Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Who do you think Gilang will end up with?

  • Saras, kan dia First Love nya Gilang

    Votes: 44 10,7%
  • Tara dong.... dia yang bareng Gilang dalam susah dan senang

    Votes: 161 39,0%
  • Gak sama siapa-siapa.... Sedih amat ya?

    Votes: 51 12,3%
  • Dua-duanya, bobonya digiliar tiap hari, kadang-kadang threesome

    Votes: 157 38,0%

  • Total voters
    413
  • Poll closed .
Berat ada di posisi Gilang, tapi menurut gue lebih berat di posisi Tara.
Sabar menunggu update dari suhu RB
 
Trs hai ini update yg mana suhu TB,yg ini boleh deh Di update
 
PENANTI – PART 8

------------------------------

#SARAS – 2

649-il10.jpg

Sudah sekian lama semenjak pertemuan terakhirku dengan Gilang, yang berakhir dengan aku berulang kali mencoba menghubunginya. Dan Gilang tampaknya benar-benar emosi dengan kejadian itu. Kejadian di mana aku datang di acaranya Aidan. Aku tidak menyangka akan menemukan Gilang di sana.

Aku masih ingat wajah pucatnya, dan aku masih ingat, berpuluh-puluh kali telepon, sms, dan pesan-pesan di sosial media dariku untuk Gilang berakhir buntu. Aku ingin sekali menceritakan soal diriku sekarang kepadanya. Ingin sekali. Aku ingin dia dengar langsung dariku, bukan dari Ayah dan Bunda. Bukan dari siapapun. Tapi dari aku.

Memang tampaknya aku patut dibenci oleh Gilang. Dan aku tidak ingin dibenci olehnya sehingga aku ingin sekali bertemu dengannya. Aku ingin sekali bisa bicara dengannya soal keadaanku.

Dan aku bosan ada di dalam mobil ini. Ada di dalam mobil yang benar-benar datar. Ada di dalam mobil yang sama sekali tidak memutar musik di radio. Ada di dalam mobil yang senyap. Aidan berkonsentrasi menyetir pagi ini ke Bandung, untuk menghadiri pernikahan bersamaku. Aku harus hadir. Ini kakak kelasku selama di SMA. Tepatnya kakak kelasku di OSIS.

Tenang, tidak mungkin ada Gilang di sana. Dia pasti menyadari kalau aku akan datang. Dan dia pasti akan menghindari situasi seperti waktu itu. Aku juga mungkin tidak akan bisa kuat melihatnya. Melihat lelaki yang selalu menungguku. Selama 12 tahun. Penantian yang sia-sia, mungkin dia pikir begitu. Tapi aku benar-benar ingin bicara dengannya. Aku ingin melihatnya seperti aku melihat Gilang 12 tahun yang lalu.

“Butuh apa Pak Yudhis untuk minggu depan?” mendadak Aidan mengajakku bicara soal Ayah. Isi kepalaku mendadak buyar. Aidan bicara dengan tenangnya. Aidan cuma menjadi Aidan. Menjadi tunanganku yang sempurna. Menjadi dirinya sendiri.

“Aku lagi nunggu laporan dari orang partai. Kelihatannya ada beberapa titik yang belum tersentuh Ayah” jawabku.
“PIlihan yang bagus sekarang, masuk dari dapil Bogor”

“Sejak kekalahan telak pemilu kemarin, kelihatan kalau pemain di Jakarta memang keras sekali. Aku sudah yakin kalau Ayah bisa menang, mengingat seluruh kampanyenya terlihat sukses dan warga dapil-nya banyak kenal dia. Sayang kalah. Dan aku cuma bisa dengar dari jauh.. Ada di Inggris, aku gak bisa bantu Ayah soal apapun kemarin” jawabku panjang. Seluruh obrolan Aidan biasanya butuh jawaban yang panjang, detail, dan terperinci. “Jadi semua dangdutan waktu itu, hangus, gak ada hasilnya” lanjutku. Ya, memang begitu caranya menarik simpati pemilih. Dengan menghadirkan hiburan rakyat.

“Bogor harusnya memang lebih mudah” sambung Aidan.
“Pemain kotornya lebih sedikit dari Jakarta….”
“Tapi aku agak kurang setuju, kalau rapat kerja di Bogor untuk orang partai pakai hari kerja” sambung Aidan.
“Karena kamu jadi gak bisa dateng atau apa?” tanyaku.

“Bukan itu. Nggak semua orang Partai itu full time di Kanwil. Mereka juga ada yang kerja kantoran”
“Terpaksa. Sabtu Minggu di hotel itu, ada pernikahan… Dan orang-orang Kanwil juga sudah setuju..”
“Okay.. Just let me know if you need something”

Ya, ayahku harus menggenjot dirinya habis-habisan di pemilu ini. Pemilu yang akan datang. Dia sudah gagal di Pemilu yang sebelumnya, tidak sampai DPR. Walau kampanyenya meyakinkan, tapi dia kalah telak. Nomer buncit. Modal yang dikeluarkan sangatlah banyak. Kalau kata mereka, kesalahan ayahku cuma satu. Dia terlalu bersih. Dia terlalu lurus. Dia bukan orang licik seperti kebanyakan bapak-bapak ibu-ibu yang duduk di kursi wakil rakyat.

Jadi, untuk pemilu nanti, kami harus merubah startegi. Lari ke daerah yang lebih sepi. Lari ke daerah yang kurang berdarah-darah.

Dan untuk urusan yang agak “kotor”, tunangankulah yang akan mengurusnya. Tidak, bukan hanya urusan yang “kotor”. Untuk urusan apapun, dia sudah terlalu banyak terlibat di sini.

Dia sudah terlalu banyak terlibat dalam urusan keluargaku.

Dan dia sudah terlalu banyak tahu soal Gilang. Dari pertama aku mengenal Aidan ketika bersekolah di Inggris, dia sudah tahu soal Gilang. Dan itu tidak menyurutkan semangatnya untuk mendekatiku. Aidan tidak pernah bermain kotor, dia sangat gentle, sangat sopan, sangat rapi, dan sangat berdedikasi. Aku sudah terlalu banyak bercerita soal Gilang kepadanya. Dan dia pun tidak mundur. Dia maju, terus. Tanpa berhenti. Dan akhirnya, aku pun jadi ikut maju bersamanya, meninggalkan luka di hati Gilang sekarang, yang sangat ingin aku obati.

Aku melirik ke arah Aidan. Pria yang terlalu sempurna. Tatapannya begitu tenang, begitu lurus ke depan, menyetir tanpa istirahat dan tanpa ngantuk. Ya, dia memang seperti itu. Dia begitu tenang, kalem, dan selalu mendapatkan apa yang dia ingin dapatkan.

Seperti aku.

------------------------------

img_3610.jpg

Kami sudah ada di lokasi. Perjalanan yang macet tadi mengakibatkan kami datang agak siang. Untung saja resepsinya belum akan berakhir. Dan berada di muka umum dengan Aidan seperti sekarang ini, timbul satu pertanyaan di kepalaku. Haruskah aku menggandeng tangan Aidan? Mungkin harus. Karena aku harus terlihat seperti tunangannya. Kami lantas masuk dengan langkah pasti ke gedung pernikahan. Aku melihat ke sekeliling, untuk memastikan kalau Gilang tidak ada di sini.

Pasti dia tidak ada. Gilang tidak cukup bodoh untuk datang ke pernikahan seorang petinggi OSIS di angkatannya. Pasti semua anak-anak OSIS, termasuk mantan ketua OSIS seperti aku, seperti mendapat kewajiban untuk datang. Dia pasti tahu itu, dan dia pasti menghindarinya.

Ah, sudah ada sedikit wajah familiar yang kukenal di kerumunan manusia. Paling tidak, sekarang kita harus memainkan permainan a perfect couple. Perfect. Aidan Sjarief dan aku. Ya, kelihatannya perfect. Sejujurnya aku sendiri tidak tahu seperti apa harusnya kami dinilai.

Karena memang, penilaianku akan sebuah hubungan sudah sangat-sangat bias. Hubungan yang seperti hubungan bisnis seperti hubunganku dengan Aidan, memang menguntungkan. Tapi di sisi yang lain, ada banyak pengorbanan.

Dan bicara soal pengorbanan, terutama perasaan, sejak masuk ke dalam gedung, perasaanku tidak enak. Sangat-sangat tidak nyaman. Rasanya seperti akan ada sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi. Aku menggigit bibirku secara tidak sadar, sambil berusaha membalas sapaan orang-orang dan mengenalkan Aidan secara baik kepada mereka. Aku berusaha mengalihkan perhatian ke orang-orang yang mengajakku bicara tadi, sebelum aku naik ke pelaminan, bersalaman dengan pengantin pria dan wanitanya. Tapi entah kenapa, rasanya begitu gelisah.

Tidak.

Tidak mungkin ada Gilang di sini. Gilang memang polos, tapi dia tidak bodoh. Dia memang impulsif dan selalu berpikiran positif, tapi tidak mungkin dia datang ke tempat yang kemungkinan besar bakal berpapasan denganku. Walaupun aku ingin menemuinya, bahkan sampai nekat datang ke tempat usahanya dan menitip pesan kepada temannya, tapi tidak dalam situasi seperti ini lagi harusnya. Harusnya kami berdua bertemu dalam suatu lingkungan yang private. Dalam lingkungan yang benar-benar terjaga privasinya.

Bukan di tempat um…

Dan, aku menatap ke arah yang salah.

Salah.

Aku menatapnya.

Aku menatap mata Gilang lagi.

Pandangannya masih sama, kaget, pucat, dan ada sedikit kemarahan yang terlihat di matanya. Namun kali ini, dia tampak bergerak menjauh, meninggalkan kerumunan yang ramai dengan gerakan yang wajar. Aku menunduk. Menunduk dalam diam, di tengah keramaian.

“Kenapa?” tanya Aidan, melihat perubahan air mukaku.
“Kamu tahu kenapa”
“Bukannya memang susah dihindari, ini acara kakak kelas SMA kamu” bisik Aidan.

Aku terdiam agak lama, dan menggenggam tangan Aidan dengan keras. Aku menghentikan langkahku, dan tampaknya aku sulit untuk melanjutkan perjalananku ke pelaminan. Aidan diam, dia menarik napas panjang.

“Maaf, aku… Sebentar….” Aku langsung melepas tangan Aidan. Aidan tidak menatapku. Dia terdiam, menatap ke arah lain, seperti sudah tahu apa yang akan aku lakukan.

Aku menatapnya sejenak, dan aku langsung berjalan keluar, meninggalkan tunanganku, untuk mencari sosok yang selama ini menungguku. Aku berusaha mencarinya di luar ruangan. Jantungku berdetak begitu kencang. Ke mana Gilang mungkin pergi? Ke mana dia pergi kalau dia bertemu denganku di keramaian?

Saat ini, sepertinya tidak ada orang lain lagi di sekitarku. Tidak ada mereka semua. Yang ada hanyalah aku, belantara ini, dan Gilang.

Di mana dia?

Tempat merokok? Di tempat ini pasti tidak ada tempat yang khusus untuk merokok. Apalagi di luar ruangan. Beberapa orang melihat ke arahku. Memang aneh, melihat seseorang yang memakai dress batik dengan high heels, kalang kabut di depan pintu masuk sebuah gedung pernikahan. Dan akhirnya sudut mataku menemukan sosok yang kucari.

Gilang. Dia sedang duduk, sendiri di sebuah taman, dengan rokok di mulutnya, dan pasti ada kekesalan di hatinya. Dengan menarik napas panjang, aku mendekatinya. Aku sudah siap untuk segala kemungkinan terburuk, siang ini.

“Stop. Mau apa kamu?” Gilang menghentikan langkahku yang mendekatinya. Jarak kami ada sekitar 2 meter. Aku meremas barang bawaanku. Handbag yang berisi dompet dan smartphoneku. Aku meremasnya, sampai-sampai rasanya bisa kuhancurkan benda yang ada di tanganku ini.

“Aku… Mau bicara” aku tetap mendekat. Keramaian berada di sisi lain tempat ini. Mudah-mudahan kami tidak menarik perhatian orang banyak.

“Buat apa?” tanya Gilang, tanpa mau menatapku.
“Aku harus cerita, jelasin semuanya”
“Jelasin apa?”
“Soal aku”

“Udah jelas kan? Kalau kamu gak bisa nepatin janji kamu? Jadi stop.. Jangan jalan lebih deket lagi… Jangan ngomong apa-apa, gak usah capek-capek jelasin, dan gak ada gunanya juga”
“Aku perlu, bicara sama kamu” ya, suaraku terdengar seperti merajuk.
“Buat apa? Sana, balik lagi ke dalem… Ngapain ninggalin tunangan kamu buat ketemu aku?” Gilang menghisap dalam-dalam rokoknya.

“Aku butuh ngomong… Kamu gak biarin aku ngomong… Please, Gilang…”
“Please, Gilang?” GIlang lantas menatapku dengan tatapan marah. “Please? Buat dengerin kamu ngomong? Kamu punya 12 tahun buat ngomong. Kamu punya banyak waktu, buat jelasin kalau kamu ternyata ingkar janji… Udah lah… Gak ada gunanya ngomongin masa lalu. Gak ada gunanya… Kamu udah punya orang lain, aku juga harus gitu… Selesai. Done. Anggap aja kita gak pernah kenal”

“Gilang….”

“Udah… Gak ada gunanya… Aku pergi.. Lain kali kalau liat aku, jangan berani-beraninya ngejar-ngejar kayak gini. Gak pantes buat orang yang udah tunangan” Gilang menginjak puntung rokoknya, dan berdiri. Dia berjalan mendekat, dengan maksud melewatiku untuk kembali ke gedung pernikahan.

“Gilang…” Aku menarik tangannya.
“Lepas, apa-apaan ini?” Gilang menggenggam pergelangan tanganku dan dia berusaha untuk melepas tanganku dari tangannya.

“Sebentar… Aku mau ngomong”
“Kenapa sih kamu egois banget kayak gini? Kenapa aku harus dengerin kamu?”
“Aku pengen kamu tau posisiku sekarang… Dan sebenernya kayak gimana…”
“Udah telat…”

“Aku masih sayang banget sama kamu”

Gilang mendadak diam. Ucapanku tadi bagaikan petir di siang bolong baginya. Dia menunduk, menutup matanya, dan menarik napas panjang.

“Gak pantes omongan kayak gitu diomongin sama orang yang udah punya tunangan” lanjut Gilang.
“I mean it”
“Udah ya. Aku gak perlu denger apa-apa lagi”

“Ini semua demi Ayah”
“Aku gak perlu denger alesan kamu… Please, lepas….”
“Gilang…”
“Mau apa kamu? Kenapa kamu mendadak ngomong kayak gini?”

“Aku udah pengen ngomong kayak gini dari lama…”
“Ya, makanya karena kamu gak ngomong-ngomong jadi basi kan? Udah. Aku sama kamu selesai. Kamu bukan siapa-siapa lagi… Lepas” suara GIlang terdengar tajam dan menyakitkan. Tapi aku punya alasan kuat, kenapa aku harus bicara ke Gilang.

“Tunangan sama orang itu bukan berarti nikahnya bakal sama orang itu” bisikku.
“Stop. Aku gak mau denger”
“Aku butuh kamu… Aku butuh orang kayak kamu di hidupku”
“Bullshit” jawab Gilang. Dia benar-benar terlihat dingin.

“Ini semua politik keluarga Gilang… Ini bukan yang aku mau”
“Berisik… Aku gak mau denger” suara Gilang terdengar bergetar, seperti suaraku.
“Aku gak akan bahagia kayak gini… Aku bingung mesti bilang apa… Tapi aku bener-bener butuh ketemu kamu… Aku butuh ngobrol panjang lebar, cerita, kasih tau ke kamu… dan..”

“Buat apa?”
“Aku gak mau nikah sama dia…”
“Terus apa? Kawin lari sama aku? Jangan konyol. Kamu pikir kamu bisa ngelakuin semua yang kamu mau?”

“Gilang… Dengerin aku…” suaraku bergetar. Mataku terasa berat. Dan air mata yang kutahan akhirnya jatuh juga. Mataku berkaca-kaca, dan rasanya aku begitu ingin memeluk Gilang. Aku ingin merasakan kehangatan yang sama, seperti dengan yang aku rasakan 12 tahun yang lalu.

“Maaf. Tapi semuanya udah telat. Realistis aja, please”
“Bawa aku pergi.. Bawa aku lagi keliling Jakarta hujan-hujanan naik motor kamu, please…” tangisku.

“Saras… Udah.. Lepas” suara Gilang melunak. Mukanya terlihat datar, menyembunyikan perasaan entah apa. Entah itu marah, muak, kesal, atau jijik, aku tidak tahu. Tapi aku bisa merasakan, kalau dia tidak ingin berada di sini.

“Aku gak mau seumur hidup sama dia…. Ini semua politik. Ini semua pernikahan demi keluargaku, bukan buat aku…”

“Kamu bisa nolak”
“Andai segampang itu”

“Mana Saras yang dulu? Saras yang selalu kejar apapun yang dia mau? Saras yang ambisius? Kenapa sekarang yang aku liat Saras yang lemah? Saras yang mau disuruh-suruh dan mau nikah karena tekanan keluarga? Apa-apaan ini?” suara Gilang terdengar begitu emosional. Dan aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku untuk terus turun.

Aku kangen sekali, aku rindu sekali semua kehangatan Gilang dan semua kepolosan kami ketika dulu. Sekarang, semua ini sudah tidak ada, karena aku terbawa oleh arus kuat yang ada di dalam kepentingan keluargaku. Andai keluargaku biasa-biasa saja. Andai Ayah tidak tergantung pada Aidan untuk mengurusi seluruh kehidupan dan bisnisnya. Andai Ayah tidak ingin mengabdi sebagai anggota dewan pada negara.

Andai aku bisa dimiliki oleh Gilang sepenuhnya.

“Please Gilang…. Aku pengennya sama kamu…” tangisku.
“Jangan egois. Udah terlambat semua….”

Gilang memegang tanganku lagi dengan lembut. Dia menarik tanganku, yang genggamannya sudah lemah. Aku masih menangis. Aku berdiri, menunduk dan menyembunyikan mukaku dari semua orang.

Aku bodoh. Aku harusnya tidak menjalani hidupku yang sekarang. Aku seharusnya tidak pergi ke Inggris. Aku seharusnya tidak pernah bertemu dengan Aidan. Aku seharusnya tidak pernah mengizinkan ayahku mengenal Aidan. Seharusnya orang tua Aidan bukanlah orang terdekat Ayah. Harusnya semua ini tidak ada saja. Harusnya aku menikah saja dengan Gilang setelah lulus SMA.

Persetan dengan semua ini.

“Jangan pernah cari aku lagi. Maaf” bisik Gilang. Dia lantas meninggalkanku yang menangis sendiri. Dengan penuh penyesalan, aku menatap ke punggungnya yang menjauhiku.

Ah, perempuan itu ada lagi. Tara namanya. Dia menatap Gilang dengan tatapan khawatir. Dia menatap Gilang dengan tatapan yang tulus dan tidak dibuat-buat. Gilang mendekatinya. Tara memegang tangannya, menggandengnya. Mereka berdua lantas pergi. Mereka berdua berjalan ke arah parkiran. Gilang tidak menengok lagi ke belakang.

Aku menatap ke arah tangan Gilang dan Tara yang bertautan.

Andaikan itu aku. Tapi mimpiku sudah hancur. Hancur seiring air mataku turun di siang hari bolong ini. Siang hari bolong di tengah kebahagiaan pernikahan orang lain.

Aku hancur. Harusnya aku tidak pernah punya perasaan terhadap Gilang. Tapi apakah aku bisa terus-terusan menutupinya? Apakah aku harus menyerah dan menjalani hidup yang diinginkan orang tuaku? Sudahlah Saras, kau bukan siapa-siapa. Setidaknya bagi Gilang, kau bukan siapa-siapa lagi.

------------------------------

BERSAMBUNG
 
------------------------------

#SARAS – 2

649-il10.jpg

Sudah sekian lama semenjak pertemuan terakhirku dengan Gilang, yang berakhir dengan aku berulang kali mencoba menghubunginya. Dan Gilang tampaknya benar-benar emosi dengan kejadian itu. Kejadian di mana aku datang di acaranya Aidan. Aku tidak menyangka akan menemukan Gilang di sana.

Aku masih ingat wajah pucatnya, dan aku masih ingat, berpuluh-puluh kali telepon, sms, dan pesan-pesan di sosial media dariku untuk Gilang berakhir buntu. Aku ingin sekali menceritakan soal diriku sekarang kepadanya. Ingin sekali. Aku ingin dia dengar langsung dariku, bukan dari Ayah dan Bunda. Bukan dari siapapun. Tapi dari aku.

Memang tampaknya aku patut dibenci oleh Gilang. Dan aku tidak ingin dibenci olehnya sehingga aku ingin sekali bertemu dengannya. Aku ingin sekali bisa bicara dengannya soal keadaanku.

Dan aku bosan ada di dalam mobil ini. Ada di dalam mobil yang benar-benar datar. Ada di dalam mobil yang sama sekali tidak memutar musik di radio. Ada di dalam mobil yang senyap. Aidan berkonsentrasi menyetir pagi ini ke Bandung, untuk menghadiri pernikahan bersamaku. Aku harus hadir. Ini kakak kelasku selama di SMA. Tepatnya kakak kelasku di OSIS.

Tenang, tidak mungkin ada Gilang di sana. Dia pasti menyadari kalau aku akan datang. Dan dia pasti akan menghindari situasi seperti waktu itu. Aku juga mungkin tidak akan bisa kuat melihatnya. Melihat lelaki yang selalu menungguku. Selama 12 tahun. Penantian yang sia-sia, mungkin dia pikir begitu. Tapi aku benar-benar ingin bicara dengannya. Aku ingin melihatnya seperti aku melihat Gilang 12 tahun yang lalu.

“Butuh apa Pak Yudhis untuk minggu depan?” mendadak Aidan mengajakku bicara soal Ayah. Isi kepalaku mendadak buyar. Aidan bicara dengan tenangnya. Aidan cuma menjadi Aidan. Menjadi tunanganku yang sempurna. Menjadi dirinya sendiri.

“Aku lagi nunggu laporan dari orang partai. Kelihatannya ada beberapa titik yang belum tersentuh Ayah” jawabku.
“PIlihan yang bagus sekarang, masuk dari dapil Bogor”

“Sejak kekalahan telak pemilu kemarin, kelihatan kalau pemain di Jakarta memang keras sekali. Aku sudah yakin kalau Ayah bisa menang, mengingat seluruh kampanyenya terlihat sukses dan warga dapil-nya banyak kenal dia. Sayang kalah. Dan aku cuma bisa dengar dari jauh.. Ada di Inggris, aku gak bisa bantu Ayah soal apapun kemarin” jawabku panjang. Seluruh obrolan Aidan biasanya butuh jawaban yang panjang, detail, dan terperinci. “Jadi semua dangdutan waktu itu, hangus, gak ada hasilnya” lanjutku. Ya, memang begitu caranya menarik simpati pemilih. Dengan menghadirkan hiburan rakyat.

“Bogor harusnya memang lebih mudah” sambung Aidan.
“Pemain kotornya lebih sedikit dari Jakarta….”
“Tapi aku agak kurang setuju, kalau rapat kerja di Bogor untuk orang partai pakai hari kerja” sambung Aidan.
“Karena kamu jadi gak bisa dateng atau apa?” tanyaku.

“Bukan itu. Nggak semua orang Partai itu full time di Kanwil. Mereka juga ada yang kerja kantoran”
“Terpaksa. Sabtu Minggu di hotel itu, ada pernikahan… Dan orang-orang Kanwil juga sudah setuju..”
“Okay.. Just let me know if you need something”

Ya, ayahku harus menggenjot dirinya habis-habisan di pemilu ini. Pemilu yang akan datang. Dia sudah gagal di Pemilu yang sebelumnya, tidak sampai DPR. Walau kampanyenya meyakinkan, tapi dia kalah telak. Nomer buncit. Modal yang dikeluarkan sangatlah banyak. Kalau kata mereka, kesalahan ayahku cuma satu. Dia terlalu bersih. Dia terlalu lurus. Dia bukan orang licik seperti kebanyakan bapak-bapak ibu-ibu yang duduk di kursi wakil rakyat.

Jadi, untuk pemilu nanti, kami harus merubah startegi. Lari ke daerah yang lebih sepi. Lari ke daerah yang kurang berdarah-darah.

Dan untuk urusan yang agak “kotor”, tunangankulah yang akan mengurusnya. Tidak, bukan hanya urusan yang “kotor”. Untuk urusan apapun, dia sudah terlalu banyak terlibat di sini.

Dia sudah terlalu banyak terlibat dalam urusan keluargaku.

Dan dia sudah terlalu banyak tahu soal Gilang. Dari pertama aku mengenal Aidan ketika bersekolah di Inggris, dia sudah tahu soal Gilang. Dan itu tidak menyurutkan semangatnya untuk mendekatiku. Aidan tidak pernah bermain kotor, dia sangat gentle, sangat sopan, sangat rapi, dan sangat berdedikasi. Aku sudah terlalu banyak bercerita soal Gilang kepadanya. Dan dia pun tidak mundur. Dia maju, terus. Tanpa berhenti. Dan akhirnya, aku pun jadi ikut maju bersamanya, meninggalkan luka di hati Gilang sekarang, yang sangat ingin aku obati.

Aku melirik ke arah Aidan. Pria yang terlalu sempurna. Tatapannya begitu tenang, begitu lurus ke depan, menyetir tanpa istirahat dan tanpa ngantuk. Ya, dia memang seperti itu. Dia begitu tenang, kalem, dan selalu mendapatkan apa yang dia ingin dapatkan.

Seperti aku.

------------------------------

img_3610.jpg

Kami sudah ada di lokasi. Perjalanan yang macet tadi mengakibatkan kami datang agak siang. Untung saja resepsinya belum akan berakhir. Dan berada di muka umum dengan Aidan seperti sekarang ini, timbul satu pertanyaan di kepalaku. Haruskah aku menggandeng tangan Aidan? Mungkin harus. Karena aku harus terlihat seperti tunangannya. Kami lantas masuk dengan langkah pasti ke gedung pernikahan. Aku melihat ke sekeliling, untuk memastikan kalau Gilang tidak ada di sini.

Pasti dia tidak ada. Gilang tidak cukup bodoh untuk datang ke pernikahan seorang petinggi OSIS di angkatannya. Pasti semua anak-anak OSIS, termasuk mantan ketua OSIS seperti aku, seperti mendapat kewajiban untuk datang. Dia pasti tahu itu, dan dia pasti menghindarinya.

Ah, sudah ada sedikit wajah familiar yang kukenal di kerumunan manusia. Paling tidak, sekarang kita harus memainkan permainan a perfect couple. Perfect. Aidan Sjarief dan aku. Ya, kelihatannya perfect. Sejujurnya aku sendiri tidak tahu seperti apa harusnya kami dinilai.

Karena memang, penilaianku akan sebuah hubungan sudah sangat-sangat bias. Hubungan yang seperti hubungan bisnis seperti hubunganku dengan Aidan, memang menguntungkan. Tapi di sisi yang lain, ada banyak pengorbanan.

Dan bicara soal pengorbanan, terutama perasaan, sejak masuk ke dalam gedung, perasaanku tidak enak. Sangat-sangat tidak nyaman. Rasanya seperti akan ada sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi. Aku menggigit bibirku secara tidak sadar, sambil berusaha membalas sapaan orang-orang dan mengenalkan Aidan secara baik kepada mereka. Aku berusaha mengalihkan perhatian ke orang-orang yang mengajakku bicara tadi, sebelum aku naik ke pelaminan, bersalaman dengan pengantin pria dan wanitanya. Tapi entah kenapa, rasanya begitu gelisah.

Tidak.

Tidak mungkin ada Gilang di sini. Gilang memang polos, tapi dia tidak bodoh. Dia memang impulsif dan selalu berpikiran positif, tapi tidak mungkin dia datang ke tempat yang kemungkinan besar bakal berpapasan denganku. Walaupun aku ingin menemuinya, bahkan sampai nekat datang ke tempat usahanya dan menitip pesan kepada temannya, tapi tidak dalam situasi seperti ini lagi harusnya. Harusnya kami berdua bertemu dalam suatu lingkungan yang private. Dalam lingkungan yang benar-benar terjaga privasinya.

Bukan di tempat um…

Dan, aku menatap ke arah yang salah.

Salah.

Aku menatapnya.

Aku menatap mata Gilang lagi.

Pandangannya masih sama, kaget, pucat, dan ada sedikit kemarahan yang terlihat di matanya. Namun kali ini, dia tampak bergerak menjauh, meninggalkan kerumunan yang ramai dengan gerakan yang wajar. Aku menunduk. Menunduk dalam diam, di tengah keramaian.

“Kenapa?” tanya Aidan, melihat perubahan air mukaku.
“Kamu tahu kenapa”
“Bukannya memang susah dihindari, ini acara kakak kelas SMA kamu” bisik Aidan.

Aku terdiam agak lama, dan menggenggam tangan Aidan dengan keras. Aku menghentikan langkahku, dan tampaknya aku sulit untuk melanjutkan perjalananku ke pelaminan. Aidan diam, dia menarik napas panjang.

“Maaf, aku… Sebentar….” Aku langsung melepas tangan Aidan. Aidan tidak menatapku. Dia terdiam, menatap ke arah lain, seperti sudah tahu apa yang akan aku lakukan.

Aku menatapnya sejenak, dan aku langsung berjalan keluar, meninggalkan tunanganku, untuk mencari sosok yang selama ini menungguku. Aku berusaha mencarinya di luar ruangan. Jantungku berdetak begitu kencang. Ke mana Gilang mungkin pergi? Ke mana dia pergi kalau dia bertemu denganku di keramaian?

Saat ini, sepertinya tidak ada orang lain lagi di sekitarku. Tidak ada mereka semua. Yang ada hanyalah aku, belantara ini, dan Gilang.

Di mana dia?

Tempat merokok? Di tempat ini pasti tidak ada tempat yang khusus untuk merokok. Apalagi di luar ruangan. Beberapa orang melihat ke arahku. Memang aneh, melihat seseorang yang memakai dress batik dengan high heels, kalang kabut di depan pintu masuk sebuah gedung pernikahan. Dan akhirnya sudut mataku menemukan sosok yang kucari.

Gilang. Dia sedang duduk, sendiri di sebuah taman, dengan rokok di mulutnya, dan pasti ada kekesalan di hatinya. Dengan menarik napas panjang, aku mendekatinya. Aku sudah siap untuk segala kemungkinan terburuk, siang ini.

“Stop. Mau apa kamu?” Gilang menghentikan langkahku yang mendekatinya. Jarak kami ada sekitar 2 meter. Aku meremas barang bawaanku. Handbag yang berisi dompet dan smartphoneku. Aku meremasnya, sampai-sampai rasanya bisa kuhancurkan benda yang ada di tanganku ini.

“Aku… Mau bicara” aku tetap mendekat. Keramaian berada di sisi lain tempat ini. Mudah-mudahan kami tidak menarik perhatian orang banyak.

“Buat apa?” tanya Gilang, tanpa mau menatapku.
“Aku harus cerita, jelasin semuanya”
“Jelasin apa?”
“Soal aku”

“Udah jelas kan? Kalau kamu gak bisa nepatin janji kamu? Jadi stop.. Jangan jalan lebih deket lagi… Jangan ngomong apa-apa, gak usah capek-capek jelasin, dan gak ada gunanya juga”
“Aku perlu, bicara sama kamu” ya, suaraku terdengar seperti merajuk.
“Buat apa? Sana, balik lagi ke dalem… Ngapain ninggalin tunangan kamu buat ketemu aku?” Gilang menghisap dalam-dalam rokoknya.

“Aku butuh ngomong… Kamu gak biarin aku ngomong… Please, Gilang…”
“Please, Gilang?” GIlang lantas menatapku dengan tatapan marah. “Please? Buat dengerin kamu ngomong? Kamu punya 12 tahun buat ngomong. Kamu punya banyak waktu, buat jelasin kalau kamu ternyata ingkar janji… Udah lah… Gak ada gunanya ngomongin masa lalu. Gak ada gunanya… Kamu udah punya orang lain, aku juga harus gitu… Selesai. Done. Anggap aja kita gak pernah kenal”

“Gilang….”

“Udah… Gak ada gunanya… Aku pergi.. Lain kali kalau liat aku, jangan berani-beraninya ngejar-ngejar kayak gini. Gak pantes buat orang yang udah tunangan” Gilang menginjak puntung rokoknya, dan berdiri. Dia berjalan mendekat, dengan maksud melewatiku untuk kembali ke gedung pernikahan.

“Gilang…” Aku menarik tangannya.
“Lepas, apa-apaan ini?” Gilang menggenggam pergelangan tanganku dan dia berusaha untuk melepas tanganku dari tangannya.

“Sebentar… Aku mau ngomong”
“Kenapa sih kamu egois banget kayak gini? Kenapa aku harus dengerin kamu?”
“Aku pengen kamu tau posisiku sekarang… Dan sebenernya kayak gimana…”
“Udah telat…”

“Aku masih sayang banget sama kamu”

Gilang mendadak diam. Ucapanku tadi bagaikan petir di siang bolong baginya. Dia menunduk, menutup matanya, dan menarik napas panjang.

“Gak pantes omongan kayak gitu diomongin sama orang yang udah punya tunangan” lanjut Gilang.
“I mean it”
“Udah ya. Aku gak perlu denger apa-apa lagi”

“Ini semua demi Ayah”
“Aku gak perlu denger alesan kamu… Please, lepas….”
“Gilang…”
“Mau apa kamu? Kenapa kamu mendadak ngomong kayak gini?”

“Aku udah pengen ngomong kayak gini dari lama…”
“Ya, makanya karena kamu gak ngomong-ngomong jadi basi kan? Udah. Aku sama kamu selesai. Kamu bukan siapa-siapa lagi… Lepas” suara GIlang terdengar tajam dan menyakitkan. Tapi aku punya alasan kuat, kenapa aku harus bicara ke Gilang.

“Tunangan sama orang itu bukan berarti nikahnya bakal sama orang itu” bisikku.
“Stop. Aku gak mau denger”
“Aku butuh kamu… Aku butuh orang kayak kamu di hidupku”
“Bullshit” jawab Gilang. Dia benar-benar terlihat dingin.

“Ini semua politik keluarga Gilang… Ini bukan yang aku mau”
“Berisik… Aku gak mau denger” suara Gilang terdengar bergetar, seperti suaraku.
“Aku gak akan bahagia kayak gini… Aku bingung mesti bilang apa… Tapi aku bener-bener butuh ketemu kamu… Aku butuh ngobrol panjang lebar, cerita, kasih tau ke kamu… dan..”

“Buat apa?”
“Aku gak mau nikah sama dia…”
“Terus apa? Kawin lari sama aku? Jangan konyol. Kamu pikir kamu bisa ngelakuin semua yang kamu mau?”

“Gilang… Dengerin aku…” suaraku bergetar. Mataku terasa berat. Dan air mata yang kutahan akhirnya jatuh juga. Mataku berkaca-kaca, dan rasanya aku begitu ingin memeluk Gilang. Aku ingin merasakan kehangatan yang sama, seperti dengan yang aku rasakan 12 tahun yang lalu.

“Maaf. Tapi semuanya udah telat. Realistis aja, please”
“Bawa aku pergi.. Bawa aku lagi keliling Jakarta hujan-hujanan naik motor kamu, please…” tangisku.

“Saras… Udah.. Lepas” suara Gilang melunak. Mukanya terlihat datar, menyembunyikan perasaan entah apa. Entah itu marah, muak, kesal, atau jijik, aku tidak tahu. Tapi aku bisa merasakan, kalau dia tidak ingin berada di sini.

“Aku gak mau seumur hidup sama dia…. Ini semua politik. Ini semua pernikahan demi keluargaku, bukan buat aku…”

“Kamu bisa nolak”
“Andai segampang itu”

“Mana Saras yang dulu? Saras yang selalu kejar apapun yang dia mau? Saras yang ambisius? Kenapa sekarang yang aku liat Saras yang lemah? Saras yang mau disuruh-suruh dan mau nikah karena tekanan keluarga? Apa-apaan ini?” suara Gilang terdengar begitu emosional. Dan aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku untuk terus turun.

Aku kangen sekali, aku rindu sekali semua kehangatan Gilang dan semua kepolosan kami ketika dulu. Sekarang, semua ini sudah tidak ada, karena aku terbawa oleh arus kuat yang ada di dalam kepentingan keluargaku. Andai keluargaku biasa-biasa saja. Andai Ayah tidak tergantung pada Aidan untuk mengurusi seluruh kehidupan dan bisnisnya. Andai Ayah tidak ingin mengabdi sebagai anggota dewan pada negara.

Andai aku bisa dimiliki oleh Gilang sepenuhnya.

“Please Gilang…. Aku pengennya sama kamu…” tangisku.
“Jangan egois. Udah terlambat semua….”

Gilang memegang tanganku lagi dengan lembut. Dia menarik tanganku, yang genggamannya sudah lemah. Aku masih menangis. Aku berdiri, menunduk dan menyembunyikan mukaku dari semua orang.

Aku bodoh. Aku harusnya tidak menjalani hidupku yang sekarang. Aku seharusnya tidak pergi ke Inggris. Aku seharusnya tidak pernah bertemu dengan Aidan. Aku seharusnya tidak pernah mengizinkan ayahku mengenal Aidan. Seharusnya orang tua Aidan bukanlah orang terdekat Ayah. Harusnya semua ini tidak ada saja. Harusnya aku menikah saja dengan Gilang setelah lulus SMA.

Persetan dengan semua ini.

“Jangan pernah cari aku lagi. Maaf” bisik Gilang. Dia lantas meninggalkanku yang menangis sendiri. Dengan penuh penyesalan, aku menatap ke punggungnya yang menjauhiku.

Ah, perempuan itu ada lagi. Tara namanya. Dia menatap Gilang dengan tatapan khawatir. Dia menatap Gilang dengan tatapan yang tulus dan tidak dibuat-buat. Gilang mendekatinya. Tara memegang tangannya, menggandengnya. Mereka berdua lantas pergi. Mereka berdua berjalan ke arah parkiran. Gilang tidak menengok lagi ke belakang.

Aku menatap ke arah tangan Gilang dan Tara yang bertautan.

Andaikan itu aku. Tapi mimpiku sudah hancur. Hancur seiring air mataku turun di siang hari bolong ini. Siang hari bolong di tengah kebahagiaan pernikahan orang lain.

Aku hancur. Harusnya aku tidak pernah punya perasaan terhadap Gilang. Tapi apakah aku bisa terus-terusan menutupinya? Apakah aku harus menyerah dan menjalani hidup yang diinginkan orang tuaku? Sudahlah Saras, kau bukan siapa-siapa. Setidaknya bagi Gilang, kau bukan siapa-siapa lagi.

------------------------------

BERSAMBUNG
TOP! Racebannon sampai saat ini selalu WOW!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd