seru. Obrolan kami semakin seru sampai lupa waktu, seolah waktu berlari dengan cepat tanpa kami sadari. Kami tersadar saat malam mencapai pertengahan, kemudian kami memutuskan untuk menghentikan obrolan dan pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat.

********



RISKA POV



Pasrah bukan berarti tidak senang. Saat aku memutuskan untuk mengikuti arus kehidupan, aku menemukan bahwa kepasrahan ini seakan membuka pintu menuju kesenangan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kehidupan baruku penuh dengan keajaiban, seolah-olah aku terlempar ke dalam dunia yang berbeda. Aku merasa seperti hidup di negeri dongeng, menjauh dari realitas yang selama ini kukenal. Ya, aku tak lagi merasa berada di dunia yang sama. Seakan-akan aku telah menjadi permaisuri dalam cerita yang indah. Tinggal di istana megah membuat hatiku nyaman, dan aku dikelilingi oleh perlakuan hangat dari orang-orang di sekitar, terutama oleh persaudaraan akrab antara para selir Burhan. Setiap hariku diisi dengan kebahagiaan yang melimpah, dan aku bersyukur karena kepasrahanku membuka pintu menuju kehidupan yang begitu luar biasa.

Saat ini Burhan sedang berada di atas tubuhku yang telanjang. Kejantanannya sedang aku manjakan oleh remasan-remasan dinding lorong cintaku. Aku merasa getaran birahi, dan tanpa ragu, aku memutuskan untuk ikut bergoyang mencari kenikmatan. Aku melayaninya dengan sepenuh hati, memanjakan dia dengan kata-kata rayuan yang membuatnya tersenyum dengan penuh kebahagiaan. Erangan kenikmatan dari mulut Burhan yang disertai dengan semburan spermanya di dalam rahimku adalah tanda Burhan telah mencapai kenikmatan puncak. Dia menyetubuhiku dalam dua ronde yang sangat panas. Aku sampai orgasme dua kali dan dia mengalami ejakulasi ganda.

Burhan turun dari tubuhku lalu berbaring terlentang dengan napas yang terengah-engah, sementara aku pun masih menikmati sisa-sisa orgasmeku. Beberapa saat kemudian, aku bergerak meletakkan kepalaku di atas dadanya yang berbulu lebat. Tangan laki-laki yang awalnya aku benci ini mengusap-usap rambutku dengan lembut. Ternyata usapan lembutnya itu membuatku terhanyut dan sadar kalau aku sekarang terikat secara emosional dengan laki-laki yang baru saja menyetubuhiku ini.

“Sayang … Boleh aku bertanya?” Kataku hati-hati.

“Mau tanya apa?” Ucapnya dengan lembut.

“Bagaimana nasib Heri?” Tanyaku.

“Kenapa kamu masih memikirkan dia?” Burhan malah balik bertanya.

“Oh tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu saja.” Jawabku sejujur-jujurnya. Tentu saja aku sudah tidak peduli lagi pada orang yang telah menipu dan mengkhianatiku.

“Aku sudah membuangnya ke daratan China. Aku juga tidak tahu nasibnya seperti apa sekarang. Mungkin saja sudah mati diambil ginjalnya.” Jawab Burhan ringan dan membuatku tersenyum.

“Padahal seharusnya aku yang membunuhnya.” Candaku.

“He he he … Aku senang kamu bicara seperti itu.” Katanya sambil mengangkat kepalaku hingga dia bisa menatap mataku. “Kamu harus belajar jadi raja tega. Kamu harus belajar menjadi wanita yang keras, karena dunia kita adalah dunia yang penuh kekerasan.” Lanjutnya.

“Ya … Aku tahu …” Jawabku.

“Bagus … Sekarang, menyingkirlah. Aku harus mengurus sesuatu.” Katanya.

Aku lantas bangkit lalu turun dari tempat tidur. Aku berjalan dengan tubuh telanjang ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sejenak aku melihat jam di dinding yang telah menunjukkan pukul dua belas malam. Di dalam kamar mandi, kusambut hangatnya air yang mengalir dari shower. Aku membiarkan diriku terendam dalam sensasi menyegarkan, membiarkan air mengalir melalui tubuhku. Setelah puas membersihkan diri, aku mengelap tubuh dengan handuk lalu mengenakan kaos lembut serta celana panjang katun. Aku pun bersisir dan merias sedikit wajahku. Setelah itu, melangkah keluar dari dalam kamar tidur, dengan perasaan segar dan siap menghadapi malam yang masih panjang.

Di istana ini, kehidupan yang sesungguhnya ada di malam hari. Siang hari biasa dihabiskan untuk beristirahat. Dan ini adalah kebiasaan yang terjadi di istana ini. Saat matahari terbenam, istana berubah menjadi dunia yang berbeda. Cahaya temaram lampu-lampu memberikan sentuhan pada lorong-lorong yang sepi di siang hari. Malam adalah waktu ketika setiap sudut istana menjadi tempat pertemuan di antara para penghuni istana.

Aku memutuskan untuk menyusuri lorong-lorong tersebut, berniat mengunjungi kamar Sinta. Langkahku terdengar seperti bisikan di antara tembok istana yang megah. Saat aku mendekati kamar Sinta, tiba-tiba pintu itu terbuka, dan Sinta muncul dari dalam kamarnya. Aku terkejut ketika melihat Sinta membawa sebuah pistol, membuat dadaku berdebar-debar.

"Hi hi hi … Gak usah khawatir, Riska," ucap Sinta sambil terkikik. "Aku hanya akan latihan menembak di belakang istana."

“Huufffttt … Aku kira ada apa?” Aku menelan ludah, tetapi kemudian mengangguk mengerti.

“Kamu mau ikut?” Ajak Sinta.

“Boleh.” Jawabku bersemangat.

Bersama-sama, kami melangkah menuju ke belakang istana, di mana area pelatihan menembak terletak. Area pelatihan menembak tempatku dan Sinta sekarang ini dikelilingi oleh pepohonan yang menjulang tinggi dan menciptakan dinding alami yang melindungi dari pandangan mata. Terbuka luas, area ini dilapisi dengan rumput hijau yang lembut. Di tengah area, terdapat lintasan tembak yang telah dipersiapkan dengan sasaran yang tersebar. Sebuah meja kayu yang kokoh berfungsi sebagai tempat penempatan senjata dan amunisi. Lampu-lampu dipasang di sekitar area, memberikan penerangan yang sangat baik untuk melihat dengan jelas. Cahaya lintasan tembak yang kami tempuh bersumber dari lampu-lampu yang dipasang di sekitar area, menciptakan siluet senjata dan sasaran yang tersebar di sepanjang jalur.

Seorang instruktur handal bernama Gunawan, seorang yang berpengalaman dalam seni menembak, menjadi panduan kami dalam latihan malam ini. Dengan tekun, kami mendengarkan setiap petunjuk yang diberikan Gunawan. Dia menjelaskan dengan jelas tentang teknik menembak yang baik, cara memegang senjata dengan benar, dan pentingnya konsentrasi saat menembak. Kami berdua berlatih di bawah bimbingan ketat Gunawan. Setiap tembakan yang kami lakukan menghasilkan dentuman kecil dan riuh ketika peluru menghantam sasaran. Suasana di area pelatihan penuh dengan aura fokus dan ketegangan, namun juga disertai semangat untuk meningkatkan keterampilan.

Awalnya, pegangan pistol terasa asing di tanganku, dan setiap petunjuk dari Gunawan menjadi kunci pembuka dunia baru ini. Dengan penuh ketekunan, aku memperhatikan setiap detail teknik yang diajarkan Gunawan. Saat menahan napas dan menarik pelatuk, getaran kecil dari pistol menyentuh tanganku, memberikan sensasi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Suasana pelatihan semakin intens, dan setiap tembakan yang aku lakukan membawa nuansa kegembiraan dan semangat membara. Meski belum sempurna, ada momen bahagia ketika salah satu peluru yang aku tembakkan mengenai tepat sasaran. Senyuman tak terbendung muncul di wajahku, karena kegembiraan dan rasa puas mengalir dalam diri.

“Gile bener … Baru pertama pegang pistol udah bisa tepat!” Puji Sinta sambil tersenyum.

“Kebeneran kali … Hi hi hi …” Kataku merendah.

“Coba sekali lagi.” Perintah Gunawan. “Fokus …” Katanya lagi.

Aku kembali mengangkat pistol, fokusku terkonsentrasi sepenuhnya pada sasaran di depanku. Nafasku tenang, dan tanganku mantap saat aku menarik pelatuk dengan penuh keyakinan. Suara letusan kecil memecah keheningan malam, dan ketika mataku mengikuti jalannya peluru, sebuah kebahagiaan meluap ketika aku menyaksikan peluruku tepat menghantam sasaran. Wajahku seketika terang benderang oleh senyum kemenangan.

“Yes!!!” Aku memekik sambil melompat-lompat.

“Gila ya kamu? Kok bisa?” Sinta jadi terheran-heran.

Gunawan tersenyum penuh apresiasi padaku. Dengan suara penuh keyakinan, ia berkata, "Hebat sekali, Riska. Kamu memiliki talenta yang luar biasa dalam menembak. Cara kamu mengontrol dan memposisikan diri, serta akurasi tembakanmu, sungguh menunjukkan potensi yang luar biasa. Aku yakin, dengan latihan yang terus-menerus, kamu bisa mengembangkan kemampuan ini menjadi sesuatu yang benar-benar istimewa.”

“Wow! Kamu dipuji sama orang yang tidak pernah memujiku.” Seru Sinta sambil mendelik pada Gunawan dengan memanyunkan bibirnya.

“Kamu sudah berbulan-bulan latihan. Tapi, aku tak pernah melihat kamu menembak tepat sasaran.” Jelas Gunawan menambah kerucut bibir Sinta.

Aku dan Sinta menyudahi latihan kami dengan rasa puas di hatiku. Rasanya aneh, tapi memuaskan ketika menyadari bahwa aku bisa mengalahkan Sinta yang sudah berlatih berbulan-bulan. Selama ini, aku hanya melihat senjata sebagai benda dingin, tapi ternyata, aku jadi sangat menyukai menembak. Sensasi saat menarik pelatuk dan mendengar letusan kecil peluru memberikan adrenalin yang menyenangkan.

Setelah latihan, aku dan Sinta bersama-sama istirahat di bar mini yang terletak di dalam istana. Kami berdua duduk di meja kecil, memesan dua gelas coke ditambah Rum pada pelayan. Sejenak, kami menikmati kesuksesan latihan sambil tertawa dan bercerita tentang pengalaman masing-masing. Semakin lama, aku semakin yakin bahwa menembak bukan hanya sekadar keterampilan fisik, tetapi juga mengandung keindahan dan tantangan yang membuat hati terpukau.

"Tadi kamu keren banget, Ris! Aku nggak nyangka kamu bisa begitu?" Ucap Sinta lalu menyesap minumannya.

“Aneh juga sih, tapi asik banget ternyata.” Kataku.

Sinta manggut-manggut, "Kamu punya bakat, loh, Ris. Tadi berasa banget semangatmu waktu nembak. Sepertinya kamu akan menyukai senjata.”

Aku menjawab sambil tersenyum, "Sebenarnya sebelum ini, aku buta banget sama yang namanya pistol. Tapi tadi, pas latihan, kok aku merasa nemu sesuatu yang bikin hidup jadi lebih greget. Sebenarnya aneh juga sih.”

Sinta tersenyum, "Nggak aneh, Ris. Setiap orang punya cara unik untuk mengekspresikan diri, dan sepertinya menembak adalah cara bagimu. Aku yakin kamu akan semakin menyukainya.”

“Hai girls …” Tiba-tiba Ratna datang dan langsung bergabung. Ratna juga sama sepertiku, dia salah satu selir Burhan.

“Dari mana kamu? Seharian gak ada di rumah.” Ujar Sinta sambil meninju pelan bahu Ratna.

Tiba-tiba Ratna mengambil minumanku dari tanganku lalu meneguknya, “Aaahh … Seger …”

“Dari mana kamu?” Tanyaku pada Ratna.

“Nengok anak …” Jawabnya santai.

“Anak?” Aku terperangah mendengar ucapan Ratna.

“Dia belum tahu …” Ucap Sinta sambil tersenyum.

“Aku punya anak, Ris. Aku dibuntingin Burhan waktu aku pertama kali ke sini.” Ungkap Ratna tanpa beban.

“Oh …” Tiba-tiba aku memegang perutku.

“Hhhmm … Kamu gak minum pil ya waktu digenjot Burhan?” Tanya Sinta sambil tersenyum.

“Ng..ngak …” Jawabku pura-pura panik.

“Ya, sudah … Pasti tuh perutmu isi.” Ucap Sinta sambil tersenyum.

“Ah … Terus gimana dong?” Aku terus berdrama pura-pura panik.

“Tenang aja … Burhan mau ngurus kok … Anak-anak kami di sekolahin di Singapura.” Jawab Sinta.

“Apa kamu juga punya anak dari Burhan?” Tanyaku pada Sinta.

“Ya, umurnya empat tahun. Tapi, Burhan langsung bawa anakku ke Singapura waktu masih bayi merah. Anakku juga anak Ratna diasuh sama orang Singapura dari bayi merah. Tapi kita bebas nengokin anak-anak kita kapan saja kalau kami mau.” Jelas Sinta.

“Apa Neti dan Firda juga punya anak?” Tanyaku lagi.

“Ya, Firda malah punya dua. Semuanya dikumpulin di Singapura.” Kini Ratna yang menjawab.

“Kenapa Burhan menyimpan anak-anaknya di Singapura?” Tanyaku ingin tahu.

“Hi hi hi … Burhan hanya suka bikin anak, tapi gak suka sama anak-anak.” Jawab Ratna.

Aku termenung memikirkan anakku yang ada dalam perutku. Rasa haru dan cemas bercampur aduk di dalam hatiku. Ini bukan anak Burhan, tetapi aku harus menyembunyikan darinya. Takdir memaksa aku untuk mempertahankan rahasia ini. Mau tak mau, aku harus melakukan itu. Jelas aku tak ingin mengambil risiko jika Burhan tahu kalau anak dalam perutku ini bukan anaknya. Aku sangat sadar keputusan ini harus kuambil, jika tidak, bisa merusak hubungan yang sudah terjalin baik ini. Di sisi lain, aku merasa punya tanggung jawab untuk melindungi anak yang sedang tumbuh di dalam rahimku.

“Hei … Sudah … Jangan dipikirkan … Lebih baik kita ke ruang senang-senang yuk!” Ajak Ratna sembari menepuk lenganku.

“Em, aku baru saja dicoblos Burhan …” Jawabku sedikit enggan.

“Ah … Dicoblos lagi kan gak apa-apa. Ayo ah!” Ratna memaksa sambil menarik tanganku.

“Ayo! Berangkat!” Ucap Sinta sambil berdiri.

Aku terpaksa mengikuti Sinta dan Ratna. Ruang senang-senang adalah ruangan untuk para penghuni istana yang ingin berhubungan seks dengan siapa saja, yang ada di ruangan itu, namun tak ada paksaan harus berdasarkan suka sama suka. Aku berjalan diapit Ratna dan Sinta, hanya butuh dua menit bagi kami untuk sampai di ruangan cabul tersebut. Sebelum masuk ke ruang utama, setiap orang harus melepaskan pakaian hingga telanjang. Aku merasa agak canggung saat melepaskan pakaian karena aku pertama kalinya memasuki ruangan ini. Namun, aku berusaha menutupi rasa ragu dan melangkah menuju dunia yang begitu baru dan asing bagiku.

Akhirnya, langkahku memasuki ruangan utama, dan mataku langsung terbuka lebar melihat begitu banyak orang di sini yang semuanya telanjang. Aku memperkirakan lebih dari dua puluh orang berada di ruangan ini. Sejujurnya, aku tidak pernah membayangkan sebanyak ini yang hadir, dan yang lebih mengejutkan, mayoritas dari mereka adalah laki-laki.

Beriringan dengan Ratna dan Sinta, aku melewati beberapa pasangan yang tengah asyik bersenggama. Tubuh-tubuh mereka lengket satu sama lain dengan desahan dan erangan yang menggema bercampur dengan suara obrolan. Aku terperangah saat melihat seorang wanita dikerubuti oleh empat orang laki-laki. Mulut dan vaginanya terjejali oleh penis sementara dua penis lainnya berada dalam genggaman tangan si wanita. Sejenak, aku tertegun, mencoba memahami situasi di depan mataku. Si wanita, bagaimana pun juga, tampak sangat menikmati momen yang sedang dia rasakan.

Saat ini, mataku disuguhi adegan-adegan yang membuat darahku menghangat. Detak jantungku ikut bergetar seiring setiap momen yang terjadi di hadapanku. Sel-sel di tubuhku seakan berteriak-teriak, menginginkan dari apa yang kujumpai di depan mata. Suasana begitu seksi, dan kesenangan tampak menyelimuti setiap sudut tempat ini. Aku terhanyut dalam arus perasaan, seolah menjadi bagian dari keadaan yang sedang terjadi. Birahiku mengalir begitu kuat, menghadirkan keinginan bercinta yang luar biasa di dalam diriku.

Aku melanjutkan langkahku menuju Ratna dan Sinta yang tengah duduk di sebuah sofa besar di ujung timur ruangan. Namun, anehnya, kehadiranku sepertinya tidak menarik perhatian banyak orang di sekitar. Mereka tampak tidak begitu mempedulikan kehadiranku. Hanya beberapa yang memberikan anggukan dan senyuman, sementara kebanyakan tetap asyik dengan urusan masing-masing. Setelah beberapa langkah, aku tiba di sofa yang diduduki Ratna dan Sinta. Suasana ruangan ini dipenuhi dengan nuansa ketelanjangan juga terasa sangat sensual.

“Ramai sekali …” Kataku sambil duduk di sisi Sinta.

“Sepertinya ada yang sedang ulang tahun atau acara apa …” Ucap Ratna.

“Ya … Ini sedang ada acara.” Sambut Sinta,

“Ah … Aku sudah gatel …” Tiba-tiba Sinta berdiri dan berjalan mengarah ke tengah ruangan.

Aku memperhatikan Sinta yang tengah berbincang-bincang dengan dua orang pria yang kelihatannya kembar. Percakapan mereka penuh dengan keceriaan, dan tawa mereka menciptakan riuh rendah di ruangan yang semakin ramai. Sejenak, aku hanya mengamati dari kejauhan, hingga aku melihat pria kembar itu mendekati sofa tempat aku bersama Ratna duduk. Tak berapa lama, kehadiran mereka semakin mendekat. Saat mereka tiba di dekat kami, aku merasakan kejutan ketika si kembar dengan penis yang juga kembar tiba-tiba mengapit diriku. Sorot mata mereka penuh kegembiraan, dan senyuman ramah terpampang di wajah keduanya.

“Kami akan melayani tuan putri.” Salah satu si kembar berkata padaku.

“Eh … Oh …” Aku tiba-tiba saja gugup bukan main.

“Sudah … Bawa sana …!” Aku terkejut lagi saat Ratna berbicara keras kepada si kembar.

“Mari tuan putri …” Ajak si kembar di sebelah kiriku sambil mengulurkan tangan.

“Se..sebentar … Kita bahkan belum saling kenal.” Kataku sambil berusaha menghilangkan kegugupanku.

“Saya Emil …” Sahut si kembar sebelah kiri.

“Saya Eril …” Kata si kembar yang satunya.

“Riska …” Kataku sembari menengok ke kiri dan kanan bergantian.

“Perkenalannya nanti di tempat tidur. Buat dia mabuk anak-anak.” Ucap Ratna lagi.

“Jangan khawatir Tuan Putri Ratna … Saya akan service Tuan Putri Riska sebaik-baiknya.” Kata Emil sambil tersenyum pada Ratna.

“Bagaimana Tuan Putri Riska?” Tanya Eril lagi sambil sekali lagi mengulurkan tangannya.

“Ayo Ris … Pergilah …” Ucap Ratna menyemangatiku.

“Baiklah.” Akhirnya aku setuju walau agak malu.

“Apakah tuan putri ingin di sini? Atau tempat yang tersembunyi?” Kini Eril bertanya padaku.

“Em …” Aku ragu.

“Kita sebaiknya di tempat tidur. Nanti kalau sudah terbiasa, kita bisa melakukannya di tengah ruangan.” Ajak Emil bijak.

Aku pun mengangguk tanda setuju dengan ucapan Emil. Si kembar, Emil dan Eril, membawaku ke sudut ruangan yang tak jauh dari posisi semula. Aku melihat di sana terdapat tempat tidur besar dengan tirai. Kami bertiga naik ke atas tempat tidur itu, lalu Eril menutup tirai agar aktivitas kami tak terlihat oleh orang lain. Aku menyukai si kembar ini, sehingga aku merasa tidak keberatan saat keduanya mulai menggerayangi tubuhku.

Emil dan Eril tahu persis apa yang harus mereka lakukan. Aku adalah anggota baru yang sudah sangat pasti masih canggung dengan suasana yang baru aku rasakan ini. Secara perlahan dan lembut, si kembar menyapa payudaraku dengan tangan-tangan mereka. Emil dan Eril pun langsung melontarkan berbagai pujian dan rayuan kepadaku yang telanjang bulat. Tak ayal, pujian dan rayuan itu sangat mengena di hatiku. Aku benar-benar merasa tersanjung dan juga horny.

“Tuan putri sungguh luar biasa. Aku yakin banyak laki-laki yang mengantri untuk bersenang-senang dengan tuan putri.” Ujar Eril sembari membelai payudara kiriku.

“Kamu bisa saja.” Balasku sambil tersenyum.

“Aku berjanji. Pengalaman pertama tuan putri di klub ini, akan membuat tuan putri semakin betah berada di sini.” Kata Emil yang sedang membelai payudara sebelah kananku.

Aku dengan sangat jelas melihat penis Emil sudah sangat tegang dan mencuat ke atas. Tangan kananku dibimbing Emil untuk memegang senjata andalannya itu. Aku pun secara reflek memijat dan meremas-remas penisnya dengan gemas. Sementara itu, Eril di sebelah lain mengambil daguku dengan lembut. Tak lama, kami berciuman penuh nafsu. Dikerubuti oleh dua pria tampan ini, aku merasa gairah birahiku semakin menguat dengan cepat.

Emil dan Eril akhirnya membaringkan aku di tengah-tengah mereka. Tangan dan lidah nakal si kembar mulai menyapu tubuh molekku. Kedua pria itu lalu memelukku dari kedua sisi agar mereka bisa saling berbagi kehangatan. Kulit dan suhu tubuh kedua pria itu ternyata semakin membuatku terlena oleh gairahku sendiri. Aku berada di pelukan Eril, sementara Emil memeluk perutku dari belakang. Dan di saat si kembar tidak bisa menahan libidonya untuk segera menyetubuhiku, aku membiarkan kedua pria itu melakukan apapun terhadap tubuhku.

Aku merasakan Emil meraba dan meremas payudaraku. Rasa nikmat langsung menjalar di sekujur tubuhku. Masih menikmati pijatan Emil di payudara, tiba-tiba Eril mendekatkan bibir dan menciumi bibirku lagi, memasukkan lidahnya ke dalam rongga mulutku, dan menjilati setiap jengkal ruang di sana. Jantungku berdebar kuat merasakan dua rangsangan dari depan dan belakang. Belum lama menikmati semua kenikmatan itu, tangan Emil yang satu lagi menjamah klitorisku dan menggosoknya perlahan.

"Sudah hangat?" Tanya Eril di sela-sela ciuman. Aku pun mengangguk. Sementara itu, Emil semakin maju dan menambahkan getaran kuat pada vaginaku untuk memberikan stimulasi.

“Apakah tuan putri pernah merasakan threesome?” Tanya Eril.

“Belum …” Lirihku setengah berbohong. Aku sebenarnya memang tidak pernah Threesome hanya saja aku pernah melayani dua orang dalam waktu yang tidak terlalu lama secara bergantian.

"Bagaimana rasa threesome pertama tuan putri?" Tanya Eril lagi.

Kali ini aku menjawab dengan setengah mendesah, “Luar biasa.”

Menyadariku yang sudah sangat basah, Eril seperti tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Sementara jari Emil masih setia mengaduk klitorisku, Eril memasukkan jarinya ke dalamku untuk mengecek kedalaman vaginaku.

"Mau merasakan surga?" Tanya Eril lagi dan aku pun mengangguk setengah sadar.

Eril mengocok vaginaku tepat di g-spotnya dengan seksama. Aku memaksakan diri untuk mengangkat paha lebar-lebar agar Eril dan Emil bisa leluasa membuat rangsangan pada vaginaku yang terbuka. Emil menggosok klitoris dan terus meremas payudaraku. Sementara Eril memberikan getaran stimulus pada vaginaku.

Pelumasku mengguyur begitu cepat dan vaginaku sangat berdenyut-denyut. Vaginaku menjadi jauh lebih basah. Telapak tangan Emil yang menggosok vaginaku membuat birahiku semakin memuncak. Eril tersenyum melihat keadaanku yang mulai tersiksa. Basah, licin, berkeringat, terengah-engah, dan bersemu merah. Eril mengocok vaginaku kuat-kuat, sementara Emil memijat payudaraku yang mengeras dengan sensual, mereka terus memberikan memberi sensasi nikmat pada tubuhku.

"Apakah vagina tuan putri sudah mulai merasakan enak?" Tanya Eril kembali dengan lembut. Aku mengangguk lemah.

Dengan pandangan sayu, aku melihat keadaanku yang mengkilat oleh keringat deras. Seluruh tubuhku basah oleh keringat, dan tempat tidur kami pun menjadi basah. Terengah-engah, aku merasakan kelelahan, tetapi juga gairah yang membara. Payudaraku mengeras, dan otot perutku menegang. Eril memijat salah satu puncak payudaraku, mengatakan bahwa itu terasa sangat keras. Dia meremas gunung payudaraku yang lain sambil menghisap ujungnya dengan kuat. Keduanya terus memberikan rangsangan dengan telapak tangan lihai dan lidah basah mereka. Desahan-desahan kenikmatan keluar dari bibirku, merasakan puncak kenikmatan yang teramat besar.

Dengan lembut, Eril memutar tubuhku sehingga sekarang dia bisa memelukku dari belakang. Eril semakin menarikku ke dalam pelukannya. Salah satu tangannya meremas payudaraku dari belakang, menggesek-gesekkan ujung jarinya ke putingku. Lidahnya turun untuk menelusuri leherku, menjilati sambil menghisap ceruk pundakku. Saat itu juga, Emil membuka pahaku lebar-lebar, mengundang Eril untuk mendekat. Segala kenikmatan yang diberikan oleh mereka berdua membuatku tidak sadar bahwa kini penis tegang Eril sudah berada di antara kedua kakiku.

"Masukin brother ..." Perintah Emil pada adiknya.

Dengan bantuan Emil membuka pahaku lebar-lebar, Eril mulai melakukan penetrasi ke dalam vaginaku. "Ahn!" Dorongan kuat itu bahkan mampu membuat tubuhku terdorong ke atas. Di saat yang sama, remasan tangan Eril di payudaraku semakin kuat. Aku merasakan penis Eril perlahan-lahan tenggelam ke dalam lipatan ketatku yang basah, menimbulkan sensasi yang sangat nikmat di dalam sana. Eril memelukku kian erat dari belakang.

Melihat Eril yang kini memberikan penetrasi mematikan pada tubuhku, membuat Emil tidak tinggal diam. Ia membawa ibu jarinya pada klitorisku yang kini nampak membengkak, membawa jeritanku ke udara. Kami bertiga semakin tenggelam dalam kenikmatan. Terlebih lagi, aku mendapatkan genjotan ritmik dari Eril, serta mendapatkan rangsangan stimulus di payudara dan klitoris secara bersamaan.

Aku merasakan Eril mengatur posisinya, memandu pinggulnya agar mampu mendorong lebih dalam. "Angh … Eril." Aku memekik dalam kenikmatan.

Aku merasakan Emil mengombinasikan kecepatan hentakan Eril dengan jari di klitorisku. Dia sangat tidak sabar ingin membuatku mencapai orgasme. Dan akhirnya, puncak kenikmatan itu datang, dan pahaku bergetar hebat. Pandanganku sempat gelap untuk seketika. Aku mengerahkan tenaga untuk menyemburkan seluruh pelumas kenikmatanku. Eril berhasil membuatku orgasme. Rasanya sangat kuat, dan tubuhku menjadi sangat lelah.

Kurasakan Eril dengan sigap mengeluarkan penisnya dari dalam vaginaku, dan tak kalah sigap, Emil langsung menciumi dan menjilati vaginaku. Seluruh tubuhku menegang oleh gempuran birahi yang memuncak. Aku bisa mendengar bunyi kecipak nyaring yang ditimbulkan lidah Emil pada vaginaku. Mataku terpejam erat, vaginaku pun berdenyut-denyut ketika lidah Emil menerobos paksa membelah lipatan licinku. Tubuhku yang malang mendapatkan stimulus tanpa henti dari Eril dan Emil membuat cairan orgasmeku tidak mau berhenti keluar dari dalam sana. Pada akhirnya, tubuhku hanya bisa bergetar di luar kendali. Tubuhku basah kuyup, bergetar oleh deraan banyaknya orgasme yang aku rasakan.

Emil dan Eril berhenti mengerjaiku. Aku bisa istirahat dan mengatur nafas sejenak meredakan gejolak nikmat yang masih aku rasakan. Keduanya dengan sabar mengusap tubuhku yang basah dengan handuk kecil sehingga tubuhku terasa siap kembali untuk mendapatkan perlakuan mereka lagi.

“Apakah tuan putri sudah siap?” Tanya Emil lemah lembut dan kujawab dengan anggukan kepala.

Kini Emil menggahiku dengan posisi berjongkok di antara kedua pahaku dengan kedua tangannya memegang kakiku dan merentangkannya lebar-lebar. Penisnya yang tajam keluar masuk dalam diriku yang membuatku melayang-layang. Jika seks yang ditawarkan Eril adalah seks liar menggebu-gebu dengan genjotan cepat dan terburu-buru, maka seks yang diberikan Emil adalah seks konstan dan stabil, pelan namun pasti. Tepat mengenai pusat kenikmatanku.

"I..ingin kencing..." Desahku sangat pelan dan kepayahan.

Emil tidak berhenti. Pinggul Emil kian cepat dan tidak memberikan aku istirahat. Pinggul berotot itu terus melesak maju mundur dengan kekuatan penuh menuju dua pahaku yang terbuka, menimbulkan bunyi tamparan daging basah berkali-kali.

"Aangh... Ingin kencing ..." Rintihku lagi yang tak berhenti didera kenikmatan.

Emil semakin mempercepat tempo permainannya. Kepalaku seakan-akan meledak saat gelombang listrik mengejutkan seluruh tubuhku. "A-aku akan ... ahh... " Kandung kemihku serasa akan pecah.

"Sekarang, Eril." Aku mash bisa mendengar perintah Emil.

Eril segera mengocoki klitorisku di saat aku akan mengalami orgasme yang kesekian kalinya. Emil pun langsung memajukan tubuhnya hingga membuat pinggulku semakin terdorong ke belakang. Kakiku mengejang kuat-kuat. Aku mencengkram seprei di atas kepalaku sekuat tenaga, hingga buku-buku jariku memutih.

"Emil …!" Aku merintih nikmat.

Gerakan mereka kian cepat. Emil sama sekali tidak menurunkan kecepatannya. Mereka berdua mengabaikan jeritanku yang terdesah. "Dia akan orgasme lagi, Emil." Ucap Eril memberi kode pada kakaknya.

Vaginaku mengeluarkan bunyi basah, dan Emil tetap mempertahankan kecepatannya. Aku merasakan pinggulku terseret maju mundur saat kejantanan Emil tertancap mantap di sana. Gerakan Emil memang benar-benar hebat.

"Jangan menghentikan jarimu, Eril." Perintah Emil lagi.

Menyadari bahwa mereka berdua bersama-sama sedang berusaha membuat aku orgasme kembali, aku mulai menjerit-jerit. Emil mengatur posisi pinggulnya agar mampu mendorong lebih dalam. Eril mengabaikan jeritanku yang meminta berhenti, karena tubuhku tidak berbohong. Payudaraku masih sekeras batu, pelumasku semakin licin, dan vaginaku berdenyut-denyut cepat. Eril semakin menggoyangkan klitorisku tanpa jeda. Kedua tangan Emil berada di pinggulku untuk mempertahankan ritme. Aku berusaha mendorong dadanya ke udara dan meminta berhenti. Eril mengombinasikan kecepatan jarinya dengan hujaman Emil di vaginaku. Penis besar itu terlihat tidak sabar ingin membuat aku orgasme.

Eril memijat salah satu puncak payudaraku yang membengkak. "Ereksi tuan putri sangat keras."

"Apa ini nikmat, tuan putri?"

Merasakan seluruh tubuhku dijamah oleh dua orang kembar tampan yang semangat membuatku gemetar di luar kendali.

"I-ini ... thh-terlalu ... nikmat ... " Kedua tanganku pun bergerak-gerak di luar kendali.

"Tuan putri pasti bisa bertahan." Mendengar suara bisikan Eril di sebelah telingaku membuat perutku mengejang. Kepalaku terguncang ke belakang dan wajahku memanas. Dadaku semakin sesak. Payudaraku menegang sekeras kepalan tangan. Payudaraku yang ereksi terus dipijat oleh tangan besar Eril, sementara klitorisku digosok dengan sangat laju. Penis Emil semakin terbanting-banting laju menggiling dinding vaginaku.

"Vagina tuan putri benar-benar sangat basah sekarang, Emil. Aku yakin sekarang dia tengah mengalami orgasme." Ujar Eril.

Melihat sosok Emil yang tengah menyetubuhiku dengan perkasa dan Eril yang kini menggosok klitorisku dengan cepat, aku tak mampu berpikir jernih lagi. Jika orang normal mampu mengalami orgasme selama beberapa puluh detik saja, maka aku sudah tidak tahu berapa lama orgasmeku berlangsung di bawah sana. Mungkin tiga menit. Atau mungkin sudah sepuluh menit. Yang aku ingat hanyalah orgasme itu tidak berhenti.

"Jangan berhenti, Emil." Itu adalah kata-kata terakhir Eril yang aku ingat.

Aku benar-benar tenggelam dalam lautan kenikmatan yang tiada tara. Emil dan Eril telah membawa diriku jauh ke dalam alam rasa yang luar biasa. Tubuhku terasa ringan, seolah melayang di atas awan-awan sutra. Seketika, seluruh indera terpana oleh sensasi yang mengalir memenuhi setiap serat jiwaku. Detak jantungku seakan menari mengikuti irama kegembiraan yang melonjak-lonjak. Aku tak mampu menahan gejolak ini, dan dalam satu helaan napas, Aku merasakan diriku terhanyut dalam puncak kenikmatan. Namun, dalam puncak kenikmatan itu, tubuhku tak lagi mampu mempertahankan kesadaran. Aku pun terhempas ke alam mimpi tanpa batas. Waktu berjalan, tak lagi terasa, dan seluruh alam semesta turut menari bersama rasa nikmat yang mengalir sangat deras. Ya, kesadaranku lepas dari tubuh. Aku benar-benar pingsan dalam kenikmatan.

Entah berapa lama, sang waktu akhirnya membawaku kembali dari alam bawah sadar. Mataku terbuka perlahan, memancarkan kilauan keajaiban dan kenikmatan yang tak tergambarkan. Aku merasakan napas kehidupan kembali mengisi dadaku, menyadarkan aku dari petualangan luar biasa di dalam alam rasa yang begitu mendalam. Dengan senyum kepuasan, aku membenamkan diriku dalam kenyataan, mengenang setiap detik dari pengalaman indah yang baru saja aku lalui.

“Hai … Tuan putri sudah sadar.” Sapa Emil seakan aku baru datang dari perjalanan jauh.

“Oh, kalian …” Aku tersipu malu.

“Yuk! Kita bergabung dengan yang lain.” Ajak Eril.

“Tapi kalian belum …” Aku tak sanggup meneruskan ucapan.

“Tidak apa-apa, tuan putri. Kami akan mengeluarkannya dengan gadis lain. Banyak teman-teman kita di luar sana.” Jawab Emil sambil menarik lenganku hingga terbangun dari terlentangku.

Kami bertiga kemudian turun dari tempat tidur. Aku yang telanjang langsung disambut Sinta yang langsung menggodaku. Aku menahan tangan Emil dan Eril saat mereka hendak pergi, tanpa ragu aku meminta si kembar untuk menemaniku malam ini. Mereka patuh dan tak berani menolak permintaanku. Baru kusadari setelah diberi tahu oleh Sinta bahwa para selir Burhan adalah ratu di tempat ini, sehingga segala perintah kami tidak boleh ada yang menentang. Sambil tersenyum, aku membayangkan keindahan kehidupanku ini. Aku sangat yakin tidak akan melepaskan kehidupan baruku ini, berusaha keras untuk tetap tinggal di surga ini selama mungkin. Ini adalah memang takdirku, menjadi bagian dari kehidupan istana yang begitu mewah. Dalam renungan bagaimana perasaanku yang awalnya takut telah berubah menjadi kepastian yang mendalam.

BERSAMBUNG
Note:

Author juga ingin mengajak suhu-suhu untuk membudayakan memberi komentar, meskipun hanya dua atau tiga patah kata saja. Komentar dari pembaca adalah sumber motivasi utama bagi author untuk terus berkarya.​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd