Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Who do you think Gilang will end up with?

  • Saras, kan dia First Love nya Gilang

    Votes: 44 10,7%
  • Tara dong.... dia yang bareng Gilang dalam susah dan senang

    Votes: 161 39,0%
  • Gak sama siapa-siapa.... Sedih amat ya?

    Votes: 51 12,3%
  • Dua-duanya, bobonya digiliar tiap hari, kadang-kadang threesome

    Votes: 157 38,0%

  • Total voters
    413
  • Poll closed .
Suhu Race,
santai aja suhu..
baru part 11,
konfliknya Gilang udah bejibun ginih..
kalo sebagus ini, 90 part kyk mdt juga ane anteng nungguin..
:beer:
 
penant10.jpg

PENANTI – PART 12

#SARAS – 3

Sudah lama sekali aku tidak merasa sesenang ini. Naik motor bebek yang agak reyot sebagai penumpang, memakai helm yang sudah dipakai ratusan orang, tapi rasanya sangat bahagia. Bukan Gilang yang mengemudikan motor ini. Tapi orang asing. Orang asing yang dipanggil lewat aplikasi di smartphone.

01937310.jpg

Ini pertama kalinya aku naik ojek online. Pondok Indah ke Tebet.

Rasanya sungguh-sungguh jantungku ingin meledak. Ini pertemuan selanjutnya dengan Gilang. Aku bertanya, apakah aku boleh mengunjunginya di rumah, dia menjawab boleh. Dan rasanya malam sebelumnya, aku tidak bisa tidur. Aku sibuk mengobrak-abrik lemari, memadu-padankan baju, bingung memakai parfum yang mana, dan sibuk memikirkan sebaiknya rambutku digerai atau diikat.

Paginya, aku benar-benar excited. Aku tidak butuh kopi pagi tadi. Aku hanya butuh rasa excited karena Gilang. Hari ini, setelah pembicaraanku kemarin dengannya, aku akan bertemu dengannya lagi. Masih teringat, tadi, setelah mandi dan segala macamnya, aku sibuk berulang kali berganti-ganti baju, menimbang mana yang cocok untuk bertemu Gilang. Bingung memakai make up yang mana, bingung memakai warna baju apa, dan bingung, mau bawa mobil sendiri, naik taksi online, atau ojek online?

Diantar oleh supir rumah bukan pilihan. Akan ada banyak pertanyaan dari semua orang. Untuk apa aku ke Tebet? Ke rumah Gilang? Tidak ada yang boleh tahu, karena pasti tidak ada yang paham. Aku rasanya menjalani mimpi. Mimpi yang kupendam selama 12 tahun. Mimpi sebelum Aidan ada di dalam hidupku.

Cuma ada Gilang, Gilang, dan Gilang di mimpiku. Dan sekarang, aku akan merealisasikan mimpiku.

Aku tidak sabar ingin bertemu neneknya. Aku tidak sabar ingin memakan masakannya. Dan aku tidak sabar, ingin bicara tentang semua hal dengan Gilang. Semua hal. Dari yang paling remeh, hingga yang paling berat. Dan aku tersenyum saat melirik ke dalam tas yang kupeluk. Boneka beruang legendaris itu ada di dalam, tersenyum kosong menatap ke dinding tas, menunggu bertemu papanya.

------------------------------

img_2011.jpg

“Hei, masuk!” Gilang melihatku yang turun dari ojek online dengan muka yang riang. Aku meniti jalan, ingin rasanya buru-buru masuk ke rumah mungilnya yang baru saja kulihat ini. Aku belum pernah ke sini. Dulu Gilang memang tetanggaku, jadi aku bisa tiap hari ke rumahnya dan sebaliknya. Sekarang, rasanya seperti terlempar ke zaman remaja dahulu.

“Saras…. Apa kabar? Aduh makin cantik…..” neneknya Gilang muncul di pintu dan aku langsung memeluknya. Dia memelukku erat, seakan tidak ingin melepasku.

“Maaf Eyang, aku baru bisa dateng sekarang..."

“Ndak apa-apa akhirnya bisa liat Saras lagi….. Ya Allah cantik sekali kamu…. Sekarang sudah gede….. Ya Allah…” neneknya Gilang tampak bahagia melihatku, dia melihat dalam-dalam ke mataku dan mendapati jiwa ada lagi di dalam diriku. Ya, aku sudah hidup lagi.

Aku bukan Saras yang mati lagi. Aku baru bisa hidup kalau ada di sekitar Gilang.

“Makan sayang, ayo… Udah dimasakin sama Gilang lho…” senyum sang nenek. Dan aku tersenyum ke arah Gilang. Mata kami berdua bertemu, dan rasanya ini seperti mimpi. Mimpi yang sangat indah. Mimpi yang luar biasa.

Kami bisa bersama lagi. Di tengah kehangatan Gilang yang selalu kuimpikan. Sepi, sepi rasanya 12 tahun tidak melihat mukanya. Hancur rasanya melihat dia pernah jatuh, dua kali gara-gara aku dan sejarahku. Dan aku tidak tahu, apakah sekarang aku melakukan hal yang nekat? Aku sudah tidak peduli lagi. Rasanya ini benar, dan nyaman. Rasanya harusnya ini yang kulakukan sejak dulu. Rasanya aku ingin kabur dari dunia nyata dan berpindah ke dunia mimpi ini.

Dunia mimpi yang ada Gilangnya dan berlimpah masakan enak yang selalu bisa dia masak.

Ini mimpi yang jadi nyata, dan apa yang harus kukorbankan untuk bisa hidup di mimpi ini terus?

------------------------------

“Makasih banget ya” senyumku sambil mencuci piring. Neneknya Gilang sedang nonton televisi di ruangan tengah. Rasa masakan yang luar biasa enak masih memenuhi mulutku.

“Makasih buat apa?”
“Dua hal” lanjutku. “Pertama kamu bikin aku kenyang banget”

Gilang tersenyum, menatapku dengan tatapan yang penuh kasih sayang. “Dan yang kedua, kamu kasih aku kesempatan buat ketemu kamu lagi…..”

“Aku gak nyangka, akhirnya kita sampai di sini juga" lanjut Gilang.
“Maksudnya?”
“Dengan segala kondisi kamu yang sekarang, kamu ada di sini itu...."

“Please Gilang” aku memotong ucapan Gilang yang tampaknya ingin mengembalikan aku ke dunia nyata. “Kalau aku sama kamu, pengennya cuma denger hal-hal yang ada hubungannya sama kamu aja” aku tidak ingin mendengar soal Ayah, soal Aidan, ataupun soal hal-hal yang dianggap penting. Aku cuma ingin Gilang, Gilang dan Gilang saja. Itu saja. Yang lain, tidak akan kupikirkan.

“Oke” jawab Gilang, sambil duduk di kursi makan. Dia memperhatikanku yang sedang mencuci piring. Rasanya nyaman sekali seperti ini. Harusnya aku tidak bermimpi jauh-jauh ingin berkarier di bidang yang berhubungan dengan politik praktis, dan aku sudah muak dengan segala ambisi ayahku untuk terjun ke politik. Aku harusnya tidak kuliah. Aku harusnya langsung menikah dengan Gilang dan jadi ibu rumah tangga setelah lulus sekolah. Persetan dengan semua gelar master ini. Persetan dengan Inggris.

Aku cuma ingin seperti sekarang, mencuci piring sambil dilihat oleh Gilang.

Rasanya jauh lebih melegakan daripada diwisuda di negeri orang. Jadi, sebenarnya selama ini aku hidup menjalani mimpi siapa? Kenapa dulu aku memutuskan untuk berangkat jauh, meninggalkan, dan mengorbankan kebahagiaanku yang paling besar? Mungkin penyesalan itu bisa kubayar sekarang.

Setelah menyelesaikan kegiatanku membantu mencuci piring di rumah Gilang, aku menatap ke arah dirinya yang sedang duduk di kursi, meregangkan badannya. Tampaknya dia terlihat lelah.

“Nanti malam kamu kerja ya?” tanyaku.
“Iya”
“Udah cukup belum tidurnya?”
“Santai lah, toh di sana juga ngejagain, dulu sih masak tiap hari… Tapi semenjak ada pegawai, ga pernah lagi” jawab Gilang.

“Pegawai yang masak, sama kamu yang masak, enakan kamu dong jelas” aku duduk di sebelah Gilang. Obrolan kami diwarnai oleh suara sayup-sayup televisi yang dinyalakan oleh sang nenek.

“Menurut kamu enakan siapa?”
“Waktu aku pertama kali makan, yang masakin itu siapa?” tanyaku.
“Aku”

“Enak banget berarti”
“Tapi resepnya sama kan…. Jadi apa bedanya?” tanya Gilang balik.
“Beda di tangannya… Mungkin keringat kamu jatoh ke dagingnya, jadi lebih enak apa gimana, atau ada serpihan bulu idung gitu?” ledekku ke Gilang.
“Jijay”

“Ahahaha…. Oh iya, ada yang mau aku kasih ke kamu!” aku berdiri, dan mencari tasku yang kutinggalkan di sofa, di depan televisi. “Permisi ya Eyang…” aku menunduk dan tersenyum ke neneknya Gilang sambil merogoh handphoneku.
“Iya sayang…” senyumnya, melihatku yang sedang mengutak-ngatik isi tas.

Aku menelan ludahku saat kusentuh smartphoneku. Rasanya panas smartphone ini. Tidak seperti smartphone yang didiamkan di dalam tas. Refleks, aku menariknya dan melihat layarnya.

Ya, sudah pasti. Ada beberapa missed call, bahkan sampai ada sms segala. Ini artinya siapapun yang menghubungiku, pasti sudah menyerah menunggu jawabanku lewat media sosial. Untung saja kumatikan nada deringnya. Karena masih panas, berarti bombardir telpon dan pesan baru saja terjadi. Aku melihat ke arah jam. Pantas saja.

Ya, pantas saja smartphoneku ramai. Sudah jam segini. Tapi aku lantas menarik napas panjang, dan menyalakan mode pesawat. Airplane mode. Alias tidak ada lagi sinyal yang kuizinkan untuk masuk ke dalam smartphoneku. Masa bodo. Peduli amat. Aku belum ingin bangun dari mimpiku.

Aku memilih untuk menyimpan smartphoneku lagi dan mengambil benda yang benar-benar penting, lalu aku segera beranjak ke arah Gilang masih masih duduk dengan tenangnya di kursi makan. Penting untuk kami berdua.

“Nah, ini!” aku menyerahkan sesuatu dengan mata berbinar.
“Mr. Bobo?” senyum Gilang, kegelian. Dia menerima boneka beruang belel yang sewaktu kami kecil main rumah-rumahan, dia selalu jadi anak kami. Bulunya sudah kusut, dan pita yang melingkar di lehernya sudah lama hilang. Tapi Mr. Bobo selalu jadi teman tidurku, setidaknya sampai tadi malam. Hanya dia memento yang bisa menghubungkanku dengan Gilang. Bau buluk Mr. Bobo selalu bisa menenangkanku. Dan kadang, kalau aku sedang sangat-sangat kesepian ketika di Inggris sana, aku mengajak bicara Mr. Bobo, seakan-akan dia adalah makhluk hidup yang bisa diajak berkomunikasi.

“Sekarang Mr. Bobo nginep di rumah papa ya” senyumku sambil membelai kepala Mr. Bobo.
“Kok? Aku pikir dia selalu bareng mamanya?” tawa Gilang.
“Haha… Inget kan?”
“Inget apa?”

“Waktu kita udahan main rumah-rumahannya, terus kamu mau bawa Mr. Bobo, padahal ini bonekaku”

“Oh, inget” Gilang tertawa kecil, mengingat masa laluku dan dia.

“Terus kita tarik-tarikan, sambil teriak-teriak…. Mr. Bobo ikut papa, Mr. Bobo ikut mama… Jangan mau ikut papa, papa jelek” tawaku, kegelian.

“Itu kayak adegan ngebagi hak asuh anak yang sangat-sangat menyeramkan lho” komentar Gilang. Dia meminum air di gelasnya dan dia menarik Mr. Bobo mendekat, dan dia mencolok-colok matanya.

“Kamu jangan nyiksa Mr. Bobo dong” aku menarik lengan bajunya.
“Kenapa, emang dia bisa ngerasain, kan dia boneka” ledek Gilang.
“Jangan ih”
“Kalau aku balikin gini gimana?” candanya.

“Jangan nanti Mr. Bobo pusing, nanti muntah-muntah kalau pusinggg…” aku merajuk, menarik Mr. Bobo yang dipegang terbalik oleh Gilang, kepalanya di bawah, dan dia goyang-goyang, seperti sedang naik wahana di taman bermain.

“Mana bisa boneka pusing” Gilang benar-benar kelihatan kegelian.

“Papa jahat ya Mr. Bobo?” aku berbisik ke Mr. Bobo. Dia diam. Tentu saja dia diam, kan dia boneka. Tapi, rasanya begitu nyaman melakukan ini di depan Gilang. Rasanya seperti mengulang waktu ketika sekolah dasar sampai SMA.

“Papanya realistis, tau kalau Mr. Bobo itu boneka” senyum Gilang dengan muka ngantuk.
“Eh, kamu kalau tidur dan bangun jam berapa sih biasanya?” tanyaku penasaran.
“Biasanya? Jam segini sih masih tidur… Aku bangun biasa siang banget, jam berapa ya?”
“Loh, berarti aku ngeganggu jam tidur kamu dong sekarang?”

“Eh, gapapa kali…. Kan jarang-jarang kamu ada di sini”
“Terus kamu udah tidur?”
“Yah, tadi udah sih, subuh sampe jam berapa ya? Jam 9 gitu?”
“Ih, kurang tidurnya…..” aku kaget dan merasa bersalah karena telah memakan waktu tidur Gilang.

“Gak, gapapa kok, nanti kalau kamu pulang, aku tidur lagi, terus abis itu berangkat ke Red Comet… Tapi jujur sih, kayaknya bagusan kamu gak pulang-pulang” senyum Gilang, sambil menatap entah ke mana, dan aku sepertinya bisa menebak apa yang dia pikirkan.

Pasti tentang kita berdua, dan kaitannya dengan kondisiku sekarang. Kondisiku yang masa bodo. Biarkanlah hal-hal yang berhubungan dengan realita putus dulu kalau aku ada bersama dengan Gilang. Aku ingin menikmatinya, selamanya.

“Eh, kamu nanti gimana?” tanya Gilang mendadak.
“Gimana apanya?”

“Pulangnya”
“Oh gampang, naik ojek aja” senyumku dengan begitu lebarnya.

“Ojek? Keenakan nih kayaknya anak Inggris naik ojek online”
“Banget, coba di London ada, enak tuh keliling-keliling…. Hahahaha” tawanya.
“Tapi enakan Jepang atau Singapur ya katanya public transportnya?”
“Iya banget”

“Kata temenku yang sering ke Jepang, di sana sih nyaman banget, kalo Inggris ga tau deh” lanjut Gilang.
“Enak amat temennya sering ke Jepang….”
“Bukan temen sih ya, kenalan kali…. Ketemu gak sering sih, kalo lagi kebetulan aja… Nah, dia istrinya orang Jepang” cerita Gilang.

“Oh ya? Sering bolak balik ke sana dong?”
“Enggak juga sih, cuman… Hmmm… Bentar, kok aku lupa ceritanya…” Gilang tampak sedang merangkai kata-kata di atas kepalanya, mencoba mengingat-ngingat.

“Oh, jadi gini… Dia sering ke Jepang bukan urusan keluarga, tapi urusan musik” ceritanya bersambung.
“Oh ya? Musisi?”
“Iya, band nya kalo ga salah didistribusiin di label Jepang gitu, dan pernah manggung beberapa kali di sana”

“Asik dong… Ketemu istrinya pas lagi manggung-manggung gitu ya?”
“Em… Kalo ga salah enggak sih, malah pas sebelum band nya di orbitin di Jepang sana, tapi lupa…” Gilang nyengir, pertanda kalau informasinya soal orang ini tidak banyak.

“Kenal di mana?” aku penasaran saja, berbasa-basi dikit dengan cinta pertamamu tidak salah kan?
“Nah dia… itu… Jadi, di Kemang ada coffeeshop enak banget, yang punya itu…. joinan antara…”
“Antara?”
“Istrinya si musisi ini.. yang orang Jepang, dengan… si Zul..” jawab Gilang dengan agak-agak berat.

“Zul.. Temen kamu berarti ya, yang temen kamu si Zul ini?” tanyaku bingung, karena ceritanya seperti agak berat.
“Zul… Gak bisa dibilang temen juga sih…”
“Oh, tapi kenal karena kamu sering main ke tempat mereka atau sebaliknya?”
“Gak juga…”

“Oh, kenal dari mana? Deketan tempatnya ya di Kemangnya kalian?” aku lama kelamaan bertanya seperti penyidik kriminal atau jaksa penuntut umum.
“Zul itu…. Mantan pacarnya Tara” jawab Gilang.
“Oh..” Tara. Perempuan yang kutemui di Red Comet. Juga perempuan yang menggandeng tangan Gilang ketika dia pergi dariku, sewaktu di Bandung.

“Nevermind” lanjut Gilang.
“Hehe” aku tersenyum. Mungkin sempat ada cerita tentang dia dan Tara. Tapi aku tidak boleh memberikan judgement apapun. Bukankah yang berkhianat selama ini adalah aku?

“Jadi…. Abis ini, apa selanjutnya?” tanya Gilang, sambil menatapku dengan tatapan yang santai.
“Masih banyak” senyumku. “Aku masih pengen nonton bioskop sama kamu, jalan ke mana-mana sama kamu, ke kebun binatang, makan es krim…. Terus…”

“Bukan, bukan itu, Saras… Tapi soal kita” Gilang menunjuk ke arahnya dan ke arahku.
“Oh” aku menarik napas panjang. “Kita masih punya banyak waktu kan? Kamu yang bilang sendiri ke aku”
“Iya” respons Gilang.

“Dan aku pengen banget bisa nikmatin waktu kita yang banyak ini” aku tersenyum, meraih dan menggenggam tangan Gilang. Ya, masih banyak waktu di dunia mimpi, dan sekarang, aku tidak ingin bangun-bangun lagi.

------------------------------

desain11.jpg

“Kamu ke mana aja??” bentak Bunda saat aku mengeluarkan minuman dingin dari lemari es.
“Aku ada urusan” jawabku pelan. Aku baru saja pulang sore itu ke rumah. Aku berangkat dari rumah Gilang, ketika Gilang berangkat ke Red Comet.

“Urusan apa?”
“Aku kan baru pulang, banyak yang harus ditemuin dan diajak ngobrol. Aku gak bisa ninggalin gitu aja janji-janji ketemu ini, itu” jawabku asal-asalan ke perempuan yang sudah pernah mengandungku selama 9 bulan.

“Urusan apa itu? Memang lebih penting daripada urusan Ayah?” Ibu mendelik. Dia pasti penasaran, ke mana saja aku hari ini. “Ayah nelepon, kamu gak ngangkat, Ayah pikir, kamu sama Aidan, Taunya enggak…. Sampai Aidan juga telpan telpon nyariin kamu…. Tapi katanya hape kamu mati…. Tega banget kamu Nak, gak ada kabar gini” keluhnya.

“Ya, urusan Ayah bisa aku kerjain sekarang”
“Udah nunggu dari tadi itu semua!! Ayah pikir kamu mau ke kantor partai ambil data survey, terus arrange press release sama kader-kader di sana…. Waktu gak ada kabar, panik lah Ayah.. Besok pagi harus udah siap itu press release ke media!!” bentak ibuku pelan. Dia tidak pernah marah berlebihan kepadaku.

“Aku bisa kerjain sekarang, begadang” jawabku.
“Kalau gak beres gimana?”
“Aku mahasiswa rantau dulu, biasa kayak begini”

“Nanti yang meriksa gimana? Ayah harus meriksa dan orang partai juga harus meriksa, sekarang sudah jam berapa? Sudah jam 5 sore, Saras… Mereka kapan mau meriksa press release? Mereka kapan mikirnya kalau mau revisi?” cecar sang Bunda.

“Bisa. Nanti aku bikin supaya gak direvisi”
“Jangan konyol. Nanti beda maksud statement Ayah dan sekjen partainya di media sama aslinya, kamu jangan konyol begitu….”
“Iya, makanya aku bikin yang bener… Sekarang datanya di mana?” tanyaku berlagak bodoh.

“Datanya masih ada di kantor partai!! Kan sudah Bunda bilang kemarin, Ayah juga sudah ngingetin, taunya kamu malah hilang seharian, gak ada kabar, telepon gak diangkat, wassap, sms, semuanya gak dibalas… Wassap juga boro-boro dibaca, sekarang saja masih centang hitam, sayang” ibuku makin lama makin cerewet, karena dia pasti pusing memikirkannya.

“Aku ambil sekarang aja” jawabku pelan.
“Pake apa?”
“Ojek”
“Ngapain?”
“Kalo bisa kenapa enggak?”

“Emang kamu pernah naik ojek online?” tanya ibuku bingung.
“Tadi”
“Habis dari mana kamu sih, Bunda bingung, kemana kamu ngilang….”
“Aku kan ada urusan tadi”

“Urusan apa?”
“Ada, pokoknya yang harus didatengin…..”

“Kamu gak ketemu Gilang kan sayang?”

Pertanyaan ibuku seperti petir yang menyambarku di hari yang cerah dan indah.

“Bukan urusan Bunda juga”
“Kalau kamu ketemu Gilang, orang bilang apa…. Kamu kan sudah tunangan, cukup sekali saja sewaktu kamu kasih tau ke dia soal pertunangan kamu dan Aidan” respons sang ibu.

“Ya intinya soal tadi aku pergi, dan soal Gilang juga, dua-duanya bukan urusan Bunda”
“Saras… Kamu ketemu Gilang kan tadi?”
“Bukan urusan Bunda”

“Saras, tapi kamu sudah bilang kan soal kondisi kamu ke dia sekarang?”
“Udah”
“Terus gimana, Bunda belum pernah dengar sekalipun cerita soal dia…”
“Bukan urusan Bunda”

“Siapa yang ngajarin kamu ngomong kayak gitu?” mendadak ibuku terpancing emosinya, karena jawabanku yang terlihat menghindar.
“Gak ada” aku berjalan dengan pelan ke arah tangga, berharap tiba di kamarku dengan cepatnya.

“Saras… Kamu gak ketemu sama Gilang kan?”
“….”
“Saras!” aku terus menjauh. “Saras! Jawab Bunda! Kamu gak ketemu dengan Gilang kan?”

Bodo amat.

Aku segera beranjak ke arah kamarku. Dan aku menutup dan menguncinya dari dalam. Aku membanting badanku ke kasur. Aku mengambil bantal dan kupeluk bantal itu, sambil menatap ke sudut ruangan, tempat di mana aku dan Gilang berciuman untuk pertama kalinya.

“SARAS!!” terdengar suara ketukan keras di pintuku. “Tadi kamu bilang kamu mau kerjain press release kan? Data juga belum diambil!! Buka, Saras!”

Masa bodo.

Semua orang sibuk dengan dunia nyata, dan aku masih ingin bermimpi. Mimpi soal kami bertiga. Aku, Gilang, dan Mr. Bobo. Hanya ini yang penting sekarang. Persetan dengan Ayah, persetan dengan Bunda, persetan dengan pemilu, partai, dan terlebih lagi, persetan dengan Aidan.

------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terima kasih banyak Om @racebannon,
udah kaga bisa ngomong Om racebannon, sangat bersemangat tiap hari ditibanin update.
Kapok dah gak mau minta update lagi. :ampun:

Sukses selalu RLnya, sehat selalu dan dilancarkan Rizkinya, Amin
 
Tuh kan,, berat kalo udah urusan tetek bengek keluarga

Thanks update nya om
 
terima kasih banyak updatenya suhu @racebannon...
er isnt saras too old for her rebellion age?
anyway.....
sangat berbahaya untuk mengekang mereka yang "nothing to lose" seperti saras dan gilang....
kayaknya battle nya antara gilang vs aidan n mamak bapaknya saras ya,...
 
Hadeeh...
Saras.. kamu jadi candu.. narkoba buat Gilang.
Kau hadirkan kebahagiaan semu dengan meminggirkan realita.
Siap-siap aja kamu Gilang, kecanduan dan sakauw, ketika semesta kembali ke realita yang kejam.
Saras + Aidan nikah = Gilang edan..

Tara.. sang penyembuh.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd