Shhh666
Semprot Lover
- Daftar
- 7 Feb 2022
- Post
- 229
- Like diterima
- 5.448
SEKILAS ABSTRAKSI
1
Aku masih duduk sembari melihat-lihat eksplor Instagram yang menarik ketika jam kerja sudah menunjukkan waktunya pulang satu jam yang lalu. Bu Ratna menegurku.
“Loh kok kamu belum pulang toh, Yas? Mau lembur?” tanyanya.
“Iya kayaknya, Bu. Nanggung masih betah,” jawabku asal-asalan, yang sebenarnya bingung harus melakukan apa lagi setelah habis jam kerja ini.
“Wah rajin banget nih anak didik saya, ya sudah saya duluan ya. Awas loh katanya di sini angker kalo malam,” jawabnya sembari tertawa.
Kuputuskan untuk lembur sampai jam 10 malam saja, setelah itu akan kupikirkan rencana selanjutnya akan ke mana dan akan bagaimana.
Aku fokus mengerjakan power point yang akan dipresentasikan oleh Bu Ratna dua hari lagi di depan manager perusahaan mengenai laporan dan segala hal yang lainnya.
Bu Ratna adalah atasanku dan aku sangat berterimakasih kepadanya, karenanya aku bisa bekerja di perusahaan ini.
Kunyalakan rokokku untuk mencairkan suasana otak agar tetap fokus pada apa yang sedang kukerjakan.
Sempat terpikir ketika bagaimana awalnya aku bisa bekerja di sini. Semuanya tak terencana dan aku tidak berharap lebih mengenai ambisi-ambisi. Memang aku mempunyai ambisi, namun ketika berada di luar rasionalitas dan kemampuan, ujungnya akan kecewa. Maka dari itu, aku selalu memposisikan diri agar rasionalitas dan kemampuan diunggulkan terlebih dahulu, setelah itu mari lihat bagaimana semesta akan menghakiminya.
Bagiku kebahagiaan datang bukan dari seberapa tinggi sebuah pencapaian, namun dari seberapa rasional sebuah harapan.
Satu tahun lalu aku sedang nongkrong di sebuah café yang tidak terlalu ramai, sengaja kupilih karena ingin menikmati suasana yang damai. Hanya ada beberapa orang saja waktu itu, tak sampai sepuluh pengunjung bisa kutaksir.
Ada anak muda yang berpasangan yang sedang dimabuk asmara, ada lima mahasiswa yang sedang berdiskusi entah mengenai apa, yang kutahu dari gestur dan ekspresinya mereka amat menikmati diskusinya.
Aku hanya mengamati saja dan ikut tertawa ketika mereka pecah dengan gelak tawanya.
Salah satu dari mereka, seorang perempuan menyadariku yang ikut tertawa dan membuat kontak mata. Aku hanya senyum dan mengangguk, dia pun begitu. Lalu kualihkan perhatianku pada ponsel yang bergetar untuk melihat notifikasi apa yang masuk.
Sepersekian detik entah bagaimana tiba-tiba saja seorang lelaki yang sedang memimpin diskusi itu menghampiri ke arahku.
“Kang, lagi santai?” tanyanya mengagetkanku.
“Oh iya, gimana? Santai saya,” jawabku setengah bingung.
“Maaf, Kang, mengagetkan, saya cuman ingin menawari Akang untuk gabung diskusi, soalnya dari buku yang saya lihat di meja Akang, sepertinya Akang menyukai filsafat. Kebetulan kami juga lagi diskusi tentang filsafat.”
Dia menjelaskan tujuannya dengan sangat sopan.
“Oh, begitu. Boleh saja kalau ditawari, mangga-mangga,” jawabku tersenyum.
Memang di atas meja terdapat buku Eksistensialisme dan Humanisme karya Sartre yang sedang kubaca, salah satu filsuf Prancis kesukaanku.
Aku memutuskan bergabung karena sudah ditawari, daripada menghabiskan berbatang-batang rokok.
Setelah bergabung dan bersalaman satu persatu sembari memperkenalkan nama, ternyata salah satu dari mereka adalah mahasiswa jurusan filsafat di Universitas Negeri di kota ini.
Terdapat dua perempuan dan tiga laki-laki; Bayu, Rendi, Cikal, Ojay dan Fitri. Yang menghampiri serta mengajakku bergabung adalah Bayu sang mahasiswa filsafat. Perawakannya tinggi dan berambut gondrong, lebih tinggi dariku yang 165 cm.
Dan perempuan tadi yang berkontak mata denganku adalah Ojay, lebih tepatnya Chyntia Jayanti. Berkerudung, namun memakai celana jeans sobek di bagian tulang keringnya. Yang lebih mengagetkan lagi ia memakai kaos tangan panjang bertuliskan Muse, band favoritku. Mungkin ia hanya memakainya saja tanpa memperdulikannya.
Aku tak mempermasalahkan itu, namun temanku, Dandy, sangat rewel apabila ada manusia jenis seperti itu.
Aku mengikuti arah diskusi mereka, dan cukup takjub karena mereka benar-benar membaca buku.
Aku bisa menganalisisnya karena setiap argumen dan perkataan mereka sangat berbobot dan tersusun rapi dalam menyampaikan pikiran-pikirannya sehingga menjadi kalimat yang enak didengar.
Aku cenderung diam, memahami dan merespons seperlunya saja apabila mereka melemparkan pertanyaan kepadaku.
“Menurut Kang Yas, gimana?” tanya Fitri padaku mengenai Humanisme yang sedang mereka bahas di diskusi ini.
“Ya gitu, praktik Humanisme hanya bisa dilakukan oleh manusia saja. Binatang dan tumbuhan mah gabisa ikut praktik Humanisme yah, kasian,” jawabku dengan enteng yang sontak disambut oleh gelak tawa mereka.
Setelah tawa agak reda, Rendi memberanikan diri berbicara kepadaku.
“Kang boleh minta rokoknya? Hehe,” katanya sembari menggaruk-garuk kepalanya kikuk.
“Iya mangga, sok ambil aja yang mau, santai aja biar lebih akrab yah,” kataku nyengir.
“Ga modal lu mah ih baru juga kenal udah dimintain rokok. Eh bagi juga dong, Kang. Hehe,” sambung Fitri yang juga merokok.
Semuanya mengambil rokok yang kutawarkan pada mereka, aku otomatis mengeluarkan satu bungkus lagi di dalam totebag karena aku yakin mereka semuanya merokok.
“Eh lu ga ngerokok, Jay?” tanya Bayu pada Ojay.
“Ngga dulu, nyokap mau jemput takut kecium asapnya hehe,” jawabnya tertawa seraya membetulkan pashminanya.
“Ah elah semprot parfum lah, Jay, bego lu mah,” Fitri menimpali.
“Oh iya juga ya,” kata Ojay tertawa.
“Eh lu dijemput, Jay? Ga balik bareng sama Fitri?” tanya Cikal.
“Ngga nih, nyokap kebeneran bentar lagi balik ngantor, ya udah suruh sini aja sekalian nebeng balik,” jawabnya seraya menghembuskan asap rokok.
Aku hanya mendengarkan obrolan mereka dan ikut tertawa.
“Kang dulunya kuliah filsafat juga?” tanya Fitri.
“Kebetulan iya,” jawabku santai.
“Tersesat ngga?” sambung Ojay.
“Lillahita’alaa,” jawabku setengah tertawa.
Ojay pun tertawa mendengar jawabanku yang dirasanya diluar dugaan.
“Soalnya Bayu masuk jurusan filsafat tersesat katanya, Kang,” kata Ojay dengan tertawa.
"Kampus kita juga, Kang?” tanya Bayu.
“Ngga, di kota seberang sana. Nah kalo duduk di sini baru tersesat nih,” jawabku tertawa spontan dan menular pada yang lainnya.
Tak lama setelah itu, Ibu Ojay datang, dan Ojay langsung berteriak pada Ibunya.
“Maaa… sini..,” teriak Ojay seraya melambaikan tangannya. Kulihat wajah Ibunya tersenyum lalu menghampiri kami.
“Eh lagi pada ngumpul ya, gimana kabarnya kalian?” tanya Ibunya.
Semuanya kompak menjawab “Baik, Bu,” dengan ramah.
“Eh ini, Mas yang waktu itu nolongin teman saya ke rumah sakit ya?” tanya Ibu Ojay padaku memastikan.
“Eh?” kataku kaget, setelah kuangkat wajah dan melihat ke arahnya, aku langsung mengingat kejadian seminggu yang lalu ketika terjadi tabrakan kecil.
“Eh iya, Bu. Maaf saya lupa hehe,” jawabku setengah tertawa.
“Temenmu juga, Kak?” tanyanya pada Ojay.
“Temen baru kenal tadi banget,” jawab Ojay tertawa.
“Tadi banget?” Ibunya kebingunan.
Ekspresinya mengundang tawa Ojay dan diikuti oleh tawa yang lainnya.
“Iya teman baru banget, Bu. Betul. Kebetulan tadi dipaksa ikutan diskusi sama anak Ibu dan teman-temannya.”
Aku inisiatif masuk di antara perbincangan mereka.
“Heh?” kata Ojay kaget yang kemudian tertawa dengan yang lainnya.
“Ah ya sudah, Ibu duluan ya. Selamat haha-hihi lagi mumpung masih muda,” katanya dengan tersenyum.
“Yuk, Kak. Jadi pulang bareng ngga?” sambungnya pada Ojay.
“Duluan ya temen-temen,” kata Ojay tos dengan temannya.
“Kang duluan hehe,” sambungnya yang juga tos denganku.
Aku hanya tersenyum saja. Ibunya menatapku dan menyalami tanganku.
“Makasih ya, Mas. Waktu itu udah nolongin teman saya, kalo ga ada, Mas. Bingung saya harus gimana.
”Eh iya sama-sama, Bu,” kataku.
Itulah pertemuan dan perkenalanku dengan Bu Ratna, Ibunya Ojay.
Semenjak saat itu aku menjadi memiliki pertemuan rutin dengan mereka entah untuk diskusi, kumpul-kumpul tidak jelas, atau apapun itu. Namun tujuannya satu yaitu untuk tertawa bersama.
2
Jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 22.30 tak terasa mengingat kejadian itu menghabiskan waktu sekitar kurang lebih 15 menit. Segera kubereskan meja kerjaku, kupakai jaket kulit agar tak terasa begitu dingin saat nanti menembus jalanan.
Kuarahkan kaki ke tempat parkir motor seraya menikmati rokok dengan menghisapnya dalam-dalam.
“Udah beres kerjaannya, Yas?” tanya Pak Dito, security bagian keamanan kendaraan.
“Iya, Pak. Biar cepet liburan,” jawabku tersenyum dan memberikan sebungkus rokok yang kubeli tiga hari lalu di sebuah mini market, dan aku lupa telah membelinya.
“Eh makasih, Yas. Lumayan nih buat nemenin jaga kantor,” ucapnya.
“Sama rokok dulu, Pak. Temeninnya. Nanti sama saya kalo lembur lagi hahaha,” jawabku tertawa sembari menghidupkan motor dan berpamitan padanya.
Selagi menembus jalanan yang masih saja belum sepi, kuputuskan untuk menepi terlebih dahulu ke warung kopi di sebelah gedung bekas kantor ekspedisi yang sudah tak terpakai, dan kini dialihfungsikan menjadi tempat kreasi bagi para mahasiswa. Bayu, Rendi, Cikal, Ojay dan Fitri pun ikut serta meramaikan kegiatan tersebut.
Kuparkirkan motorku di pinggir trotoar untuk memesan kopi hitam dan beberapa makanan ringan.
“Ini, Mas. Mangga kopinya,” kata penjaga warung menghampiriku yang sedang mengecek ponsel.
“Iya, Pak. Makasih,” jawabku ramah.
“Habis dari mana, Mas?” tanyanya membuka percakapan.
“Habis dari kantor, Pak. Nemenin Pak Dito,” jawabku tersenyum.
Yang kemudian hanya direspons dengan senyuman bingung dan mengangguk.
“Bapak kenapa belum tidur? Biar saya aja yang jagain warungnya, Pak,” ucapku asal-asalan.
“Lah jangan, Mas. Masnya cape kan pasti udah pulang kerja lembur,” jawabnya setengah tertawa.
“Berarti kita sama ya, Pak. Sama-sama cape,” ucapku tertawa.
“Saya sering liat sampeyan, Mas. Sering ke gedung sebelah juga kan ya?” tanyanya.
Memang kadang-kadang aku berkunjung ke gedung itu jika sedang ada waktu luang. Bayu dan yang lainnya sering memintaku menghadiri acara diskusi mingguan yang diadakan oleh komunitasnya.
“Iya, kadang-kadang sih, Pak. Ngga sering, kalo lagi mau aja hehe,” jawabku.
“Saya ke dalam dulu, Mas. Diluar anginnya kenceng, udah tua gampang masuk angin,” katanya berpamitan.
“Iya monggo, Pak. Ini uang kopi dan cemilannya,” kataku seraya memberikan uang bayaran.
“Sebentar, Mas. Kembaliannya saya ambilkan,” ucapnya.
“Gausah, Pak. Ambil aja itung-itung nabung kalo kesini lagi,” jawabku.
“Yasudah, nanti kalo kesini lagi, gausah bayar ya, Mas,” katanya tertawa.
“Siap, Pak. Gampang itu mah hehe.”
3
Sinar mentari masuk menerobos jendela kamarku, membuatku silau seketika dengan reflek. Kubalikan badanku menghindari cahayanya namun sia-sia. Rasa kantukku hilang, ingin rasanya mengumpat, namun untuk apa mengumpat kepada mentari yang telah menjalankan tugasnya dengan baik. Segera kubalikan lagi badanku, tanganku menggapai-gapai mencari ponsel yang tergeletak di samping kasur, layarnya masih menampilkan halaman Spotify bekas semalaman mendengarkan lagu-lagu dari Bring Me The Horizon.
Sejenak kuputar ulang kembali ingatanku, apakah ada janji bersama seseorang atau tidak. Rasanya hari minggu ini jadwalku benar-benar kosong.
Kulihat sekeliling kamar kosku, buku-buku tergeletak berhamburan, bungkus rokok tak kalah berserakan juga. Dinding kamarku dipenuhi dengan poster-poster band kesukaan, Bring Me The Horizon, Lamb of God, Suicide Silence, Abominable Putridity, Chelsea Grin, Burgerkill, Seringai, Jasad, Aftercoma, Muse, Coldplay, Paramore, Blink 182, Neckdeep, dan masih banyak lagi yang tersusun rapi menutupi cat dinding kamar.
Perlahan kupunguti buku-buku yang berserakan dan kembali dirapikan di tempat asalnya. Kuputuskan hari ini akan memanjakan kamar kosku yang sudah lama tak kusentuh karena kesibukan kantor. Lagu My Chemical Romance – I Don’t Love You kuputar untuk menemani aktifitas pertama di hari ini.
Kamar indekosku telah menjadi saksi bisu selama setahun lebih bagaimana diri ini merenungi kehidupan yang begitu pelik. Bagiku, kamar ini bernyawa karena selalu mentransfer energi yang melibatkan emosi dalam diri.
--ooo--