Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Who do you think Gilang will end up with?

  • Saras, kan dia First Love nya Gilang

    Votes: 44 10,7%
  • Tara dong.... dia yang bareng Gilang dalam susah dan senang

    Votes: 161 39,0%
  • Gak sama siapa-siapa.... Sedih amat ya?

    Votes: 51 12,3%
  • Dua-duanya, bobonya digiliar tiap hari, kadang-kadang threesome

    Votes: 157 38,0%

  • Total voters
    413
  • Poll closed .
penant10.jpg

PENANTI – PART 18


------------------------------

#GILANG – 7

y1758710.jpg

Saras.

Saras ada di pangkuanku, dan dia hanya mengenakan celana dalamnya. Jantungku berdegup kencang, tapi kepalaku lari ke mana-mana. Pikiran-pikiran yang harusnya sama sekali gak datang pada saat-saat seperti ini, sekarang malah datang.

“Saras…”
“Ya?”
“…”

Hening. Aku dan Saras terdiam. Aku terus menatap dirinya yang hampir-hampir telanjang. Untuk pertama kalinya aku melihat perempuan tak berpakaian di depanku.

Salah.

Salah, ini kedua kalinya. Tara adalah perempuan pertama yang kulihat tanpa pakaian di depanku. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Punggung Tara yang bersinar, beberapa detik sebelum dia memakai T-shirtku untuk tidur bersamaku. Siang itu, sehabis aku dan Tara mengantarkan Eyang melayat ke tempat teman arisannya yang meninggal dunia. Aku menelan ludahku sendiri. Terlalu banyak yang kupikirkan tampaknya sekarang.

Saras mendadak menimpa badanku dan menciumku. Aku berusaha untuk mengikuti arah angin malam ini. Bukankah ini yang kutunggu berbelas-belas tahun? Bukankah harusnya aku bersyukur sekarang, aku menghabiskan malam bersama Saras, dan sekarang, kami sedang berciuman dengan hangatnya. Saras tampaknya ingin membuka bajuku, dan aku mengikutinya. Aku bahkan menolongnya dengan melepaskan celanaku sendiri.

Tapi, permainan pikiranku membuatku tidak berada di Bogor pada malam itu. Sedari tadi pagi, aku memikirkan banyak hal. Soal Saras, keluarganya, Aidan, dan Tara. Apa yang ada di pikiran Tara dan Aidan, sehingga dengan mudahnya mereka menunggu orang yang mereka sayangi? Apakah harapan? Ataukah demi kepuasan hati mereka saja? Atau apakah mereka tahu, apa yang terbaik untuk orang yang mereka sayangi?

Apakah mereka ada di posisi yang sama denganku dulu, sewaktu mengorbankan banyak hal untuk menunggu Saras? Mengorbankan waktu, kesabaran, tenaga dan tentunya rasa percaya. Aku selama ini selalu percaya, kalau Saras akan selalu menjadi bagian dari diriku. Tapi sepertinya, posisiku sekarang rancu.

Walaupun sekarang kami berdua, sedang bergumul di kasur, telanjang bulat dan saling berciuman, rasanya ada yang janggal.

Dia seakan-akan ingin menyerahkan segalanya kepadaku, tapi dia tidak berani untuk berkorban. Dia tidak berani mengorbankan pertunangannya. Dia tidak berani mengorbankan hal-hal yang selama ini mungkin membuatnya tidak bahagia. Saras seperti bermain di dua alam. Satu alam bersamaku dan segala kenangan kami berdua. Dan satu alam lainnya, dia masih attached ke keluarga dan tunangannya. Entah perasaanku saja, atau memang sebenarnya dia tidak ingin melepas kedua duanya?


Dan rasanya, sekarang aku berada di arus sungai yang sangat deras. Tapi aku tak tahu muaranya kemana. Apakah menuju air terjun yang mematikan, atau ke laut indah yang tenang. Perasaanku mengatakan untuk terus mengikuti arus sungai ini. Tampaknya begitu nyaman bersama dengan Saras, memenuhi ego masa laluku, melupakan hal-hal mengerikan yang telah ia lakukan akhir-akhir ini.

Ya, pertunangannya mengerikan. Begitu pula dengan sikapnya yang selama ini terkesan ingin menyembunyikan pertunangannya dari diriku.

Apakah bagi dia, pertunangannya itu seperti pekerjaan, dan dia bisa “cuti” atau “libur” dari pekerjaannya dengan bersamaku? Apakah aku hanya dianggap sebagai ban serep saja untuk Saras?

Sial. Tidak seharusnya aku berpikir seperti itu. Tidak seharusnya aku memikirkan hal-hal yang seperti itu ketika sedang bersama Saras. Aku harusnya menikmatinya. Aku seharusnya lebih bernafsu lagi untuk menciumnya, bahkan mungkin harusnya malam ini jadi malam pertama aku dan Saras melakukannya. Kami literally bugil. Kami berdua telanjang bulat, berpelukan, berciuman. Apa lagi yang menghalangi dari adegan selanjutnya?

Otak.

Otakku. Otakku benar-benar sedang bermain-main. Walaupun perasaanku berkata untuk terus dan terus, tapi kepalaku sekarang benar-benar sedang loncat ke sana ke mari. Terus berputar, Aidan, Saras, Tara dan semua-muanya yang benar-benar membuatku pusing.

Gila, memang gila kamu Gilang. Di saat sedang berdua bersama cinta pertama kamu, dalam kondisi telanjang bulat, berpelukan, berciuman di atas kasur, yang ada di kepala adalah memikirkan apa yang jadi penyebab Tara dan Aidan memutuskan untuk menunggu. Silakan saja, main-main di luar, aku bakal nunggu kamu pulang, begitu garis besar ucapan Tara sehabis Aidan datang ke Red Comet.

Apa yang terjadi kalau aku tidak pulang-pulang? Apakah dia akan terus menungguku? Setidaknya, kalau pertanyaan yang sama diajukan ke Aidan, jawabannya adalah iya. Jelas-jelas iya. Dia tidak akan pergi dari keluarga Saras. Dia rela melihat tunangannya, orang yang dia sayang bermain-main dengan orang lain, sementara dia terus menyokong kehidupan keluarganya Saras secara moril dan materiil.

Edan. Wong edan. Aidan edan, Tara edan, dan akupun mungkin edan.

Tara juga begitu mungkin. Dia bisa saja cabut dari Red Comet, atau memilih untuk tidak memikirkanku. Tapi dia dengan jelas berkata seperti itu. Dia masih bisa berkata seperti itu, walaupun aku hanyut bersama Saras.

Dan di titik ini aku berpikir, mana yang pantas untuk kuperjuangkan?

“Saras…” bisikku mendadak.
“Nn?” Saras membuka matanya, menatap mataku, dengan aura tidak nyaman karena aku secara mendadak menghentikan ciumanku.

“Mungkin, kita harus cepet tidur….”
“Kenapa?”
“Aku capek banget, lagian, masih ada besok kan?” bisikku sambil memeluknya erat. Aku berharap ada kehangatan dari dirinya, tapi yang bisa kurasakan hanyalah panas. Entah panas karena apa. Auranya seperti sedang memaksakan sesuatu. Tapi entahlah apa yang harus dia paksakan.

“Aku pake baju lagi dong?” balasnya sambil tersenyum.
“Gak usah, gini aja”
“Hahaha…. kita ntar kedinginan dong”
“Gak akan dingin kalau pelukan” jawabku mencoba terlihat santai. Setidaknya sekarang aku bisa menghentikan arus sungai yang deras ini.

“Yaudah…..” Saras beringsut keluar dari pelukanku, dan mencium pipiku. Dia lantas berbaring di sebelahku, menempel ke badanku. Aku masih bisa merasakan napasnya. Dia tampak berusaha menurutiku, menutup matanya sebisanya. Aku tahu dia pasti lelah, tapi dia tampaknya menginginkan hal yang lain. Dia pasti ingin melepas keperawanannya denganku. Itu pasti. Harusnya aku merasa beruntung. Tapi di kepalaku, terbayang-bayang muka Aidan yang menanti dirinya pulang.

Dia, sebagai tunangannya, tidak pernah menyentuh Saras sedikitpun. “Tolong jangan biarkan Saras tersesat” kata-kata itu terlalu masuk ke dalam kepalaku. Dan dia sepertinya sudah tersesat. Berkali-kali tersesat. Pertama, dia tersesat saat di Inggris sana. Entah setan apa atau angin apa yang mempengaruhi dia untuk bertunangan dengan Aidan. Dia bisa menolaknya. Aku tahu, orang tuanya pasti tidak memaksa. Yang kedua, dia menyembunyikan pertunangannya dariku. Entah untuk apa. Yang ketiga, dia tidak meninggalkan Aidan untuk kembali bersamaku.

Saras sepertinya tidak ingin ada yang hilang dari hidupnya.

Dan mungkin aku tolol, kalau aku ikut dalam permainannya.

------------------------------
------------------------------
------------------------------

49743_10.jpg

Apakah aku bisa tidur? Tidak. Sekarang jam 4 pagi dan aku sedang merokok di balkon. Aku menatap ke hamparan kegelapan, sejauh yang ku bisa.

Saras ada di kasur, di balik selimut, telanjang bulat. Sementara aku berpakaian lengkap. Entah untuk apa aku berpakaian lengkap. Rasanya sulit untuk berpikir. Kalau dipikir-pikir lagi, aku benar-benar menyesali keputusanku untuk tidak menghubungi Saras selama dia di Inggris sana. Tapi semuanya sudah terlambat. Sekarang dia sudah bertunangan dan tidak ada tanda-tanda kalau dia ingin memutuskan tali pertunangan itu.

Dia masih bermain di dua alam, persis seperti apa yang aku pikirkan dari kemarin pagi.

Dan apakah aku harus pulang ke dirinya? Apakah aku harus bertaut kepadanya? Hatiku mengatakan iya, tapi pasti akan lebih banyak badai dan sirkus aneh-aneh lagi di depan sana jika kulanjutkan ini. Apakah Saras egois? Mungkin. Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan dirinya sekarang.

Dia tidak ingin kehilangan diriku, tapi dia tidak ingin juga Aidan dan segala macam keamanan bagi dirinya sekeluarga hilang. Walaupun Aidan tidak akan pergi, andaikan Saras benar-benar terbuai dengan diriku, tapi tetap saja rasanya tidak tepat. Aku mengkhianati harapan dua orang sekaligus. Aidan dan Tara.

Aku juga bodoh, kenapa aku mesti memikirkan Saras, ketika Tara sudah sebegitu terbukanya kepadaku. Tara sudah dengan jelas mengatakan kalau dia akan menungguku sebisa dirinya. Dan selama ini, kebersamaan dengan Tara rasanya jauh lebih nyaman, dibanding segala macam hal-hal yang dibuat-buat bersama Saras ini.

Dengan Tara aku bisa lebih bebas. Dengan dirinya juga aku bisa berbuat banyak. Sekarang aku tampaknya hanya akan jadi ban serep atau pengawal Saras saja. Sedangkan dengan Tara, kami berdua benar-benar tim yang baik. Dan kemesraan kami bukan berdasarkan nostalgia. Kemesraan yang terjadi antara aku dan Tara setelah aku mengetahui kalau Saras sudah bertunangan itu murni karena rasa saling percaya dan rasa support.

She’s my best friend, dan aku pun merasakan kehangatan yang jujur.

Dan aku sekarang harus membuang masa laluku dengan ikhlas. Tidak bisa seperti ini terus. Tidak bisa kami berdua bersenang-senang palsu seperti ini. Kami berdua harus sadar konsekuensi dari hal yang kami lakukan sekarang ini.

Saras semakin tersesat, tubuhnya seperti bergerak dalam mode autopilot. Dan aku tidak akan membiarkan Tara, yang benar-benar kubutuhkan menunggu dan menantikan kehampaan.

Gila. Berat sekali tampaknya. Tapi aku sudah memutuskan satu hal.

Aku akan pulang ke Jakarta. Saras harus dibangunkan dari mimpi konyol kami berdua ini.

Dengan sadar aku mematikan rokokku di asbak dan masuk ke dalam kamar. Aku menatap ke arah tasku yang dari tadi memang belum kubongkar. Rasanya alam sudah tahu ke mana aku akan pergi. Aku hanya tinggal memasukkan baju tidurku ke dalam tas, dan sekarang akan kubangunkan Saras.

“Saras… Sori…” Aku menyentuh pundaknya yang tidak tertutup selimut. Saras masih diam. Dia bergerak sedikit, tampaknya dia belum terbangun dari alam mimpinya.

“Saras…”
“Hmm?”
“Aku mau ngomong”
“Udah pagi? Aku telat bangunnya?” dia membuka matanya sedikit dan melirik ke arah jendela, dan dia pasti menemukan bahwa di luar masih gelap.

“Bisa ngomong sebentar?” aku duduk di kasur, menatap dirinya yang masih telanjang bulat dan berlindung di balik selimut.
“Hmmm…” dia mengangguk, sambil berusaha membuka matanya dan memperbaiki posisi tubuhnya. Dia duduk bersandar ke bedhead dan menutup payudaranya dengan menggunakan selimut.

“Aku mau pulang ke Jakarta, sekarang”
“Kenapa? Eyang kenapa-napa?” Matanya membelakak, menerka yang tidak tidak.
“Bukan”
“Kenapa? Ada apa? Ada yang darurat?” Saras menggamit lenganku, dan dia tampaknya menyangka ada emergency atau apa.

“Aku gak bisa kayak begini”
“Begini gimana?”
“Kita kayaknya gak bener kalo kayak gini terus….”
“Gak bener gimana?” mukanya tampak bingung.

“Kita kayak gini, sementara ada orang lain yang nungguin kita…. Kayaknya ini gak bener”
“Kamu ngomong apa? Kita kan Gilang dan Saras….”
“Kalau kita memang Gilang dan Saras, kenapa kamu gak mutusin Aidan?” tanyaku dengan nada tegas.

“Gak usah ngomongin itu, Gilang…. Tidur lagi yuk…” dia merajuk.
“Kenapa gak usah diomongin?”
“Itu bukan urusan kita”
“Bukan urusan kita gimana? Itu kan tunangan kamu….”

“Iya, kita urusin diri kita berdua aja, ya…” dia tersenyum, memaksakan dirinya untuk merajuk manja.
“Gak bener kalo kayak gitu. Kalau kamu emang gak mau tunangan sama dia, bagusnya ya memang putus kan?”
“Gilang….”
“Hh..” aku menarik napas panjang dan membuangnya. “Gak bisa kayak gini, lagipula, aku ini apa di mata kamu sekarang?”

“Kamu Gilang”
“Bukan! Maksudku aku itu apa? Pacar? Selingkuhan? Calon suami, atau siapa?”
“Kita gak butuh status, kita Gilang dan Saras” jawabnya, lagi-lagi dengan nada bermanja-manja.

“Kita bukan anak SMA lagi. Dan kalau misalkan kita mau kayak gitu, harusnya kita bener-bener berdua aja, gak usah ada orang lain, kayak tunangan kamu”

“Aku…”
“Kamu kenapa?”
“Aku gak bisa kayak gitu”
“Kenapa?”
“Gak tau”
“Apa kamu dipaksa untuk nikah sama dia?” tembakku.
“Gilang kita…”

“Jangan sebut namaku dulu, jangan merajuk dulu, bilang, kasih tau ke aku, kamu dipaksa nikah sama dia apa enggak?” tanyaku lagi dengan nada yang tegas. Rasanya kaki ini mau copot, tidak nyaman sekali rasanya.

Dia diam. Dan dia terus diam, dia hanya menatapku, sambil memegang tanganku, berharap aku tidak pergi sekarang.

“Jawab”
“Bisa gak kita kayak Gilang dan Saras jaman dulu, yang gak mikirin dan gak peduliin orang lain?”
“Gak bisa”
“Kenapa?” tanyanya balik, lagi-lagi.

“Karena kita udah bukan anak-anak lagi… Kita punya tanggung jawab, akal, dan perasaan”
“Perasaanku pinginnya sama kamu” jawabnya, berusaha tetap tak jelas.
“Dan kamu belum jawab pertanyaan aku…. Kamu dipaksa apa engga, nikah sama Aidan Sjarief?”

“Gilang…”
“Jawab”
“Gak mau”
“Apa yang gak mau, gak mau nikah sama dia, apa gak mau jawab?” rasanya kesabaranku seperti akan habis.

“Gak mau jawab” jawabnya tegas. Tegas macam apa itu tapi.
“Gak bisa kamu punya dua-duanya kayak gitu….”
“Aku mau kamu”

“Terus gimana kalau aku mutusin, kalau kita bedua ini aneh dan aku gak mau bareng sama kamu….” jawabku dengan tegas, lagi-lagi.

“Maksudnya?”

“Kita dasarnya apa? Nostalgia? Jaman SMA? Oke aku salah karena mungkin aku gak ngehubungin kamu selama kamu kuliah sampai beres pulang…. Tapi kamu juga salah karena kamu gak ngasih tau aku kalau kamu udah tunangan” lanjutku dengan penuh perasaan kesal dan sesak.

“Dan sampai sekarang kamu belum putus sama Aidan, buat apa? Buat apa kamu pertahanin dua-duanya…. Pilih salah satu, kalau kamu memang mau…. Tapi kayaknya itu juga telat….” aku nyerocos dengan penuh emosi dan perasaan tak nyaman.

Saras menatapku dengan tatapan kosong, dan aku melihat matanya berkaca-kaca. Dia seperti ingin menangis. Please, jangan pakai senjata tangisan lagi untuk merajuk.

“Aku pengennya sama kamu…..” dia menggenggam tanganku makin erat.
“Tapi di titik ini, aku gak bisa sama kamu” jawabku.
“Kenapa?”
“Karena aku ngerasa, aku harusnya bareng sama orang yang sayang sama aku”
“Aku sayang sama kamu….”
“Kalau kamu sayang sama aku, mungkin kamu gak tunangan sama orang lain, dan kamu bisa ngomong jujur…. Sekarang aja, kamu gak bisa jawab pertanyaanku yang sederhana”

“Kamu mau sama siapa?”
“Gak usah disebut namanya, tapi kayaknya kamu tau” jawabku.
“Apa spesialnya Tara dibanding aku?”
“Gak usah dibahas…. Karena kamu gak mau jawab pertanyaan sederhanaku” entah kenapa rasanya begitu berat bicara seperti itu.

“Apa spesialnya?” Dia sudah mulai menangis.
“Pertama, dia gak tunangan sama orang lain. Kedua, dia jujur terus sama aku. Ketiga, dia sayang aku apa adanya…..”

Saras terdiam, dan dia membiarkan air matanya mengalir.

“Dia bukan Saras” bisik Saras di tengah tangisnya.
“Aku tau”
“Dia dan kamu gak punya apa yang kita punya”
“Tapi yang kita punya itu udah jadi kenangan doang”
“Berani-beraninya kamu ngomong kayak gitu? Terus ini semua apa artinya?” tangisnya dalam kesalnya.

“Ini artinya apa? Kamu sendiri masih punya tunangan, dan kamu gak mau jujur sama aku….. Jawab dulu, kamu terpaksa gak tunangan sama Aidan? Kamu dipaksa sama orang tua kamu gak? Aku sampe sekarang gak tau dan sekarang aku nebak-nebak terus….” lanjutku, berusaha melepas tangannya.

“Aku gak mau jawab”
“Berarti kamu gak mau jujur sama aku”

“Apa gunanya jujur kalau aku gak bisa bareng kamu??!!” teriak Saras ke arahku.
“Kalau gitu maaf, aku bukan mainan” aku dengan tegas melepas tangannya dan berdiri, meraih tasku yang tersimpan rapi.

“Aku bareng sama kamu ada yang aku korbanin, dan kayaknya, kamu gak bisa berkorban” lanjutku.
“Apa gunanya itu semua? Aku cuma pengen sama kamu!”
“Gunanya apa kalau bareng tapi gak jelas? Kamu bahkan gak bisa jawab pertanyaanku!” balasku.
“Aku bukannya gak bisa! Aku gak mau…” tangisnya.

“Itu bahkan lebih parah dari gak bisa, Saras…. Udah, kita gak boleh kayak gini, aku gak mau kamu tersesat, dan aku ngerasa sia-sia kalo kayak gini…. Gak akan jadi apa-apa… Buat bareng butuh pengorbanan dan udah jelas, kamu gak mau berkorban apa-apa….” Aku menarik napasku panjang. “Aku pulang ke Jakarta”

“Gak boleh!”
“Please, jangan kayak gitu…. Kamu bukan anak-anak lagi”
“Aku gak mau jadi orang dewasa kalau sama kamu!”

“Ini gak bener. Aku pulang. Dan kamu gak bisa maksa aku untuk tinggal”
“Jadi kamu mau ninggalin aku?”
“Sama seperti kamu ninggalin aku setelah aku nunggu 12 tahun…..”
“Aku balik lagi sama kamu!!”

“Tapi kamu gak putus sama tunangan kamu…. Gak ada satupun yang kamu lakuin buat ngerubah keadaan itu. Kamu kayaknya cuma cari hal yang aman aja buat kamu…. Kamu pikir mungkin aman, kamu punya tunangan yang bisa jadi segalanya buat kamu, dan kamu bisa asik-asikan nostalgia sama aku…. Bangunlah… Hadapin dunia nyata pakai akal sehat” lanjutku, dengan kerasnya.

“Jangan pergi!”

“Kalau aku gak pergi, aku bakal bohongin banyak orang, terutama diriku sendiri, kamu, dan Tara. Aku lebih baik sama orang yang gak maksa kayak gini, aku lebih baik sama orang yang sayang aku apa adanya, dan rela berkorban buat aku…. Rela jadi temenku dan gak perlakuin aku kayak mainan…” Aku bergegas menuju pintu, sementara Saras masih menangis di atas kasur, dengan menyedihkannya.

“Jangan pergi!”

“Bye. See you when I see you…..” aku membuka kunci pintu, dan segera keluar. Dengan langkah pasti aku berjalan menuju lift. Pikiranku sudah cerah sekarang, aku akan segera menemui Tara. Aku dengan cepat menuju lobby, dan melihat ke arah parkiran. Tidak ada taksi. Aku celingukan, dan dengan nekat aku bergegas ke pinggir jalan.

Aku diam untuk beberapa detik. Tak ada taksi. Aku tampaknya harus menunggu, atau berjalan lebih jauh lagi ke keramaian. Tapi keramaian di mana yang paling dekat? Aku tidak hafal daerah ini. Kulihat ke kanan, kiri, ke manapun, tidak ada mobil yang pantas disebut sebagai taksi atau semacamnya.

Jalanan subuh ini tampak belum ramai. Dan aku tidak berhasil menemukan adanya taksi satupun. Dengan tolol aku membuka handphoneku, mencari aplikasi ojek online. Tanpa pikir panjang aku langsung mengetikkan alamat rumah Tara di tujuanku. Tak berapa lama, mendadak ada telepon masuk. Pasti dia mengambil pesananku.

“Pagi Pak” sapa tukang ojek di ujung telepon. “Dengan Pak Gilang?”
“Iya pak”
“Bapak posisi di mana?”
“Di depan hotel” jawabku.
“Ini gak salah pak?”
“Gak salah”
“Beneran pak? Saya takut diboongin soalnya” lanjut sang tukang ojek.

“Gak, beneran kok, saya ada di sini, saya beneran” jawabku dengan buru-buru.
“Oke” telepon lalu ditutup, dan aku berdiri seperti orang bodoh di pinggir jalan.

Cahaya matahari sudah muncul dengan malu-malunya. Tapi tampaknya langit tidak ingin cerah karena awan gelap terlihat. Aku tidak memperhatikannya dari tadi.

Mendadak ada suara kendaraan bermotor mendekatiku. Ini pasti sang tukang ojek.

“Pagi Pak” dia menyapaku dengan muka aneh. Aku tersenyum kepadanya dan bersiap naik ke motor.
“Pagi”

Dia memberikan helm kepadaku, dan aku lalu naik ke jok belakang.

“Ini maksudnya ke Kencana yang Tanah Sareal ya pak?”
“Gimana?”
“Ini ke Tanah Sareal kan pak?”
“Bukan”

“Maksudnya gimana pak?”
“Kencana, jalan di Kuningan”
“Kuningan maksudnya apa?”
“Kuningan Jakarta, Jalan Kencana, deket Menteng” jawabku dengan tak sabar.

“Ah serius Bapak?”
“Liat aja handphone Bapak” dan sang tukang ojek baru sadar, kalau alamat yang dimaksud adalah nama jalan di Setiabudi, Kuningan, Jakarta Selatan. Dan dia juga kaget melihat angka yang tertera di aplikasi ojek onlinenya. Angka yang sangat besar untuk biaya ojek online.

“Saya pikir…”
“Bukan 17ribu pak, itu 170ribu” lanjutku.

“Aa… Anu”
“Jalan”
“Saya gak apal Jakarta Pak….”
“Jalan aja Pak, nanti saya arahin”

“Pak..”
“Jalan” jawabku, dengan yakin. Dan tanpa mampu menolak, sang ojek lalu berjalan di pagi ini, menuju kota yang lain.

------------------------------

file_110.jpg

“Ujan pak” tegur sang tukang ojek.
“Terus aja, bentar lagi nyampe”
“Nanti Bapak sakit”
“Jalan”

Kami berdua sudah berada di Rasuna Said, Kuningan. Sebentar lagi sampai ke rumah Tara, di tengah kemacetan pagi ini dan hujan yang tidak deras namun berhasil membuat badanku basah ini. Sang tukang ojek pasrah, karena tampaknya jumlah uangnya cukup menggiurkan untuknya.

“Nanti balik arah di depan” aku menunjuk ke arah depan. Dia mengiyakan dengan mepet ke kanan.

Dan aku tidak bisa menghubungi Tara karena handphoneku mati total. Entah karena lowbat, atau karena kebasahan. Sudah tidak bisa kubedakan lagi. Yang kuperlukan sekarang hanyalah Tara yang sempat kusia-siakan karena Ilusi masa lalu yang bernama Saras. Sungguh bodoh aku, kalau mau berhubungan dengan orang yang tidak ingin memutuskan tunangannya, tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana yang mudah, dan terlalu egois.

Perlahan tapi pasti, aku sudah menghabiskan 3 jam lebih di atas jok motor. Aku bahkan mengisikan bensin untuk sang tukang ojek, agar dia mau mengikuti keinginanku. Pantat kami berdua pasti panas, dan badan kami berdua basah kuyup karena air hujan yang benar-benar gila pagi ini.

“Belok di sana”
“Iya pak”
“Nah sekarang ke sini”
“Iya pak”

Itu dia. Rumah Tara. Jam segini pasti rumahnya sudah sepi. Semua orang pasti sudah beraktivitas dan hanya Tara yang masih tidur, di rumah.

“Berhenti” Sang tukang ojek dengan letihnya memberhentikan motornya di depan rumah Tara. Aku segera turun, dan aku merogoh dompet di dalam tasku. Aku mengeluarkan uang 50 ribuan lima lembar dari dalamnya. “Untuk Bapak, kembalian gak usah”

“Ma… Makasih pak…”
“Makasih” Aku langsung membuka pagar rumah Tara yang tidak terkunci. Dengan cepat, di tengah basahnya hujan, aku langsung memukul pintu depan rumahnya.

Berkali-kali. Kupukul terus, agar Tara terbangun, dan membukakan pintu untukku kembali.

Berkali-kali.

Kupukul sampai bosan. Kupukul sampai tanganku sakit. Kupukul sampai aku bertemu Tara.

Aku tidak peduli dan aku ingin membayar kesalahanku ke Tara.

Dan pintu yang terbuka mengagetkanku.

“Gilang?”

------------------------------

BERSAMBUNG
 
Makasih updatenya suhu..keputusan yg bagus dari gilang..untuk saat ini tara yg paling baik untuk gilang..
 
ini yang kutunggu .hidup keras harus dihadapi(pejantan tangguh)
 
Kontemplasi ..
Bersama Sepi ..
Menyendiri ..
Ditemani dinginnya pagi ..
Cukup membuat pikiran waras kembali ..
.
Perjalanan bogor Jakarta .
Disertai hujan selama tiga jam ..
Kalo yg ditemui Adalah Tara ...
Rasa dinginnya bakal segera sirna ..
.
Good Job Gilang ..
 
Lah kog Gilang kog balik lagi ke Tara ....

Selesai dong ceritanya ... Gak ada konfliknya :rolleyes::rolleyes::rolleyes:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd