Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Who do you think Gilang will end up with?

  • Saras, kan dia First Love nya Gilang

    Votes: 44 10,7%
  • Tara dong.... dia yang bareng Gilang dalam susah dan senang

    Votes: 161 39,0%
  • Gak sama siapa-siapa.... Sedih amat ya?

    Votes: 51 12,3%
  • Dua-duanya, bobonya digiliar tiap hari, kadang-kadang threesome

    Votes: 157 38,0%

  • Total voters
    413
  • Poll closed .
penant10.jpg

PENANTI – PART 6

------------------------------

#GILANG - 3

Berat memang. Berat saat kita mendadak mengetahui sebuah kenyataan yang ditutup-tutupi. Perasaan marah, kecewa, semua menjadi satu dan semua seperti kompak untuk menghantam semangat kita untuk beraktivitas sehari-hari.

Tapi cukup sudah. Cukup. Tidak baik berlama-lama seperti ini. Cukup beberapa hari saja yang kubutuhkan untuk membangkitkan semangat lagi. Benar apa yang Tara bilang. Banyak hidup orang tergantung padaku. Hidup Eyang, hidup para pegawai di Red Comet, dan hidup Tara. Dengan tenang dan mencoba menekan perasaan gusar, aku memacu motorku ke arah Red Comet, berharap melihat lagi senyuman semua orang di sana.

12 tahun sia-sia. Sakit? Iya. Aku masih tidak percaya semudah itu Saras mengingkari janji yang dia bikin sendiri. Semudah itu buat dia ternyata mengingkari janji yang menjadi alasanku semangat dalam menjalani hidup. Dan semudah itu untuk dia, mencoba untuk menghubungiku setelah semuanya hancur.

Saras bisa bilang kepadaku kalau memang dia tidak tertarik lagi padaku. Saras bisa mengabarkannya dengan cara apapun. Keputusan untuk tidak menghubunginya selama dia ada di Inggris itu bukan keputusan dia, itu keputusanku. Kalau dia memang menemukan pria yang bisa menemaninya dan membantunya selama aku tidak ada dan kemudian memutuskan untuk menikah dengannya, silakan saja. Tapi kalau tanpa kabar, dan aku harus mengetahuinya dengan cara seperti kemarin, itu jelas-jelas mengundang amarah.

Apalagi orangnya Aidan Sjarief. Iya, dia memang kuliah di Inggris juga, setahuku. Biarlah. Biar mereka bahagia. Aku juga berhak bahagia dan aku tidak boleh membiarkan kebahagiaan orang lain, yang sama sekali tidak peduli akan janjinya sendiri, menggangguku.

Ini dia. Kemang, dan aku mulai bergerak teratur ke arah Red Comet, three times tastier than ordinary burger.

Aku tidak bisa bohong sih, karena memang berat menghadapi kenyataan. Kenyataan bahwa cinta pertama kita yang sudah berjanji akan menikahi kita ternyata sudah jadi tunangan orang lain. Tapi life must go on. Saras tidak boleh menghambat hidupku.

------------------------------
------------------------------
------------------------------

home9311.jpg

“Seneng hari ini” senyum Tara kepadaku.
“Kenapa senengnya? Suka aneh Tara kelakuannya” jawabku sambil mengawasi para pegawai yang sedang bersih-bersih di pagi buta itu. Kami sudah tutup dan sedang siap-siap untuk pulang.

“Udah beberapa hari ini lo normal lagi dateng ke sini”
“Gara-gara siapa coba”
“Gue yaa” Tara menunjuk ke arah dirinya sendiri dan dia nyengir-nyengir lucu.

“Kalo gue bilang gara-gara Asep, lo marah gak” candaku.
“Enggak dong, kan Asep juga satu kesatuan di Red Comet ini” balas Tara. Sementara yang namanya dicatut cuma senyum-senyum saja sambil ngepel. Memang tidak salah ada di sini. Mungkin keputusanku untuk absen beberapa hari agak childish, tapi mengingat aku butuh waktu untuk bisa beraktivitas lagi dan berfungsi normal setelah pukulan telak kemarin itu, rasanya sangat lega ada di sini.

“BTW Lang…” Tara mendadak menatapku dengan muka serius.
“Apaan?”
“Emm…..”
“?” aku melihat Tara yang berekspresi tidak seperti biasanya. “Ada apaan?”

“Eng.. enggak.. Anu… Eyang gimana kabarnya?” tanya Tara dan muka seriusnya mendadak berubah menjadi muka ceria lagi.
“Oh.. Baik, cuman dia sempet khawatir banget sih…” jawabku. Aku tahu ini arahnya kemana. Tapi tenanglah. Aku sudah bisa melewati trauma kehilangan ayah dan ibuku. Kehilangan orang yang mengingkari janjinya mungkin tak seberat kelihatannya.

“Hmm.” senyum Tara pelan.
“Tenang aja, gue bilangnya kalau gue lagi burn-out dan jenuh banget sama kerjaan… Supaya dia gak khawatir-khawatir amat” lanjutku. “Gue juga gak mau ngebebanin dia kalo gue cerita ada apa sebenarnya…”
“Nice to hear that”

“Eh tunggu…” handphoneku berbunyi dari dalam sakuku. Siapa yang menelepon sepagi buta ini? Kalau itu Saras, tenang saja, tidak akan kuangkat. Aku sudah bosan dengan semua pesan dan misscall nya, sehingga aku memutuskan untuk memblock nomernya. Keputusan yang baik untuk menghindari gangguan. Tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Tidak semudah itu memutuskan pertunangan lalu kembali bersamaku. Lagipula, kami tidak pernah benar-benar bersama bukan?

Kulihat layarnya, dan nomernya adalah nomer rumahku. Ada apa ini? Mendadak keringat dingin muncul di punggungku, membayangkan kalau ada hal-hal tidak baik yang terjadi kepada Eyang Putri.

“Halo?” aku mengangkat telponku dengan buru-buru.
“Gilang…. “ suara Eyang.
“Iya Eyang, kenapa??” aku langsung berdiri dan celingukan, entah kenapa. Tara kaget dan menatapku dengan tatapan khawatir. Aku mendengar suara Eyang mendadak seperti berat dan panik.

“Mbak Ratmi meninggal…”
“Innalilahi…”
“Eyang kaget, Gilang…”
“Mau ngelayat Eyang?”
“Mau….”

Mbak Ratmi. Aku sering mendengar nama ini. Sejak kami pindah ke Tebet, Eyang Putriku jadi aktif di kompleks dan sering ikut arisan. Mbak Ratmi adalah salah seorang yang dekat dengan nenekku gara-gara arisan. Setahun yang lalu, karena beliau mulai sakit-sakitan, beliau pindah ke rumah anaknya di daerah Bintaro sana.

“Aku anter ya…” lanjutku.
“Iya Gilang… Nanti ditinggal saja, biar eyang ketemu ibu-ibu arisan juga…”
“Iya yang penting Gilang sekarang pulang ya?”
“Iya, ditunggu ya…”

“Kenapa Lang?” tanya Tara, yang terlihat masih khawatir.
“Temen arisannya nenek gue meninggal….. Di Bintaro tapi..”
“Oh? Pinjem mobil gue aja, mau nganter eyang ngelayat?”

“Boleh? Iya, mau gue anter dan dia diminta didrop di sana sih… Kayaknya dia bakal lama di sana”
“Yaudah, gue ikut nganter ya? Boleh kan?”
“Boleh”

“Guys! Gue sama Gilang ngelayat dulu ya, temennya neneknya Gilang meninggal…. Titip beres-beresnya sampe rapih ya” Tara langsung ngibrit ke arah “kantor” untuk mengambil kuncil mobil dan membereskan barang-barangnya. Aku bersyukur ada Tara. Ada yang bisa diandalkan dan bisa membantu setiap saat. Dia memang luar biasa.

------------------------------

eco-dr10.jpg

“Orang lain berangkat kerja jam segini, kita malah mau pulang” tegur Tara kepadaku. Aku mengiyakan, mengangguk, menatap ke jalanan yang ramai menuju ke Tebet. Kami sudah mengantar Eyang melayat ke Bintaro. Setelah beramah tamah sebentar, kami berdua disuruh pulang oleh Eyang. Kalian belum istirahat, katanya. Tapi tetap saja, meninggalkan nenek kesayanganmu di tempat orang lain, mau tak mau pasti khawatir.

“Gilang.. Kok diem aja?”
“Eh.. Sori… Kepikiran Eyang” jawabku.
“Gak enak ninggalin dia di sana?”
“Satu itu, yang lain, gue juga musti sadar, suatu waktu Eyang bisa pergi kan, umurnya udah segitu… Walau dia gak sakit-sakitan dan selalu keliatan sehat, tapi tetep aja, khawatir”
“Pasti sih, tapi gue yakin, kalo beliau pergi, pasti pergi dengan tenang, ninggalin cucu-nya yang mandiri dan keren”

“Bisa aja” tawaku mendengar pujian Tara.
“Bisa dong”

“Pengen tidur gue”
“Sama"
“Eh elo langsung balik?”
“Gak tau, kayak tanggung gak sih? Ntar gue kasih tau bokap nyokap deh kalo gue gak pulang…. Mereka kadang suka rada cerewet…” Tara meringis sambil menyetir.

“Iya, kabarin mereka aja”
“Ntar kalo dah nyampe ya… Coba gak macet ya.. Udah sampe di rumah elo pasti kita”
“Yep…. Bolehin ngerokok dong tapi di mobil elo Tar…”
“Jangan, ntar kalo orang rumah make bisa bete mereka” jawab Tara sambil menjulurkan lidahnya.

“Kalo gitu gue tidur aja ya, istirahat”
“Gih” senyum Tara.
“Beneran boleh?”
“Boleh lah…. Apa yang enggak sih buat Gilang?”

“Oke kalo gitu” aku langsung menurunkan sandaran jok penumpang dan langsung menutup mata. Mudah-mudahan nanti pas bangun, pas sudah sampai.

------------------------------

2_gpn211.jpg

Aku masuk ke kamarku, menemukan Tara sedang merokok dan duduk di kasurku. Aku baru saja mandi, dan sepertinya karena aku tadi tidur di jalan, aku tidak mengantuk lagi.

“Kalo lo mau tidur di kasur, tidur aja, gue paling gak tidur lagi”
“Iya, santai kok, gue juga ga ngantuk-ngantuk amat, kan tadi pas jalan ke Bintaronya gue curi-curi tidur pas elo yang nyetir” jawab Tara dengan senyum lebarnya.
“Gue paling ntar masak buat Eyang makan malem…” aku melanjutkan kalimatku, dan duduk di samping Tara. Karena rokokku sudah habis, aku mengambil rokok dalam kotak rokok Tara.

“Gapapa?” tanyaku.
“Gapapa”

Setelah menyalakan rokok, aku menarik napas panjang. Panjang sekali. Akhir-akhir ini, banyak kejadian yang gila. Terutama soal kenyataan kalau Saras sudah bertunangan. Dengan Aidan Sjarief pula. Aku berandai-andai apa saja yang terjadi sehingga Saras memutuskan untuk membatalkan janjinya sendiri. Dia bisa bilang, sejujurnya. Mungkin kalau dia bilang dulu, aku juga akan sakit hati. Tapi kalau sekarang? Semuanya sudah terlambat dan benar-benar merusak isi kepalaku.

Tapi setidaknya aku punya Eyang, aku punya Red Comet dan aku punya Tara.

“Sori kalo nanya, gak jawab juga gapapa sih” mendadak Tara membuyarkan lamunanku.
“Silakan”
“Saras…. Masih nyoba buat ngehubungin elo?” tanya Tara.
“Hhh…. Gak tau”

“Kok gak tau?”
“Gue blok nomernya”
“Oh?”

“Iya, gue pikir, gue bodoh, nunggu selama 12 tahun, tanpa kepastian, dan gue tetep sok-sokan nepatin janji gue dengan gak ngehubungin dia, ternyata pas ketemu, ketahuan kalau dia yang ingkar janji”
“Sori kalo bahas ini Gilang, tapi kalo seinget gue, bukannya janji dia itu buat nikahin elo kan?”
“Terus?” aku membalas perkataan Tara dengan muka mencibir.
“Emm… Sori lagi kalo asal, tapi dia tunangan dengan orang kan bukan berarti dia bakal nikah sama orang lain itu kan? Gak 100 persen pasti bakal kawin kan?”

“Masa bodo sih…. Tunangan ya artinya udah niat kawin kan?” tanyaku retoris.
“Yah.. Bener, sori, gue ngasal” senyum Tara.
“Gapapa, lo pasti pengen ngehibur gue kan?” tebakku.
“Gak salah”

“Lo selalu gitu deh…” aku bercanda dengan menepuk-nepuk kepalanya. Memang, walau Tara umurnya cuma setahun lebih muda dariku, tapi dia terlihat seperti anak-anak. Tak jarang masih disangka anak mahasiswa atau SMA.

“Gilang” bisik Tara mendadak.
“Yep?”
“Sejujurnya… Gue kasian banget sama elo…. Banget-banget” dia mengambil tanganku dari kepalanya dan menaruhnya di tempat semestinya, di pahaku.

“Gak usah, anggap aja ini pelajaran, jangan terlalu percaya sama janji kalo gak bisa dibuktiin” balasku.
“Tapi gue, gue sih janji gak bakal perlakuin elo kayak gitu, gak bakal”
“Kalo elo gue percaya”
“Thanks” senyum Tara. “Sorry lo harus ngalamin ini semua” Tara mendadak memeluk tanganku dari samping dan meremasnya erat. Aku menunduk, menatap ke wajahnya dan memperhatikan dirinya. Matanya yang besar, bibir dan hidungnya yang kecil, rahangnya yang kecil itu. Manusia yang selama ini menemaniku di saat-saat tersulitku, kenapa aku selalu mengharapkan yang lain, sementara Tara selalu ada di sampingku?

Mungkin aku bodoh. Mengharapkan yang tak jelas di ujung sana, tapi bertahun-tahun, Tara ada di sini, menjadi bagian hidupku, selalu bisa kuandalkan dan selalu bisa membuatku nyaman.

“Tara”
“Ya?”
“Liat sini”
“Nn?”

Aku menatap matanya yang besar, dan aku melakukan tindakan yang selama ini belum pernah kulakukan ke perempuan lain selain Saras. Aku mencium bibir Tara.

“Hei” Tara menahan kepalaku. Bibirku tidak dapat meraihnya.
“Eh... Sori..” Aku menunduk. Bibirku belum bertemu dengan bibirnya. Sial. Apa yang ada di dalam pikiranku sehingga aku memutuskan untuk mencium bibir sahabatku dan partner bisnisku ini?

“Lo ngapain?” suara Tara terdengar lucu di telingaku. Aku melirik ke arahnya dan dia tampak tersenyum lebar dengan muka yang memerah. Sialan, aku jadi malu dibuatnya.
“Gapapa, sori.. Nevermind” aku mencoba untuk tidak bertemu mata dengannya.

“It’s okay kok...” bisiknya mendadak. Aku kaget. Aku menoleh ke arahnya. Tara tersenyum manis dan dia masih menggenggam tanganku. Aku tersenyum balik kepadanya, dan mata kami kembali bertemu. Kepala Tara makin mendekat, dan aku pun kembali mendekatkan bibirku ke bibirnya.

Akhirnya kami berdua berciuman. Bibir kami saling bertemu dengan perlahan, dengan lembut dan dengan penuh perasaan. Rasanya seperti ada rasa nyaman yang mendadak muncul di hatiku. Bibirnya kecil, lembut, dan rasanya manis, walaupun ada sedikit rasa-rasa tembakau. Jadi ini rasanya mencium perempuan lain selain Saras. Rasanya nyaman, dan ini Tara. Kami berdua berciuman dengan pelan, sambil mencoba merasakan tekstur bibir masing-masing.

Tara menarik bibirnya dan menatapku. “Kenapa baru sekarang?” bisiknya sambil tersenyum kecil. Aku hanya tersenyum. Kami kembali berciuman. Dia menarik badanku agar menimpanya di atas kasur. Tangannya lalu melingkar di leherku, dan aku bergumul pelan dengannya.

Kamar itu jadi saksi bisu ciuman keduaku dengan perempuan.

Bibir kami berdua saling melumat, bertemu dengan lembutnya. Bibirnya begitu lembut dan menggoda. Wangi tubuhnya masuk ke dalam hidungku, membius diriku. Tara seperti mengatur ritmenya. Ritme ciuman kami, dan dia seperti menuntunku untuk menikmati momen bermesraan seperti ini.

“Sori gue...” Aku berbisik ke telinganya, sambil memeluknya di atas kasur.
“Gapapa....” balas Tara, menyambutku.

Kami berdua terdiam, aku memeluknya, dan dia memelukku. Aku bisa merasakan napasnya, dan aku juga bisa merasakan degup jantungnya. Dua-duanya berdegup dengan kencang, jantungku dan jantungnya. Entah apa yang terjadi pagi ini. Aku dan Tara ada di atas kasurku, berciuman dan berpelukan.

“Gue...” aku mencoba untuk melanjutkan kalimatku, tapi rasanya tidak ada yang bisa keluar dari mulutku.
“Dan gue jadi second kiss lo sekarang” bisik Tara, memotong kalimatku. “Kenapa gak dari dulu, Gilang” lanjutnya, dengan senyum kecilnya yang manis. Matanya yang besar tampak berbinar menatapku.

“Ah, gue harap gue tau dari dulu soal Saras”
“Wajar... Lo nunggu dia, dan gue salut lo bisa nunggu selama ini, lo orang hebat tau gak?” bisik Tara, sambil mencium pipiku pelan. Ciuman di pipiku menarik diriku, aku kembali melumat bibirnya dengan satu gerakan lembut. Tanganku melingkari pinggangnya dan kami berguling pelan, menikmati pagi yang sepi ini.

“Ciuman pertama lo dia, dan semua yang pertama lo pengen sama dia kan?” lanjut Tara.
“Iya... Bahkan tadinya gue mikir, pertama kali gue tidur sama perempuan itu sama Saras, tapi...”
“Gilang, lo udah gak bisa mikirin itu lagi sekarang, bakal terlalu sakit buat elo...”
“Iya sih, tapi...”

“Lo gak tau apa aja yang udah diperbuat mereka di luar sana kan.... Gakpapa elo naif, soalnya itu Gilang yang gue kenal, tapi gue gak akan biarin Gilang yang gue kenal ini isi kepalanya penuh luka kayak sekarang... Boleh kan gue lindungin elo?” bisik Tara.

Aku mengangguk, dan kami berciuman lagi. Rasanya seperti tidak ada habis-habisnya. Bibirnya jadi sebuah cara bagiku untuk melupakan hal-hal menyakitkan soal Saras. Karena memori-memori indah soal Saras, semua telah berubah jadi memori menyakitkan.

“Gue jadi ngerasa beruntung, ngajakin elo bikin Red Comet” bisik Tara.
“Engga lah.. Gue yang beruntung, karena lo bilang masakan gue bisa dijual...”
“Masih inget gue, di dapur bawah, waktu lo masih luntang lantung banget ga jelas kerjanya apa... Terus gue main ke sini, karena khawatir sama kondisi elo... Eh elo malah masak, eh malah enak.... Hebat memang chef kita satu ini” Tara menepuk rambutku dan dia tersenyum dengan manisnya, mengenang masa-masa monumental. Mengenang terjadinya Red Comet.

“Gue beruntung bisa bareng lo selama ini” lanjut Tara. Dia memelukku dengan erat dan membiarkan kepalaku terbenam di dadanya. Hangat rasanya. Aku makin mendengar degup jantungnya yang kencang. Kami bertaut, saling merasakan kehangatan tubuh satu sama lain. “Gilang... Kalau misal gue tidur di sini, lo mau kan, gak pindah, tetep sama gue di sini?” tanya Tara.

“Iya” jawabku sambil merasakan keintiman ini.
“Jangan pindah kalau nanti gue ketiduran, sekarang aja udah nyaman banget... Ternyata rasanya sedamai ini dipeluk sama Gilang....”
“Tapi masa lo gak risih pake baju begini tidur?” tanyaku. T-shirt, Cardigan, jeans, itu bukan outfit yang bagus untuk tidur.

“Oh iya, minjem T-shirt atau celana pendek boleh?”
“Boleh, ambil aja di situ” aku menunjuk ke laci paling bawah lemari bajuku. Tara kemudian bangkit, berjalan dengan manisnya ke arah sana, membukanya dan menarik sebuah T-shirt yang kelihatannya besar sekali ukurannya.

“Nah” Tara kemudian memunggungiku. Adegan selanjutnya, tidak akan pernah kulupakan dari ingatanku. Tara melucuti bajunya di depan mataku. Aku kaget. Kupikir dia akan menyingkir keluar untuk ganti baju, tapi ternyata tidak. Aku melihat kulitnya yang halus dan lembut, tanpa ditutupi oleh celana jeans nya. Aku bahkan tidak bisa berpaling saat dia mulai menanggalkan cardigan dan T-shirt nya. Dia melirikku dari samping matanya dan dia tersenyum malu.

Dia lantas membuka bra-nya, dan melemparnya ke tumpukan baju. Aku melihat punggungnya yang seperti bersinar pagi ini. Tara lalu memakai T-shirt kebesaran itu dan berjalan ke arah kasur.

“Kalau kayak gini makin nyaman” bisik Tara.
“Kok gue jadi ngantuk” bisikku membalas ucapannya.
“Soalnya nyaman, dan kita memang butuh tidur, jadi gue tarik kata-kata gue tadi soal gak ngantuk-ngantuk amat...”
“Hehe”

“See you later, Gilang... Jangan nyelinap ke bawah ya.. Gue pengen pas bangun lo ada di sini” dia lalu mencium hidungku, dan mulai memeluk badanku dengan nyamannya. Aku menghirup wangi rambutnya, dan mulai menutup mata juga.

Biarkan kami berdua tidur, meninggalkan hari-hari tak nyaman kemarin. Sepertinya, hari esok akan lebih indah.

------------------------------

BERSAMBUNG
 
Om Gilang o... om gilang
Bantai tu si mpok Tara
Masa' kalah ma si Aku
Ups...abis situasinya ampir2 mirip sih ya

Makasih apdetnya om :beer:

Edit : Oom diatas malah ke MDT 1 miripnya
 
Jiaaahhhhh...... Gilang baru sadar ya? Ok om tengkyu dah apdet n lanjooeettt....
 
Go with the flow..
Update yg seger.. bayangin toket Tara jadi pengen :nenen:
Mulus Suhu.. see you next update..
:mantap:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd