Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Who do you think Gilang will end up with?

  • Saras, kan dia First Love nya Gilang

    Votes: 44 10,7%
  • Tara dong.... dia yang bareng Gilang dalam susah dan senang

    Votes: 161 39,0%
  • Gak sama siapa-siapa.... Sedih amat ya?

    Votes: 51 12,3%
  • Dua-duanya, bobonya digiliar tiap hari, kadang-kadang threesome

    Votes: 157 38,0%

  • Total voters
    413
  • Poll closed .
Pada hari minggu kutunggu Saras dan Glang. Naik vespa istimewa... :adek::adek:
 
Ngopi dulu ah sambil nungguin apdet om RB, tetep semangat om?
 
Menanti episode baru.

Udahlah gilang, tinggalin aja saras, kasian ortunya. Gimana2 kalo gak dapet restu itu gak enak
 
biasanya episode baru jadi teman berkereta saya Bandung - Jakarta. kok malam ini belum muncul, suhu? :(
 
penant10.jpg

PENANTI – PART 15

#GILANG - 7

home9311.jpg

Aku mengisap rokok, sambil duduk di atas motorku. Rasanya rokok tidak enak sekali malam ini. Terlebih setelah percakapan singkat dengan Aidan Sjarief. Rasanya seperti jutaan kepalan tangan menonjok ke arah lehermu, mencoba membuatmu muntah dan mual seumur hidupmu.

Pria macam apa dia? Dia baru saja mengajak bicara seseorang yang tadi siang mencium tunangannya di dalam bioskop. Dengan tenang dia berkata kalau Saras sudah pasti lebih nyaman bersamaku. Dan dengan lebih tenangnya, dia mempersilakan Saras memilih yang lain, tanpa konsekuensi apapun.

“Tolong jangan biarkan Saras tersesat” kalimat itu terus terngiang-ngiang di dalam kepalaku. Dia tersesat bagaimana? Apakah bersamaku itu tersesat? Apakah pilihannya untuk lari dari tanggung jawabnya membantu ayahnya itu tersesat?

Orang macam apa juga dia, yang bahkan sudah berstatus tunangan, tidak menyentuh tunangannya sedikitpun. Aku sudah melihat mereka bergandengan, tapi yang ia maksud, pasti menyentuh secara mesra ataupun secara seksual. Dia mengetahui batas-batasnya. Dia tahu kalau Saras tidak nyaman ia sentuh. Dan dia pasti menjaga itu. Dia benar-benar menjaga Saras, sehingga dia bahkan melindungi Saras dari dirinya.

“Gilang, tadi kenapa?” Tara mendadak mengagetkanku. Kami sudah tidak bicara sejak kejadian di Bandung. Tapi karena kedatangan Aidan tadi, dan raut mukaku yang seperti habis melihat hantu, sudah pasti menimbulkan banyak sekali pertanyaan di dalam kepala Tara.

“Gakpapa.. Gak ada apa-apa..” jawabku pelan, sambil menutup mata, membayangkan kalau aku ada di posisi Aidan. Tetap mengurusi keluarga seseorang yang tampaknya tidak mencintainya. Tapi kalau memang Saras tidak mencintainya, kenapa Saras setuju untuk bertunangan dengannya? Apakah terpaksa? Tapi di sisi lain, aku merasa, jika memang Saras tidak mau untuk bertunangan dengan Aidan, orang tuanya pasti tidak akan memaksakan. Dan Aidan pun tidak akan mungkin memaksakan dirinya ke Saras. Dia bukan orang yang seperti itu. Orang yang bicara sesopan dan sebaik tadi tidak akan mungkin menjebak Saras dalam sebuah ikatan menuju pernikahan.

Apa yang terjadi di dalam kepala Saras?

“Itu tadi Aidan kan?” Tara tampak memaksaku untuk kembali ke dunia nyata, tapi kepalaku terus berkelahi dengan pemikiran-pemikiran yang mengganggu dan aneh.

“…” aku tak bisa menjawab. Aku hanya fokus ke rokokku yang sekarang rasanya luar biasa amburadul dan tengik ini.

“Gilang”
“….”
“Tadi itu Aidan kan?”
“Emang siapa lagi”

Aku akhirnya menjawab, karena Tara terus-terusan memandangiku dengan muka khawatir.

“Kalian ngomongin apaan?”
“Gak tau”
“Gilang, please…. kalian ngomongin apaan?” Tara tampak begitu khawatir. Matanya terlihat begitu rapuh, dan tangannya tampak meremas udara. Dia pasti memikirkan hal yang tidak-tidak.

“Dia ngomong….” aku kemudian diam lagi dan mencoba menjauhkan pandanganku dari Tara.
“Ngomong apa?” Tara terdengar tidak sabar.
“Soal Saras…”
“Dia suruh elo jauh-jauh dari Saras?” tanya Tara lagi, menanyakan hal yang sangat-sangat masuk di akal.
“Gak tau” aku melempar rokokku yang belum habis itu, dan rasanya aku butuh bahu untuk bersandar.

Dan entah kenapa, aku seperti ingin memeluk Tara, melepaskan perasaan tidak nyaman ini. Rasanya benar-benar seperti ditinju, dibangunkan dari mimpi-mimpi tolol yang semu. Tapi, kalau aku memeluk Tara sekarang, akan sangat tidak adil untuknya. Selama ini aku melakukan hal-hal yang intim dengan Saras di luar pertunangannya, dan setelah tunangannya datang kepadaku, bicara soal hal-hal yang tampaknya sulit kujangkau dan kutandingi, lalu aku menyandarkan rasa gundahku ke Tara? Laki-laki macam apa aku ini?

“Ini gak bener, please cerita….” mohonnya, dengan mata menyelidik.
“Ini bukan urusan elo”
“Sejak kapan ini bukan urusan gue?”

“Sejak… Gak tau…..”

Sial. Kenapa aku bicara aneh dan tak jelas seperti itu? Aku cuma tidak ingin menjadikan Tara sebagai objek pelampiasan perasanku yang tidak tenang ini.

“Kalau Aidan Sjarief sampe dateng ke tempat kita, dan dia minta elo jauhin Saras, atau hal-hal semacamnya, itu jadi urusan gue, karena itu artinya hidup gue, hidup elo, bisa jadi bahaya… Kita gak tau orang-orang kayak gitu bisa ngelakuin apa….” lanjut Tara.

“Lo mikir kejauhan” jawabku dengan gusar.

“Terus tadi dia ngapain dateng ke sini? Mau beli burger? Yang bener aja”
“Tara, udah, ini bukan urusan elo”
“Gilang…”
“Bukan urusan elo”
“Susah”

“Apanya yang susah?”

“Gue udah berusaha masa bodo sama elo sejak elo mabok di Bandung kemaren…. Tapi….. Yang ada gue malah kesepian, karena kita udah gak pernah ngobrol lagi sejak itu….”

“Terus kenapa mendadak lo sekarang mau ngobrol sama gue?” tanyaku berputar-putar tak jelas.

“Gak bisa diem aja, karena ini jadi urusan gue juga….. Gue bakal nanya. Tapi satu-satu” Tara mengambil rokok dan kotak rokok di dalam jaketnya, lalu dia duduk di motor salah satu pegawai kami. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran.

“Apa maksudnya satu-satu?”
“Gue bakal nanya satu-satu… Aidan ngapain di sini?”

“Bukan urusan elo” jawabku, menutupi apapun yang sebenarnya terjadi.

“Oke… Bukan urusan gue… Tapi kalau dia sampai ngamuk karena lo ternyata ngapa-ngapain sama tunangannya, padahal mereka berdua belum putus, itu jadi urusan gue…. Kalau dia mau ngancurin Red Comet dengan cara apapun buat balas dendam, silakan…. Tapi kehidupan kita berdua bakal rusak banget…” Tara menghisap rokoknya dan dia menatapku, ucapannya seperti bergetar, entah karena dia takut atau apa, tapi wajahnya terlihat sangat-sangatlah khawatir.

“Dia bukan orang kayak gitu” jawabku.

“Siapa?”
“Aidan”
“Jangan bilang tadi dia mau beli burger, please……”.

“Dia bilang….. Gue sama Saras terserah mau ngapain….”
“Emang elo sama Saras ngapain?” Tara bertanya lagi, tapi aku bisa mendengar kemirisan di dalam pertanyaannya.

“Gue udah beberapa lama ini, sejak pulang dari Bandung, jalan lagi sama Saras, hampir setiap siang…” jawabku dengan perasaan tidak enak.

“Jadi elo sama Saras sekarang?”
“Mungkin” jawabku dengan tak jelas.

“Maksudnya mungkin apa? Jadi dia udah putus sama Saras? Terus Saras sama elo? Jadi tadi dia ke sini cuma mau bilang terserah kalian mau ngapain?” cecar Tara, dan rasanya, asap rokok yang keluar dari mulut Tara berbau tidak nikmat.

“Saras gak putus sama Aidan. Setidaknya belum”
“Apa?”
“Pokoknya kayak gitu”

“Jadi tadi dia bilang kalo dia bakal pergi dari Saras, karena Saras tiap hari ketemu sama elo? Lo ngapain aja sama Saras?”

“Nonton, makan, jalan, hal-hal kecil kayak gitu, kayak…. Waktu jaman kita SMA dulu…..” jawabku sambil menunduk.

“Terus dia bakal pergi dari Saras?” Tara bertanya ulang.
“Ngga”
“Maksudnya?”

“Gue gak tau, tapi gue bisa jelasin kalau situasinya kayak gini. Dari dulu bokapnya Saras obses masuk politik, sampe urusan pekerjaan dan perusahaannya ga keurus. Terus Aidan yang urusin, dan dia suka sama Saras semenjak mereka ketemu di Inggris. Mungkin setelah Aidan berjasa buat keluarganya, mereka dijodohin, dan mungkin, Saras setuju. Tapi pas pulang ke sini, dia jadi kacau setelah ketemu gue lagi….. Dan Aidan bilang, terserah kalau kita berdua mau bareng, dia bakal tetep ngurusin keluarganya Saras…..” jawabku panjang, akhirnya menyerah.

“Apa?” Mata Tara seperti ingin keluar dari lubangnya.
“Itu yang Aidan bilang tadi… Well, gak sesimpel itu, panjang banget omongannya, tapi itu intinya”

“Jadi kalian selama ini main pacar-pacaran kayak gitu? Dan Saras sama Aidan masih? What’s wrong with you? Kenapa kalian berdua kayak lagi main-main?” tatapan Tara benar-benar membuatku terluka. Ada perasaan marah dan khawatir yang bercampur aduk.

“Main-main gimana?” tanyaku dengan nada tak nyaman.
“Kalian kayak ABG main-main….. Kenapa kalian gak mutusin buat bareng aja dan mikirin hubungan kalian? Kalau kayak gini gak jelas… Dia gak putus sama tunangannya, tapi malah pacar-pacaran sama elo? Apa-apaan….” Tara berdiri, menginjak rokok dengan kakinya, dan dia membuang mukanya dariku. “Dan gue sendiri sebenarnya gak nyaman banget ngomongin ginian… Tapi harus, karena gue ngerasa harus care sama elo dan kita semua…..”

“Ginian gimana?” tanyaku dengan bingung.
“Jujur, pas Saras balik ke Indonesia, gue seneng sekaligus iri, karena kalian dalam kepala gue, kayaknya bakal bahagia…. tapi… kenyataan ngomong lain, dia punya tunangan…. Entah gimana situasinya, tapi hubungan lo sekarang sama Saras, kalo gue liat, kalian berdua kayak gak napak di tanah, kalian kayak main-mainnya anak ABG… Sori kalau kasar” Tara tersenyum kecut, dengan tatapannya menatap tanah. “Gue harusnya bahagia liat kalian bisa bareng lagi, tapi kenapa rasanya enggak ya, setelah semua ini” lanjut Tara. “Gue ngerasa ada yang kosong di sini…..” dia menunjuk ke dadanya.

“Kenapa?”

“Tolol sih, mungkin karena gue emang ngerasa kalo elo tuh bagian hidup gue selama ini. Apalagi kita sempet bisa saling ngisi setelah elo kesamber sama kenyataan kalo Saras itu udah punya tunangan….” jawab Tara. Dan entah kenapa, perasaan yang dari tadi kosong dan melompong ini, rasanya seperti tersambar.

“Gue tau gue gak berhak ngomong gitu, apalagi setelah semua yang kita alamin sejak Saras balik, dan semua-semuanya…. tapi makin lama itu yang gue rasain…. Mungkin itu yang dirasain sama tunangannya Saras. Dia sayang banget sama Saras, bela-belain segalanya, tapi in the end, kalau Sarasnya maunya sama elo, dia gak bisa apa-apa, he tried his best seenggaknya” lanjut Tara, menggetarkan gendang telingaku dan rasanya, semua yang dia omongkan menambah banyak pikiran di dalam kepalaku.

“Tapi ya…. Mungkin itu kali ya, unconditional love, ngorbanin dirinya demi Saras. Bahkan Saras kayaknya gak tau suka sama dia apa enggak…..” Tara tersenyum dan dia menyalakan rokok lagi. “Jadi, menurut gue, puas-puasin aja lo main sama Saras, mungkin gue juga bakal kayak tunangannya, nunggu elo pulang….” Tara terlihat senyum, tapi matanya seperti merah. Dia menatap ke arah lain, tampak menahan emosi di dalam dirinya.

“Gue balik ke dalem lagi… Take your time, pasti pusing lo denger semua ini” lanjutnya, dan dia melangkah ke dalam Red Comet.

Ya, Tara. Pusing. Di satu sisi, mungkin aku senang, mendengar ada orang yang mau menungguku, setelah semua akrobat emosi ini. Tapi di sisi lain, aku jadi benar-benar tidak tahu mau ke mana arahku dan Saras. Selama ini yang kami lakukan hanyalah mengulang masa remaja kami, tidak ada pergerakan ke depan, dan tidak ada rencana jangka panjang. Apalagi ternyata Saras, memilih untuk tidak memutuskan hubungannya dengan Aidan.

Entah mengapa. Dan entah mengapa juga posisiku jadi terasa kurang penting dalam hidup Saras. Aku hanya menikmati masa lalu dengannya, jika dibandingkan dengan Aidan yang benar-benar memikirkan seluruh hidup Saras.

Atau aku bisa mengubah masa depan Saras dan menjadi bagian dari dirinya?

------------------------------
------------------------------
------------------------------

2_gpn211.jpg

Hari Minggu, jam 12 siang.

Aku terbangun, menatap langit-langit kamar. Hal pertama yang dilakukan oleh para manusia modern setelah mereka bangun tidur adalah memeriksa handphone mereka. Tapi aku tidak. Aku mengambil botol minum yang ada di meja dekatku dan menenggaknya sampai habis. Aku berjalan keluar kamar dan aku bisa mendengar suara televisi yang dinyalakan oleh Eyang Putri dari lantai bawah.

Aku buang air. Buang air dengan lega, lalu kembali ke kamar.

Setelah malam kedatangan Aidan itu, rasanya hatiku benar-benar tidak nyaman. Aku mempelajari tiga hal saat itu.

Pertama, tentang Aidan Sjarief. Dia benar-benar mencintai Saras sepertinya, sampai rela melepaskan Saras. Rela melihat Saras jatuh di pelukan cinta pertamanya, sambil mengurus perusahaan dan usaha-usaha milik orang tuanya Saras. Dia berkorban.

Kedua, tentang Tara. Selama ini, dia mungkin memendam perasaan padaku, yang baru bisa ia lepaskan setelah kami berdua tahu kalau Saras sudah bertunangan. Tapi, karena sekarang angin membawaku ke Saras kembali, dia menahannya lagi. Dan posisinya sekarang mirip sekali dengan Aidan. Dia rela melihatku, menungguku, entah sampai berapa lama.

Ketiga. Saras. Selama ini, rasanya seperti mimpi, bisa berjalan dengannya, menggenggam tangannya dan bisa menciumnya lagi. Aku bisa merasakan wangi remaja yang sama dari tubuhnya. Tapi, setelah mendengarkan perkataan Tara dan Aidan, aku seperti merasa ini adalah sebuah ilusi masa lalu. Saras sudah bertunangan dengan orang lain, dan dia tetap bertunangan. Dia tidak mengambil keputusan apa-apa.

Entahlah.

Aku akhirnya membuka handphoneku dan melihat pesan-pesan yang masuk. Hanya ada satu pesan. Dari Saras.

“Hai, besok jadi kan temenin aku ke Bogor?” dia menulisnya dengan penuh emoticon-emoticon imut yang bisa dia temukan. Aku menutupnya kembali. Aku menutup layarnya dan menatap layar hitam. Entahlah. Entah apa yang bisa aku simpulkan dari semua ini. Semuanya jadi pusing dan njelimet. Semuanya benar-benar seperti benang kusut.

Aku semakin merasa gamang, dan bayangan ucapan Tara terus bergema di telingaku. Bagian dari hidupnya dia bilang. Dan lagi, kalau memang aku adalah tujuan Saras, kenapa dia tidak melepas Aidan? Kenapa dia tidak mengajakku untuk masuk ke dalam kehidupannya? Aku hanya seperti anak kecil yang diizinkan main di teras rumah, tapi untuk urusan dapur dan rumah tangga, aku sama sekali tidak boleh mencampurinya.

Perasan ini rumit. Semuanya jadi rumit.

Aku bahkan sekarang jadi susah merasa. Merasa mana yang benar, mana yang salah. Tapi naluriku selalu mengatakan sebaliknya.

Layar handphone kembali kunyalakan, dan aku kembali melihat pesan dari Saras. Aku menatapnya, mendiamkannya, dan mencoba merangkai kalimat yang baik untuk membalasnya. Ada satu bagian diriku yang menyuruhku untuk ikut pergi bersamanya. Ada juga satu bagian diriku yang mengatakan untuk tidak, bersikaplah dewasa dan sebaiknya bicara panjang lebar, jika memang ingin meluruskan semuanya. Tapi apa yang perlu diluruskan?

Mungkin, aku bisa mengajak Saras kembali ke kenyataan bersamaku. Membuat masa depan dengannya, mungkin aku harus berhenti bermain-main dengannya, seperti yang Tara bilang.

Aku akan membalas pesan Saras.

“Hai, besok jadi kan temenin aku ke Bogor?”
“Jadi dong… Aku nunggu-nunggu itu terus”

Maaf Tara, tapi aku setidaknya akan berusaha untuk memperbaiki hubunganku dengan Saras, membahagiakan aku dengan dirinya, dan menyudahi kesedihan kita semua. Dan akan kubuktikan, kalau kebahagiaanku dengan Saras, bukan kebahagiaan semu masa lalu semata, tapi benar-benar kebahagiaan untuk masa depan, seperti yang mungkin kamu bayangkan bersama aku. Atau seperti yang Aidan bayangkan bersama dengan Saras.

Walau berat, dan rasanya benar-benar takut melukai hati Tara lebih dalam lagi, aku akan mengambil langkah ini.

“Okay, can't wait” jawab Saras.
“Me too” jawabku.

Ya, aku tidak sabar menunggu untuk menjadikan masa depan Saras adalah aku.

------------------------------

BERSAMBUNG
 
Uwooww flownya juara, berasa roller coaster
ga sabar nunggu next updatenya..
Mirip2 cerita gw di RL hahaha
Maaf curcol hehe
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd