Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Who do you think Gilang will end up with?

  • Saras, kan dia First Love nya Gilang

    Votes: 44 10,7%
  • Tara dong.... dia yang bareng Gilang dalam susah dan senang

    Votes: 161 39,0%
  • Gak sama siapa-siapa.... Sedih amat ya?

    Votes: 51 12,3%
  • Dua-duanya, bobonya digiliar tiap hari, kadang-kadang threesome

    Votes: 157 38,0%

  • Total voters
    413
  • Poll closed .
penant10.jpg

PENANTI – PART 11

------------------------------

#GILANG – 5

“Gapapa… Lo tidur aja lagi, besok kita ngobrol”

Itu yang Tara bilang pagi-pagi buta sewaktu di Bandung. Kenyataannya, dari mulai pagi, di jalan ketika pulang kembali ke Jakarta, dan sesampainya di rumahku, Tara diam seribu bahasa. Aku tahu aku mengatakan hal yang pastinya tidak pantas ia dengar ketika aku mabuk, dan aku tidak punya pembenaran. Yang tersirat dari kata-katanya yang misterius di tengah tangisnya subuh itu, bahwa isi kepalaku hanya Saras.

home9311.jpg

Dan sekarang aku kehilangan Tara. Tara ada di dalam, di ‘kantor’ restoran kami. Malam ini, Red Comet sedang sepi. Ini hari Selasa. Hari pertama kami buka setelah libur di hari Senin. Dan dari pertama aku bertemu Tara, Tara diam beribu bahasa. Dia tidak mengatakan satu patah katapun kepadaku. Dia langsung masuk ke dalam ruangan ‘kantor’, berkutat dengan pembukuan dan merekap laporan penjualan hari Sabtu dan Minggu.

Ini semua gara-gara pertunangan Saras dan Aidan. Kalau tidak ada pertunangan itu, aku sekarang sudah bersama Saras, dan hubunganku dengan Tara akan baik-baik saja. Sudah kepalang basah sekarang.

Di sisi lain, Saras, terlihat selalu berusaha untuk meraihku. Entah dengan cara dia menelepon dan mengirim pesan yang banyak sekali sebelum aku memblock nomer handphonenya, ataupun dengan cara nekat mendatangiku ketika resepsi pernikahan di Bandung kemarin.

Resepsi pernikahan yang berakhir bencana, karena memang akhirnya kacau balau. Kemesraanku dengan Tara hilang. Pasti karena aku bicara aneh-aneh soal Saras ketika mabuk. Itu pasti. Kalau mabuk, rem bicara jadi blong. Dan aku menyesal sudah minum-minum seperti itu. Aku terlalu stress karena Saras.

Sekarang, aku malah menyimpan dendam atas pertunangan Saras dan Aidan. Aku menatap handphoneku, sedang menimbang-nimbang untuk menerima Saras kembali, dengan membuka blokir atas nomornya.

Aku menatap ke arah dapur, disana para pegawai berkumpul. Mereka mengobrol pelan, dan suara mereka tertelan oleh musik latar.

Tapi sebelum aku memutuskan soal Saras, aku harus meluruskan beberapa hal dengan Tara. Aku bangkit, membuka pintu ‘kantor’ dan menemukan Tara masih berkutat, mencatat pembukuan dan mengurutkan satu persatu kopi kuitansi dan bukti pembayaran mesin debit dan mesin kredit.

“Tara”
“Hm” jawabnya, tidak menjawab.
“Gue mau ngobrol bentar boleh?”
“Ngomong aja…. Gue dengerin” jawabnya dengan ucapan yang datar. Dia berusaha untuk tidak melihat mataku.

“Gak di sini juga…”
“Kalo gitu enggak”

Aku menarik napas. Tampaknya aku sudah benar-benar kehilangan Tara. Senyumnya yang menemaniku bertahun-tahun kini sudah hilang. Dan cuma urusan pekerjaan dan profesionalitas saja yang menyebabkan dia masih mau datang hari ini. Sisanya, dia pasti enggan menatapku lagi.

Jam 12 malam.

Ah, persetan. Dengan mudah dan tidak masuk akal, aku duduk di kursi untuk tamu, dan membuka blokir nomor Saras. Ya, mulai, pesan-pesan di sosial media masuk. Handphoneku mulai terasa panas. Aku menarik napas dan mulai membaca pesan-pesan sialan itu. Semua pesannya intinya sama, mengajak bertemu, bicara, ingin bercerita, kangen, dan sebagainya. Intinya isinya adalah kata-kata yang tidak pantas diucapkan oleh seseorang yang sudah bertunangan dan akan menikah.

Aku melihat chat windowku dengan Saras, yang penuh rengekannya. Penuh sekali. Dia sedang online. Dan dia pasti kaget, melihat ratusan pesannya mendadak semuanya masuk ke dalam handphoneku dan terbaca. Aku sungguh ingin mengutuk orang yang sudah menciptakan tanda ‘sudah dibaca’ di aplikasi sosial media. Dia pantas mendapatkan satu tempat terbaik di neraka.

“Gilang?” mendadak ada pesan baru masuk. Aku menarik napas. Menutup layar handphoneku. Dan aku mengeluarkan rokok. Dengan langkah gontai aku berjalan ke dapur.

“Jang” aku menegur salah seorang karyawanku.
“Ya Mas?”
“Bikinin kopi dong, satu, terserah adanya apa… bikinin aja”

“Oke siap Mas” senyum orang yang dipanggil. Aku tersenyum balik, dan merayap, kembali ke kursiku. Jam 12 malam ini, mendadak hujan gerimis turun. Aura Red Comet berubah, dan bau rumput masuk ke hidungku, memenuhi kembali ingatanku.

“Ya” aku membuka handphoneku dan membalas pesan Saras.
“Aku kangen”

Oke. Dari ucapan pertamanya saja sudah seperti ini. Seburuk apa pertunangannya dengan Aidan?

“Aku tau” jawabku, berusaha menutupi perasaanku.
“Can I meet you now?”

Apa? Belum-belum sudah mengajak bertemu? Mendadak kopi yang kupesan datang. Dan aku berterimakasih pada siapapun yang membuatkan dan mengantarnya. Sekarang aku kembali ke Saras.

“Kamu gila apa?”
“Gilang.. Please”
“Besok siang”
“Sekarang ga bisa?”

Aku menelan ludah. Aku jadi ingat sewaktu dia SMA.

--

file_110.jpg

Hujan, dan mendadak ada bunyi bel mengagetkan diriku yang sedang membuat PR. Pekerjaan Rumah. Fisika, susah lagi. Terus ada bel di pintu. Pada ke mana sih sore-sore para pembantu rumah tangga? Kayaknya lagi pada konsentrasi nonton sinetron di kamar mereka. Orang tuaku belum pulang, dan Eyang Putri sepertinya belum bangun dari tidur siang.

Oke deh. Aku turun, siapa sih yang kurang ajar ngeganggu aku yang lagi ngerjain PR Fisika?

Aku ngintip ke jendela, dan menemukan Saras dengan celana pendek, T-shirt dan payung. Aku menarik napas dengan kesal dan membuka pintu.

“Apaan nih?”
“Anterin”
“Ke mana?”
“Toko buku” rajuk Saras.
“Buat apaan?”

“Besok ada ujian trigonometri dan busur derajatku ilang”

“Aku lagi ngerjain PR Fisika” aku, Gilang, lalu bermuka masam ke arah Saras. Saras cuma manyun. “Lagian ujan Ras, kamu mau apa sih… Ntar aja sorean, temenin aku bikin PR dulu, ntar dianterin deh ke mall” aku mencoba bernegoisasi dengan Saras.

“Yuk, bentar doaang, gak sampe setengah jam, oke?”
“Ke toko bukunya bentar, tapi ntar kamu liat-liat baju, beli komik, segala macem, akhirnya sampe sore dan terus aku udah males ngerjain PR” jawabku sinis.

“Enggak, janji” senyum Saras merajuk.

“Bodo ah, PR lebih penting daripada nemenin tetangga beli busur, lagian minta dianterin sama supir aja kenapa sih?” kesalku.

“Maunya sama kamu”
“Emangnya aku tukang ojek pribadi kamu?” aku bercanda sambil bersungut-sungut, malas meladeni Saras yang sebentar lagi, senjata ultimatenya keluar.

“Iya” senyumnya. Sialan, manis banget sih anak ini.
“Yaudah, tunggu dulu, aku beresin PR Fisikanya….”
“Gilang…” dia mulai merajuk.
“Apaan?”
“Yuk”
“Nanti…”

“Sekarang ga bisa?” matanya berbinar, memohon, bagaikan mata anak anjing yang minta dipungut dan disayang. Kalau puppy eye-nya Saras sudah keluar, aku tidak bisa lagi menolak.

“Hhhh.. Oke deh”
“Asik… Gilang baik!”

“Asyik~ Gilang baik~” aku mengulangi kata-katanya untuk meledek. Dan saat itu, aku langsung mempersiapkan jas hujan dan helm cadangan.

--

“Sekarang ga bisa?” senjata Saras dari dulu, kalau dia ingin sesuatu dari diriku.

“Sekarang ga bisa?” sialan. “Sekarang ga bisa?” sialan lagi. Gesturenya saat mengucapkan itu, muncul terus di ingatanku dan sekarang kepalaku rasanya sakit. Rasanya benar-benar tidak bisa kukendalikan emosiku. Tapi aku sekarang sudah bukan anak SMA lagi, dan aku akan menjawabnya secara berbeda.

“Besok siang. Lunch. Aku kerja malam ini. Oke?”
“Kenapa gak sekarang? I really want to see you”

Gila memang. Saras seperti tidak punya pekerjaan lain saja selain menungguiku membalas pesan-pesannya.

“Enggak. Besok ya? Nanti sebelum jam 12 aku kasih tau”
“Ok…”

Aku menarik napas, menghirup kopiku dan menatap Tara yang baru saja keluar dari ‘kantor’. Dia duduk di meja yang lain, dan menarik rokok dari kotaknya. Dia membakarnya dan mengisapnya dalam-dalam. Tak lama kemudian mata kami berdua bertemu, dan Tara langsung membuang pandangannya.

Ya, aku memang kehilangan Tara, tapi setidaknya, ada yang harus kembali ke diriku.

------------------------------
------------------------------
------------------------------


bluegr10.jpg

Aku duduk di restoran itu, dengan tenang, tanpa suara. Minuman sudah ada di depanku, dan aku belum memesan makanan.

Mall ini, mall yang katanya mall selingkuh. Mall besar yang sepi di Jakarta Selatan, di tengah-tengah keramaian Kuningan. Mall ini diapit oleh banyak gedung perkantoran dan apartemen. Tapi tetap sepi walau bioskopnya ramai. Karena sepinya, Mall ini dijuluki Mall selingkuh.

Aku memilih tempat ini, sengaja, karena Saras dan aku memang tak seharusnya bertemu. Tapi semua omongannya sewaktu di Bandung, dan rentetan kejadian-kejadian yang kacau balau semenjak weekend kemarin, seperti membuka jalan bagiku untuk bisa menerima kehadiran Saras di dalam hidupku. Apalagi kalau pertunangan sialannya yang jadi awal dari semua bencana itu bisa batal. Pasti hal itu bisa memperbaiki hidupku sekarang.

“Otw” pesan terakhirnya sebelum aku duduk di restoran ini. Dan sekarang aku tinggal menunggu Saras datang.

“Gilang..” suara lembut itu mengagetkanku.

“….” aku diam tanpa suara, dan aku melihat Saras duduk dengan pelan di hadapanku. Kemeja abu-abu yang lengannya digulung, jeans dengan aksen robek di lutut, flat shoes, handbag yang cocok, dan riasan yang tipis. Dia terlihat begitu dewasa. Image di kepalaku akan dirinya yang manja dan kolokan ketika waktu SMA dulu hilang.

“Pesen dulu aja” aku bersuara, ketika tampaknya Saras siap untuk bicara panjang lebar. Aku mengambil rokok dan membakarnya. Aku sengaja duduk di smoking area. Tak lama kemudian kami memanggil pelayan dan kami memesan apapun yang ingin dan perlu kami pesan. Tak ada yang spesial. Cuma makan siang berdua, antara Gilang dan Saras. Kalau ini terjadi 12 tahun lalu, pasti kami berdua sudah mulai ledek-ledekan. Pasti Saras sudah mulai merajuk-rajuk manja. Pasti aku sudah menjahilinya.

Pasti kami berdua menikmatinya.

Tapi sekarang, rasanya seperti ada lubang besar di langit yang menyedot segala jenis bentuk dan apapun soal kehidupan yang ada di dunia ini, sehingga hati rasanya kosong sekali.

“Jadi…”
“Hm?”
“Aku…”

“Ngomong aja… Sekarang aku dengerin. Kita udah ada di sini” sambungku, melihat kecanggungan Saras yang muncul.

“Aku gak tau harus mulai dari mana”
“Gak mungkin aku dikte kan?”
“Em…. Soal… Itu… Tara apa kabar?” Saras tersenyum dengan terpaksa.

“Dari mana kamu tau kalo namanya Tara?”

“Eh? Dia gak bilang?”
“Bilang apa?”
“Temen kamu yang di restoran itu…. Gak bilang apapun sama kamu?” tanya Saras.

“Bilang soal apa?”

“Aku waktu itu… sempet dateng ke Red Comet” Saras menundukkan kepalanya.
“Apa?”

“Permisi…” seorang waiter mendadak memotong pembicaraan kami. Dia meletakkan minum Saras di depan perempuan cantik ini. Entah kenapa, dia terlihat tidak terjangkau sekarang, beda dengan Saras 12 tahun yang lalu.

“Siapa dateng ke Red Comet?” aku menegakkan dudukku.

“Aku” jawab Saras pelan.

“Ngapain?”

“Nyari kamu” jawabnya pasti.

“Buat apa?”

“Kamu blok nomerku dan semua akses sosmed ke kamu. Aku gak punya pilihan lain. Aku bilang, aku harus ngobrol sama kamu kan?” lanjut Saras dengan ucapan yang sepertinya sudah dia latih sebelumnya. Penuh emosi, tapi entah kenapa tertata dengan begitu rapihnya.

“Sepenting apa, ngobrol sama aku? Sampai-sampai kamu bikin hal tolol di Bandung kemaren” sambungku. Kepalaku lari ke Tara sekarang. Kenapa dia tidak memberitahu kalau Saras sempat datang ke Red Comet saat aku mental breakdown gara-gara pertemuan tidak sengaja yang melibatkan Aidan Sjarief juga itu? Ini semua terlalu memusingkan untukku.

“Tara…. Dia… Gimana sama kamu?”
“Gimana apanya?” aku bertanya balik, bingung dengan topik pembicaraan siang ini.
“Aku liat kalian gandengan pas di Bandung… Dia, siapa-siapa kamu kah?” tanya Saras.

“Bukan urusan kamu, tapi aku gak ingkar janji sama kamu. Aku beneran nunggu.” jawabku dengan nada berat.

“I see”
“Jadi, sepenting apa hari ini, sepenting apa kita mesti ketemu? Apa ada hubungannya sama tunangan kamu yang katanya kamu gak mau itu?”

Saras mengangguk. Dia menarik napasnya. Dia lantas diam, ketika makanan sudah mulai datang, dihidangkan di depan aku dan Saras. Tapi selera makanku mendadak menghilang. Entah apa yang harus disampaikan oleh Saras, dari pertama. Dan kalau memang dari pertama, kenapa dia tidak bicara dari awal?

“Ini semua di luar kemauan aku” dia menghela napas panjang. “Aku gak bahagia sama dia. Dia memang spoiling aku banget, dengan cara apapun. Perhatian dan dia selalu available. Tapi bukan dia yang aku pengen” Saras mulai makan, dengan perlahan. Aku bisa melihat tidak ada nafsu makan di matanya.

“Terus? Kamu gak bisa gitu aja nge-deny semua yang udah orang tua kamu arrange kan? Apalagi kamu bilang buat Ayah kamu, ini semua…. Gimana urusannya tiba-tiba kamu bilang ga mau, terus ngomong gak jelas di depan aku…. Gak ngerti…” lanjutku.

“Aku gak tau. Yang kupikirin selama ini cuma kamu, Gilang. Aku gak bisa mikirin yang lain…”

Kami berdua terdiam. Dan makanan yang sudah pasti enak di depanku ini terlihat begitu tidak menarik. Perutku rasanya langsung penuh dan indra perasaku mendadak macet. Baunya juga tidak menggugah selera untuk siang ini. Sementara Saras tampak berusaha makan, berusaha untuk terlihat wajar-wajar saja di depan umum. Lama-lama aku merasa, keberadaanku di sini adalah sebuah kebodohan.

“Ini bukan Saras yang aku kenal” aku membuka suara.

“….”

“Saras yang aku kenal orangnya gak sekalem ini. Dia manja, kekanak-kanakan, cengeng, dan ngeselin. Kalau yang sekarang… Kamu keliatan kayak orang yang terlalu dewasa”

Saras tersenyum tipis. Itu bukan senyum senang. Itu senyum yang tertahan. Dia tampak tidak nyaman dengan perkataanku tadi.

“Jadi intinya apa, kamu mau bilang apa?” aku melanjutkan bahan pembicaraan yang tidak nyaman hari ini.
“Aku mau minta maaf karena semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku gak nyangka ujungnya bakal jadi kayak gini dan aku gak bisa menuhin apa yang aku omongin sendiri sebelum berangkat ke Inggris” Saras menunduk ke bawah, menghindari mataku.

“Dan impossible kalau kamu ninggalin semua yang kamu punya sekarang” aku menarik napas. “Kan kamu bilang tadi ini di luar kemauan kamu, tapi kalau udah kayak gini, bisa apa kamu?”

“Aku..”
“Kamu gak bisa dapet dua-duanya…. Kamu gak bisa bareng sama dia sekaligus bareng sama aku… Kamu harus milih” lanjutku, dengan suara bergetar. Aku tidak nyaman mengatakannya.

“Aku….”
“Setelah selama ini, dan semua kejadian yang gak enak kemaren, in the end kamu tetep bilang pengennya sama aku…. Tapi apa semudah itu kamu batalin pernikahan yang udah bakal kejadian? Apalagi kalau sudah banyak urusan keluarga yang saling tumpang tindih….” lanjutku.

“Aku kayaknya harus cerita siapa dia dan kenapa aku bisa end up sama dia” sambung Saras.
“Aku dengerin”

“Jadi… Waktu di Inggris, dia udah duluan di sana, beda jurusan sama aku dan…. kita ketemu di acara orang-orang Indonesia di sana. Dari awal ketemu, dia udah ngejar…. Dan dia ngejar jangan kamu bayangin ngejar kayak orang gak jelas… Dia datang dengan segala macam kesopanan dan keramahannya….”

“Terus kamu gak nolak?” tanyaku.
“Gilang… Udah aku bilang kan, kalo aku cuma mikirin kamu?”
“Terus kenapa kamu gak nolak?”

“Aku nolak”
“Tapi kenapa bisa jadi kayak gini?”

“Dia…” Saras menarik napasnya. “Dia masuk lewat orangtuaku…. Somehow ternyata orang tua kami saling kenal dan deket, dan lama-lama, setelah dia lulus dan pulang ke Indonesia, beberapa perusahaan Ayah dipegang dia…. Dan lama kelamaan, hidup kami jadi tergantung sama dia… Dan mudah saja buat Ayah untuk jadi sayang banget sama dia dan dia yang nentuin kalau kami harus nikah. Dia gak minta, dia cuma selalu ada di keluargaku, dan bisa dibilang, kalo dia gak ada, Ayah jatuh….” Saras menelan ludahnya, sementara aku memaksakan makanan yang ada di depan mataku untuk masuk ke dalam perutku.

“Nah. Aku gak bisa tanding lawan kayak gitu. Konyol, konyol banget….. Kayaknya kita berdua mesti sadar kalau pernikahan jaman sekarang bukan cuman urusan cowok sama cewek. Tapi udah include keluarga besar dan bahkan sumber penghasilan seperti yang baru aja aku denger tadi”

Berat sekali mendengarnya. Rasanya tidak nyaman, dan benar-benar tidak bisa kubayangkan, hidup menjadi Saras sekarang. Harusnya aku menyadari, bahwa kondisi seperti 12 tahun lalu yang aku bayangkan selama ini impossible. Hidupku dan Saras sudah tidak lagi beririsan. Dan semua pemikiranku soal kerinduanku kepadanya benar-benar tidak berguna sekarang. Rasanya hancur. Aku bisa menikmati bersamanya sekarang, tapi aku tidak bisa memilikinya. Posisiku sudah tidak nyaman sekarang. I lost Tara. Dan sekarang, aku cuma bisa melihat Saras dari jauh, seperti ini.

“Dia juga… frequently pergi ke Inggris bahkan setelah dia lulus, dan literally dia urusin semua kebutuhanku di sana…..”
“Dan kamu gak bisa ngomong apa-apa lagi sama orang tua kamu kan?”

“Gak bisa” Saras menggelengkan kepalanya, menghentikan makannya dan dia menutup mukanya. Mukanya memerah. Entah kenapa seluruh emosinya seperti akan tumpah. Dia pasti menahannya. Akan sangat memalukan, untuk tunangan Aidan Sjarief terlihat menangis di sebuah restoran bersama laki-laki lain.

“Tapi kamu juga gak bisa konyol”
“Aku… Aku rindu jadi tolol dan bodoh seperti 12 tahun lalu” senyum Saras, memperlihatkan wajahnya yang hampir saja menjatuhkan air mata.

“Gak bisa kayak gitu, kita udah umur berapa sekarang? Udah gak bisa balik lagi ke jaman kita bocah dulu, gak mikirin apa-apa selain ulangan dan ujian nasional….”
“Gilang… Aku kangen banget jadi tolol seperti yang aku bilang… Bener-bener gak tahan aku…. Aku pengen banget dibonceng kamu lagi, keliling Jakarta liat tempat-tempat gak penting dan ngabisin waktu sama kamu….” dia merajuk.

“Saras… Aku…”
“Tolong…”
“Gak bisa… Kita…” aku sudah ingin menyerah. Aku akan kembali ke tempatku sebelum Saras pulang sepertinya, walaupun Tara sudah tidak bisa lagi untuk menerima kalau aku kembali.

“Gilang…. Aku bener-bener butuh kamu supaya aku bisa waras lagi…”

“Ini berlebihan”

Saras mendadak menggenggam tanganku yang ada di atas meja. Dia menggenggamnya dengan erat. Erat sekali, sampai-sampai sepertinya tanganku akan dia remukkan. Aku diam. Aku menatap wajahnya. Matanya berkaca-kaca, menatapku lekat sekali, seperti tidak ada lagi yang ia liat selain diriku.

“Gilang…”
“Aku..” sial. Aku tidak bisa menolak tangannya. Aku bereaksi dengan menggenggam tangannya balik. Tangannya begitu lembut, hangat dan menenangkan. Seperti sensasi Saras yang kukenal.

Ini tolol. Dan bodoh.

“Aku bahagia banget bisa megang tangan kamu lagi….”
“Saras aku…”

“Ini yang kutunggu dari dulu, dan aku udah berdosa banget sama kamu…. Biar aku bayar dosaku dan kita bisa jadi Gilang dan Saras yang seperti dulu lagi….. Please?” dia menatapku dengan tatapan puppy eye-nya. Matanya berbinar, memohon, bagaikan mata anak anjing yang minta dipungut dan disayang. Kalau puppy eye-nya Saras sudah keluar, aku tidak bisa lagi menolak.

Aku hanya tersenyum tipis, menatapnya dengan tatapan yang paling kalem yang kubisa.

------------------------------

malam_10.jpg

Benar-benar seperti dulu lagi. Saras ternyata tidak membawa mobil atau diantar supirnya. Dia datang sendiri menggunakan ojek online. Dan kini, dia ada di bangku belakang motorku. Motor vespa tua legendarisku. Kami berjalan menuju entah ke mana, berdua. Dan dia memelukku dari belakang, bersandar ke punggungku.

Kalau memang kami berdua harus konyol dan tolol bersama dalam mengambil keputusan, mungkin tidak apa-apa. Mungkin memang harus begini.

Mungkin kami harus tolol bersama menghadapi dunia yang sudah terlalu dewasa dan pelik ini.

Dia memelukku erat dari belakang, dan aku bisa merasakan detak jantungnya yang begitu kencang. Sensasi hangat yang ada di punggungku membiusku, membuatku jadi tolol dan bodoh, seperti yang diinginkan Saras.

Kalau memang pertunangan itu bisa batal, hancur, hancur sekalian. Tidak ada salahnya hidup berdua dengan Saras, semau kami berdua. Sekarang dunia rasanya jadi milik kami berdua. Yang lain boleh ngontrak. Dan sepertinya, aku ingin memutus kontrak yang lain, biarkan mereka jadi gembel semua di duniaku dan Saras yang akan indah ini.

------------------------------

BERSAMBUNG
 
Cocok banget ....

Nikmati dulu aja sekarang ini , besok jadi urusan besok ... Btw Saras serius gak ya ma Gilang jangan jangan hanya angin surga saja , kecuali Saras bisa ngasih prewinya ke Gilang , baru deh percaya ..

Jadi penasaran apa yang akan di lakukan Gilang buat ngalahin Aidan ..
 
Terakhir diubah:
“Ini yang kutunggu dari dulu, dan aku udah berdosa banget sama kamu…. Biar aku bayar dosaku dan kita bisa jadi Gilang dan Saras yang seperti dulu lagi….. Please?” dia menatapku dengan tatapan puppy eye-nya. Matanya berbinar, memohon, bagaikan mata anak anjing yang minta dipungut dan disayang. Kalau puppy eye-nya Saras sudah keluar, aku tidak bisa lagi menolak.

Aku hanya tersenyum tipis, menatapnya dengan tatapan yang paling kalem yang kubisa.
Aduh gilang:bata: kenapa mau coba?
Saras pake pelet apaan ni?
 
Hidup Saras...... Hidup tara...... sikat dua-duanya bro
 
Komen dulu dah baca belakangan.
Terima Kasih updatenya Om @racebannon,
Tetap semangat sukses selalu RLnya dan selalu sehat. :semangat::mantap:
 
nunggu senekat apa gilang .. sepertinya kalo ngeduluin aidan buat celupan yg pertama boleh juga .. hahaha
 
Wowow.. Sikat aj deh 2 nya biarin aj kale.. Jengah juga kalo janji gak di tepatin..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd