Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Who do you think Gilang will end up with?

  • Saras, kan dia First Love nya Gilang

    Votes: 44 10,7%
  • Tara dong.... dia yang bareng Gilang dalam susah dan senang

    Votes: 161 39,0%
  • Gak sama siapa-siapa.... Sedih amat ya?

    Votes: 51 12,3%
  • Dua-duanya, bobonya digiliar tiap hari, kadang-kadang threesome

    Votes: 157 38,0%

  • Total voters
    413
  • Poll closed .
yahhhh......kirain ada apdet PENANTI...
MDT kan re apdet hu......

yang dinanti ya....penanti atuh hu....
 
penant10.jpg

PENANTI – PART 14

#GILANG – 6

Kadang, memang butuh pengorbanan untuk mendapatkan hal yang kita inginkan. Mungkin butuh mengorbankan sebuah hubungan yang dekat, agar keinginan kita tercapai. Keinginan itu sepertinya makin lama makin terbuai. Karena, hari ini aku menatap Saras yang tersenyum di pintu masuk bioskop sebuah mall.

gandar10.jpg

Mall ini pasti sepi kalau sedang hari kerja seperti sekarang, apalagi siang-siang.

Dan pengorbanan yang kulakukan, adalah renggangnya hubunganku dengan Tara. Setelah kami sempat seperti saling mengisi, tampaknya hatiku tidak bisa berbohong lagi, kalau yang menjadi makanan utama untuk semangat jiwaku adalah keberadaan Saras.

“Kok” aku bingung melihat Saras.
“Kok kenapa?” tanyanya sambil kami berjalan berdua, mengantri di antrian yang kosong.
“Engga, aneh aja liat kamu, kayak anak SMA atau kuliahan dandanannya” dan dia cuma tersenyum menanggapiku.

Ya, hari ini, dia tidak berdandan dewasa. Dia memakai T-shirt yang agak kebesaran, dengan celana jeans dan sneakers belel yang mungkin memang berasal dari jaman SMA kami dulu. Dan dia memakai backpack kecil. Wajahnya bersinar, berseri-seri seperti anak SMA yang mau ikut karya wisata.

Setelah kami membeli tiket untuk berdua, kami lantas duduk di sebuah pojok. Untuk duduk di sana kami harus membeli makanan atau minuman dari cafenya. Tidak apa-apa walau kemahalan. Sekali-kali. Dan sambil menunggu pesanan kami tiba, dan membunuh waktu sebelum film dimulai, aku menatapnya dengan seksama. Tunangan orang lain ini duduk di depanku, setelah beberapa kali dia mengatakan kalau dia sayang padaku. Kalau dia inginnya menikah denganku.

Ini menyenangkan sekaligus mengerikan.

Tapi, bukankah aku sudah memilih jalan yang ini? Aku sudah memilih tidak akan peduli lagi pada kondisi pertunangan Saras, dan karena angin sudah membawaku ke sini, maka aku memilih untuk bisa menghabiskan waktu sebisa mungkin dengan dirinya. Apalagi hari ini. Hari ini mendadak, dia mengajakku untuk menonton film di bioskop. Dan film pilihannya adalah film animasi untuk semua umur.

“Dulu kamu inget gak?” mendadak Saras membuyarkan lamunanku padanya.
“Inget apa?”
“Taun segitu aku maksa-maksa kamu nemenin aku nonton Chicken Little, padahal besok kamu ada UTS” tawanya.

“Oh iya, sialan banget itu, tapi kok aku gak bisa nolak ya?” jawabku, mengingat masa itu. Aku sudah kuliah waktu itu, dan aku masih ingat, film-film animasi sedang booming-boomingnya di awal 2000-an.

“Kok gak bisa nolak ya?” tanya Saras, retoris.
“Nontonnya sama kamu sih”
“Haha, coba dulu jawaban kamu sejujur sekarang”

“Dan sekarang kamu ngajak nonton lagi, nonton Coco pula, aku udah pernah liat trailernya tapi kok gak tertarik ya”
“Trailernya emang agak-agak misleading sih, tapi kata orang-orang, filmnya bagus banget” senyum Saras.
“Buat anak SMA kayak kamu sih bagus kali ya”
“Haha, sialan” dia tertawa dan menatap ke arah waiter yang membawa pesanan kami. Setelah waiter pergi, dia melanjutkan obrolannya. “BTW, kamu libur dari kerjaan itu hari apa?” tanyanya.

“Senen sih” jawabku dengan santai.
“Oh... Senen doang ya?”
“Iya”
“Aku padahal tadinya pengen ngajakin kamu......” dia meringis dengan muka penuh penyesalan.

“Ngajakin aku ngapain?”
“Kayaknya dalam waktu dekat, 10 hari dari sekarang, aku bakal disuruh survey ke Bogor, sendirian.... Ayah yang nyuruh, dan karena sendirian, aku... Ya, apa berlebihan nggak kalau aku minta ditemenin kamu?” ya, muka Saras sekarang muka merajuk lagi.

“Berapa lama?”
“Mungkin dari Senen sampai.... Rebo?”

“Wah” mendadak ingatanku kembali ke Red Comet dan Tara. Aku menelan ludah. Kalau aku tinggalkan sendiri, sebenarnya tidak apa-apa, tapi bagaimana dengan Tara? Kalau dia tahu aku mau libur sehari dua hari demi Saras, dia pasti tidak akan kuasa menahan, tapi pasti hatinya akan tambah terluka. Tapi biarlah, mungkin memang harus begitu supaya dia melupakan aku di sisi yang itu. Tapi di sisi yang lain juga, tampaknya makin lama kedekatanku dengan Saras makin intim.

Ya, makin intim. Mulai dari bertemu, bicara dan makan berdua, lalu dia datang ke rumahku, lalu beberapa kali bertemu lagi di tempat umum yang sepi... Apakah aku jadi selingkuhan orang? Apalagi sekarang kami menonton bioskop berdua. Tampaknya makin hari, makin parah, kalau kami disebut selingkuh. Kontak fisik? Sejauh ini, hanya sebatas saling memegang tangan, kalau posisi tubuh kami sedang dekat. Sisanya? Secara emosional, memang rasanya dia seperti kekasihku. Kekasih yang kudambakan sejak 12 tahun lalu.

“Kalau nggak bisa, gakpapa juga sih” senyum Saras, mencoba membunuh mimpinya berdua-dua denganku.

“Tapi nanti aku usahain bisa sih, lucu juga pergi berdua kamu, bantuin kamu” jawabku. Mungkin kalau aku bisa membantu pekerjaan Saras yang berhubungan dengan orang tuanya, rencana tololku untuk mendepak Aidan makin lama makin bisa jadi kenyataan.

“Ditunggu konfirmasinya sih” tawanya.
“Secepatnya, malem ini aku coba tanyain ke...” Sial, aku hampir saja menyebut nama itu.
“Tara?”
“Iya” senyumku.
“Oke” senyum Saras balik.

Ya, aku harus segera melupakan Tara, agar aku bisa secepatnya juga menggantikan peran Aidan di kehidupan Saras.

------------------------------

tingka10.jpg

“Gak telat untungnya ya” senyum Saras saat kami berdua masuk ke dalam keremangan bioskop. Di layar masih iklan-iklan rokok yang sok keren itu. Tapi trailer-trailer yang biasa dipertontonkan, sudah lewat.
“Emang belum telat sih kalau buat aku” balasku, menelan sedikit pop-corn yang ada di tengah-tengah kami berdua. Aku memang tidak terlalu suka menonton trailer film. Di youtube saja malas, apalagi di bioskop.

“Kalau aku sih udah telat, kan aku seneng nonton trailer” tawa Saras.
“Ah, inget nonton film terakhir sama kamu, kamu maksa-maksa aku buruan makannya karena kamu pengen liat trailer dulu waktu itu” aku menyipitkan mataku ke arah Saras, pura-pura marah.

“Kan aku seneng nonton trailer” Saras menjulurkan lidahnya ke arahku. Senang rasanya melihat dirinya seperti hidup ketika bersamaku. Aura jenuh yang ada setiap kulihat dia bersama Aidan rasanya tidak pernah ada di dirinya.

“Duh pengen ke WC lagi” bisik Saras, mendekat ke arahku. Aku tersentak. Kaget. Bukan karena apa yang ia bisikkan. Tapi dalam posisi sedekat ini, aku bisa mencium wangi tubuhnya, dan rasanya ada yang tidak biasa. Beberapa kali aku bertemu dengan dia, aku mencium bau parfum dewasa yang mengalir lembut ke arah hidungku. Tapi sekarang, aku benar-benar kaget. Cologne untuk remaja? Dan bau ini aku hafal sekali. Ini cologne yang dia pakai dulu ketika SMA.

Apakah dia benar-benar ingin mengulang waktu kami berdua masih tolol dan muda?

Kalau iya, izinkan aku bermain di permainan tolol ini juga. Aku akan menikmatinya.

“Kok diem aja” tegur Saras.
“Eh iya... anu, ke WC dulu aja gih, buruan”
“Malesin yak” Saras mendadak bangkit dan dia beranjak ke arah pintu keluar.

Pakai cologne remaja? Dengan bau yang sama ketika dulu dia masih SMA? Mikir apa dia? Apakah dia sebegitunya sampai sekarangpun, dia sengaja berpenampilan muda? Pakaiannya tidak seperti biasanya. Biasanya dia selalu memakai pakaian yang menunjukkan kedewasaan. Sekarang, dia malah berdandan seperti anak kuliahan. Lalu, cologne remaja? Gila apa? Nyari di mana dia? Apakah mereknya pun masih jualan? Aku tidak tahu dan tidak pernah tahu soal hal ini. Tapi, kalau memang dia memakai nya hanya untuk memuaskan memorinya bersama denganku, aku adalah pria yang benar-benar beruntung.

Ini bukti kalau dia rela meninggalkan realitas bersama Aidan dan tenggelam dalam memori manis bersamaku.

Dan tanpa sadar, aku terdiam dan tersenyum sendiri.

“Sori” Saras duduk lagi di sebelahku. Cepat sekali dia ke WC-nya, pikirku. Aku tersenyum ke arahnya, dan film di layar sudah mau mulai. Layar begitu terang, dan suasana di dalam bioskop begitu gelap. Aku menatap ke arah Saras yang berseri-seri melihat warna-warna indah yang terpampang di layar perak. Ya, sekarang dia benar-benar menjadi Saras yang kuingat.

Saras yang kekanak-kanakan, Saras yang manja, Saras yang apa-apa serba merepotkanku. Dan aku suka sekali kondisi ini.

Aku mengikuti Saras, dengan memperhatikan layar juga, mencoba mendalami cerita yang disajikan lewat media animasi 3D. Biasanya, film-film seperti ini, apalagi dari studio ini, menyajikan cerita ringan yang dapat dicerna oleh semua umur, tapi dengan pesan moral yang dalam. Tak heran kalau orang dewasa juga ikut menikmatinya. Tapi, tatapan di muka saras bukan tatapan orang dewasa yang menikmati film animasi untuk semua umur. Tapi tatapan riang seorang anak manja yang penuh dahaga akan warna dan cerita yang penuh fantasi.

Ditambah lagi, film-film seperti ini punya lagu-lagu latar yang ikonik. Punya lagu yang bisa jadi hits. Dan Saras menikmatinya sekali. Dia sekarang menikmati setiap detik, menit yang dia habiskan di sini. Dia tertawa saat adegan sedang menyuruhnya tertawa. Dia akan menahan tangisnya setiap adegannya mengharukan.

Benar-benar tampilan seorang anak manja yang kukenal selama ini. Aku akan melupakan sosok Saras yang serius dan murung. Aku akan mengingat lagi sosok yang ini. Sosok yang sekarang sedang menikmati apapun yang dia ingin tonton.

Sambil ikut menikmati film di layar, tanganku pun sering ada di armrest untuk mengambil beberapa butir popcorn yang menemani kami. Dan frekuensinya cukup sering. Dan saat itulah, tangan kami berdua bertemu. Aku tanpa sengaja menyentuh tangannya yang lembut, tangannya yang juga ingin mengambil cemilan khas bioskop ini. Aku melirik ke arah Saras dan dia tampaknya tersipu.

Dengan tololnya, tangan kami berdua benar-benar bersentuhan. Tampaknya kami harus lebih jujur lagi. Jujur terhadap perasaan sendiri. Dan saat itulah, tangan kami berdua benar-benar saling menggenggam. Tanpa malu-malu lagi, Saras menggenggam tanganku, bahkan dia bersandar ke bahuku dan menarik tanganku dalam pelukannya.

Aku merasakan hangat pelukannya di tanganku. Aku merasakan degup jantungnya, karena memang tanganku menyentuh dadanya. Dan wangi cologne yang tidak sesuai dengan umurnya itu, memenuhi rongga hidungku, membiusku dan aku tidak bisa berhenti menatapnya.

Menatap Saras yang sedang bersandar ke badanku di kegelapan. Aku pun mencondongkan tubuhku ke arah dirinya. Mendadak, apapun yang sedang diputar di layar bioskop, tidak penting lagi untukku. Naluriku mengatakan untuk terus menatap Saras, untuk terus melihatnya dan menggenggam tangannya. Aku ingin terus mencium wangi yang datang dari tubuhnya ini, dan aku tidak ingin berjarak lagi dengan dirinya.

Tanpa sadar, aku sudah berhenti nonton film. Aku sekarang menonton Saras. Menonton Saras yang kurindukan, yang kutunggu sejak 12 tahun lalu. Sekarang dia ada di sebelahku, bersandar ke badanku, menggenggam tanganku. Tanganku dia letakkan di atas pahanya, dan dia memeluk tanganku dengan badannya. Aku benar-benar narasakan detak jantungnya, karena tanganku menyentuh dadanya. Dan dia tidak masalah dengan itu.

“Kamu liat apa?” Saras menengok ke arahku, sadar kalau aku tidak menghadap ke arah depan.
“Liat kamu” jawabku dengan jujur. Saras tersipu, dan dia menatap mataku dalam-dalam.

Ini momennya. Aku singkirkan perasaan malu, cemburu dan perasaan takut, dan aku memajukan kepalaku, mencoba meraih bibirnya.

Dan Saras menyambutku. Bibir kami berdua bertemu, di dalam bioskop yang gelap ini. Bibirnya terasa lembut, terasa sangat hangat. Ciuman singkat itu lalu berakhir. Aku menarik kepalaku dan aku menatap matanya. Walau gelap, aku bisa merasakan pipinya memerah. Dia tersenyum malu dan dia menatap lagi ke arah layar.

Ya, ciuman kedua kami terjadi di sini. Dan rasanya, benar-benar seperti ada di dalam mimpi.

------------------------------
------------------------------
------------------------------

home9311.jpg

Kepalaku masih ada di bioskop tadi siang. Walau sekarang aku berada di Red Comet, tapi rasanya aku masih tertinggal di sana. Jiwaku tertinggal di sana.

Tara sedang pergi. Pergi kemana entahlah, dia tadi hanya pamit ke pegawai, tidak pamit kepadaku. Biarkan. Biarkan dia jadi dirinya sendiri lagi, yang tidak ada apa-apa denganku. Biarkan dia jadi partner bisnisku lagi.

Tapi memang, suasana di Red Comet akhir-akhir ini sepi. Kami berdua tidak mengobrol lagi. Aku baru saja bicara dengan seorang pelanggan yang tidak kukenal. Tapi dia mendapatkan rekomendasi tempat ini dari teman kuliahku, jadi aku harus beramah tamah dengan dirinya.

Dan sekarang, restoran sudah sepi lagi. Aku membunuh waktu sampai waktu tutup, yang masih lama itu dengan menyalakan rokok di salah satu meja kosong.

Ya, memang sepi tanpa Tara di tempat ini. Tapi bagaimanapun, Tara pun harus menyadari bahwa kondisi yang sekarang terjadi memang jauh dari apa yang sempat kami jalani beberapa waktu setelah Saras datang dari Inggris dan sebelum pernikahan di Bandung itu.

“Mas Gilang?” mendadak seorang pegawai mengagetkanku.
“Ada apa?” aku masih terpaku ke handphone, melihat pesan-pesan lucu dari Saras sebelum dia tidur.
“Ada yang nyari Mas….”

“Siapa?”

“Itu” sang pegawai menunjuk ke arah pintu masuk, dan di sana, berdiri sesosok manusia. Sosok yang membuat jantungku berhenti mendadak. Seorang pria, yang dandanannya casual tapi rapi. Tatapan matanya benar-benar pasti, seperti tahu semua hal.

Aidan Sjarief. Mata kami berdua bertemu, dan dia tersenyum tipis ke arahku. Aku kaget, dan tak tahu harus berbuat apa. Senyumnya tidak dapat kusimpulkan. Entah itu senyum ramah, atau senyum mengancam.

Baru saja tadi siang, aku menonton berdua dengan tunangannya, memegang tangan tunangannya, dan mencium bibir tunangannya. Kalau dia ingin mengamuk, maka mengamuklah dia. Tapi tidak. Dia berjalan dengan langkah pelan ke arahku, dengan muka datar. Entah memang dia berusaha menahan emosinya, ataukah ada hal lain yang dia sembunyikan dengan muka seperti itu.

“Boleh saya duduk di sini?” tanyanya sambil menunjuk kursi yang ada di depanku. Masih dalam suasana kaget dan jantung berhenti, aku mengiyakan dengan anggukan kepalaku. Aidan tidak membuang waktu lagi, dia duduk di depanku dan menatap mataku dengan tatapan yang teduh.

“Apa kabar?” tanyanya.
“Eh... Ehm.. Baik...” jawabku dengan terbata-bata.

“Tempat yang bagus” dia melihat ke sekeliling. Dia tampak mengagumi tempat ini. Ya, banyak orang bilang, suasana Red Comet memang cozy. “Saya suka sekali burgernya. Tapi... Saya datang sekarang bukan untuk makan” dia berusaha tersenyum. Tapi aku bisa melihat ada sedikit api kemarahan di matanya. Tapi dia pasti bertindak kalem dan terukur. Dia Aidan Sjarief, bukan sekedar pria dewasa Jakarta semata.

“Akhir-akhir ini, Saras..... Ya... Kalau boleh saya simpulkan, dia jadi tidak fokus.” Dia memulai ceritanya. “Di satu sisi, Anda pasti tahu kalau saya tunangan Saras, tapi kita berdua pasti tahu, akhir-akhir ini dia kenapa dan menghabiskan waktu dengan siapa” lanjutnya. Dan aku heran, kenapa dia bisa setenang ini, sementara aku merasa begitu terancam oleh keberadaannya.

“Maksudnya?” aku berusaha untuk mengimbangi kalimatnya.

Aidan mengambil napas panjang, dan dia melanjutkan kalimatnya.

“Saya sudah tahu tentang Anda sejak dulu sekali, dari pertama saya mengenal Saras. Tidak ada satu detikpun, di saat saya sedang berusaha untuk mengenalnya, dia lewatkan untuk cerita soal Gilang, kakak kelasnya di SD, SMP, SMA, dan teman masa kecilnya”

Kalimatnya sangat terukur dengan rapih. Kalau aku ada di posisinya, Gilang sudah pasti babak belur, karena sudah menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka.

“Jadi di satu sisi, hati dia memang mungkin ada di Anda” dan dia menarik napas panjang kembali, membiarkan asap rokokku memasuki rongga hidungnya. “Tapi, tolong paham posisinya, karena Saras sekarang jadi benar-benar kehilangan arah. Dia seharusnya membantu orang tuanya, terutama ayahnya, dalam perjalanan politik ayahnya, tapi kenyataannya, dia di rumah saja jarang, dan semua orang bisa menyimpulkan, tanpa harus menyelidiki, kalau dia pasti jalan berdua dengan Anda” dia menunjuk diriku dengan jempolnya.

Orang ini gila, bicaranya masih terukur, terstruktur, rapi, dan kalem.

“Saya perlu cerita soal posisi saya sekarang.... Dan kenapa saya dan Saras bisa ada di ikatan pertunangan” lanjut Aidan. “Saya memang sudah menyukai dirinya sejak pertama ketemu.... Dan tidak bisa dipungkiri, kalau dia memang luar biasa. Tapi, saya melihat, keluarganya benar-benar fragile... Anda pasti tahu kalau ayahnya adalah orang yang ingin berkarier di politik, dan sayangnya, dia orang yang sangat-sangat jujur, jadi entah berapa uang dan usaha yang dia kerahkan untuk membantunya di politik, itu tidak berguna, karena dia selalu kalah… Kalah curang, kalah bertarung, dan sebagainya…”

Aidan berhenti sebentar untuk mengatur napasnya.

“Jadi, bisa dibilang, karena obsesi ayahnya akan dunia politik, banyak usaha keluarga mereka sedang di ujung tanduk, bahkan itu terjadi sejak lima tahun yang lalu.... Dan saat itu, karena saya menyayangi Saras dan keluarganya, walau dia tidak membalas perasaan saya, saya mencoba untuk mengimbangi obsesi ayahnya dan dunia nyata. Bayangkan apa yang terjadi kalau semua usaha ayahnya kolaps demi menyokong ambisi politiknya. Pasti semuanya jadi kacau……….”

Aku terdiam, melongo, dan menatap Aidan dengan muka yang pasti sangat-sangat tolol.

“Jadi, kalau memang Saras tidak ingin lagi bertunangan dengan saya, saya paham, dan saya akan mundur dari hadapan Saras. Tapi.... Tapi karena saya tidak ingin Saras dan keluarganya hilang pegangan ke dunia nyata, saya akan tetap mengurus keluarganya….” Aidan tidak tersenyum, tapi dia tidak menunjukkan aura bermusuhan.

“Saya sayang sekali kepada Saras dan keluarganya, tapi kalau Saras ingin membuang saya, saya paham dan saya akan pergi dari hidupnya. Tapi saya tidak bisa begitu saja meninggalkan keluarganya.... Anda mesti tahu konsekuensinya…” Kenyataan ini sangat menggangguku.

“Mohon maaf, karena saya sayang sekali kepada Saras, jadi sampai detik ini, saya tidak pernah menyentuh dirinya sama sekali.... Saya tidak pernah melakukan apapun yang mungkin melukainya.... Tapi, pernikahan ini memang ada untuk menyelamatkan keluarganya, karena memang itu hal yang paling mudah dan paling masuk akal, untuk saya bisa masuk dan menyelamatkan keluarganya lebih jauh lagi.....”

Penjelasannya sangat-sangat masuk akal, dan entah mengapa, bulu kudukku berdiri.

“Sampai saat ini, di tengah ketidakbecusan performanya dalam membantu Ayahnya, Saras tidak pernah sekalipun menghindari saya, karena mungkin dia tahu posisi dia dan saya dalam keluarganya..... Saya datang ke sini hanya untuk membagi beban saya.... Karena, kalau Saras pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pertunangannya, kembali pada Anda, tetap ada orang yang harus mengurus seisi keluarganya......”

Aidan menegakkan punggungnya, dan tampaknya dia bersiap untuk pergi lagi.

“Maaf, saya harus pergi lagi, bukannya saya tidak ingin berlama-lama di sini, tapi pasti anda tidak nyaman dengan keberadaan saya” lanjutnya. Aku dibuatnya tak dapat berkata-kata.

“Ah...” aku tercekat, bahkan aku tidak berani menatap wajahnya.

“Saya permisi dulu, tolong dipikirkan soal Saras dan keluarganya.... Dan tolong, jangan biarkan Saras tersesat... Permisi” Dia berdiri, tersenyum pelan, dan berjalan dengan langkah yang tenang ke arah pintu.

Rasanya seperti baru saja ada pembantaian di sini. Perasaanku terbantai, mempelajari kenyataan yang terjadi soal Saras dan keluarganya. Pertunangan ini memang tidak seindah yang dibayangkan. Tapi itu perlu, setidaknya menurut akal sehat Aidan dan kenyataan yang ada.

Dan saat itulah, aku merasa dadaku sangat berat. Mataku seperti ingin keluar dari tengkorak kepalaku. Nafasku berat, dan sepertinya mukaku memerah. Rokok yang tadi kubakar sudah benar-benar mati. Aku mengambil sebatang lagi, menyalakannya, dan aku bersandar ke arah dinding. Aku menutup mataku, memegang kepalaku yang seperti mau pecah.

Mendadak suara Tara membangunkanku.

“Gilang? Tadi? Tadi itu..”

“Iya” jawabku sembari menatap Tara yang tampaknya baru datang. Mukanya terlihat sangat khawatir, dan tampaknya dia tadi melihat Aidan yang keluar dari tempat ini.

“Kenapa dia ke sini?”
“Gak tau”
“Terus?” tanyanya lagi.
“Ya…. Tadi ngobrol sebentar”.

“Ngobrolin apa?”
“Gak tau”

Aku tak sanggup menjawabnya. Aku langsung mengambil kotak rokok dan korekku dari atas meja, untuk beranjak, keluar dari tempat pembantaian ini. Rasanya aku muak dengan semua hal yang terjadi. Kenapa hidup ini tidak semudah seperti waktu remaja kita? Kenapa dulu hal yang paling sulit di dunia hanyalah ujian dan putus cinta?

Dunia ini sudah gila, dan aku jadi bagian dari dunia ini. Andai saja waktu berhenti 12 tahun yang lalu, mungkin semua sudah bahagia. Dan tanpa sadar, aku melangkah ke sebuah persaingan yang berat sebelah, antara aku yang teronggok di sini, dan orang tadi yang tampaknya begitu rela mengorbankan semuanya demi Saras, bahkan rela mengurusi keluarganya andaikan Saras ingin membuangnya jauh-jauh.

Bangsat.

------------------------------

BERSAMBUNG
 
Huaaa di galau.in lagi si gilang, terlalu ababil banget nih gilang,, awal" ane respek bnget ama gilang, sekarang makin kesini jadi kesel sendiri ma ini ABG setengah dewasa,,, hurfftt wooozzah ssstt hurfftt woozzah sabar,,
emang top nih suhu rb memainkan perasaan :jempol:
 
anjirr...aidan mah kelas berat, gilang butuh keajaiban untuk bisa menang dr aidan...
 
Ikut kata terakhir "Bangsat..!!"

Aidan emang jago membangun opini, Gilang nol soal politik dibenturin ambisi bokapnya Saras.. ya pasti TKO..
 
:rolleyes::rolleyes::rolleyes: ...

Jangan kan elo Lang ,. Ane aja yang cuma baca ikut pusing mikirin nasib elo ...

... Mending kita protes aja ke suhu RB kenapa nasib elo jadi dilema kayak gitu ...

... ... Eh tapi elo musti perjuangin tuh Saras , bila perlu sampai titik darah penghabisan , bila perlu sogok no suhu RB biar tahu caranya ...
 
Hmm... Jadi ngak enak...
Btw, makasih updatenya om..
Moga ttp lancar....
 
Kata2 berkelas dari aidan

"Mohon maaf, karena saya sayang sekali kepada Saras, jadi sampai detik ini, saya tidak pernah menyentuh dirinya sama sekali.... Saya tidak pernah melakukan apapun yang mungkin melukainya.."

Sungguh suhu @racebannon mmg betul2 mendalami personal dr aidan.

Makin pusing dah si gilang. Ternyata ada org yg lebih banyak berkorban demi saras dan keluarganya ketimbang alasan 12 tahun penantian.
 
Aku terdiam, melongo, dan menatap Aidan dengan muka yang pasti sangat-sangat tolol.
Wah ini Gilang telat banget. Kok baru terpikir sekarang? Bukannya dari awal langsung dipikirin?

Dan tolong, jangan biarkan Saras tersesat
Menurut ane obsesi Politik itu lebih menyesatkan. Kalo keinginan ortu diturutin ini mah malah bikin Saras lebih tersesat.. Big Mistake

Mending Saras sabotase ajah. Bikin Ayahnya kalah. Lalu Tinggalin Aidan. Biarkan usaha keluarga bangkrut.
Setelah hidup miskin mudah2an ortu akan comeback to their senses.
Biasanya kan orang baru akan sadar kalau tertimpa musibah..
Tara? Terlalu bagus buat Gilang. Mending buat ane ajah ;)

Terima Kasih suhu RB untuk update-nya :beer:
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Paiiiiiitt ...
.
Gilang sepertinya Harus mencoba menerima kenyataan ..
.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd