Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

PERFRECT REVENGE [2019]

imho, transisi waktu flashbacknya sedikit kurang mulus lalu endingnya sedikit buru2? atau memang menginterpretasikan prefect revenge adalah sebuah kondisi karma? lalu apa konteks selingkuhnya?

sekali lagi maaf , abaikan bila tidak berkenan menerima pendapat nubi
:ampun::ampun:
Haturthankyou keripiknya hu,
Noted untuk alur bolak-baliknya, cerita pertama dg alur seperti itu, harap maklum :ampun:
Tepat hu, pasti memang dirasa terburu-buru dan menggantung, keabisan waktu sebelum deadline kemaren, jadi ga semua ide tertuang kecerita.
Yup, karma sebagai pembalasan sempurna, bukan dari si tokoh melainkan memang hanya Sang penentu nasib yang berhak membalas perbuatan mahluk-Nya.
Awalnya memang selingkuh dg Cynthia sbagai cara membalas dendam, itu pun tanpa Cynthia sadari. Cuma ya bgitu gantung juga, lagi2 ga keburu, ngeri di-tag gagal posting :lol:
 
Kakak perempuanku sebagai sumber inspirasi
Guru sejarah ku yang memotivasi ku membaca dan menulis
Jam kerjaku yang memungkinkan ku membuat cerita ini
dan semua pihak yang terlibat dalam pagelaran ini
Terimakasih, hatur nuhun

Perferct Revenge


Kendaraan yang aku tumpangi sekarang melaju semakin melambat. Gedung-gedung tinggi menjulang semakin terlihat jelas. Lobi gedung dan hotel, juga plang pintu masuk berwarna oranye yang naik-turun jelas bisa kuperhatikan dengan seksama.

Ahh, tersendatnya lalu-lintas karena macet rupanya. Mobil-mobil berbaris mengantri mendapat giliran bergerak sedikit demi sedikit. Ya beginilah ibu kota negaraku tercinta, Jakarta.

Ini masih jam 9 pagi, aku berangkat dari hotel dekat Bandara Internasional Soetta pagi tadi setelah malam sebelumnya baru saja melakukan perjalanan jauh dari UK.
Sudah tiga bulan aku berada di negeri orang. Bahkan untuk pelatihan pembaharuan sistem pelaporan keuangan perusahaan, aku harus menempuh sekian mil, pergi ke negeri orang. Itu pun sebenarnya juga syarat yang harus aku tempuh untuk memudahkanku di tempat baru nanti. Apa boleh buat.

Sebenarnya, sepuluh tahun lalu aku bersumpah tidak akan menginjakkan kakiku ke kota ini. Usiaku kini 36 tahun. Rupanya sepuluh tahun berjalan begitu cepat. Aku terpaksa memutuskan kembali ke sini karena sebuah pekerjaan. Bukan karena besaran gaji atau jabatan yang ditawarkan. Aku lebih tertarik dengan nama direktur keuangan di perusahaan multinasional ini. Irawan.

Atasanku di kantor merekomendasikan langsung ke pak Irawan untuk menggunakan jasaku. Awalnya aku menolak karena harus pindah ke jakarta, tapi ketika kudengar nama Irawan dan sedikit latar belakangnya. Maka kunyatakan siap menerima pekerjaan itu. Lalu aku diberangkatkan ke UK untuk pelatihan, dan langsung ke jakarta 3 bulan setelahnya.

Saat ini, aku berada di kursi nyaman empuk dalam mobil yang disediakan kantor. Ku tutup kepala dan mukaku dengan jaket kulitku, selang beberapa detik saja dalam bayangan ruang gelap mata yang terpejam, ada percikan api jauh di dalam hatiku. Percikan api dendam, seperti kau dengan gemasnya mengadukan dua buah batu flint untuk menghasilkan api dalam kondisi survival. Irawan. Ya, Irawan. Nama yang sudah lama tak kudengar.

Ada apa dengan ku dan Irawan itu? Jelas ada dendam. Semua itu berawal dari 36 tahun yang lalu, 23 September 1983.

♧​
Flashback.....

Jumat, 23 September 1983, pukul 18.33 ketika rona merah langit perlahan menghilang. Suara tangisan bayi laki-laki terdengar memecah ketegangan orang-orang di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota hujan. Kelahirannya disambut suka cita orang-orang terdekat, kerabat dan sanak famili. Orang tuanya jelas sangat berbahagia proses persalinan yang memakan waktu berjam-jam sampai jua pada ujungnya.

Maklum, ini adalah anak pertama laki-laki mereka setelah sebelumnya dua anak perempuan yang kini sudah beranjak remaja. Anak laki-laki yang ditunggu, yang diharapkan akan menjadi tulang punggung dan kebanggan keluarga.

Di saat yang sama, 17 kilometer jauhnya dari rumah tersebut, di rumah sakit pusat kota dengan fasilitas mumpuni, lahir juga seorang bayi laki-laki. Anak pertama (dan satu-satunya) dari pasangan kaya raya. Biaya persalinan dan semua kebutuhannya beserta fasilitas lainnya di tanggung negara, sang bapak dari sang anak adalah seorang tentara. Sang ibu menangis mengucap syukur setinggi-tingginya menyambut datangnya bayi itu ke alam dunia.

"Akhirnya kita bisa melahirkannya, Nur," bisiknya terkenang seseorang, "apa bayimu sudah lahir juga?" dia bertanya pada dirinya sendiri sambil tersenyum mengucapkan syukur.

Beberapa hari kemudian, rumah gedong dua lantai bercat putih dengan halaman luas ramai oleh para tamu undangan. Lantunan shalawat mengalun pelan terdengar. Rupanya rumah itu sedang mengadakan syukuran dan aqiqah.

Sore hari sebelum acara tersebut, datang kabar dari seorang tetangga kalau ibuku diminta hadir juga ke acara itu. Itu pun kalau bisa. Beliau sebenarnya ingin, namun tak mampu. Kondisi fisiknya masih lemah mengingat ibuku baru saja melahirkan beberapa hari yang lalu. Keesokan sorenya datang banyak bingkisan ke rumah ibuku, sebagai tanda syukur si pengirim dan juga supaya orang lain ikut merasakan kebahagiannya.

Ibu Diah Ratna adalah istri dari seorang tentara, Ibu dari anak laki-laki itu. Beliau adalah sahabat masa kecil ibuku, Nurhasanah. Nasib baik membawanya ke ibu kota selepas tamat SMA dan kembali ke kampung setelah menikah.

Di kampung kelahirannya dia disediakan rumah besar itu dan segala isinya. Sementara suaminya jarang sekali pulang karena tugas negara.

Kesehariannya ketika sang suami bertugas jelas sepi. Tapi kesepian di rumah besar tak menjadikan dirinya bersedih, karena ada Nurhasanah di sana, Ibuku. Sahabatnya. Bahkan sudah seperti saudara perempuannya.

Ibu Diah memang lah seorang diri sebelum dia bersuami. Dia merupakan seorang pendatang di kampung kami. Umurnya masih 2 tahun waktu itu. Kakek dan nenekku lah yang berjasa pada keluarganya, karena orang tua Ibu Diah mempunyai catatan kurang baik dimasa lalunya.

Dari kecil hingga masa sekolah dan tamat SMA ibu Diah dan ibuku selalu bersama. Sudah seperti saudara, umurnya juga hanya terpaut beberapa bulan saja. Cerita hidup memang susah ditebak, hingga akhirnya Ibu Diah harus pergi ke Jakarta untuk bekerja. Jiwa merantau turunan dari leluhurnya tidak menciutkan nyalinya pergi ke kota besar seorang diri. Moment itu memang menyedihkan, tapi tergantikkan ketika kesempatan kembali ke kampung ia dapatkan dengan bersuami seorang tentara.

Kembali bersama dengan status dan kondisi perekonomian yang berbeda tidak menjadikkan mereka canggung. Ibukku yang wataknya pemalu memang sesekali sungkan dengan kebaikkan Ibu Diah.

"Anggap ini balas budiku untuk kebaikkan orang tuamu, Nur."

Jawaban Ibu Diah selalu seperti itu ketika ibuku menunjukkan sifat pemalu dan rasa sungkannya menerima kebaikkan Ibu Diah.

Ibuku kadang menginap di rumah itu, kakak perempuanku pun kadang diajaknya menginap. Tapi bapak seringnya melarang, menurutnya nanti timbul rasa iri dari tetangga.

"Kira-kira anak pertamaku nanti laki atau perempuan ya, Nur?"

"Kamu maunya laki apa perempuan?"

"Sedikasihnya aja sih aku mah, yang penting sehat. Tapi kalau bapaknya pengen banget anak pertamanya laki-laki."

"Semoga, kita berdo'a sama-sama yuk! Aku juga pengen punya anak laki-laki."

"Hehehe iya yuk!"

Obrolan disuatu sore di pelataran rumah berakhir ketika kumandang adzan Ashar terdengar. Mereka pun beranjak menunaikan kewajibannya, lalu berdo'a meminta supaya sama-sama dikaruniai anak laki-laki.

♧​

Drrtttt drrttt drrtttttt
Smartphone-ku yang ada di kantong jaket kulit bergetar pertanda ada panggilan masuk.

Kulihat deretan nomor yang terpampang di hpku. Tak ada nama yang tertera. Nomornya mudah dihafal, istilahnya nomor cantik. Ga sembarang orang bisa punya nomor telepon seperti ini. Pasti orang penting, pikirku.

"Hallo?"
"Halloooo pak Ari, dimana posisi nih? Saya Irawan."
"Ohhh Pak Irawan, saya masiihh diii..." tengok kiri kanan coba menilai posisi. Ahh percuma juga aku kan bukan orang sini.

"Kang, ini dimana?" Tanya ku pada Kang Lukman supir kantor lama.

"Slipi, Pak."

"Ini saya baru sampai Slipi, Pak Irawan."
"Ohh iya iyaa masih cukup waktu lah, mau makan siang di kantor atau di luar saja, Pak?"
"Baiknya Bapak aja seperti apa," jawab ku sopan
"Ok kalo gitu, nanti saya kirim lokasi tempat makan siangnya, biar enak ngobrolnya."
"Baik, Pak."
"Ok hati-hati di jalan, Pak Ari"
"Iya, Pak."

Sambungan telepon pun disudahi. Ada seringai diujung bibirku. Ahh, kena kau, Irawan.

Tak lama, notifikasi pesan WhatsApps masuk. Nomor tanpa nama itu mengirimkan lokasi sebuah resto. Tanpa berpikir panjang, langsung saja aku klik pesan tersebut.

"Kang kita ke tempat ini ya," kuserahkan smartphone itu pada Kang Lukman.

"Siap, Boss!"

Masih sekitar satu setengah jam lagi. Rasa kantuk dan pusing masih bertengger betah di tubuhku akibat jet lag. Baiknya aku tidur lagi saja lah.

"Kang, coba kerasin volume musiknya," pintaku pada Kang Lukman

Suara khas dari vokalis Pearljam mengalun seketika, menyanyikan tema kesendirian. Tak bosan-bosannya kudengarkan lagu OST film Into the Wild yang selalu setia menemani kemana pun aku pergi.


Namaku Ari Adhidrawa, lahir dari keluarga sederhana. Ibuku Nurhasanah, beliau mempunyai sahabat bernama Ibu Diah Ratna, anaknya bernama Irawan. Ibuku bilang aku dan Irawan seperti saudara kembar, setidaknya seperti adik kakak. Kami dilahirkan tepat di hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam yang sama. Satu hal yang membedakkan hanyalah tempat ibu kami melakukan proses persalinan.

Sejak masih bayi, aku sering dibawa Ibuku ke rumah temannya itu. Di sana aku diurus bergantian dengan Irawan. Giziku dipenuhi, baju dan celana baru selalu kudapat setiap Ibu Diah membeli untuk Irawan. Sebenarnya Ibuku sungkan, tapi Ibu Diah akan tetap memaksa agar semua kebaikkannya diterima dengan senang hati.

Mereka memang saling melengkapi, dari kecil hingga dewasa, dari single hingga berumahtangga. Mereka berharap kalau anak laki-lakinya pun akan bersahabat seperti mereka.

Sahabat? Dangkal!

Aku dan Irawan lebih dari sekedar sahabat. Kami saudara.

Sewaktu dulu ketika kami masih bayi dan Ibu masih sering ke rumah gedong itu, aku dan Irawan diurus dan dijaga bergantian. Bu Diah memang sengaja tidak mempekerjakan pembantu, tujuannya supaya ibuku punya suatu hal yang dikerjakan. Ibu akan merasa sangat sungkan jika datang ke rumah itu hanya berdiam diri menikmati kemewahan.

Tak jarang Irawan juga menyusu ke Ibuku, keadaan ini pun dimaklumi Ibu Diah. Sebab beliau dapat memproduksi ASI yang cukup. Itulah mengapa aku dan Irawan bukan sekedar sahabat, bisa dibilang kami saudara sepersusuan.

Beranjak usia sekolah, aku dan Irawan tak terpisahkan. Kami satu sekolah dari SD hingga SMP. Duduk pun selalu bersama. Kembar tapi tak sama, begitulah lingkungan kami menyebutnya. Sifat dan karakter kami memang hampir sama. Baik, pintar, dan patuh.

Aku sering ditraktir jajan oleh Irawan pada masa itu. Sedangkan dia sering makan siang di rumahku selepas pulang sekolah, katanya masakkan Ibuku lebih nikmat rasanya.

Masa SMP adalah waktu dimana kami mengalami masa pem-bully-an. Irawan di-bully karena bapaknya yang jarang pulang. Aku di-bully karena ibuku yang menikah lagi.

Ari, diplesetkan menjadi anak tiri. Cocok memang karena kondisiku memang begitu. Tapi ejekan teman-teman sekolahku tak dapat diterima oleh sahabatku itu. Dia selalu menjadi sosok penjaga. Memang badanku kurus kecil, sementara Irawan tinggi tegap.

"Ari tuh emang artinya apa sih?" tanya Irawan suatu waktu.
"Kata Ibu sih anak tri, anak ketiga hehe,"
"Ohh gitu,"
"Kalo Irawan?" tanya ku balik kepadanya.
"Iswandi Ratna wan (one), satu, mereka nikah punya anak satu-satunya, yaitu gue,"
"Hahahahha," kami tertawa bersama

"Gue mau ganti nama panggilan ah, Irawan kepanjangan, Ira kayak nama cewe, mulai sekarang panggil gue Iwan. I, bahasa Inggrisnya ay, artinya aku, wan (one), artinya satu. Iwan, aku satu"

Dengan bangganya dia mendeklarasikan nama panggilan barunya itu.

♧​

"Pak, restonya sudah dekat, terus ini ada beberapa Wa masuk," kata Kang Lukman ketika aku membuka mata.

"Oh iya coba sini,” aku tajamkan penglihatanku sambil meraih hp di genggaman Kang Lukman.

Ahh, pesan dari nomor cantik itu lagi. Segera aku buka pesan yang sudah masuk dari setengah jam yang lalu itu.

Pak Ari, meja sudah saya reserved ya, bilang aja atas nama saya, mungkin saya agak terlambat, terima kasih.

Baik, Pak
balasku kemudian.

Kurang dari 10 menit aku sudah sampai di lokasi, turun dari mobil kemudian melangkah masuk ke restoran yang kutuju. Dinding kaca terpampang dari luar restoran kelas atas tersebut. Lantai marmer, lampu-lampu gantung dengan nyala lampu remang, dan sofa-sofa warna monokrom tersaji di depan mataku. Tak banyak orang di sini, rupanya. Suasananya begitu tenang, meja-meja dengan alas meja putih dan vas bunga kecil menambah kesan mewah di restoran ini. Irawan tak main-main rupanya, ujarku dalam hati.

Setelah mendapatkan meja yang sudah dipesan, aku pun duduk menunggu. Kupesan segelas kopi hitam untuk teman membunuh waktu. Kembali Kubuka aplikasi pesan WhatsApps, klik photo profile calon atasanku.

Aku menyeringai melihatnya

"Lo ga berubah banyak, Wan," gumamku melihat foto Irawan lengkap dengan dasi, jas, dan kemejanya.

Kopi hitam pesananku datang. Aroma khasnya membawaku ke sebuah lamunan, kembali ke masa SMA.

♧​

Masa SMA, saat persahabatan kami hampir berakhir. Pertemuan kami semakin jarang. Setelah terlibat tawuran, Iwan berpindah sekolah, seiring dengan Ayahnya yang dipindahtugaskan ke ibukota.

Namun demikian keluarga Iwan masih menyempatkan datang mengunjungi rumahnya di kampung itu. Kami pasti tidak melewatkan hari itu untuk kumpul bersama. Berbagi cerita dan menghabiskan malam dengan begadang, baik di rumahnya ataupun di rumahku.

Masa SMA adalah masa pencarian jatidiri. Aku bersyukur berhubungan baik dengan keluarga Iwan. Apalagi ayahnya, wawasan dan pengalamannya membuat kami takjub. Kadang kami di-brainwash bagaimana menjalani hidup sebagai laki-laki sejati. Kami didoktrin dengan politik dan kenegaraan. Tak jarang tema-tema obrolan seperti ini manjadikan kami bertiga menghabiskan malam bertiga hanya sekedar mengobrol sampai mulut kami berbusa.

Teringat ketika Ibuku masih sering berkunjung ke rumah Bu Diah. Sepulangnya dari rumah itu aku pasti menagih koran. Aku memang sudah gila baca dari semenjak kecil. Sehingga tidak aneh kalau aku senang dengan obrolan-obrolan Pak Iswandi diakhir pekan.

Tak jarang kami melakukan pendakian gunung atau sekedar berkemah di hutan atau bumi perkemahan. Setelah itu seringnya aku dan Iwan yang ketagihan mendaki gunung. Dalam setahun mungkin 6 sampai 10 kali pasti kami pergi ke alam liar. Tidak hanya berkemah atau mendaki. Kami jadi menggeluti olahraga ekstrim. Panjat tebing, susur gua, susur pantai, arum jeram, semua sudah kami coba.

Jiwa kami bebas, kawan semakin banyak, wawasan semakin luas, inilah yang kami cari! Karena hal ini juga kami semakin merasa tak terpisahkan.

Masa kuliah adalah masa dimana semua fakta terungkap. Masa dimana amarah memuncak. Dendam tertanam. Maaf dan taubat tertolak.


Kembali ke restoran, aku masih duduk memandang foto itu. Back Home, ku kunci layar smartphone-ku. Lalu kuseruput kopi hitam Arabica itu. Terlintas bagaimana awal dari semua dendam ini ada. Kupejamkan mata sambil kusenderkan punggung ke sandaran sofa kayu empuk berwarna abu-abu.

♧​

Awal perkuliahan adalah masa tersibuk dari dunia kami. Kami sangat jarang bertemu. Walaupun Pak Iswandi dan Bu Diah tetap mengunjungi rumahnya di akhir pekan, aku jarang juga menemui mereka, karena ya sama-sama sibuk di kampus sebagai mahasiswa baru. Tapi Ibuku, beliau selalu ke rumah itu di akhir pekan, maklum bertemu Ibu Diah seperti bertemu saudara perempuannya sendiri. Tak jarang juga Ibu diantar ke rumah oleh mereka, atau dijemput dari rumah sebelum menghabiskan waktu di rumah gedong itu. Jadi, ibu tidak kesusahan dengan hanya melihat mobil terpakir di halaman rumahnya, Ibu Diah dan Pak Iswandi pasti sedang ada dirumah.

Dalam satu tahun masa perkuliahan kami. Terhitung hanya liburan tengah semester dan akhir semester kami habiskan dengan mendaki gunung dan berkemah. Itu pun tak semua hari liburan kami habiskan bersama. Kami memang mempunyai teman baru, walaupun begitu aku habiskan sisa liburanku di rumah atau ke kampus sekedar menengok sekretariat organisasi.

Sementara Iwan, hobi dengan teman barunya adalah otomotif. Dia bisa berhari-hari tidur di bengkel salahsatu temannya untuk mengerjakan sesuatu yang tidak aku mengerti.
Kadang dia touring hingga ke daerah pelosok.

Cerita cerita touring itu menjadi tema tak terlewatkan jika kami sedang bersama. Aku juga sering diajaknya kumpul bersama teman-temannya.

Sejujurnya ada perubahan sifat kawanku ini setelah dia mulai berteman dengan mereka itu. Peduliku hanya satu, semoga dia tidak terlibat hal-hal diluar logika dan tidak terlibat masalah yang membahayakan dirinya.

Semester tiga. Aku resmi menjadi anggota pecinta alam di kampusku. Bagai pinang dibelah dua, Iwan pun sama, sayangnya dia telat bergabung. Jadi bisa dikatakan aku disini menjadi seniornya, walaupun beda kampus.

Proker pertamaku adalah membuat acara untuk ulang tahun organisasiku. Aku kebagian tugas mengirim surat undangan ke berbagai organisasi mapala. Termasuk organisasi mapala yang iwan ikuti.

Sore itu aku berangkat ke Jakarta dengan menggunakan motor pinjaman salah satu senior. Menjelang Magrib sampailah di sekretariat mapala tersebut.

Sambutan hangat dari kawan-kawan mapala memang tak ada duanya. Namun aneh, batang hidung Iwan tak kelihatan juga sejak aku sampai disini.

"Si Iwan kemana ya?" tanyaku pada salah satu anggota.
"Bang Iwan tadi sih pergi sama gebetannya"
"Pacar?"
"Kaagaaakk, bukan bokinnya, baru gebetan doang," timpal kawan mapala lain.
"Ohhhh bisa juga tuh orang ngegebet cewe,"

"Ahh jangan dikira, dia mah tinggal ngedip, cewe-cewe pasti pada nempel,"

"Hahaha iya sihh," komentar ku pada celotehan mereka

Iwan dengan wajah rupawan warisan ibunya, badan tegap dari ayahnya. Pastinya menjadi rebutan perempuan. Tapi setauku semasa SMA, masa pubertas, Iwan tidak pernah mengekspresikan ketertarikannya pada hal samacam itu. Aku memang tidak tahu banyak berhubung terpisah jarak, beda sekolah. Tapi ketika akhir pekan kami bertemu kami tidak pernah membahas perempuan.

"Yaudah bang, gue cabut dulu ya, masih harus ngeliling ini," aku pamit sambil menunjukkan sisa undangan yang harus tersebar hari itu juga.

"Ok sipp, Bang sering-sering mampir ya."
"Siaap," kataku sambil bersalaman

Ketika ku langkahkan kaki keluar, salah satu anggota mapala berlari masuk hampir menabrak badanku.

"Bang tolong bang, itu si bang Iwan digebukkin, ayok tolongin!!"

Mendengar itu perasaanku jadi tidak enak. Hati berdebar kencang. Tegang takut terjadi apa-apa. Kutarik lengan si pembawa informasi itu.

"Dimana?" tanyaku tergesa
"Parkiran belakang, Bang" jawabnya dengan ekspresi panik dan napas yang berburu.

Tak pikir lama, aku berlari ke parkiran belakang kampus. Sambil berdoa semoga belum terlambat semoga tidak terjadi hal yang lebih mengerikan.

Sampai disana aku melihat tiga orang sedang mengroyok Iwan. Satu orang perempuan yang menjerit menangis meminta semuanya berhenti.

Semakin dekat jarak mereka aku berteriak.

"WOYY!"

Tiga orang yang sedang mengeroyok Iwan menghentikan aksinya, lalu serentak melihat kedatanganku. Salah satu orang dari mereka membalik badannya ke arahku lalu dengan telunjuknya yang menunjukku dia berteriak.

"SIAPA LO!"

Tangannnya terkepal siap memukul. Ketika badan sudah dalam jarak jangkauan pukulan, tinjunya melayang dengan cepat. Beruntung aku bisa mengelak, lalu ku tangkap tangannya. Aku tendang engkel kakinya sampai badanya goyah. Keseimbangannya hilang, maka denga satu tarikan badannya amburuk ke tanah. Ku tarik tangannya ke belakang, melipat sikunya lalu tarik ke tengkuk sampai dia berteriak kesakitan.

"Selaw bang, gue gamau ribut, bisa jadi ini salah paham."

Satu orang di belakang yang sedang memegangi perempuan itu, melepaskan pegangannya. Siap berlari menyerangku. Sementara satu dari dua orang yang mengeroyok Iwan jatuh tersungkur karena pukulan uppercut Iwan.

Beberapa orang datang dari arahku tadi. Mereka kawan kawan mapala. Jumlahnya mungkin 10 orang.

"Ada apaa nih?" tanya seseorang dengan suara berat

Aku lepaskan tangan orang yang tadi kujatuhkan. Lalu kubantu dia berdiri. Iwan mendekati perempuan itu dan membantunya berdiri juga. Si orang yang tadinya sempat mau menyerangku akhirnya membantu temannya berdiri. Orang yang jatuh tersungkur karena serangan Iwan pun sedang dibantu berdiri oleh kawan satunya. Aku menghampiri Iwan dan si perempuan.

"Ga apa-apa lo?" tanyaku ke Iwan

Dia pun menoleh, dan astaga setengah mukanya bersimbah darah dari pelipisnya yang sobek akibat tendangan sol sepatu.

Si perempuan menangis segukan, melihat kondisi Iwan. Banyaknya darah yang keluar membuat kepalanya pusing hingga badannya sempoyongan. Iwan pun tak kuat lagi menahan badanya, dia jatuh dan terduduk memegangi kepalanya.

"MEDIS!"

Aku berteriak sebagai pertanda Iwan membutuhkan pertolongan dengan segera.

Salah satu kawan mapala datang ke arah kami.

"Tolong ambilin P3K kalau disekret ada," pintaku pada orang tersebut, lalu dia berlari.

Si perempuan terus menangis melihat kondisi Iwan yang berdarah. Aku tak pernah melihat perempuan ini.

"Udah gapapa, kuat dia mah," aku coba menenangkannya.

Tanpa mengiraukan perkataanku, si perempuan malah semakin menjadi tangisan.

"Kamuu sih ngapaiin ngelawan dia segalaa."

"......" Iwan diam tak menjawab

"Udah tau kalah jumlah, malah ditantangin."

Aku tak bisa apa apa saat itu selain menunggu kawan yang mengambil P3K. Sementara kawan-kawan mapala lain berkerumun, bergabung menjadi satu kelompok dengan 4 orang tadi.

Tak lama datanglah si kawan itu. Langsung kubuka kotak P3K yang dia bawa. Bekal dari pelatihan SAR dan PPGD sangat bermanfaat pada moment itu. Iwan pun ditangani dengan benar untuk pertolongan pertama.

Kepalanya kini diperban, aku sarankan untuk dijahit saja karena luka di pelipisnya lumayan lebar.

Datang dari arah orang-orang tadi, orang yang nampaknya tak asing.

"Gimna kondisinya?" tanya dia seraya menepuk punggungku.

"Laah, Kang Juki !" senior ku saat mengikuti pelatihan cave rescue.

"Eeuh maneh keur naon didieu?"
(Kamu ngapain disini?)

"Nyebarin undangan, Kang ieu budak malah keur dikoroyok pas arek balik," jawabku.
(Lagi nyebar undangan, lah ini orang lagi dikeroyok pas mau pulang)

"Gimana, Wan ke rumah sakit aja ya?" saran Kang Juki.

"Iya, Kang" jawab Iwan lemah.

Akhirnya aku, Iwan, si perempuan dan Kang Juki ke rumah sakit menggunakan mobil Kang Juki. Iwan pun masuk UGD segera. Setelah semua tenang aku dan Kang Juki kembali ke kampus. Si perempuan masih tetap membisu dan hanya menangis melihat Iwan. Tak ada terima kasih atau percakapan basa basi darinya.

Sesampainya di kampus ternyata ke empat orang tadi sudah berkumpul dengan kawan mapala lain di halaman sekretariat.

Setengah jam aku dengarkan kronologis dan cerita bagaimana bisa terjadi perkelahian. Aku simpulkan semuanya karena cemburu buta, salah paham, dan kekanak-kanakan.

Orang yang memegangi si perempuan saat Iwan dikeroyok awalnya mengaku pacar si perempuan, setelah didesak ternyata dia hanya pengagum dan kaka kelasnya waktu di SMA. Dia emosi karena Iwan merebut si perempuan darinya. Awalnya cuma adu mulut, tapi kata-kata yang Iwan lontarkan memang menyakitkan hati sampai membuat mereka mengeroyoknya.

Kasus ini dianggap selesai dan dia tidak akan memperpanjang masalah. Aku jamin Iwan pun tidak akan melakukan pembalasan.

Akhirnya aku kembali ke rumah sakit untuk melihat kondisi Iwan. Butuh 10 menit saja dengan motor pinjaman itu, aku telah sampai di lokasi.

Sesampainya di depan pintu kamar tempat Iwan di rawat, Aku mendengar desahan dari dalam sana. Ini memang kamar VIP, jadi hanya ada satu pasien didalam sana.

Aku bisa intip sedikit dari kaca pintu kamar yang terhalang gordeng putih. Tak jelas memang apa yang mereka lakukan.

Aku hanya bisa memastikan kalau saat itu, si perempuan berlutut dengan kemejanya yang telah terbuka, persis di samping ranjang. Posisinya tepat berada diantara dua kaki Iwan yang terbuka.

Kepala si perempuan dengan rambut yang diikat acak-acakan ke atas bergerak seirama gerakan kepalanya. Kepala itu bergerak maju mundur. Tangan si perempuan tak terlihat, keduanya menekuk ke depan.

Aku hanya tersenyum masam dan berdecak.
"Jiah, anak muda!"

Aku pun berlalu menjauh dari kamar itu. Spot paling asik untuk menunggu saat seperti ini adalah warung PKL pinggir jalan. Segelas plastik kopi panas dan rokok kretek kesukaan siap menemani membunuh waktu.

Kurang lebih selang satu jam, aku putuskan kembali ke kamar.
Setelah mengetuk pintu aku pun masuk.

"Udah enakan, Wan?"
"Udah, mayaann lah, lo ko bisa di Jakarta?"
"Abis nganter undangan, dateng lo ya dua minggu lagi."
"Undangan apa?"
"HUT mapala gue."
"Ohhh oke nanti gue dateng bareng yang lain, ehh ini kenalin."
"Ari," ku sodorkan tangan ke depan perempuan itu.
"Cynthia," suaranya halus memperkenalkan namanya.

Tangannya halus, jarinya lentik, kulitnya putih, senyumnya... senyum termanis yang pernah aku lihat selain senyum Ibuku.

"Siapa nih, Wan?" tanyaku ke Iwan setelah tangan kami terlepas
"Pacarr doong, belum lama jadian, yaaa sejam yang lalu laahh," lirik Iwan ke Cynthia, kemudian dibalas dengan cubitan di lengannya.

Setelah berkenalan dan mengobrol sedikit, Cynthia pamit pulang, maklum jam sudah menunjukan pukul 10 malam.

"Ri, tolong anterin ke depan ya," kata Iwan meminta tolong
"Gue anterin ke rumah aja gimana?"
"Nih!" Kata Iwan sambil mengepalkan tinjunya
"Hahahaha," aku dan Cynthia tertawa

Tertawanya renyah dan lucu, nampak gigi ginsulnya menyembul menambah manis perwakannnya.

"Yaudah aku pulang ya, kamu baik-baik, cepet sembuh, besok pagi aku kesini."
"Iya makasih yaaa..."

Aku dan Cynthia berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Tak banyak yang kami bicarakan. Nampaknya Cythia tipe yang cukup aware dengan orang baru. Sementara aku minim pengalaman mengobrol dengan perempuan.

Setelah sampai lobi rumah sakit, kuberanikan berbasa-basi.

"Beneran nih gamau dianter pulang sampai rumah?" tanyaku.
"Ga apa apa, aku nanti dijemput supir."
"Ohh gitu, ok deh."
"Kamu Ari kan ya? Iwan sering banget ngomongin kamu."
"Oiya? Apa nih yang diomongin, yang baik-baik, atau malah sebaliknya?"
"Banyaak lahh hehehe..."

Tak lama mobil sedan masuk ke parkiran rumah sakit, lalu berhenti tepat didepan kami. Cynthia pun berjalan menghampiri mobil itu. Setelah membuka pintu mobil, dia menghentikan badannya tepat sebelum masuk kabin.

"Eh, makasih ya, makasih bangeett, kalo ga ada kamu, mungkin Iwan lebih parah dari ini," matanya tulus berterimakasih.

"Iya sama-sama, selamat ya kalian udah jadian."

Dibalasnya dengan anggukan dan senyum manisnya.

"Duluan yaa, daah" Cythia pamit.
"Hati-hati," balasku.

Itu pertemuan pertamaku yang berkesan. Tapi aku sadar diri. Takan bisa kumiliki dirinya. Iwan akan menjadi laki-laki paling beruntung di dunia. Aku akan senang dengan hal itu.



Kopiku sudah habis. Dari kejauhan terlihat Pak Irawan datang dengan seorang perempuan. Tinggi dan berjilbab. Aku pun berdiri menyambut kedatangan mereka. Kujulurkan tangan untuk bersalaman, sambik memperkenalkan diri.

"Barie Rachmansyah, panggil Ari aja, Pak."
"Irawan, panggil Iwan saja. Kita seumuran ko, dan ini sekretaris saya sekaligus istri tercinta."

Perempuan itu mengulurkan tangannya. Kusambut menjabatnya.

"Cynthia," sebutnya dengan lembut.

Deg !

Gila pikirku, ternyata betul pikirku saat dilobi rumah sakit dulu. Iwan memang pria paling beruntung.

Setelah kami duduk di kursi masing-masing. Lalu memesan makanan dan minuman yang tertulis dalam buku menu berjilid tebal.

"Saya ini meresa tidak asing dengan Pak Ari, kaya udah kenal lama gitu, kenapa ya?" Pak Iwan berbasa-basi

"Ahh bapak bisa saja, Pak mungkin perasaan aja."

"Hahah iya ya mungkin, maklum kerjaan bikin saya cepat tua, jadi pikun haha..."

"Hahahaha," aku pun tertawa sekedar menyenangkan lawan bicara

Pesanan kami pun datang. Kami makan sambil sesekali membicarakan masalah pekerjaan dan segala tetek bengeknya. Selama itu pula mataku sering mendapati Cynthia tertangkap memperhatikan gerak-gerikku.

"Nanti kita ke kantor dulu sebelum pulang ya, tanda tangan kontrak dan liat ruangan kerja," kata Pak Iwan dalam suatu kesempatan.

"Siap, Pak" lalu ku telepon Kang Lukman untuk menungguku di kantor saja. Dia pun mengiyakannya

"Gimana, kamu udah siapin dokumen dokumennya kan?" tanya Iwan ke Cynthia

"Sudahh doong."

"Enakk ya pak, satu kantor dengan istri," kataku seraya mengelap bibir dengan tisu.

"Yaa begitulah, kalau bukan karena mertua saya, mana mungkin bisa satu kantor dengan istri."

"Ohhh gituu."

"Yang penting kan pekerjaan selesai, saya usahakan seprofesional mungkin. Di rumah jadi istri, di kantor jadi sekretaris haha..."

"Hahaha," lagi lagi aku tertawa palsu

Kami pun menyudahi acara makan siang itu. Setelah membayar bill, segera kami beranjak bersama menuju basement. Ternyata Iwan tidak menggunakan jasa supir, "malu sama istri," katanya. Itung-itung bakti suami, lanjutnya ketika kutanya kenapa tidak memakai jasa supir pribadi.

Aku pun masuk ke dalam mobil Toyota Fortuner hitam keluaran tebaru. Duduk di seat kedua, setelah sebelumnya Cynthia menawarkanku untuk di depan. Aku sengaja menolaknya, karena aku teringat kembali satu masa dimana kami bertiga dalam satu mobil.

♧​

Dua minggu setelah kejadian Iwan dikeroyok, Iwan dan kawan kawan mapala datang ke acara HUT mapala ku. Tak disangka ternyata Cynthia ikut juga.

Penampilannya sungguh asik, jeans sobek, kemeja flanel, dan sepatu Converse. Tak heran dia menjadi sorotan. Aku pun begitu, melihatnya hadir membuat senang hatiku.

Acara HUT selesai dengan bernyanyi bersama. Setelah berpamitan dengan saudara satu organisasi, Aku, Iwan, dan Cynthia pulang bersama ke rumahnya, rumah gedong itu.

Kami menggunakan mobil Iwan. Katanya sudah dapat ijin dari ayahnya untuk memakai mobil tersebut. Kami pun melaju menembus malam berkabut. Iwan dan Cythia duduk di depan, aku di belakang persis ditengah-tengah jok. Supaya enak kalau ngobrol.

Posisiku agak maju kedepan, kedua sikutku tepat berada di ujung jok Iwan dan Cynthia. Selama dalam perjalanan aku antusias mendengar cerita Iwan tentang kejadian 2 minggu lalu. Dia merasa menjadi pemenang. Pemenang duel dan pemenang hati Cynthia.

Kadang Cynthia mencubit atau menggelitik Iwan ketika obrolannya melantur dan bercanda, apalagi menyerempet topik dewasa. Hal hal berbau seks. Mungkin Cynthia risih atau malu entahlah.

Aku yang dibelakang senang saja melihat ekspresi Cynthia, kadang aku mengompori supaya Cynthia lebih malu lagi. Mukanya yang merona membuatku terpesona.

Sesampainya dirumah, aku melihat mobil hitam yang biasa dipakai Pak Iswandi untuk menjemput atau mengantar Ibu. Pikirku. Berarti orang tua Iwan ada di rumah. Baguslah, aku bisa sekalian bersilaturahmi.

Kami turun dari mobil dan lalu berjalan menuju teras belakang. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 2 pagi. Kami bertiga mengobrol, mengenang, merencanakan sesuatu sampai kantuk datang.

Cyntia duduk berhimpitan dengan Iwan di kursi panjang. Aku sendiri duduk meringkuk di atas kursi rotan. Sebatang roko dan kopi panas menjadi teman menghabiskan waktu dengan mereka.

Sekitar pukul 3 pagi rasa kantuk sudah semakin tidak bisa dilawan. Kami beranjak menuju kamar masing-masing. Aku dan Iwan tidur di kamar atas, sementara Cyntia tidur di kamar tamu.

Setelah merebahkan diri, tak lama aku pun terlelap tidur. Begitupun dengan Iwan.
Beberapa menit kemudian aku merasa pintu kamar terbuka, dan kasur pun menjadi ringan. Mungkin Iwan keluar untuk buang air kecil, pikirku. Tapi pikiranku menjadi lain, tiba-tiba terbayang kejadian sewaktu di rumah sakit. Ah sial!

Kejantananku bangkit seketika membayangkan apa yang mereka lakukan. Mungkin kah sama dengan yang di rumah sakit, atau lebih.

Terbayang postur tubuh Cynthia yang tinggi semampai dengan rambut panjangnya. Kulit putih mulus dan senyumannya yang membius. Dada yang membusung ukuran sedang dan bokong bulat montok.

Sial!! Sial!!

Kutepis bayangan Cynthia, aku tidak ingin mengkhianati sahabatku sendiri bahkan itu dalam lamunan.

Pagi harinya aku bangun karena mendengar deru mesin mobil. Akupun keluar kamar dan menuju kamar mandi sekedar untuk mencuci muka dan gosok gigi.

Di halaman depan tampaknya Pak Iswandi sedang mencuci mobil. Sambil menenteng segelas kopi hitam, aku menyapanya.

"Rajin banget Pak? Mau pergi?"
"Eehh kamu, Ri. Iya nih."
"Ibu mana Pak, ga kelihatan?" Tanyaku berbasa-basi menanyakan keberadaan Ibu Diah
"Saya sendiri ko, sudah biasa hehe"

Deg!

Kukernyitkan dahiku. Pak Iswandi bilang sudah biasa sendiri datang ke rumah ini. Aneh. Setahuku Ibu tak pernah absen kesini kalau melihat mobil hitam itu terparkir setiap akhir pekan. Ada perasaan gusar dan tidak enak yang muncul tiba-tiba.

"Iya sudah biasa sendiri kalo ada acara begini, lagian cuma kumpul dengan teman-teman di militer," lanjut Pak Iswandi setelah melihat perubahan ekspresiku.

Ada getaran dalam kata-katanya yang terlontar, menunjukkan kalo statement tersebut hanya alasan dibuat-buat. Aku semakin penasaran. Ku seruput kopiku dan kunyalakan sebatang rokok. Ku beranikan bertanya lebih lanjut, dorongan dari perasaan yang tidak enak itu memaksaku bertanya pada Pak Iswandi.

"Ohh gitu, emang Ibu Diah ga mau ikut, Pak?"

Gerak gerik Pak Iswandi nampak terlihat canggung.

"Itu, dia lagi sakit, biasanya sih ikut juga kalo saya ada acara."

Tiba-tiba Iwan datang dari arah dalam rumah. Dengan muka kusut dan acak-acakan. Langsung saja ku tembak dia dengan pertanyaan.

"Nyokap sakit, Wan?"
"Heemh, udah lama sakit-sakitan, dari akhir semester dua lah, bolak-balik RS terus,"

Jawaban Iwan makin membuatku gusar. Pak Iswandi berdiri dan permisi untuk mengambil air.

Aku pun berdiri, lalu pamit meninggalkan rumah itu.

Jarak rumahku memang tak jauh jika hanya berjalan kaki, apalagi setengah berlari. Beda halnya dengan memggunakan kendaraan, harus keluar komplek dulu lalu memutar ke jalan raya.

Kurang dari sepuluh menit aku berdiri di depan pintu rumah. Nafas ku berat memburu. Tepat ketika aku membuka pintu, ibuku keluar kamarnya. Berpakaian rapi dan berdandan. Perasaan tidak enak makin tak nyaman aku rasa.

"Mau kemana, Bu pagi-pagi sudah rapi."
"Emhh itu mau ke hajatan Bu Dewi, mau bantu-bantu."
"Ohh, pake dandan segala, Bu kalo mau bantu-bantu mah."
"Kan ada pengajian dulu."
"Ohhh iya atuh, hati-hati dijalan ya Bu, mau Ari anter?"
"Anter gimana, kamu gapunya motor."
"Bisa pinjem tetangga," kataku.

Ibu terdiam sesaat,
"Gausah lah, nanti lama, lagian keburu telat ah, yaudah ya Ibu berangkat."
"Iya atuh."

Ibuku pergi dengan tergesa. Raut mukanya sungguh berbeda. Ada ketegangan. Ada keraguan. Ada keterpaksaan.

Kuhempaskan badanku ke sofa butut berdebu. Pikiranku kacau dengan perasaan tak menentu. Apa yang harus kulakukan?

♧​
Ruangan kerjaku tepat bersebrangan dengan ruangan Iwan sang Direktur. Memang lebih kecil, tapi cukup nyaman.

Setelah diperlihatkan ruangan kerja baruku aku pun diminta mengikuti mereka ke ruangnnya untuk proses penandatanganan kontrak kerja. Aku dan Iwan duduk berhadapan sementara Cynthia sedang menyiapkan dokumen.

"Jadi nanti akan tinggal dimana, Pak?" tanya Iwan
"Kos-kosan dulu paling Pak, berhemat hehe lagian masih bujang ini kan saya," celoteh saya sambil sesekali melirik Cyntia yg sedang mengambil dokumen kontrak di lemari tepat di belakang samping kiri Iwan. Lekuk badan dan bokongnya sempurna terpampang. Ku genggamkan tangan gemas ingin meremas bokong bulat itu.

"Oh gituu, saya kurang tau sih kalau kos-kosan dekat kantor, kamu tau kos-kosan sekitaran sini?" tanya Iwan ke Istrinya yang berdiri menungging membuka lembaran kontrak kerja di atas meja.

"Kurang tau juga sih, mungkin bisa tanyain ke karyawan atau OB, banyak yang kos juga kan pasti."

"Ehh, jangan-jangan, nanti saya cari sendiri saja, kebetulan si Lukman mau nemenin"

"..." Iwan dan Cynthia bengon mendengar nama Lukman

"Ohhh itu supir saya."

"Oohh, ok ok kalau gitu, silahkan dibaca dulu isi kontraknya."

Akupun membacanya dengan teliti. Lalu setuju dengan semua isinya. Proses penandatangan kontrak pun selesai tepat pukul 04.15 sore dan diakhiri dengan saling berjabat tangan.

Aku kembali ke ruanganku sebelum meninggalkan kantor itu, untuk sekedar mengambil jaket kulitku. Ternyata hp kecil ku yang memang ku gunakan untuk telepon dan sms berdering dalam kantong jaket pertanda telepon masuk.

Langsung kuangkat saja panggilan telepon itu. Kabar mengejutkan dari salah satu kawan kerjaku. Dia mengabarkan kalau atasanku penyakit jantungnya kumat dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Tak perlu membuang waktu aku bilang akan segera menyusul ke rumah sakit, lalu kumatikan hp, mengambil jaket dan melangkah keluar lalu berpamitan pada Iwan dengan terburu-buru.

Aku bilang harus segera ke rumah sakit. Atasanku, orang yang sangat berjasa dalam hidupku, dia telah menyelamatkan diriku, menarikku dari jurang depresi. Dirinya lah yang menjadikanku seperti sekarang, mengalami serangan jantung.

Aku tergesa-gesa keluar dari kantor itu, Lukman pun sudah standby di lobi. Kami pun langsung berangkat menuju rumah sakit. Aku pun berniat menelepon balik kawan yang tadi memberi kabar dengan menggunakan hp kecil itu. Namul sialnya, hp tersebut tertinggal di ruanganku. Yasudah, kupikir nanti akan kutanyakan pada Iwan setelah ada kepastiaan nasib atasanku ini. Mobil pun terus melaju, Lukman ternyata tahu harus kemana. Dia telah diberitahu teman kantorku yang lain.

Tepat sebelum adzan Maghrib berkumandang aku telah sampai di ruangan tempat atasan ku dirawat. Dia terbaring lemah, infus menancap di lengannya. Aku menhampiri dan mencium tangannya.

"Bagaimana, lancar?" dia bertanya tentang proses penandatangan kontrak itu.
"Bapak sehat saja dulu, baru kita ngobrol kerjaan ya," sambil kutepuk-tepuk tangannya mencoba menenangkan.

"Ok," ibu jarinya mengacung, senyumnya mengembang.

Beberapa menit aku menunggunya sampai terlelap tidur. Masih ada pe er yg harus ku kejar, mencari kos-kosan. Aku tak mau terdampar di kamar hotel, suka susah tidur.

Beruntungnya Lukman mau diajak mencari kos-kosan yang sedekat mungkin dengan lokasi kantor baru. Akhirnya kami berangkat kembali ke arah sebelumnya.

Di perjalanan aku ingat hp kecilku. Hanya ingin sekedar memastikan bahwa hp itu aman, aku pikir tak apa kalau ku hubungi Iwan, mungkin dia masih di kantor. Maka kutelepon nomer cantik itu.

"Hallo, ya Pak emmh shh ada apa, Pak?" jawab Iwan di sebrang sana, nada bicaranya tertekan menahan sesuatu

"Maaf, Pak Iwan masih di kantor?" Tanyaku datar

"I.. iya pak emhh masih, kenapa, Pak?"

"Itu kayaknya hp saya ketinggalan diruangan tadi kerena buru-buru, minta tolong di cek, takutnya terjatuh di jalan, sayang banyak kontak penting disana"

"Ohh ohh iyaah Pak nanti saya cek ke ruangannya yaaahh emh"

"Baik, Pak, terima kasih banyak," nada ku seperti mengakhiri sambungan telepon

"Sama-sama, Pak Arie"

Iwan tak sadar kalau sambungan telepon belum dimatikan. Dia meletakkan hpnya di atas meja. Suara desahan, dan bunyi mulut yang sedang melakukan oral sex jelas terdengar.

"Mmhhh hmmppfhhhh gwanggu ajwa" suara si perempuan

"Kita pindah yuk!" Suara Iwan

*disebrang sana, di sebuah ruangan lantai 7. Ruangan kecil yang nantinya akan kutempati. Sepasang suami istri sedang melakukan hubungan intim. Mungkin untuk mencari sensasi agar lebih bergairah kehidupan seksnya, atau entah apa.

Tanpa melepas satu pakaian pun mereka bisa saling melampiaskan birahi. Si lelaki hanya memelorotkan celana dan boxernya, sementara si perempuan hanya mengangkat longblouse-nya setinggi perut, dan melucuti g-string hitamnya sampai lutut. Si perempuan yang diminta laki-laki itu mencari hp kecilku, menungging mencari hp. Bagian bawahnya yang terbuka menjadi rangsangan pandangan bagi si laki-laki. Bokong bulat, kaki panjang, betis dan paha mulus, serta vaginanya yang seksi tanpa rambut sehelai pun menjadikan dirinya santapan meluapkan syahwat.

Hp kecil itu tergeletak begitu saja di atas kursiku, mungkin memang benar jatuh ketika kumasukkan kedalam kantong jaket kulit itu. Si perempuan yang menemukan hp itu menungging berpegangan pada sandaran kursi. Sementara dibelakangnya, laki-laki itu berdiri menghentak-hentakan pinggulnya.

Ruangan kecil itu menjadi riuh dengan desahan kenikmatan dan bunyi yang keluar dari persenggamaan. Laki-laki yang berdiri menikmati seksnya memejamkan matanya sambil terus mempercepat gerakkan pinggulnya, tangannya bertumpu berpegangan pada ujung meja dan pinggul si perempuan.

"Ugghhhh sshhhhhh aku bentar lagiiih."

"Iyaah aku jugaaa, cepetinn.. cepetin paahh.. "

Sambil meracu menikmati vaginanya yang basah dimasukki batang kejantanan, tanpa sepengatahuan si laki-laki, perempuan itu membuka hp kecil ku, mengetik nomornya sendiri lalu menekan tombol dial. Beberapa detik kemudian berbarengan dengan titik puncak kenikmatan persenggamaan yang mereka rasakan, hp kecilku yg berbentuk flip ditutupnya lalu dibiarkan tergeletak di tempat semula.

Setelah memuntahkan sperma kedalam liang senggama dan organsme yang membuat lutut si perempuan lemas. Mereka berciuman mesra dan saling berpelukan sambil saling membenahi pakaiannya masing-masing.

"Ada hpnya?"
"Ada tuh di kursi," jawab si perempuan
"Oh yaudah," si laki-laki mengambil hpku lalu diletakan di laci meja yang masih kosong. Beberapa menit kemudian aku yang sedang mengobrol dengan pemilik kos menerima pesan WhatApps.

"Pak, Hpnya saya simpan di laci meja."
"Terimaksih banyak," balasku dengan emot senyum

Aku pun bergegas mengeluarkan semua barang pribadi yang kubawa sejak keluar hotel. Pakaian dan keperluan kerja lainnya tertata rapi dalam mobil. Lukman membantu sampai barang itu masuk kamar kos. Setelah berbasa basi dia pun pamit pulang.

Kuhempaskan badan ke kasur empuk tak berseprai. Kamar kos yang cukup luas dengan kamar mandi di dalam cocok dengan kemauanku. Meja kerja dan jendela yang langsung menghadap ke ruang terbuka juga seperti yang kumau.

Mata terpejam bibir tersungging. Teringat telepon tadi, aku yakin mereka bersertubuh di ruanganku. Seketika ingatanku kembali ke hari dimana kami bertiga menginap. Dinihari dimana aku melamunkan mereka berbuat apa. Dulu aku menahan imajinasi ku tentang keseksian Cynthia, demi sahabatku. Sekarang aku meraba-raba kemaluanku sambil membayangkan bentuk tubuh Cynthian yang puas aku telanjangi dengan mataku.

"Maaf kawan, istrimu mungkin akan kujadikan alat balas dendamku. Dosamu dan ayahmu tak termaafkan!"

Geram aku berbicara sendiri dalam hati.

♧​
Hari itu aku tak tahu Ibu pulang ke rumah pukul berapa. Karena dari pagi sampai siang aku tidur. Aku terbangun dari tempat tidur dengan perasaan enggan. Kucoba enyahkan pikiranku sejenak dari prasangka buruk tentang Pak Iswandi dan Ibu. Ahh tidak mungkin ada sesuatu antara Ibu dan Pak Irawan, mereka hanya berteman, pikirku. Dengan langkah gontai kulangkahkan kaki untuk membasuh tubuhku, ada evaluasi acara mapala di kampus, aku mesti bersiap sebelum terlambat.

Hari-hari berlalu tanpa ada sesuatu hal yang mencurigakan. Aku jadi lebih sering dirumah di akhir pekan.
Suatu pekan aku akan mengadakan pendakian bersama dengan kawan mapala yang berbeda kampus. Kami janjian untuk persiapan dirumahnya yang satu komplek dengan rumah Iwan. Turun dari angkot aku berjalan menuju rumah yang dituju. Jalan yang ku tapaki mengharuskan ku melewati rumah Iwan.

Tepat di depan pintu gerbang rumahnya aku melihat mobil pak Iswandi terpakir rapi. Pikirku berarti sedang ada orang dirumah, mungkin baiknya aku mampir sebentar untuk bersilaturahmi. Pintu depan rumahnya pun setengah terbuka.

Niat awal aku urungkan mengingat persiapan pendakian akan cukup memakan waktu karena jumlah pendaki yang banyak. Tepat ketika aku melangkahkan kaki kanan ku, perasaan itu muncul lagi. Tak nyaman rasanya, berdebar karena memikirkan hal buruk. Aku tak mau pikiran ini dibawa kependakian, akan membahayakan. Maka kuputuskan sekalian saja kupastikan semuanya.

Ku buka cariel 80liter yang masih setengah terisi. Ku simpan dibalik pohon dekat pintu gerbang. Bukannya masuk baik-baik, aku malah menyelinap seperti maling.

Aku memutar ke arah samping rumah lalu memanjat pagar beton, lalu meloncat ke pekarangan samping rumah. Aku mengendap ke arah jendela yang tertutup gorden lapis pertama, kain putih berlubang kecil rapat. Ku coba intip bagian dalam rumah. Ku coba fokuskan penglihatanku.

Apa yang kulihat kemudian membuatku dibakar amarah. Pak Iswandi menepuk bagian belakang tubuh Ibuku ketika dia menyiapkan segelas kopi sambil membungkuk. Bukan hanya menepuk, tangannya kemudian meremas bokong lalu menarik rok lebar yang ibu kenakan pagi itu, sampai terlihat betis dan lututnya.

Ibuku terlihat risih atas perlakuan Pak Iswandi. Dia mencoba menjauh tapi ditariknya tangan ibuku oleh pak Iswandi.
Kenapa ibuku tidak lari dan mencari pertolongan? Mengapa dia diam saja? Apakah ini sudah berlangsung lama? Pikiranku berkecamuk dengan berbagai macam pertanyaan.

Aku mencari posisi karena ingin memastikan percakapan mereka, karena mereka terlihat sedang berdebat. Setelah diposisi yang tepat aku bisa sedikit apa yang mereka debatkan. Meski hanya dengan membaca gerakan mulut.

"Jangan.. jangaann paak"
"Sudah tenang gapapa nur"
"Jangaann, ada Iwan" tangannya menunjuk ke atas

Deg! Ada Iwan? Apa dia mengetahui ini semua? Kemarahan ku semakin memuncak, darah ku seperti mendidih.

"Gapapa dia masih tidur" balas Pak Iswandi sambil menempelkan telunjuk dibibirnya

"Jangaan" ibuku menghindar lagi

Aku tak bisa bertahan lebih lama lagi menyaksikan ini. Namun pintu kamar di atas lantai terbuka, Iwan keluar dengan muka kusut. Pak Iswandi dan ibuku sama kagetnya, mereka pura-pura mengobrol saling berhadapan terhalang meja setinggi lutut.

Aku perhatikan setiap detiknya. Iwan turun dan bergabung dengan mereka. Dia mengucurkan kopi dari teko yang tadi dibawa ibuku. Matanya jelalatan melihat ibuku yang sedang duduk sambil memegang gelas berisi teh hangat.

Kemarahan ku makin bertambah, sahabatku sendiri dengan tidak sopannya melecehkan ibuku dengan pandangan mesumnya.

Iwan kembali ke kamarnya, dia membawa dua gelas ditangannya. Satu kopi, lainnya teh manis hangat. Pintu kamarnya terbuka, muncullah kepala seorang perempuan berambut pendek, jelas aku tidak mengenalnya. Dan dia bukan Cynthia.

Brengsek ! Umpatku dalam hati.

Setelah Iwan masuk ke kamarnya, Pak Iswandi berdiri dan mendekati Ibuku. Dia duduk disebelahnya. Tanpa ragu Pak Iswandi mendekatkan bibirnya ke bibir Ibuku. Ibuku sedikit menjauh menolak ciuman itu. Tangan pak Iswandi merangkul pinggul Ibuku lalu menariknya mendekat, mengangkatnya sampai ibuku terduduk dipangkuannya. Ibuku meronta ingib melepasnya, Tapi Pak Iswandi menjambak rambut ibuku yang panjang ke belakang. Ibuku kun meringis.

Tak tahan lagi, aku berlari ke pintu depan. Ku ambil balok kayu yang tergeletak di halaman. Lalu ku tendang pintu depan yang setengah terbuka itu.

Sontak Pak Iswandi kaget dan melepas pelukannya. Ibuku yang tak kalah kagetnya berlari ke arah ku. Air mata sudah tak terbendung, mengalir dengan derasnya. Seraya memintaku berhenti dia memeluk badanku dengan eratnya.

"Ada apa kamu ribut-ribut?" Bentak Pak Iswandi kepadaku

"DIAM KAU BINATANG !!" Tak kalah kencang suaraku membentak Pak Iswandi sambil ku acungkan balok kayu itu ke arahnya
"Kau apakan Ibuku?" Tanyaku dengan nada tinggi

"...." Pak Iswandi diam tak menjawab

"Sudaahh naak sudaahhh" ibuku menangis memelukku menahanku supaya tidak lebih dekat dengan Pak Iswandi
"Buang dulu kayunyaaa, ibu takuutt" ibuku mengambil kayu dari tanganku, pelukannya melonggar, lalu ku berlari ke arah Pak Iswandi dan menerjangnya.

Badan Pak Iswandi terjungkal ke belakang. Aku pun menindihnya seraya menghajarnya. Tinjuku mengenai muka dan tangan yang menhalanginya.

"Bajingan !!"
"Tua bangka !!"

Segala sumpah serapah keluar dari mulutku.

Ibuku berlari menghapiriku, menarik badanku ke yang sedang menghajar Pak Iswandi.

"Sudaahh naaak sudaahhhh" ibukku berteriak sambil menangis

Pintu kamar atas terbuka, Iwan keluar daru kamarnya.

"Woy !! Ada apa ini?!"

Aku yang terjengkang kebelakang karena ditarik ibu, menoleh ke atas.

"Diam lo brengsek !" Sambil ku tunjuk Iwan
"Jangan mulut mu !"
"Lo udah tau semuanya kan Wan?" Tanyaku bercampur marah, benci, dan sedih
"...." Iwan diam

"Kenapa lo diem, jawab Wan !" Bentakku sambil berdiri

"Tapi bukan salah ayak gue sendiri Ri" Iwan mencoba mencari pembenaran

"Coba lo pikir kalo lo di posisi gue, gimana hah?!"

"Tante Nur juga salah !"

Aku mendekati tangga, menengadah menghadap Iwan di lantai atas. Hatiku hancur mendengar perkataan itu.

"Harusnya lo bersyukur keluarga miskin kayak kalian itu banyak kami bantu"
"Tega lo Wan ngomong gitu?"
"Ibu lo yang gatel, kalo ga gitu ga mungkin ayah berani ngegoda"
"Bacot lo wan !"
"Tante Nur yang L*cur, ayah udah baik bantu ekonomi kalian, lo pikir dariman lo bisa kuliah sampe sekarang"

Hampir meledak aku mendengar perkataan Iwan, terhina. Amarah ku sudah tak bisa ku tahan lagi. Ku ambil balok kayu yang tergeletak. Lalu ku lempar ke atas mengarah posisi Iwan berdiri. Iwan pun mengelak dari kayu yang terlempar. Kayu itu mengenai pintu kamar dibelakangnya.

Pintu kamar terbuka, seorang perempuan keluar dengan muka tegang. Aku menatap mereka berdua.

"Lo bukan sahabat gue lagi, lihat anak dan ayah sama brengseknya, taik !! Cuiih !!" Ku ludahi lantai rumah itu

"Pergi lo dari rumah gue ! Cuh!" Iwan mengusirku dan meludah ke arahku

Tanpa kupedulikan orang-orang disana. Aku berlari keluar sekencang-kencangnya.
Ku ambil cariel ku yang tergeletak dibawah pohon. Lalu berlari mengarah ke jalan raya. Disana ku cegat truk pasir yang kebetulan lewat. Aku pun naik. Dan berhenti di jalan sebelum truk itu berbelok menurun ke pertambangan pasir. Aku lanjut berjalan dengan pikiran kosong dan kembali naik truk yang mengarah ke barat kota ini. Sampai tibalah di kaki sebuah gunung, aku turun dan membeli perbekalan ala kadarnya di kampung terakhir sebelum pos pendakian.

Setalah merasa cukup aku pun kembali berjalan. Bukannya mengarah pos pendaftaran, aku berjalan ke belakang perkampungan. Disana ada jalan setapak yang biasa digunakan warga untuk mencari kayu bakar. Aku tau jalur ini bisa digunakan untuk pendakian karena sebelumnya jalur tersebut pernah kupakai untuk pelatihan materi navigasi darat.

Aku pun berjalan sendirian memasuki hutan. Pikiranku berkecamuk memilirkan peristiwa yang baru ku alami. Tak terbayangkan bisa seperti ini, aku menangis ketika badan terasa capek dan duduk dibawah pohon tinggi menjulang.

Tangisanku bercampur marah dan benci, aku membeci orang-orang itu. Iwan sahabatku sendiri mengkhianati apa yang aku percayai selamana ini. Tunas dendam pun tumbuh seketika dan terus membesar ketika memori kebaikan ibuku, kebaikan ku, pada dirinya terputar seperti roll film dalam pikiranku.

"Akan ku balaskan dendam ini" terucap janji yang langsung terpatri dalam diri

Aku pun melanjutkn pendakian ditemani rasa marah dan dendam yang menyatu jadi satu. Semaki tinggi ku tapaki lereng gunung, semakin menjadi rasa ingin membalas perbuatan mereka.

Langit menjadi mendung tiba-tiba, gerimis turun tanpa aba-aba. Diketinggian 1900 Mdpl ku dirikan bivak dari ponco yang kubawa.

Hujan semakin deras, intensitasnya lumayan tinggi. Kuperkiran hujan akan lama, maka ku masak air panas untuk mengusir dingin. Lalu kubuat kopi dan kuamankan juga sisa air panas dalam termos kecil.

Kubakar rokok kesukaanku. Sambil merenungkan apa yang terjadi, pikiranku mulai waras. Emosiku mulai mereda. Mungkin harusnya aku tak semarah ini, pun kalau memang mereka semua itu bajingan.

Kuputuskan mengkakhiri perjalanan dan akan kembali untuk memastikan semuanya dengan kepala dingin. Namun hujan masih deras, maka ku tadahkan air hujan itu dan kubasuh mukaku berharap niat jahatku pergi tersapu air.

Hujan reda ketika langit mulai sore. Tapi tetap kuputuskan untuk turun hari itu juga. Sebelum terlambat dan aku pun taku mau membuat ibuku khawatir.

Setelah selesai membereskan alat dan perbekelan, aku berjalan ke arah sebaliknya. Jalur yang akan ku tempuh memang terjal tapi akan cepat sampai di bawah.

Selang satu jam kemudian aku sedang kesulitan melewati jalur berakar nan licin. Langit mulai gelap pertanda magrib segera tiba. Aku tetap mencoba keluar daru jalur itu dengan sekuat tenaga.
Tepat ketika ku sampai diujung jalur itu adalah bibir jurang kawah. Jalurnya kecil hanya muat untuk satu orang. Meskipun aku sudah hafal jalur ini, tetap saja ini jalur berbahaya. Kuturunkan tas carielku, lalu ku ambil headlamp sebagai persiapan menjemput malam.

Hujan kembali turun dengan derasnya. Jalur jadi samar terlihat. Aku tak bisa mendirilan bivak disini, maka kupaksakan terus berjalan. Berdiam diri pun hanya akan membuat ku kedinginan dan hipotermia.

Maka kulanjutkan perjalanan. Tepat ketika petir disertai guntur yang menggelar, kakiku terpeleset karena kaget. Hilang keseimbangan hingga membuatku jatuh ke jurang terjal. Tingginya juran dan beban yang berat disertai tanah licin membuatku terguling dengan cepatnya ke dasar jurang. Carielku terlepas dan kepalaku terbentur batu. Kesadaranku hilang seketika. Gelap dan dingin.

Aku ditemukan keesokan harinya oleh seorang warga yang sedang mencari kayu bakar. Posisiku sudah jauh dari tempatku terjatuh. Saat kesadaran ku pulih aku tak ingat apa-apa, lalu berjalan tanpa arah.

Setelah dibawa keperkampungan dan diberi pertolongan aku dibawa kerumah sakit. Benturan dikepalaku mengakibatkan amnesia.

Aku lalu diurus oleh sipenemu dan akhirnya dititipkan ke saudaranya. Dialah Pak Basri atasanku di kantor lama. Dia membatuku sepenuhnya smapai perlahan ingatanku kembali sedikit-demi sedikit.

Setahun lebih setelah kejadian itu aku lulus D3. Hadiah kelulusan ku adalah tas criel usang. Beserta dompet berisi identitas asliku. Pak Basri menceritakan semuanya. Ibuku meninggal karena depresi berat, ayah tiriku entah kemana. Dua kaka perempuanku hidup masing-masing dengan semuanya. Setelah berdiskusi panjang, aku putuskan menjadi orang baru dengan identitas baru yang telah pak basri berikan. Barie Rachmada, itulah namaku.

♧​

Aku terbangun dari mimpi buruk semalam. Mimpi yang membawaku pada masa lalu kelam. Masa dimana hidupku akhirnya menanggung dendam.

Tapi hari ini hari baru, aku persiapkan diriku serapih mungkin. Kubuka jendala supanya energi positif masuk ke kamar kos. Setelah semua keperluan kerja telah kupersiapkan, aku pun berjalan menuju kantor baru.

Sesampainya di kantor langsung kumasuki ruang kerja baru. Ku ambil hp kecil di dalam laci itu.

Tak lama seseorang mengetuk pintu kaca ruangan ku. Iwan masuk dengan ekspresi muka bahagia. Setelah berbasa-basi, dia pun meninggalkan ku sendiri.

Hari ini jadwal kerja adalah membuat rencana kerja. Kusiapkan laptop dan segala macam segela keperluannya.

Tak terasa waktu berjalan karena fokus pada pekerjaan. Pintu kaca itu diketuk lagi. Pintu terbuka, muncullah cynthia dengan kerudung motif bunga, kemeja hijau toska, dan rok panjang ketat.

"Pak nanti diajak makan siang bersama, gimana?"

"Ohh, saya mungkin makan siang sendiri, tanggung belum selesasi Bu" jawab ku dengan ramah

"Panggail Mba saja" dengan senyum manisnya yang khas, gigi gingsulnya terlihat sedikit membuat gemas.

"Baik Mba"

Cynthia pun pergi menuju ruangannya.

Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari menjadi minggu. Waktu berjalan begitu cepat.

Minggu pertama ku setorkan rencana kerjaku beserta timeline proses pengerjaannya. Iwan dan Cythia kagum dengan hasil kerjaku. Detail dan padat. Merekapun optimis pekerjaan ini akan selesai tepat waktu.

Selama aku diruangan itu, tak hentinya aku mencuri pandang ke Cynthia. Pun dengan dirinya yang beberapa kali kepergok memperhatikan bekas luka kecil ditanganku.

Luka kecil itu adalah luka sayatan pisau. Waktu ku bantu luka Iwan pada kejadian di masa lampau, setelah perban terpasang aku menggunakan pisau lipat untuk memotong perbannya. Sayangnya ketika melipat pisau itu aku sedikit ceroboh dan melukai punggung jari manisku.

Minggu kedua jadwalku merekrut orang-orang untuk dibuat menjadi tim kerja. Langkah paling efektif adalah mencai lulusan baru atau merekrut langsung mahasiswa tingkat akhir yang membutuhkan magang. Kubagi tugas ini menjadi dua. Perekrutan lulusan baru ku serahkan kepada HRD dan bagian perekrutan mahasiswa magang menjadi bagian ku.

Beberapa kampus telah kudatangi. Seminar digelar untuk mengenalkan prejek pelaporan keuangan dengan format baru. Diakhir bagian kutawarkan bagi mahasiswa yang ingin berpartisipasi datang langsung ke kantor.

Kampus terakhir yang kudatangi adalah kampus lama Iwan dan Cynthia. Beruntungnya aku, Cynthia menemaniku dalam proses ini. Dia beraikeras ingin ikut sekaligus bernistalgia, sementara iwan harus rapat direksi.

Baik diperjalanan tak banyak yang kami bicarakan. Cynthia pun begitu. Tapi ketika kutanyakan tentang rencananya bernostalgia dia termenung.

"Nanti setelah acara, temani aku ke suatu tempat" kata Cynthia lirih

Acara pun selesai tepat waktu. Kami lalu santap siang di kantin kampus, alasannya tentu ingin bernostalgia. Obralan kami makin cair, Cynthia mulai menunjukkan sifat aslinya.

"Jadi nanti mau kemana?" Kataku
"Deket koo" katanya sedikit manja

Selesai makan, ternyata aku diajak ke parkiran belakang kampus. Kami duduk disebuah bangku kosong.

"Disini dulu pernah terjadi suatu peristiwa" Cynthia mulai bercerita

"Iwan dulu dikeroyok karena sebuah kesalahapahaman"
"Tapi bukan itu maksudku bernostalgia kesini, saat itu pertama kali aku mengenalnya. Sahabat Iwan, bahkan merekaengklaim diri mereka saudara kembar"

Hatiku panas mendengar kata-kata itu

"Tapi, perkenalan kami meninggalkan kesan dalam buatku. Saat itu sebetulnya aku bukan pacar Iwan. Dan wajar kalau aku mengagumi dirinya"
"Aku kagum dengan keberanian dan pembawannya. Karakter dan kebaikan hatinya"
"Sayang nasib tragis..."
"Sudahlah" aku memotong pembicaraan
"Ngapain kesini kalo mau bernistalgia yang sedih-sedih" lanjutku

Cynthia kembali termenung,
"Ada hal ganjil yang aku rasa"
"Apa?" Tanyaku

Cynthia menoleh ke arahku, tersenyum jahil "nanti saja, mungkin cuma perasaan" dia menjulurkan lidah mengerjaiku

Kamipun kembali ke kantor. Perjalanan pulang ke kantor sangat mendebarkan buatku. Cythia duduk di jok belakang berdampingan denganku, sementara supir sendiri di depan. Berbeda dengan perjalanan pertama, Cynthia duduk di depan dan aku sendiri di belakang.

Aku canggung bukan kepalang. Beberapakali Cynthia dengan sengaja melipat kakinya, belahan rok panjangnya memperlihatkan betis putih mulus. Kadan dia pura-pura tidur, sementara bajunya yang ketat sedikit memperlihatkan bagaian dalam tubuhnya. Aku bisa melihat dengan jelas kulit putih mulus dari sela-sela baju antar kancing.

Akhir minggu ke empat, tim telah terbentuk. Aku mengepalai proyek ini dengan turun langsung mendampingi mereka. Hal ini membuatku harus sering pulang malam.

Suatu hari, aku masih dikantor bersama tim mengolah data dari ribuan dokumen yang harus dikelola. Namun ada beberapa file yang bersifat rahasia dan baru bisa dibuka dengan seijin orang yang bersangkutan. Karena proses pengelolaan data harus sesuai runut waktu, maka tak bisa ku pending pekerjaan karena beberapa file ini. Waktu sudah pukul 9 malam, kuputuskan menelepon Iwan untuk meminta ijin supaya semua file bisa dibuka.

Sambungan telepon ku lama berbunyi pertanda orang yang dihubungi tidak mau menerima panggilan tersebut. Aku keuekeuh harus tetap mengerjakan dokumen itu malam ini juga.

"Ya halo?!"
"Pak maaf, ini.." belum sempat ku utarakan maksudku Iwan memotong kata-kataku
"Ada apa ya malam malam begini" suaranya tertahan, ada rasa sebal disana.

Aku sebaliknya, malah timbul rasa senang mengerjai Iwan dengan hal-hal kecil seperti ini.

"Maaf menggangu waktunya, tapi ini penting pak" sengaja aku berbasa-basi memperlama obrolon

"Iyah ada apa?" Tanya Iwan ketus

"Ini Pak, bla bla bla blaaaa" ku jelaskan maksudku dengan menambah embel-embel yang tak jelas

"Oh gitu.. ugh mmhh"

Sial, dia rupanya kuganggu karena sedang bercinta dengan istrinya.

"Siapa sih?" Suara Cynthia sayup terdengar di ujung sana "ohhh" lanjutnya setelah mendapatkan jawaban dari Iwan vahwa yang menelepon adalah diriku

"Sshhhhh eemmhhhhhh.. teruss yaangh" Cynthia sengaja agak mengeraskan desahannya

Aku menyeringai mendengarnya. Sementara diujung telepon terdengar suara cekikikan menahan tawa.

"Yasudah pak, saya ijinkan, passwordnya nanti saya wa yah.. emmhh shh"

"Baik Pak terimakasih"

Kadang aku terlalu fokus dengan pekerjaanku hingga lupa dengan rencana balas dendam. Setiap kali Cynthia hadir di dekatmu dendam ku makin lunak. Sementara jika Iwan ada, hati ku panas. Dendam dan cemburu menjadi satu.

Semakin hari gerak-gerik Cynthia semakin membuatku bergairah. Pembawaannya yang easy going dan sedikit genit membuatku tertantang. Hingga suatu malam di akhir pekan, aku sedang tidur-tidura di kamar kosku.

Hp kecilku berbunyi. Bunyi yang sudah lama tak pernah ku dengar, sebuah sms masuk.

"I think I know You"

Sms dari nomor tak dikenal.

Pikiranku langsung menuju Cynthia, dialah satu-satunya orang dari masalalu yang masih beinteraksi dengan ku sekarang.

Bulan ketiga, suatu siang yang mendung.
Iwan tak kelihatan batang hidungnya dari sejak pagi tadi. Pintuku kaca ruanganku terbuka. Cynthia masuk dengan muka masam.

"Kenapa Mbak? Mukanya ditekuk begitu?"
Dia menhampiriku lalu duduk dikursi, kami pun berhadapan.

"Aku tidak suka dengan perasaanku ini. Penasaran, terganggu masa lalu, kadang aku sampai tak bisa tidur"

"Loh kenapa?" Tanyaku lagi

"Siapa kamu sebenernya, dan apa rencana mu?"

"Apa maksud Mba?"

"Jangan pura-pura, aku merasa sesuatu yang janggal"

"...." aku diam tak menjawab

"Kalo kau datang dari masa lalu, aku sampaikan bahwa aku merasa beruntung"

"...." aku masih diam, bahkan menatapnya pun tak bisa

"Aku beruntung karena bertemu orang yang paling kusukai, orang yang membuatku tak bisa tidur karena terpesona sejak pertemuan kami"

Aku ubah posisiku, dengan tangan terlipat di daguku. Mataku tajam menatapnya.

"Kalau begitu, buktikan ucapan dan keraguanmu"

Cynthia mendekatkan tubuhnya. Wajah kami sangat dekat. Jarak hidung ke hidung hanya sebatas jari.

Cynthia menciumku tanpa aba-aba. Ciuman yang pelan dan dalam. Seakan dia ingin menarik semua memoriku. Mencari jawaban atas rasa penasaran dan sebuah kejanggalan.

Ku tarik tangan Cynthia. Dia berdiri dan berpindah posisi, dia menaiki meja dengan pantatnya yang seksi sebagai tumpuan. Gerakkannya sungguh menggairahkan.

Lalu dia duduk mengangkang di atas pangkuan ku. Lalu kami berciuman dengan ganasnya.

Kuremas bagian favoritku dari seorang perempuan, bokon bulat sempurna.

"Emmhhhh sshhhhhh"

Dia gerakan tubuhnya menekan kebawah. Kelamin kami bergesekan walau terhalang celana.

Ku remas juga dadanya yang membusung dibalik kemeja putih tipis.

"Ouughhhh sshhhhh"
Kubuka kamcingnya satu persatu. Kuciumi leher dan dadanya. Cynthia hanya melenguh menikmati rangsangan dariku.

"Aahhhh iyaahhh hisappp.. jilat iyaa begituuu uuhhh"

Perintahnya ketika mulutku menikmati puting payudaranya yang keras mengacung. Selangkangannya tak berhenti bergerak menekan penisku yang telah ereksi.

Puas bermain dengan payudaranya aku pun menengadah. Kami saling tatap. Lalu Cynthia membisikkan satu kalimat

"I want you, dari dulu" aku rasa dia telah mendapatkan jawaban atas semua pertanyaannya.

Cynthia turun dari pangkuan ku. Gepsper, kancing dan resleting celanaku dibukanya. Ditarikanya batang kejantananku hingga mengacung tepat didepan mukanya.

"Ouuhhh yaahhhh" ketika kurasakan kepala penisku masuk ke mulutnya

Basah dan hangat rongga mulutnya membuatku melayang.

Kulihat Cynthia dengan telaten mengul penisku. Jilatan dan hisapan serta tangannya yang rak berhenti memainkan buah zakarku membuatku kewalahan. Teramat nikmat untuk dituliskan.

Akupun memintanya untuk menyudahinya.

"I want you, now" bisikku kepada Cyntia yang wajahnya merah merona.

Dia berdiri dan menurunkan celana bahan beserta cd nya. Lalu menungging bersandar ke meja kerjaku.

Langsung ku posisikan diriku. Aku berdiri di belakangnya.

Tanpa susah payah, penisku masuk menelusup liang senggama yang masih terasa sempit. Basah, hangat, dan berdenyut membuatku makin tak bisa berkata apa-apa.

Kuhentakan selangkanganku menabrak bokong seksinya.

"Aahhhh ahhh yaa emhhhh teruuss lebih kencanghh ahhhh"

Kancing kemejanya yang terbuka membuat payudaranya menyembul keluar dan bergoyang seirama genjotanku.

Puas denga posisi itu aku minta Cynthia duduk mengangkan di atas meja.

"Oughhhhh mmmhhh ssshhhhh yang dalemmm... mentokiin emhhh"

Ku genjot Vaginanya sambil kumainkan biji kelentitnya.

"Awhhh aduuh geliiii ... du duu duuhhh, aku keluaaaarrrrr aahhhhhh"

Dia organsme setelah ku genjot hampir 10 menit dengan posisi itu. Aku menyusul organsmenya beberapa menit kemudian, setelah Cynthia turun dan mengulum penisku lagi. Sperma ku tumpah dimulutnya dan dia telan habis tak tersisa.

Cynthia berdiri lalu membereskan pakainnya.

"Kita perlu bicara lebih banyak" pungkasnya sambil lalu meninggalkan ku

Aku duduk di kursi ku, membetulkan celana dan kemeja. Lalu ku ambil kamera kecil di balik lemari dokument yang ku sembunyikan. Setiap hari kunyalakan kamrena ini untuk mendapatkan momen yang baru saja terjadi. Tapi aku tak menyangka bisa secepat ini.

Beberapa hari kemudin seperti tak terjadi apa apa, kami bersikap seperti biasanya. Aku pun bekerja dengan sempurna.

Namun setiap ada kesempatan, kami akan memanfaatkan itu dengan baik.

Seminggu setelahnya kami janjian di sebuah hotel. Cunthia ijin untuk tidak masuk kantor dan aku ijin untuk bertemu klien.

Aku yang sampe dahulu di hotel itu memasang kamera seperti biasanya.

Tepat disore hari Cynthia datang dengan anggun dan berseri. Kami berpelukan dengan eratnya seperti sepasang kekasih.

Seperti sudah saling mengerti, dalam hitungan menit kami sudah sama sama bertelajang bulat. Cynthia melenguh nikmat menikmati setiap dorongan batang kejantananku yang masuk menerobos liang vaginanya.

"Mmmmmhhhhh sshhhhh pelan.. pelan ajaa, nikmatiinn.. nikmatin tubuhku"

Kami dalam posisi missionaris. Kakinya melingkar erat di pinggangku. Tangannya merangkul leher dan menjambak rambutku. Sambil terus ku genjot aku jilat dan ciumi lehernya, hisap puting payudaranya bergantian.

Aku tegakkan badanku, lalu kutarik Cynthia ke pangkuan ku. Dia menduduki dengan vaginanya yang terisi penuh oleh penisku.

"Eemmhhhh sshhhh cyynnn aahh.. "

Cynthia menggerakan pinggulnya maju mundur. Pundakku jadi tumpuannya. Payudaranya indah menggantung. Bibirnya merah merekah. Didigigitnya bibir itu sambil terus menghentakkan selangkangan ku.

"Ahh ahh ughhhh yaahhh aku bentar lagii ahhh"

"Aku jugaaaa aahhhh"

Kami bergerak bersamaan menaiki anak tangga kenikmatan menuju puncak birahi. Semakin cepat gerakkan kami, semakin tinggi desahan yang keluar dari mulut kamii.

" aaa aa aaaa aaagghhhhhhh aku keluaaarrrhhhh "

Jerit Cynthia mendapatkan organsmenya

Aku dorong dia terlentang, kembali ku genjot vaginanya dengan cepat.

"Aaagghhhhhhhh aku jugaaaaaa"

Ku semburkan spermaku ke perut dan dadanya.
Aku pun ambruk di atas tubuh Cynthia.

Setelah gelombang organsme kami reda, kucabut penisku dari vaginanya. Ku baringkan tubuhku disampingnya disusul Cynthia yang lalu memeluku. Hening beberapa saat. Tanpa suara hanya ada napas yang mereda.

"Jadi apa yang aka kita bicarakan" kataku memulai obrolan

"Tidak ada"

"Tidak ada? Lalu?"

"Aku tidak ingin bicara, aku ingin mendengar. Ceritakan semuanya"

Ku hela napas panjang, aku tak bisa menutupinya lagi. Ceritaku akan memvalidasi semua pertanyaannya tentangku. Keraguan dan keganjilannya atas kehadiranku.

Ku ceritakan seperti pendongeng mahir. Tak ada sedikit pun yang kulewatkan. Cynthia mendengar tanpa bertanya. Perasaanku berkecamuk. Semua rasa bercampur. Sampai tak kuasa akupun menitikan air mata.

Cynthia mengangkat kepalanya yang bersandar di dadaku. Mengecup keningku lalu dihapusnya air mata yang menetes.

"Lanjutkan, keluarkan semua emosi mu" lirih suara Cynthia seperti merasakan hal yang sama kurasakan

Ku lanjutkan ceritaku sampe titik dimana ku menyimpan dendam seumur hidupku. Jari lentiknya mengusap dadaku yang bidang berusaha meredakkan amarah, memadamkan api dendam.

"Kamu harus tahu satu hal, setelah ini antar aku ke suatu tempat"

Dia pun bangkit. Postur tinggi semampai telanjang tanpa sehelai benang pun berjalan menuju kamar mandi.

"Mau ikut?" Cynthia menoleh sambil menjulurkan tangannya mengajakku mandi bersama

Aku seperti kerbau dicocok hidungnya, menurut tanpa perlawanan.

Kami bercinta dibawah shower kamar mandi. Kurumpahkan emosi dan dendam dalam senggama. Cynthia tak merasakan itu, dia merasa hanya kenikmatan bersetubuh dengan orang yang dulu dia kagumi. Cynthia tak merasakan bahwa dirinya alatku membalas dendam.

Kami praktekkan bermacam gaya semampu yang kami bisa. Standing doggy style atau dari depan dengan satu kaki terangkat.

Walaupun badan kami diguyur air dingin, tapi birahi membakar jiwa kami.

Kamipun organsme bersamaan setelah hampir lebih dari setengah jam kami memicu hasrat bersetubuh.

Tentu aku keluar kamar mandi lebih dulu untuk mengamankan kamera yang telah ku siapkan sebelumnya. Setelah sama-sama berpakaian kami pun berpelukan erat dan diakhiri ciuman mesra.

Keluar dari hotel kami berangkat menuju sebuah rumah sakit. Disana aku tak tahu siapa yang akan kami kunjungi.

Betapa terkejutnya ketika kami sampai disebuah kamar vip. Aku tak berani melangkah masuk. Cynthia pun sadar, kami hanya berdiri mematung melihat sosok terbaring lemah dengan berbagai selang menempel ditubuhnya.

Disana Pak Iswandi terbaring tak berdaya. Sudah 3 bulan lamanya menurut penuturan Cynthia.

"Apa kamu akan tetap membalaskan dendam mu?"
Tanyanya dengan muka pilu

Aku diam tak menjawabnya. Tak terasa air mataku pun turun membasahi pipiku. Ada kesedihan namun lega, sebuah kesadaran pun menhampiri.

Hanya Tuhan lah yang berhak menghakimi.

Kami pun berpisah ketujuan masing-masing. Aku pulang ke kamr kos dan Cynthia pulang ke pangkuan suaminya.

Aku terbangun tengah malam. Lalu tak bisa tidur lagi hingha pagi menjelang.

"Bagaimana dengan kita?"

Sebuah pesan di handphone kecilku yang cynthia kirim malam itu.

TAMAT
kayaknya masih ada yg kurang ni ceritanya.... tapi apa yaa.... mungkin gaya cerita penulis dalam berkarya seperti itu, membuat penasaran pembaca..... sukses buat penulisnya dan ditunggu karya2 laennya....
 
Kayany ini Cerita belum selesai,
Pembalasan yng terbentur deadline
:pandaketawa:

Semoga dilanjutkan pada Cerita yang akan datang,
Selamat sudah posting dan berbagi cerita

:beer:
 
Endingnye boleh juga tuh, bakalan keren kalo dibikin lanjutannye, master. Sesuai tema, Daging Segar-nye bikin ngaceng, yang pecinta jilboobs ngacung! wkwkwkwk. Semoga dapet penilaian yang bagus dari para juri.

Rating 8/10
 
Kakak perempuanku sebagai sumber inspirasi
Guru sejarah ku yang memotivasi ku membaca dan menulis
Jam kerjaku yang memungkinkan ku membuat cerita ini
dan semua pihak yang terlibat dalam pagelaran ini
Terimakasih, hatur nuhun

Perferct Revenge


Kendaraan yang aku tumpangi sekarang melaju semakin melambat. Gedung-gedung tinggi menjulang semakin terlihat jelas. Lobi gedung dan hotel, juga plang pintu masuk berwarna oranye yang naik-turun jelas bisa kuperhatikan dengan seksama.

Ahh, tersendatnya lalu-lintas karena macet rupanya. Mobil-mobil berbaris mengantri mendapat giliran bergerak sedikit demi sedikit. Ya beginilah ibu kota negaraku tercinta, Jakarta.

Ini masih jam 9 pagi, aku berangkat dari hotel dekat Bandara Internasional Soetta pagi tadi setelah malam sebelumnya baru saja melakukan perjalanan jauh dari UK.
Sudah tiga bulan aku berada di negeri orang. Bahkan untuk pelatihan pembaharuan sistem pelaporan keuangan perusahaan, aku harus menempuh sekian mil, pergi ke negeri orang. Itu pun sebenarnya juga syarat yang harus aku tempuh untuk memudahkanku di tempat baru nanti. Apa boleh buat.

Sebenarnya, sepuluh tahun lalu aku bersumpah tidak akan menginjakkan kakiku ke kota ini. Usiaku kini 36 tahun. Rupanya sepuluh tahun berjalan begitu cepat. Aku terpaksa memutuskan kembali ke sini karena sebuah pekerjaan. Bukan karena besaran gaji atau jabatan yang ditawarkan. Aku lebih tertarik dengan nama direktur keuangan di perusahaan multinasional ini. Irawan.

Atasanku di kantor merekomendasikan langsung ke pak Irawan untuk menggunakan jasaku. Awalnya aku menolak karena harus pindah ke jakarta, tapi ketika kudengar nama Irawan dan sedikit latar belakangnya. Maka kunyatakan siap menerima pekerjaan itu. Lalu aku diberangkatkan ke UK untuk pelatihan, dan langsung ke jakarta 3 bulan setelahnya.

Saat ini, aku berada di kursi nyaman empuk dalam mobil yang disediakan kantor. Ku tutup kepala dan mukaku dengan jaket kulitku, selang beberapa detik saja dalam bayangan ruang gelap mata yang terpejam, ada percikan api jauh di dalam hatiku. Percikan api dendam, seperti kau dengan gemasnya mengadukan dua buah batu flint untuk menghasilkan api dalam kondisi survival. Irawan. Ya, Irawan. Nama yang sudah lama tak kudengar.

Ada apa dengan ku dan Irawan itu? Jelas ada dendam. Semua itu berawal dari 36 tahun yang lalu, 23 September 1983.

♧​
Flashback.....

Jumat, 23 September 1983, pukul 18.33 ketika rona merah langit perlahan menghilang. Suara tangisan bayi laki-laki terdengar memecah ketegangan orang-orang di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota hujan. Kelahirannya disambut suka cita orang-orang terdekat, kerabat dan sanak famili. Orang tuanya jelas sangat berbahagia proses persalinan yang memakan waktu berjam-jam sampai jua pada ujungnya.

Maklum, ini adalah anak pertama laki-laki mereka setelah sebelumnya dua anak perempuan yang kini sudah beranjak remaja. Anak laki-laki yang ditunggu, yang diharapkan akan menjadi tulang punggung dan kebanggan keluarga.

Di saat yang sama, 17 kilometer jauhnya dari rumah tersebut, di rumah sakit pusat kota dengan fasilitas mumpuni, lahir juga seorang bayi laki-laki. Anak pertama (dan satu-satunya) dari pasangan kaya raya. Biaya persalinan dan semua kebutuhannya beserta fasilitas lainnya di tanggung negara, sang bapak dari sang anak adalah seorang tentara. Sang ibu menangis mengucap syukur setinggi-tingginya menyambut datangnya bayi itu ke alam dunia.

"Akhirnya kita bisa melahirkannya, Nur," bisiknya terkenang seseorang, "apa bayimu sudah lahir juga?" dia bertanya pada dirinya sendiri sambil tersenyum mengucapkan syukur.

Beberapa hari kemudian, rumah gedong dua lantai bercat putih dengan halaman luas ramai oleh para tamu undangan. Lantunan shalawat mengalun pelan terdengar. Rupanya rumah itu sedang mengadakan syukuran dan aqiqah.

Sore hari sebelum acara tersebut, datang kabar dari seorang tetangga kalau ibuku diminta hadir juga ke acara itu. Itu pun kalau bisa. Beliau sebenarnya ingin, namun tak mampu. Kondisi fisiknya masih lemah mengingat ibuku baru saja melahirkan beberapa hari yang lalu. Keesokan sorenya datang banyak bingkisan ke rumah ibuku, sebagai tanda syukur si pengirim dan juga supaya orang lain ikut merasakan kebahagiannya.

Ibu Diah Ratna adalah istri dari seorang tentara, Ibu dari anak laki-laki itu. Beliau adalah sahabat masa kecil ibuku, Nurhasanah. Nasib baik membawanya ke ibu kota selepas tamat SMA dan kembali ke kampung setelah menikah.

Di kampung kelahirannya dia disediakan rumah besar itu dan segala isinya. Sementara suaminya jarang sekali pulang karena tugas negara.

Kesehariannya ketika sang suami bertugas jelas sepi. Tapi kesepian di rumah besar tak menjadikan dirinya bersedih, karena ada Nurhasanah di sana, Ibuku. Sahabatnya. Bahkan sudah seperti saudara perempuannya.

Ibu Diah memang lah seorang diri sebelum dia bersuami. Dia merupakan seorang pendatang di kampung kami. Umurnya masih 2 tahun waktu itu. Kakek dan nenekku lah yang berjasa pada keluarganya, karena orang tua Ibu Diah mempunyai catatan kurang baik dimasa lalunya.

Dari kecil hingga masa sekolah dan tamat SMA ibu Diah dan ibuku selalu bersama. Sudah seperti saudara, umurnya juga hanya terpaut beberapa bulan saja. Cerita hidup memang susah ditebak, hingga akhirnya Ibu Diah harus pergi ke Jakarta untuk bekerja. Jiwa merantau turunan dari leluhurnya tidak menciutkan nyalinya pergi ke kota besar seorang diri. Moment itu memang menyedihkan, tapi tergantikkan ketika kesempatan kembali ke kampung ia dapatkan dengan bersuami seorang tentara.

Kembali bersama dengan status dan kondisi perekonomian yang berbeda tidak menjadikkan mereka canggung. Ibukku yang wataknya pemalu memang sesekali sungkan dengan kebaikkan Ibu Diah.

"Anggap ini balas budiku untuk kebaikkan orang tuamu, Nur."

Jawaban Ibu Diah selalu seperti itu ketika ibuku menunjukkan sifat pemalu dan rasa sungkannya menerima kebaikkan Ibu Diah.

Ibuku kadang menginap di rumah itu, kakak perempuanku pun kadang diajaknya menginap. Tapi bapak seringnya melarang, menurutnya nanti timbul rasa iri dari tetangga.

"Kira-kira anak pertamaku nanti laki atau perempuan ya, Nur?"

"Kamu maunya laki apa perempuan?"

"Sedikasihnya aja sih aku mah, yang penting sehat. Tapi kalau bapaknya pengen banget anak pertamanya laki-laki."

"Semoga, kita berdo'a sama-sama yuk! Aku juga pengen punya anak laki-laki."

"Hehehe iya yuk!"

Obrolan disuatu sore di pelataran rumah berakhir ketika kumandang adzan Ashar terdengar. Mereka pun beranjak menunaikan kewajibannya, lalu berdo'a meminta supaya sama-sama dikaruniai anak laki-laki.

♧​

Drrtttt drrttt drrtttttt
Smartphone-ku yang ada di kantong jaket kulit bergetar pertanda ada panggilan masuk.

Kulihat deretan nomor yang terpampang di hpku. Tak ada nama yang tertera. Nomornya mudah dihafal, istilahnya nomor cantik. Ga sembarang orang bisa punya nomor telepon seperti ini. Pasti orang penting, pikirku.

"Hallo?"
"Halloooo pak Ari, dimana posisi nih? Saya Irawan."
"Ohhh Pak Irawan, saya masiihh diii..." tengok kiri kanan coba menilai posisi. Ahh percuma juga aku kan bukan orang sini.

"Kang, ini dimana?" Tanya ku pada Kang Lukman supir kantor lama.

"Slipi, Pak."

"Ini saya baru sampai Slipi, Pak Irawan."
"Ohh iya iyaa masih cukup waktu lah, mau makan siang di kantor atau di luar saja, Pak?"
"Baiknya Bapak aja seperti apa," jawab ku sopan
"Ok kalo gitu, nanti saya kirim lokasi tempat makan siangnya, biar enak ngobrolnya."
"Baik, Pak."
"Ok hati-hati di jalan, Pak Ari"
"Iya, Pak."

Sambungan telepon pun disudahi. Ada seringai diujung bibirku. Ahh, kena kau, Irawan.

Tak lama, notifikasi pesan WhatsApps masuk. Nomor tanpa nama itu mengirimkan lokasi sebuah resto. Tanpa berpikir panjang, langsung saja aku klik pesan tersebut.

"Kang kita ke tempat ini ya," kuserahkan smartphone itu pada Kang Lukman.

"Siap, Boss!"

Masih sekitar satu setengah jam lagi. Rasa kantuk dan pusing masih bertengger betah di tubuhku akibat jet lag. Baiknya aku tidur lagi saja lah.

"Kang, coba kerasin volume musiknya," pintaku pada Kang Lukman

Suara khas dari vokalis Pearljam mengalun seketika, menyanyikan tema kesendirian. Tak bosan-bosannya kudengarkan lagu OST film Into the Wild yang selalu setia menemani kemana pun aku pergi.


Namaku Ari Adhidrawa, lahir dari keluarga sederhana. Ibuku Nurhasanah, beliau mempunyai sahabat bernama Ibu Diah Ratna, anaknya bernama Irawan. Ibuku bilang aku dan Irawan seperti saudara kembar, setidaknya seperti adik kakak. Kami dilahirkan tepat di hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam yang sama. Satu hal yang membedakkan hanyalah tempat ibu kami melakukan proses persalinan.

Sejak masih bayi, aku sering dibawa Ibuku ke rumah temannya itu. Di sana aku diurus bergantian dengan Irawan. Giziku dipenuhi, baju dan celana baru selalu kudapat setiap Ibu Diah membeli untuk Irawan. Sebenarnya Ibuku sungkan, tapi Ibu Diah akan tetap memaksa agar semua kebaikkannya diterima dengan senang hati.

Mereka memang saling melengkapi, dari kecil hingga dewasa, dari single hingga berumahtangga. Mereka berharap kalau anak laki-lakinya pun akan bersahabat seperti mereka.

Sahabat? Dangkal!

Aku dan Irawan lebih dari sekedar sahabat. Kami saudara.

Sewaktu dulu ketika kami masih bayi dan Ibu masih sering ke rumah gedong itu, aku dan Irawan diurus dan dijaga bergantian. Bu Diah memang sengaja tidak mempekerjakan pembantu, tujuannya supaya ibuku punya suatu hal yang dikerjakan. Ibu akan merasa sangat sungkan jika datang ke rumah itu hanya berdiam diri menikmati kemewahan.

Tak jarang Irawan juga menyusu ke Ibuku, keadaan ini pun dimaklumi Ibu Diah. Sebab beliau dapat memproduksi ASI yang cukup. Itulah mengapa aku dan Irawan bukan sekedar sahabat, bisa dibilang kami saudara sepersusuan.

Beranjak usia sekolah, aku dan Irawan tak terpisahkan. Kami satu sekolah dari SD hingga SMP. Duduk pun selalu bersama. Kembar tapi tak sama, begitulah lingkungan kami menyebutnya. Sifat dan karakter kami memang hampir sama. Baik, pintar, dan patuh.

Aku sering ditraktir jajan oleh Irawan pada masa itu. Sedangkan dia sering makan siang di rumahku selepas pulang sekolah, katanya masakkan Ibuku lebih nikmat rasanya.

Masa SMP adalah waktu dimana kami mengalami masa pem-bully-an. Irawan di-bully karena bapaknya yang jarang pulang. Aku di-bully karena ibuku yang menikah lagi.

Ari, diplesetkan menjadi anak tiri. Cocok memang karena kondisiku memang begitu. Tapi ejekan teman-teman sekolahku tak dapat diterima oleh sahabatku itu. Dia selalu menjadi sosok penjaga. Memang badanku kurus kecil, sementara Irawan tinggi tegap.

"Ari tuh emang artinya apa sih?" tanya Irawan suatu waktu.
"Kata Ibu sih anak tri, anak ketiga hehe,"
"Ohh gitu,"
"Kalo Irawan?" tanya ku balik kepadanya.
"Iswandi Ratna wan (one), satu, mereka nikah punya anak satu-satunya, yaitu gue,"
"Hahahahha," kami tertawa bersama

"Gue mau ganti nama panggilan ah, Irawan kepanjangan, Ira kayak nama cewe, mulai sekarang panggil gue Iwan. I, bahasa Inggrisnya ay, artinya aku, wan (one), artinya satu. Iwan, aku satu"

Dengan bangganya dia mendeklarasikan nama panggilan barunya itu.

♧​

"Pak, restonya sudah dekat, terus ini ada beberapa Wa masuk," kata Kang Lukman ketika aku membuka mata.

"Oh iya coba sini,” aku tajamkan penglihatanku sambil meraih hp di genggaman Kang Lukman.

Ahh, pesan dari nomor cantik itu lagi. Segera aku buka pesan yang sudah masuk dari setengah jam yang lalu itu.

Pak Ari, meja sudah saya reserved ya, bilang aja atas nama saya, mungkin saya agak terlambat, terima kasih.

Baik, Pak
balasku kemudian.

Kurang dari 10 menit aku sudah sampai di lokasi, turun dari mobil kemudian melangkah masuk ke restoran yang kutuju. Dinding kaca terpampang dari luar restoran kelas atas tersebut. Lantai marmer, lampu-lampu gantung dengan nyala lampu remang, dan sofa-sofa warna monokrom tersaji di depan mataku. Tak banyak orang di sini, rupanya. Suasananya begitu tenang, meja-meja dengan alas meja putih dan vas bunga kecil menambah kesan mewah di restoran ini. Irawan tak main-main rupanya, ujarku dalam hati.

Setelah mendapatkan meja yang sudah dipesan, aku pun duduk menunggu. Kupesan segelas kopi hitam untuk teman membunuh waktu. Kembali Kubuka aplikasi pesan WhatsApps, klik photo profile calon atasanku.

Aku menyeringai melihatnya

"Lo ga berubah banyak, Wan," gumamku melihat foto Irawan lengkap dengan dasi, jas, dan kemejanya.

Kopi hitam pesananku datang. Aroma khasnya membawaku ke sebuah lamunan, kembali ke masa SMA.

♧​

Masa SMA, saat persahabatan kami hampir berakhir. Pertemuan kami semakin jarang. Setelah terlibat tawuran, Iwan berpindah sekolah, seiring dengan Ayahnya yang dipindahtugaskan ke ibukota.

Namun demikian keluarga Iwan masih menyempatkan datang mengunjungi rumahnya di kampung itu. Kami pasti tidak melewatkan hari itu untuk kumpul bersama. Berbagi cerita dan menghabiskan malam dengan begadang, baik di rumahnya ataupun di rumahku.

Masa SMA adalah masa pencarian jatidiri. Aku bersyukur berhubungan baik dengan keluarga Iwan. Apalagi ayahnya, wawasan dan pengalamannya membuat kami takjub. Kadang kami di-brainwash bagaimana menjalani hidup sebagai laki-laki sejati. Kami didoktrin dengan politik dan kenegaraan. Tak jarang tema-tema obrolan seperti ini manjadikan kami bertiga menghabiskan malam bertiga hanya sekedar mengobrol sampai mulut kami berbusa.

Teringat ketika Ibuku masih sering berkunjung ke rumah Bu Diah. Sepulangnya dari rumah itu aku pasti menagih koran. Aku memang sudah gila baca dari semenjak kecil. Sehingga tidak aneh kalau aku senang dengan obrolan-obrolan Pak Iswandi diakhir pekan.

Tak jarang kami melakukan pendakian gunung atau sekedar berkemah di hutan atau bumi perkemahan. Setelah itu seringnya aku dan Iwan yang ketagihan mendaki gunung. Dalam setahun mungkin 6 sampai 10 kali pasti kami pergi ke alam liar. Tidak hanya berkemah atau mendaki. Kami jadi menggeluti olahraga ekstrim. Panjat tebing, susur gua, susur pantai, arum jeram, semua sudah kami coba.

Jiwa kami bebas, kawan semakin banyak, wawasan semakin luas, inilah yang kami cari! Karena hal ini juga kami semakin merasa tak terpisahkan.

Masa kuliah adalah masa dimana semua fakta terungkap. Masa dimana amarah memuncak. Dendam tertanam. Maaf dan taubat tertolak.


Kembali ke restoran, aku masih duduk memandang foto itu. Back Home, ku kunci layar smartphone-ku. Lalu kuseruput kopi hitam Arabica itu. Terlintas bagaimana awal dari semua dendam ini ada. Kupejamkan mata sambil kusenderkan punggung ke sandaran sofa kayu empuk berwarna abu-abu.

♧​

Awal perkuliahan adalah masa tersibuk dari dunia kami. Kami sangat jarang bertemu. Walaupun Pak Iswandi dan Bu Diah tetap mengunjungi rumahnya di akhir pekan, aku jarang juga menemui mereka, karena ya sama-sama sibuk di kampus sebagai mahasiswa baru. Tapi Ibuku, beliau selalu ke rumah itu di akhir pekan, maklum bertemu Ibu Diah seperti bertemu saudara perempuannya sendiri. Tak jarang juga Ibu diantar ke rumah oleh mereka, atau dijemput dari rumah sebelum menghabiskan waktu di rumah gedong itu. Jadi, ibu tidak kesusahan dengan hanya melihat mobil terpakir di halaman rumahnya, Ibu Diah dan Pak Iswandi pasti sedang ada dirumah.

Dalam satu tahun masa perkuliahan kami. Terhitung hanya liburan tengah semester dan akhir semester kami habiskan dengan mendaki gunung dan berkemah. Itu pun tak semua hari liburan kami habiskan bersama. Kami memang mempunyai teman baru, walaupun begitu aku habiskan sisa liburanku di rumah atau ke kampus sekedar menengok sekretariat organisasi.

Sementara Iwan, hobi dengan teman barunya adalah otomotif. Dia bisa berhari-hari tidur di bengkel salahsatu temannya untuk mengerjakan sesuatu yang tidak aku mengerti.
Kadang dia touring hingga ke daerah pelosok.

Cerita cerita touring itu menjadi tema tak terlewatkan jika kami sedang bersama. Aku juga sering diajaknya kumpul bersama teman-temannya.

Sejujurnya ada perubahan sifat kawanku ini setelah dia mulai berteman dengan mereka itu. Peduliku hanya satu, semoga dia tidak terlibat hal-hal diluar logika dan tidak terlibat masalah yang membahayakan dirinya.

Semester tiga. Aku resmi menjadi anggota pecinta alam di kampusku. Bagai pinang dibelah dua, Iwan pun sama, sayangnya dia telat bergabung. Jadi bisa dikatakan aku disini menjadi seniornya, walaupun beda kampus.

Proker pertamaku adalah membuat acara untuk ulang tahun organisasiku. Aku kebagian tugas mengirim surat undangan ke berbagai organisasi mapala. Termasuk organisasi mapala yang iwan ikuti.

Sore itu aku berangkat ke Jakarta dengan menggunakan motor pinjaman salah satu senior. Menjelang Magrib sampailah di sekretariat mapala tersebut.

Sambutan hangat dari kawan-kawan mapala memang tak ada duanya. Namun aneh, batang hidung Iwan tak kelihatan juga sejak aku sampai disini.

"Si Iwan kemana ya?" tanyaku pada salah satu anggota.
"Bang Iwan tadi sih pergi sama gebetannya"
"Pacar?"
"Kaagaaakk, bukan bokinnya, baru gebetan doang," timpal kawan mapala lain.
"Ohhhh bisa juga tuh orang ngegebet cewe,"

"Ahh jangan dikira, dia mah tinggal ngedip, cewe-cewe pasti pada nempel,"

"Hahaha iya sihh," komentar ku pada celotehan mereka

Iwan dengan wajah rupawan warisan ibunya, badan tegap dari ayahnya. Pastinya menjadi rebutan perempuan. Tapi setauku semasa SMA, masa pubertas, Iwan tidak pernah mengekspresikan ketertarikannya pada hal samacam itu. Aku memang tidak tahu banyak berhubung terpisah jarak, beda sekolah. Tapi ketika akhir pekan kami bertemu kami tidak pernah membahas perempuan.

"Yaudah bang, gue cabut dulu ya, masih harus ngeliling ini," aku pamit sambil menunjukkan sisa undangan yang harus tersebar hari itu juga.

"Ok sipp, Bang sering-sering mampir ya."
"Siaap," kataku sambil bersalaman

Ketika ku langkahkan kaki keluar, salah satu anggota mapala berlari masuk hampir menabrak badanku.

"Bang tolong bang, itu si bang Iwan digebukkin, ayok tolongin!!"

Mendengar itu perasaanku jadi tidak enak. Hati berdebar kencang. Tegang takut terjadi apa-apa. Kutarik lengan si pembawa informasi itu.

"Dimana?" tanyaku tergesa
"Parkiran belakang, Bang" jawabnya dengan ekspresi panik dan napas yang berburu.

Tak pikir lama, aku berlari ke parkiran belakang kampus. Sambil berdoa semoga belum terlambat semoga tidak terjadi hal yang lebih mengerikan.

Sampai disana aku melihat tiga orang sedang mengroyok Iwan. Satu orang perempuan yang menjerit menangis meminta semuanya berhenti.

Semakin dekat jarak mereka aku berteriak.

"WOYY!"

Tiga orang yang sedang mengeroyok Iwan menghentikan aksinya, lalu serentak melihat kedatanganku. Salah satu orang dari mereka membalik badannya ke arahku lalu dengan telunjuknya yang menunjukku dia berteriak.

"SIAPA LO!"

Tangannnya terkepal siap memukul. Ketika badan sudah dalam jarak jangkauan pukulan, tinjunya melayang dengan cepat. Beruntung aku bisa mengelak, lalu ku tangkap tangannya. Aku tendang engkel kakinya sampai badanya goyah. Keseimbangannya hilang, maka denga satu tarikan badannya amburuk ke tanah. Ku tarik tangannya ke belakang, melipat sikunya lalu tarik ke tengkuk sampai dia berteriak kesakitan.

"Selaw bang, gue gamau ribut, bisa jadi ini salah paham."

Satu orang di belakang yang sedang memegangi perempuan itu, melepaskan pegangannya. Siap berlari menyerangku. Sementara satu dari dua orang yang mengeroyok Iwan jatuh tersungkur karena pukulan uppercut Iwan.

Beberapa orang datang dari arahku tadi. Mereka kawan kawan mapala. Jumlahnya mungkin 10 orang.

"Ada apaa nih?" tanya seseorang dengan suara berat

Aku lepaskan tangan orang yang tadi kujatuhkan. Lalu kubantu dia berdiri. Iwan mendekati perempuan itu dan membantunya berdiri juga. Si orang yang tadinya sempat mau menyerangku akhirnya membantu temannya berdiri. Orang yang jatuh tersungkur karena serangan Iwan pun sedang dibantu berdiri oleh kawan satunya. Aku menghampiri Iwan dan si perempuan.

"Ga apa-apa lo?" tanyaku ke Iwan

Dia pun menoleh, dan astaga setengah mukanya bersimbah darah dari pelipisnya yang sobek akibat tendangan sol sepatu.

Si perempuan menangis segukan, melihat kondisi Iwan. Banyaknya darah yang keluar membuat kepalanya pusing hingga badannya sempoyongan. Iwan pun tak kuat lagi menahan badanya, dia jatuh dan terduduk memegangi kepalanya.

"MEDIS!"

Aku berteriak sebagai pertanda Iwan membutuhkan pertolongan dengan segera.

Salah satu kawan mapala datang ke arah kami.

"Tolong ambilin P3K kalau disekret ada," pintaku pada orang tersebut, lalu dia berlari.

Si perempuan terus menangis melihat kondisi Iwan yang berdarah. Aku tak pernah melihat perempuan ini.

"Udah gapapa, kuat dia mah," aku coba menenangkannya.

Tanpa mengiraukan perkataanku, si perempuan malah semakin menjadi tangisan.

"Kamuu sih ngapaiin ngelawan dia segalaa."

"......" Iwan diam tak menjawab

"Udah tau kalah jumlah, malah ditantangin."

Aku tak bisa apa apa saat itu selain menunggu kawan yang mengambil P3K. Sementara kawan-kawan mapala lain berkerumun, bergabung menjadi satu kelompok dengan 4 orang tadi.

Tak lama datanglah si kawan itu. Langsung kubuka kotak P3K yang dia bawa. Bekal dari pelatihan SAR dan PPGD sangat bermanfaat pada moment itu. Iwan pun ditangani dengan benar untuk pertolongan pertama.

Kepalanya kini diperban, aku sarankan untuk dijahit saja karena luka di pelipisnya lumayan lebar.

Datang dari arah orang-orang tadi, orang yang nampaknya tak asing.

"Gimna kondisinya?" tanya dia seraya menepuk punggungku.

"Laah, Kang Juki !" senior ku saat mengikuti pelatihan cave rescue.

"Eeuh maneh keur naon didieu?"
(Kamu ngapain disini?)

"Nyebarin undangan, Kang ieu budak malah keur dikoroyok pas arek balik," jawabku.
(Lagi nyebar undangan, lah ini orang lagi dikeroyok pas mau pulang)

"Gimana, Wan ke rumah sakit aja ya?" saran Kang Juki.

"Iya, Kang" jawab Iwan lemah.

Akhirnya aku, Iwan, si perempuan dan Kang Juki ke rumah sakit menggunakan mobil Kang Juki. Iwan pun masuk UGD segera. Setelah semua tenang aku dan Kang Juki kembali ke kampus. Si perempuan masih tetap membisu dan hanya menangis melihat Iwan. Tak ada terima kasih atau percakapan basa basi darinya.

Sesampainya di kampus ternyata ke empat orang tadi sudah berkumpul dengan kawan mapala lain di halaman sekretariat.

Setengah jam aku dengarkan kronologis dan cerita bagaimana bisa terjadi perkelahian. Aku simpulkan semuanya karena cemburu buta, salah paham, dan kekanak-kanakan.

Orang yang memegangi si perempuan saat Iwan dikeroyok awalnya mengaku pacar si perempuan, setelah didesak ternyata dia hanya pengagum dan kaka kelasnya waktu di SMA. Dia emosi karena Iwan merebut si perempuan darinya. Awalnya cuma adu mulut, tapi kata-kata yang Iwan lontarkan memang menyakitkan hati sampai membuat mereka mengeroyoknya.

Kasus ini dianggap selesai dan dia tidak akan memperpanjang masalah. Aku jamin Iwan pun tidak akan melakukan pembalasan.

Akhirnya aku kembali ke rumah sakit untuk melihat kondisi Iwan. Butuh 10 menit saja dengan motor pinjaman itu, aku telah sampai di lokasi.

Sesampainya di depan pintu kamar tempat Iwan di rawat, Aku mendengar desahan dari dalam sana. Ini memang kamar VIP, jadi hanya ada satu pasien didalam sana.

Aku bisa intip sedikit dari kaca pintu kamar yang terhalang gordeng putih. Tak jelas memang apa yang mereka lakukan.

Aku hanya bisa memastikan kalau saat itu, si perempuan berlutut dengan kemejanya yang telah terbuka, persis di samping ranjang. Posisinya tepat berada diantara dua kaki Iwan yang terbuka.

Kepala si perempuan dengan rambut yang diikat acak-acakan ke atas bergerak seirama gerakan kepalanya. Kepala itu bergerak maju mundur. Tangan si perempuan tak terlihat, keduanya menekuk ke depan.

Aku hanya tersenyum masam dan berdecak.
"Jiah, anak muda!"

Aku pun berlalu menjauh dari kamar itu. Spot paling asik untuk menunggu saat seperti ini adalah warung PKL pinggir jalan. Segelas plastik kopi panas dan rokok kretek kesukaan siap menemani membunuh waktu.

Kurang lebih selang satu jam, aku putuskan kembali ke kamar.
Setelah mengetuk pintu aku pun masuk.

"Udah enakan, Wan?"
"Udah, mayaann lah, lo ko bisa di Jakarta?"
"Abis nganter undangan, dateng lo ya dua minggu lagi."
"Undangan apa?"
"HUT mapala gue."
"Ohhh oke nanti gue dateng bareng yang lain, ehh ini kenalin."
"Ari," ku sodorkan tangan ke depan perempuan itu.
"Cynthia," suaranya halus memperkenalkan namanya.

Tangannya halus, jarinya lentik, kulitnya putih, senyumnya... senyum termanis yang pernah aku lihat selain senyum Ibuku.

"Siapa nih, Wan?" tanyaku ke Iwan setelah tangan kami terlepas
"Pacarr doong, belum lama jadian, yaaa sejam yang lalu laahh," lirik Iwan ke Cynthia, kemudian dibalas dengan cubitan di lengannya.

Setelah berkenalan dan mengobrol sedikit, Cynthia pamit pulang, maklum jam sudah menunjukan pukul 10 malam.

"Ri, tolong anterin ke depan ya," kata Iwan meminta tolong
"Gue anterin ke rumah aja gimana?"
"Nih!" Kata Iwan sambil mengepalkan tinjunya
"Hahahaha," aku dan Cynthia tertawa

Tertawanya renyah dan lucu, nampak gigi ginsulnya menyembul menambah manis perwakannnya.

"Yaudah aku pulang ya, kamu baik-baik, cepet sembuh, besok pagi aku kesini."
"Iya makasih yaaa..."

Aku dan Cynthia berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Tak banyak yang kami bicarakan. Nampaknya Cythia tipe yang cukup aware dengan orang baru. Sementara aku minim pengalaman mengobrol dengan perempuan.

Setelah sampai lobi rumah sakit, kuberanikan berbasa-basi.

"Beneran nih gamau dianter pulang sampai rumah?" tanyaku.
"Ga apa apa, aku nanti dijemput supir."
"Ohh gitu, ok deh."
"Kamu Ari kan ya? Iwan sering banget ngomongin kamu."
"Oiya? Apa nih yang diomongin, yang baik-baik, atau malah sebaliknya?"
"Banyaak lahh hehehe..."

Tak lama mobil sedan masuk ke parkiran rumah sakit, lalu berhenti tepat didepan kami. Cynthia pun berjalan menghampiri mobil itu. Setelah membuka pintu mobil, dia menghentikan badannya tepat sebelum masuk kabin.

"Eh, makasih ya, makasih bangeett, kalo ga ada kamu, mungkin Iwan lebih parah dari ini," matanya tulus berterimakasih.

"Iya sama-sama, selamat ya kalian udah jadian."

Dibalasnya dengan anggukan dan senyum manisnya.

"Duluan yaa, daah" Cythia pamit.
"Hati-hati," balasku.

Itu pertemuan pertamaku yang berkesan. Tapi aku sadar diri. Takan bisa kumiliki dirinya. Iwan akan menjadi laki-laki paling beruntung di dunia. Aku akan senang dengan hal itu.



Kopiku sudah habis. Dari kejauhan terlihat Pak Irawan datang dengan seorang perempuan. Tinggi dan berjilbab. Aku pun berdiri menyambut kedatangan mereka. Kujulurkan tangan untuk bersalaman, sambik memperkenalkan diri.

"Barie Rachmansyah, panggil Ari aja, Pak."
"Irawan, panggil Iwan saja. Kita seumuran ko, dan ini sekretaris saya sekaligus istri tercinta."

Perempuan itu mengulurkan tangannya. Kusambut menjabatnya.

"Cynthia," sebutnya dengan lembut.

Deg !

Gila pikirku, ternyata betul pikirku saat dilobi rumah sakit dulu. Iwan memang pria paling beruntung.

Setelah kami duduk di kursi masing-masing. Lalu memesan makanan dan minuman yang tertulis dalam buku menu berjilid tebal.

"Saya ini meresa tidak asing dengan Pak Ari, kaya udah kenal lama gitu, kenapa ya?" Pak Iwan berbasa-basi

"Ahh bapak bisa saja, Pak mungkin perasaan aja."

"Hahah iya ya mungkin, maklum kerjaan bikin saya cepat tua, jadi pikun haha..."

"Hahahaha," aku pun tertawa sekedar menyenangkan lawan bicara

Pesanan kami pun datang. Kami makan sambil sesekali membicarakan masalah pekerjaan dan segala tetek bengeknya. Selama itu pula mataku sering mendapati Cynthia tertangkap memperhatikan gerak-gerikku.

"Nanti kita ke kantor dulu sebelum pulang ya, tanda tangan kontrak dan liat ruangan kerja," kata Pak Iwan dalam suatu kesempatan.

"Siap, Pak" lalu ku telepon Kang Lukman untuk menungguku di kantor saja. Dia pun mengiyakannya

"Gimana, kamu udah siapin dokumen dokumennya kan?" tanya Iwan ke Cynthia

"Sudahh doong."

"Enakk ya pak, satu kantor dengan istri," kataku seraya mengelap bibir dengan tisu.

"Yaa begitulah, kalau bukan karena mertua saya, mana mungkin bisa satu kantor dengan istri."

"Ohhh gituu."

"Yang penting kan pekerjaan selesai, saya usahakan seprofesional mungkin. Di rumah jadi istri, di kantor jadi sekretaris haha..."

"Hahaha," lagi lagi aku tertawa palsu

Kami pun menyudahi acara makan siang itu. Setelah membayar bill, segera kami beranjak bersama menuju basement. Ternyata Iwan tidak menggunakan jasa supir, "malu sama istri," katanya. Itung-itung bakti suami, lanjutnya ketika kutanya kenapa tidak memakai jasa supir pribadi.

Aku pun masuk ke dalam mobil Toyota Fortuner hitam keluaran tebaru. Duduk di seat kedua, setelah sebelumnya Cynthia menawarkanku untuk di depan. Aku sengaja menolaknya, karena aku teringat kembali satu masa dimana kami bertiga dalam satu mobil.

♧​

Dua minggu setelah kejadian Iwan dikeroyok, Iwan dan kawan kawan mapala datang ke acara HUT mapala ku. Tak disangka ternyata Cynthia ikut juga.

Penampilannya sungguh asik, jeans sobek, kemeja flanel, dan sepatu Converse. Tak heran dia menjadi sorotan. Aku pun begitu, melihatnya hadir membuat senang hatiku.

Acara HUT selesai dengan bernyanyi bersama. Setelah berpamitan dengan saudara satu organisasi, Aku, Iwan, dan Cynthia pulang bersama ke rumahnya, rumah gedong itu.

Kami menggunakan mobil Iwan. Katanya sudah dapat ijin dari ayahnya untuk memakai mobil tersebut. Kami pun melaju menembus malam berkabut. Iwan dan Cythia duduk di depan, aku di belakang persis ditengah-tengah jok. Supaya enak kalau ngobrol.

Posisiku agak maju kedepan, kedua sikutku tepat berada di ujung jok Iwan dan Cynthia. Selama dalam perjalanan aku antusias mendengar cerita Iwan tentang kejadian 2 minggu lalu. Dia merasa menjadi pemenang. Pemenang duel dan pemenang hati Cynthia.

Kadang Cynthia mencubit atau menggelitik Iwan ketika obrolannya melantur dan bercanda, apalagi menyerempet topik dewasa. Hal hal berbau seks. Mungkin Cynthia risih atau malu entahlah.

Aku yang dibelakang senang saja melihat ekspresi Cynthia, kadang aku mengompori supaya Cynthia lebih malu lagi. Mukanya yang merona membuatku terpesona.

Sesampainya dirumah, aku melihat mobil hitam yang biasa dipakai Pak Iswandi untuk menjemput atau mengantar Ibu. Pikirku. Berarti orang tua Iwan ada di rumah. Baguslah, aku bisa sekalian bersilaturahmi.

Kami turun dari mobil dan lalu berjalan menuju teras belakang. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 2 pagi. Kami bertiga mengobrol, mengenang, merencanakan sesuatu sampai kantuk datang.

Cyntia duduk berhimpitan dengan Iwan di kursi panjang. Aku sendiri duduk meringkuk di atas kursi rotan. Sebatang roko dan kopi panas menjadi teman menghabiskan waktu dengan mereka.

Sekitar pukul 3 pagi rasa kantuk sudah semakin tidak bisa dilawan. Kami beranjak menuju kamar masing-masing. Aku dan Iwan tidur di kamar atas, sementara Cyntia tidur di kamar tamu.

Setelah merebahkan diri, tak lama aku pun terlelap tidur. Begitupun dengan Iwan.
Beberapa menit kemudian aku merasa pintu kamar terbuka, dan kasur pun menjadi ringan. Mungkin Iwan keluar untuk buang air kecil, pikirku. Tapi pikiranku menjadi lain, tiba-tiba terbayang kejadian sewaktu di rumah sakit. Ah sial!

Kejantananku bangkit seketika membayangkan apa yang mereka lakukan. Mungkin kah sama dengan yang di rumah sakit, atau lebih.

Terbayang postur tubuh Cynthia yang tinggi semampai dengan rambut panjangnya. Kulit putih mulus dan senyumannya yang membius. Dada yang membusung ukuran sedang dan bokong bulat montok.

Sial!! Sial!!

Kutepis bayangan Cynthia, aku tidak ingin mengkhianati sahabatku sendiri bahkan itu dalam lamunan.

Pagi harinya aku bangun karena mendengar deru mesin mobil. Akupun keluar kamar dan menuju kamar mandi sekedar untuk mencuci muka dan gosok gigi.

Di halaman depan tampaknya Pak Iswandi sedang mencuci mobil. Sambil menenteng segelas kopi hitam, aku menyapanya.

"Rajin banget Pak? Mau pergi?"
"Eehh kamu, Ri. Iya nih."
"Ibu mana Pak, ga kelihatan?" Tanyaku berbasa-basi menanyakan keberadaan Ibu Diah
"Saya sendiri ko, sudah biasa hehe"

Deg!

Kukernyitkan dahiku. Pak Iswandi bilang sudah biasa sendiri datang ke rumah ini. Aneh. Setahuku Ibu tak pernah absen kesini kalau melihat mobil hitam itu terparkir setiap akhir pekan. Ada perasaan gusar dan tidak enak yang muncul tiba-tiba.

"Iya sudah biasa sendiri kalo ada acara begini, lagian cuma kumpul dengan teman-teman di militer," lanjut Pak Iswandi setelah melihat perubahan ekspresiku.

Ada getaran dalam kata-katanya yang terlontar, menunjukkan kalo statement tersebut hanya alasan dibuat-buat. Aku semakin penasaran. Ku seruput kopiku dan kunyalakan sebatang rokok. Ku beranikan bertanya lebih lanjut, dorongan dari perasaan yang tidak enak itu memaksaku bertanya pada Pak Iswandi.

"Ohh gitu, emang Ibu Diah ga mau ikut, Pak?"

Gerak gerik Pak Iswandi nampak terlihat canggung.

"Itu, dia lagi sakit, biasanya sih ikut juga kalo saya ada acara."

Tiba-tiba Iwan datang dari arah dalam rumah. Dengan muka kusut dan acak-acakan. Langsung saja ku tembak dia dengan pertanyaan.

"Nyokap sakit, Wan?"
"Heemh, udah lama sakit-sakitan, dari akhir semester dua lah, bolak-balik RS terus,"

Jawaban Iwan makin membuatku gusar. Pak Iswandi berdiri dan permisi untuk mengambil air.

Aku pun berdiri, lalu pamit meninggalkan rumah itu.

Jarak rumahku memang tak jauh jika hanya berjalan kaki, apalagi setengah berlari. Beda halnya dengan memggunakan kendaraan, harus keluar komplek dulu lalu memutar ke jalan raya.

Kurang dari sepuluh menit aku berdiri di depan pintu rumah. Nafas ku berat memburu. Tepat ketika aku membuka pintu, ibuku keluar kamarnya. Berpakaian rapi dan berdandan. Perasaan tidak enak makin tak nyaman aku rasa.

"Mau kemana, Bu pagi-pagi sudah rapi."
"Emhh itu mau ke hajatan Bu Dewi, mau bantu-bantu."
"Ohh, pake dandan segala, Bu kalo mau bantu-bantu mah."
"Kan ada pengajian dulu."
"Ohhh iya atuh, hati-hati dijalan ya Bu, mau Ari anter?"
"Anter gimana, kamu gapunya motor."
"Bisa pinjem tetangga," kataku.

Ibu terdiam sesaat,
"Gausah lah, nanti lama, lagian keburu telat ah, yaudah ya Ibu berangkat."
"Iya atuh."

Ibuku pergi dengan tergesa. Raut mukanya sungguh berbeda. Ada ketegangan. Ada keraguan. Ada keterpaksaan.

Kuhempaskan badanku ke sofa butut berdebu. Pikiranku kacau dengan perasaan tak menentu. Apa yang harus kulakukan?

♧​
Ruangan kerjaku tepat bersebrangan dengan ruangan Iwan sang Direktur. Memang lebih kecil, tapi cukup nyaman.

Setelah diperlihatkan ruangan kerja baruku aku pun diminta mengikuti mereka ke ruangnnya untuk proses penandatanganan kontrak kerja. Aku dan Iwan duduk berhadapan sementara Cynthia sedang menyiapkan dokumen.

"Jadi nanti akan tinggal dimana, Pak?" tanya Iwan
"Kos-kosan dulu paling Pak, berhemat hehe lagian masih bujang ini kan saya," celoteh saya sambil sesekali melirik Cyntia yg sedang mengambil dokumen kontrak di lemari tepat di belakang samping kiri Iwan. Lekuk badan dan bokongnya sempurna terpampang. Ku genggamkan tangan gemas ingin meremas bokong bulat itu.

"Oh gituu, saya kurang tau sih kalau kos-kosan dekat kantor, kamu tau kos-kosan sekitaran sini?" tanya Iwan ke Istrinya yang berdiri menungging membuka lembaran kontrak kerja di atas meja.

"Kurang tau juga sih, mungkin bisa tanyain ke karyawan atau OB, banyak yang kos juga kan pasti."

"Ehh, jangan-jangan, nanti saya cari sendiri saja, kebetulan si Lukman mau nemenin"

"..." Iwan dan Cynthia bengon mendengar nama Lukman

"Ohhh itu supir saya."

"Oohh, ok ok kalau gitu, silahkan dibaca dulu isi kontraknya."

Akupun membacanya dengan teliti. Lalu setuju dengan semua isinya. Proses penandatangan kontrak pun selesai tepat pukul 04.15 sore dan diakhiri dengan saling berjabat tangan.

Aku kembali ke ruanganku sebelum meninggalkan kantor itu, untuk sekedar mengambil jaket kulitku. Ternyata hp kecil ku yang memang ku gunakan untuk telepon dan sms berdering dalam kantong jaket pertanda telepon masuk.

Langsung kuangkat saja panggilan telepon itu. Kabar mengejutkan dari salah satu kawan kerjaku. Dia mengabarkan kalau atasanku penyakit jantungnya kumat dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Tak perlu membuang waktu aku bilang akan segera menyusul ke rumah sakit, lalu kumatikan hp, mengambil jaket dan melangkah keluar lalu berpamitan pada Iwan dengan terburu-buru.

Aku bilang harus segera ke rumah sakit. Atasanku, orang yang sangat berjasa dalam hidupku, dia telah menyelamatkan diriku, menarikku dari jurang depresi. Dirinya lah yang menjadikanku seperti sekarang, mengalami serangan jantung.

Aku tergesa-gesa keluar dari kantor itu, Lukman pun sudah standby di lobi. Kami pun langsung berangkat menuju rumah sakit. Aku pun berniat menelepon balik kawan yang tadi memberi kabar dengan menggunakan hp kecil itu. Namul sialnya, hp tersebut tertinggal di ruanganku. Yasudah, kupikir nanti akan kutanyakan pada Iwan setelah ada kepastiaan nasib atasanku ini. Mobil pun terus melaju, Lukman ternyata tahu harus kemana. Dia telah diberitahu teman kantorku yang lain.

Tepat sebelum adzan Maghrib berkumandang aku telah sampai di ruangan tempat atasan ku dirawat. Dia terbaring lemah, infus menancap di lengannya. Aku menhampiri dan mencium tangannya.

"Bagaimana, lancar?" dia bertanya tentang proses penandatangan kontrak itu.
"Bapak sehat saja dulu, baru kita ngobrol kerjaan ya," sambil kutepuk-tepuk tangannya mencoba menenangkan.

"Ok," ibu jarinya mengacung, senyumnya mengembang.

Beberapa menit aku menunggunya sampai terlelap tidur. Masih ada pe er yg harus ku kejar, mencari kos-kosan. Aku tak mau terdampar di kamar hotel, suka susah tidur.

Beruntungnya Lukman mau diajak mencari kos-kosan yang sedekat mungkin dengan lokasi kantor baru. Akhirnya kami berangkat kembali ke arah sebelumnya.

Di perjalanan aku ingat hp kecilku. Hanya ingin sekedar memastikan bahwa hp itu aman, aku pikir tak apa kalau ku hubungi Iwan, mungkin dia masih di kantor. Maka kutelepon nomer cantik itu.

"Hallo, ya Pak emmh shh ada apa, Pak?" jawab Iwan di sebrang sana, nada bicaranya tertekan menahan sesuatu

"Maaf, Pak Iwan masih di kantor?" Tanyaku datar

"I.. iya pak emhh masih, kenapa, Pak?"

"Itu kayaknya hp saya ketinggalan diruangan tadi kerena buru-buru, minta tolong di cek, takutnya terjatuh di jalan, sayang banyak kontak penting disana"

"Ohh ohh iyaah Pak nanti saya cek ke ruangannya yaaahh emh"

"Baik, Pak, terima kasih banyak," nada ku seperti mengakhiri sambungan telepon

"Sama-sama, Pak Arie"

Iwan tak sadar kalau sambungan telepon belum dimatikan. Dia meletakkan hpnya di atas meja. Suara desahan, dan bunyi mulut yang sedang melakukan oral sex jelas terdengar.

"Mmhhh hmmppfhhhh gwanggu ajwa" suara si perempuan

"Kita pindah yuk!" Suara Iwan

*disebrang sana, di sebuah ruangan lantai 7. Ruangan kecil yang nantinya akan kutempati. Sepasang suami istri sedang melakukan hubungan intim. Mungkin untuk mencari sensasi agar lebih bergairah kehidupan seksnya, atau entah apa.

Tanpa melepas satu pakaian pun mereka bisa saling melampiaskan birahi. Si lelaki hanya memelorotkan celana dan boxernya, sementara si perempuan hanya mengangkat longblouse-nya setinggi perut, dan melucuti g-string hitamnya sampai lutut. Si perempuan yang diminta laki-laki itu mencari hp kecilku, menungging mencari hp. Bagian bawahnya yang terbuka menjadi rangsangan pandangan bagi si laki-laki. Bokong bulat, kaki panjang, betis dan paha mulus, serta vaginanya yang seksi tanpa rambut sehelai pun menjadikan dirinya santapan meluapkan syahwat.

Hp kecil itu tergeletak begitu saja di atas kursiku, mungkin memang benar jatuh ketika kumasukkan kedalam kantong jaket kulit itu. Si perempuan yang menemukan hp itu menungging berpegangan pada sandaran kursi. Sementara dibelakangnya, laki-laki itu berdiri menghentak-hentakan pinggulnya.

Ruangan kecil itu menjadi riuh dengan desahan kenikmatan dan bunyi yang keluar dari persenggamaan. Laki-laki yang berdiri menikmati seksnya memejamkan matanya sambil terus mempercepat gerakkan pinggulnya, tangannya bertumpu berpegangan pada ujung meja dan pinggul si perempuan.

"Ugghhhh sshhhhhh aku bentar lagiiih."

"Iyaah aku jugaaa, cepetinn.. cepetin paahh.. "

Sambil meracu menikmati vaginanya yang basah dimasukki batang kejantanan, tanpa sepengatahuan si laki-laki, perempuan itu membuka hp kecil ku, mengetik nomornya sendiri lalu menekan tombol dial. Beberapa detik kemudian berbarengan dengan titik puncak kenikmatan persenggamaan yang mereka rasakan, hp kecilku yg berbentuk flip ditutupnya lalu dibiarkan tergeletak di tempat semula.

Setelah memuntahkan sperma kedalam liang senggama dan organsme yang membuat lutut si perempuan lemas. Mereka berciuman mesra dan saling berpelukan sambil saling membenahi pakaiannya masing-masing.

"Ada hpnya?"
"Ada tuh di kursi," jawab si perempuan
"Oh yaudah," si laki-laki mengambil hpku lalu diletakan di laci meja yang masih kosong. Beberapa menit kemudian aku yang sedang mengobrol dengan pemilik kos menerima pesan WhatApps.

"Pak, Hpnya saya simpan di laci meja."
"Terimaksih banyak," balasku dengan emot senyum

Aku pun bergegas mengeluarkan semua barang pribadi yang kubawa sejak keluar hotel. Pakaian dan keperluan kerja lainnya tertata rapi dalam mobil. Lukman membantu sampai barang itu masuk kamar kos. Setelah berbasa basi dia pun pamit pulang.

Kuhempaskan badan ke kasur empuk tak berseprai. Kamar kos yang cukup luas dengan kamar mandi di dalam cocok dengan kemauanku. Meja kerja dan jendela yang langsung menghadap ke ruang terbuka juga seperti yang kumau.

Mata terpejam bibir tersungging. Teringat telepon tadi, aku yakin mereka bersertubuh di ruanganku. Seketika ingatanku kembali ke hari dimana kami bertiga menginap. Dinihari dimana aku melamunkan mereka berbuat apa. Dulu aku menahan imajinasi ku tentang keseksian Cynthia, demi sahabatku. Sekarang aku meraba-raba kemaluanku sambil membayangkan bentuk tubuh Cynthian yang puas aku telanjangi dengan mataku.

"Maaf kawan, istrimu mungkin akan kujadikan alat balas dendamku. Dosamu dan ayahmu tak termaafkan!"

Geram aku berbicara sendiri dalam hati.

♧​
Hari itu aku tak tahu Ibu pulang ke rumah pukul berapa. Karena dari pagi sampai siang aku tidur. Aku terbangun dari tempat tidur dengan perasaan enggan. Kucoba enyahkan pikiranku sejenak dari prasangka buruk tentang Pak Iswandi dan Ibu. Ahh tidak mungkin ada sesuatu antara Ibu dan Pak Irawan, mereka hanya berteman, pikirku. Dengan langkah gontai kulangkahkan kaki untuk membasuh tubuhku, ada evaluasi acara mapala di kampus, aku mesti bersiap sebelum terlambat.

Hari-hari berlalu tanpa ada sesuatu hal yang mencurigakan. Aku jadi lebih sering dirumah di akhir pekan.
Suatu pekan aku akan mengadakan pendakian bersama dengan kawan mapala yang berbeda kampus. Kami janjian untuk persiapan dirumahnya yang satu komplek dengan rumah Iwan. Turun dari angkot aku berjalan menuju rumah yang dituju. Jalan yang ku tapaki mengharuskan ku melewati rumah Iwan.

Tepat di depan pintu gerbang rumahnya aku melihat mobil pak Iswandi terpakir rapi. Pikirku berarti sedang ada orang dirumah, mungkin baiknya aku mampir sebentar untuk bersilaturahmi. Pintu depan rumahnya pun setengah terbuka.

Niat awal aku urungkan mengingat persiapan pendakian akan cukup memakan waktu karena jumlah pendaki yang banyak. Tepat ketika aku melangkahkan kaki kanan ku, perasaan itu muncul lagi. Tak nyaman rasanya, berdebar karena memikirkan hal buruk. Aku tak mau pikiran ini dibawa kependakian, akan membahayakan. Maka kuputuskan sekalian saja kupastikan semuanya.

Ku buka cariel 80liter yang masih setengah terisi. Ku simpan dibalik pohon dekat pintu gerbang. Bukannya masuk baik-baik, aku malah menyelinap seperti maling.

Aku memutar ke arah samping rumah lalu memanjat pagar beton, lalu meloncat ke pekarangan samping rumah. Aku mengendap ke arah jendela yang tertutup gorden lapis pertama, kain putih berlubang kecil rapat. Ku coba intip bagian dalam rumah. Ku coba fokuskan penglihatanku.

Apa yang kulihat kemudian membuatku dibakar amarah. Pak Iswandi menepuk bagian belakang tubuh Ibuku ketika dia menyiapkan segelas kopi sambil membungkuk. Bukan hanya menepuk, tangannya kemudian meremas bokong lalu menarik rok lebar yang ibu kenakan pagi itu, sampai terlihat betis dan lututnya.

Ibuku terlihat risih atas perlakuan Pak Iswandi. Dia mencoba menjauh tapi ditariknya tangan ibuku oleh pak Iswandi.
Kenapa ibuku tidak lari dan mencari pertolongan? Mengapa dia diam saja? Apakah ini sudah berlangsung lama? Pikiranku berkecamuk dengan berbagai macam pertanyaan.

Aku mencari posisi karena ingin memastikan percakapan mereka, karena mereka terlihat sedang berdebat. Setelah diposisi yang tepat aku bisa sedikit apa yang mereka debatkan. Meski hanya dengan membaca gerakan mulut.

"Jangan.. jangaann paak"
"Sudah tenang gapapa nur"
"Jangaann, ada Iwan" tangannya menunjuk ke atas

Deg! Ada Iwan? Apa dia mengetahui ini semua? Kemarahan ku semakin memuncak, darah ku seperti mendidih.

"Gapapa dia masih tidur" balas Pak Iswandi sambil menempelkan telunjuk dibibirnya

"Jangaan" ibuku menghindar lagi

Aku tak bisa bertahan lebih lama lagi menyaksikan ini. Namun pintu kamar di atas lantai terbuka, Iwan keluar dengan muka kusut. Pak Iswandi dan ibuku sama kagetnya, mereka pura-pura mengobrol saling berhadapan terhalang meja setinggi lutut.

Aku perhatikan setiap detiknya. Iwan turun dan bergabung dengan mereka. Dia mengucurkan kopi dari teko yang tadi dibawa ibuku. Matanya jelalatan melihat ibuku yang sedang duduk sambil memegang gelas berisi teh hangat.

Kemarahan ku makin bertambah, sahabatku sendiri dengan tidak sopannya melecehkan ibuku dengan pandangan mesumnya.

Iwan kembali ke kamarnya, dia membawa dua gelas ditangannya. Satu kopi, lainnya teh manis hangat. Pintu kamarnya terbuka, muncullah kepala seorang perempuan berambut pendek, jelas aku tidak mengenalnya. Dan dia bukan Cynthia.

Brengsek ! Umpatku dalam hati.

Setelah Iwan masuk ke kamarnya, Pak Iswandi berdiri dan mendekati Ibuku. Dia duduk disebelahnya. Tanpa ragu Pak Iswandi mendekatkan bibirnya ke bibir Ibuku. Ibuku sedikit menjauh menolak ciuman itu. Tangan pak Iswandi merangkul pinggul Ibuku lalu menariknya mendekat, mengangkatnya sampai ibuku terduduk dipangkuannya. Ibuku meronta ingib melepasnya, Tapi Pak Iswandi menjambak rambut ibuku yang panjang ke belakang. Ibuku kun meringis.

Tak tahan lagi, aku berlari ke pintu depan. Ku ambil balok kayu yang tergeletak di halaman. Lalu ku tendang pintu depan yang setengah terbuka itu.

Sontak Pak Iswandi kaget dan melepas pelukannya. Ibuku yang tak kalah kagetnya berlari ke arah ku. Air mata sudah tak terbendung, mengalir dengan derasnya. Seraya memintaku berhenti dia memeluk badanku dengan eratnya.

"Ada apa kamu ribut-ribut?" Bentak Pak Iswandi kepadaku

"DIAM KAU BINATANG !!" Tak kalah kencang suaraku membentak Pak Iswandi sambil ku acungkan balok kayu itu ke arahnya
"Kau apakan Ibuku?" Tanyaku dengan nada tinggi

"...." Pak Iswandi diam tak menjawab

"Sudaahh naak sudaahhh" ibuku menangis memelukku menahanku supaya tidak lebih dekat dengan Pak Iswandi
"Buang dulu kayunyaaa, ibu takuutt" ibuku mengambil kayu dari tanganku, pelukannya melonggar, lalu ku berlari ke arah Pak Iswandi dan menerjangnya.

Badan Pak Iswandi terjungkal ke belakang. Aku pun menindihnya seraya menghajarnya. Tinjuku mengenai muka dan tangan yang menhalanginya.

"Bajingan !!"
"Tua bangka !!"

Segala sumpah serapah keluar dari mulutku.

Ibuku berlari menghapiriku, menarik badanku ke yang sedang menghajar Pak Iswandi.

"Sudaahh naaak sudaahhhh" ibukku berteriak sambil menangis

Pintu kamar atas terbuka, Iwan keluar daru kamarnya.

"Woy !! Ada apa ini?!"

Aku yang terjengkang kebelakang karena ditarik ibu, menoleh ke atas.

"Diam lo brengsek !" Sambil ku tunjuk Iwan
"Jangan mulut mu !"
"Lo udah tau semuanya kan Wan?" Tanyaku bercampur marah, benci, dan sedih
"...." Iwan diam

"Kenapa lo diem, jawab Wan !" Bentakku sambil berdiri

"Tapi bukan salah ayak gue sendiri Ri" Iwan mencoba mencari pembenaran

"Coba lo pikir kalo lo di posisi gue, gimana hah?!"

"Tante Nur juga salah !"

Aku mendekati tangga, menengadah menghadap Iwan di lantai atas. Hatiku hancur mendengar perkataan itu.

"Harusnya lo bersyukur keluarga miskin kayak kalian itu banyak kami bantu"
"Tega lo Wan ngomong gitu?"
"Ibu lo yang gatel, kalo ga gitu ga mungkin ayah berani ngegoda"
"Bacot lo wan !"
"Tante Nur yang L*cur, ayah udah baik bantu ekonomi kalian, lo pikir dariman lo bisa kuliah sampe sekarang"

Hampir meledak aku mendengar perkataan Iwan, terhina. Amarah ku sudah tak bisa ku tahan lagi. Ku ambil balok kayu yang tergeletak. Lalu ku lempar ke atas mengarah posisi Iwan berdiri. Iwan pun mengelak dari kayu yang terlempar. Kayu itu mengenai pintu kamar dibelakangnya.

Pintu kamar terbuka, seorang perempuan keluar dengan muka tegang. Aku menatap mereka berdua.

"Lo bukan sahabat gue lagi, lihat anak dan ayah sama brengseknya, taik !! Cuiih !!" Ku ludahi lantai rumah itu

"Pergi lo dari rumah gue ! Cuh!" Iwan mengusirku dan meludah ke arahku

Tanpa kupedulikan orang-orang disana. Aku berlari keluar sekencang-kencangnya.
Ku ambil cariel ku yang tergeletak dibawah pohon. Lalu berlari mengarah ke jalan raya. Disana ku cegat truk pasir yang kebetulan lewat. Aku pun naik. Dan berhenti di jalan sebelum truk itu berbelok menurun ke pertambangan pasir. Aku lanjut berjalan dengan pikiran kosong dan kembali naik truk yang mengarah ke barat kota ini. Sampai tibalah di kaki sebuah gunung, aku turun dan membeli perbekalan ala kadarnya di kampung terakhir sebelum pos pendakian.

Setalah merasa cukup aku pun kembali berjalan. Bukannya mengarah pos pendaftaran, aku berjalan ke belakang perkampungan. Disana ada jalan setapak yang biasa digunakan warga untuk mencari kayu bakar. Aku tau jalur ini bisa digunakan untuk pendakian karena sebelumnya jalur tersebut pernah kupakai untuk pelatihan materi navigasi darat.

Aku pun berjalan sendirian memasuki hutan. Pikiranku berkecamuk memilirkan peristiwa yang baru ku alami. Tak terbayangkan bisa seperti ini, aku menangis ketika badan terasa capek dan duduk dibawah pohon tinggi menjulang.

Tangisanku bercampur marah dan benci, aku membeci orang-orang itu. Iwan sahabatku sendiri mengkhianati apa yang aku percayai selamana ini. Tunas dendam pun tumbuh seketika dan terus membesar ketika memori kebaikan ibuku, kebaikan ku, pada dirinya terputar seperti roll film dalam pikiranku.

"Akan ku balaskan dendam ini" terucap janji yang langsung terpatri dalam diri

Aku pun melanjutkn pendakian ditemani rasa marah dan dendam yang menyatu jadi satu. Semaki tinggi ku tapaki lereng gunung, semakin menjadi rasa ingin membalas perbuatan mereka.

Langit menjadi mendung tiba-tiba, gerimis turun tanpa aba-aba. Diketinggian 1900 Mdpl ku dirikan bivak dari ponco yang kubawa.

Hujan semakin deras, intensitasnya lumayan tinggi. Kuperkiran hujan akan lama, maka ku masak air panas untuk mengusir dingin. Lalu kubuat kopi dan kuamankan juga sisa air panas dalam termos kecil.

Kubakar rokok kesukaanku. Sambil merenungkan apa yang terjadi, pikiranku mulai waras. Emosiku mulai mereda. Mungkin harusnya aku tak semarah ini, pun kalau memang mereka semua itu bajingan.

Kuputuskan mengkakhiri perjalanan dan akan kembali untuk memastikan semuanya dengan kepala dingin. Namun hujan masih deras, maka ku tadahkan air hujan itu dan kubasuh mukaku berharap niat jahatku pergi tersapu air.

Hujan reda ketika langit mulai sore. Tapi tetap kuputuskan untuk turun hari itu juga. Sebelum terlambat dan aku pun taku mau membuat ibuku khawatir.

Setelah selesai membereskan alat dan perbekelan, aku berjalan ke arah sebaliknya. Jalur yang akan ku tempuh memang terjal tapi akan cepat sampai di bawah.

Selang satu jam kemudian aku sedang kesulitan melewati jalur berakar nan licin. Langit mulai gelap pertanda magrib segera tiba. Aku tetap mencoba keluar daru jalur itu dengan sekuat tenaga.
Tepat ketika ku sampai diujung jalur itu adalah bibir jurang kawah. Jalurnya kecil hanya muat untuk satu orang. Meskipun aku sudah hafal jalur ini, tetap saja ini jalur berbahaya. Kuturunkan tas carielku, lalu ku ambil headlamp sebagai persiapan menjemput malam.

Hujan kembali turun dengan derasnya. Jalur jadi samar terlihat. Aku tak bisa mendirilan bivak disini, maka kupaksakan terus berjalan. Berdiam diri pun hanya akan membuat ku kedinginan dan hipotermia.

Maka kulanjutkan perjalanan. Tepat ketika petir disertai guntur yang menggelar, kakiku terpeleset karena kaget. Hilang keseimbangan hingga membuatku jatuh ke jurang terjal. Tingginya juran dan beban yang berat disertai tanah licin membuatku terguling dengan cepatnya ke dasar jurang. Carielku terlepas dan kepalaku terbentur batu. Kesadaranku hilang seketika. Gelap dan dingin.

Aku ditemukan keesokan harinya oleh seorang warga yang sedang mencari kayu bakar. Posisiku sudah jauh dari tempatku terjatuh. Saat kesadaran ku pulih aku tak ingat apa-apa, lalu berjalan tanpa arah.

Setelah dibawa keperkampungan dan diberi pertolongan aku dibawa kerumah sakit. Benturan dikepalaku mengakibatkan amnesia.

Aku lalu diurus oleh sipenemu dan akhirnya dititipkan ke saudaranya. Dialah Pak Basri atasanku di kantor lama. Dia membatuku sepenuhnya smapai perlahan ingatanku kembali sedikit-demi sedikit.

Setahun lebih setelah kejadian itu aku lulus D3. Hadiah kelulusan ku adalah tas criel usang. Beserta dompet berisi identitas asliku. Pak Basri menceritakan semuanya. Ibuku meninggal karena depresi berat, ayah tiriku entah kemana. Dua kaka perempuanku hidup masing-masing dengan semuanya. Setelah berdiskusi panjang, aku putuskan menjadi orang baru dengan identitas baru yang telah pak basri berikan. Barie Rachmada, itulah namaku.

♧​

Aku terbangun dari mimpi buruk semalam. Mimpi yang membawaku pada masa lalu kelam. Masa dimana hidupku akhirnya menanggung dendam.

Tapi hari ini hari baru, aku persiapkan diriku serapih mungkin. Kubuka jendala supanya energi positif masuk ke kamar kos. Setelah semua keperluan kerja telah kupersiapkan, aku pun berjalan menuju kantor baru.

Sesampainya di kantor langsung kumasuki ruang kerja baru. Ku ambil hp kecil di dalam laci itu.

Tak lama seseorang mengetuk pintu kaca ruangan ku. Iwan masuk dengan ekspresi muka bahagia. Setelah berbasa-basi, dia pun meninggalkan ku sendiri.

Hari ini jadwal kerja adalah membuat rencana kerja. Kusiapkan laptop dan segala macam segela keperluannya.

Tak terasa waktu berjalan karena fokus pada pekerjaan. Pintu kaca itu diketuk lagi. Pintu terbuka, muncullah cynthia dengan kerudung motif bunga, kemeja hijau toska, dan rok panjang ketat.

"Pak nanti diajak makan siang bersama, gimana?"

"Ohh, saya mungkin makan siang sendiri, tanggung belum selesasi Bu" jawab ku dengan ramah

"Panggail Mba saja" dengan senyum manisnya yang khas, gigi gingsulnya terlihat sedikit membuat gemas.

"Baik Mba"

Cynthia pun pergi menuju ruangannya.

Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari menjadi minggu. Waktu berjalan begitu cepat.

Minggu pertama ku setorkan rencana kerjaku beserta timeline proses pengerjaannya. Iwan dan Cythia kagum dengan hasil kerjaku. Detail dan padat. Merekapun optimis pekerjaan ini akan selesai tepat waktu.

Selama aku diruangan itu, tak hentinya aku mencuri pandang ke Cynthia. Pun dengan dirinya yang beberapa kali kepergok memperhatikan bekas luka kecil ditanganku.

Luka kecil itu adalah luka sayatan pisau. Waktu ku bantu luka Iwan pada kejadian di masa lampau, setelah perban terpasang aku menggunakan pisau lipat untuk memotong perbannya. Sayangnya ketika melipat pisau itu aku sedikit ceroboh dan melukai punggung jari manisku.

Minggu kedua jadwalku merekrut orang-orang untuk dibuat menjadi tim kerja. Langkah paling efektif adalah mencai lulusan baru atau merekrut langsung mahasiswa tingkat akhir yang membutuhkan magang. Kubagi tugas ini menjadi dua. Perekrutan lulusan baru ku serahkan kepada HRD dan bagian perekrutan mahasiswa magang menjadi bagian ku.

Beberapa kampus telah kudatangi. Seminar digelar untuk mengenalkan prejek pelaporan keuangan dengan format baru. Diakhir bagian kutawarkan bagi mahasiswa yang ingin berpartisipasi datang langsung ke kantor.

Kampus terakhir yang kudatangi adalah kampus lama Iwan dan Cynthia. Beruntungnya aku, Cynthia menemaniku dalam proses ini. Dia beraikeras ingin ikut sekaligus bernistalgia, sementara iwan harus rapat direksi.

Baik diperjalanan tak banyak yang kami bicarakan. Cynthia pun begitu. Tapi ketika kutanyakan tentang rencananya bernostalgia dia termenung.

"Nanti setelah acara, temani aku ke suatu tempat" kata Cynthia lirih

Acara pun selesai tepat waktu. Kami lalu santap siang di kantin kampus, alasannya tentu ingin bernostalgia. Obralan kami makin cair, Cynthia mulai menunjukkan sifat aslinya.

"Jadi nanti mau kemana?" Kataku
"Deket koo" katanya sedikit manja

Selesai makan, ternyata aku diajak ke parkiran belakang kampus. Kami duduk disebuah bangku kosong.

"Disini dulu pernah terjadi suatu peristiwa" Cynthia mulai bercerita

"Iwan dulu dikeroyok karena sebuah kesalahapahaman"
"Tapi bukan itu maksudku bernostalgia kesini, saat itu pertama kali aku mengenalnya. Sahabat Iwan, bahkan merekaengklaim diri mereka saudara kembar"

Hatiku panas mendengar kata-kata itu

"Tapi, perkenalan kami meninggalkan kesan dalam buatku. Saat itu sebetulnya aku bukan pacar Iwan. Dan wajar kalau aku mengagumi dirinya"
"Aku kagum dengan keberanian dan pembawannya. Karakter dan kebaikan hatinya"
"Sayang nasib tragis..."
"Sudahlah" aku memotong pembicaraan
"Ngapain kesini kalo mau bernistalgia yang sedih-sedih" lanjutku

Cynthia kembali termenung,
"Ada hal ganjil yang aku rasa"
"Apa?" Tanyaku

Cynthia menoleh ke arahku, tersenyum jahil "nanti saja, mungkin cuma perasaan" dia menjulurkan lidah mengerjaiku

Kamipun kembali ke kantor. Perjalanan pulang ke kantor sangat mendebarkan buatku. Cythia duduk di jok belakang berdampingan denganku, sementara supir sendiri di depan. Berbeda dengan perjalanan pertama, Cynthia duduk di depan dan aku sendiri di belakang.

Aku canggung bukan kepalang. Beberapakali Cynthia dengan sengaja melipat kakinya, belahan rok panjangnya memperlihatkan betis putih mulus. Kadan dia pura-pura tidur, sementara bajunya yang ketat sedikit memperlihatkan bagaian dalam tubuhnya. Aku bisa melihat dengan jelas kulit putih mulus dari sela-sela baju antar kancing.

Akhir minggu ke empat, tim telah terbentuk. Aku mengepalai proyek ini dengan turun langsung mendampingi mereka. Hal ini membuatku harus sering pulang malam.

Suatu hari, aku masih dikantor bersama tim mengolah data dari ribuan dokumen yang harus dikelola. Namun ada beberapa file yang bersifat rahasia dan baru bisa dibuka dengan seijin orang yang bersangkutan. Karena proses pengelolaan data harus sesuai runut waktu, maka tak bisa ku pending pekerjaan karena beberapa file ini. Waktu sudah pukul 9 malam, kuputuskan menelepon Iwan untuk meminta ijin supaya semua file bisa dibuka.

Sambungan telepon ku lama berbunyi pertanda orang yang dihubungi tidak mau menerima panggilan tersebut. Aku keuekeuh harus tetap mengerjakan dokumen itu malam ini juga.

"Ya halo?!"
"Pak maaf, ini.." belum sempat ku utarakan maksudku Iwan memotong kata-kataku
"Ada apa ya malam malam begini" suaranya tertahan, ada rasa sebal disana.

Aku sebaliknya, malah timbul rasa senang mengerjai Iwan dengan hal-hal kecil seperti ini.

"Maaf menggangu waktunya, tapi ini penting pak" sengaja aku berbasa-basi memperlama obrolon

"Iyah ada apa?" Tanya Iwan ketus

"Ini Pak, bla bla bla blaaaa" ku jelaskan maksudku dengan menambah embel-embel yang tak jelas

"Oh gitu.. ugh mmhh"

Sial, dia rupanya kuganggu karena sedang bercinta dengan istrinya.

"Siapa sih?" Suara Cynthia sayup terdengar di ujung sana "ohhh" lanjutnya setelah mendapatkan jawaban dari Iwan vahwa yang menelepon adalah diriku

"Sshhhhh eemmhhhhhh.. teruss yaangh" Cynthia sengaja agak mengeraskan desahannya

Aku menyeringai mendengarnya. Sementara diujung telepon terdengar suara cekikikan menahan tawa.

"Yasudah pak, saya ijinkan, passwordnya nanti saya wa yah.. emmhh shh"

"Baik Pak terimakasih"

Kadang aku terlalu fokus dengan pekerjaanku hingga lupa dengan rencana balas dendam. Setiap kali Cynthia hadir di dekatmu dendam ku makin lunak. Sementara jika Iwan ada, hati ku panas. Dendam dan cemburu menjadi satu.

Semakin hari gerak-gerik Cynthia semakin membuatku bergairah. Pembawaannya yang easy going dan sedikit genit membuatku tertantang. Hingga suatu malam di akhir pekan, aku sedang tidur-tidura di kamar kosku.

Hp kecilku berbunyi. Bunyi yang sudah lama tak pernah ku dengar, sebuah sms masuk.

"I think I know You"

Sms dari nomor tak dikenal.

Pikiranku langsung menuju Cynthia, dialah satu-satunya orang dari masalalu yang masih beinteraksi dengan ku sekarang.

Bulan ketiga, suatu siang yang mendung.
Iwan tak kelihatan batang hidungnya dari sejak pagi tadi. Pintuku kaca ruanganku terbuka. Cynthia masuk dengan muka masam.

"Kenapa Mbak? Mukanya ditekuk begitu?"
Dia menhampiriku lalu duduk dikursi, kami pun berhadapan.

"Aku tidak suka dengan perasaanku ini. Penasaran, terganggu masa lalu, kadang aku sampai tak bisa tidur"

"Loh kenapa?" Tanyaku lagi

"Siapa kamu sebenernya, dan apa rencana mu?"

"Apa maksud Mba?"

"Jangan pura-pura, aku merasa sesuatu yang janggal"

"...." aku diam tak menjawab

"Kalo kau datang dari masa lalu, aku sampaikan bahwa aku merasa beruntung"

"...." aku masih diam, bahkan menatapnya pun tak bisa

"Aku beruntung karena bertemu orang yang paling kusukai, orang yang membuatku tak bisa tidur karena terpesona sejak pertemuan kami"

Aku ubah posisiku, dengan tangan terlipat di daguku. Mataku tajam menatapnya.

"Kalau begitu, buktikan ucapan dan keraguanmu"

Cynthia mendekatkan tubuhnya. Wajah kami sangat dekat. Jarak hidung ke hidung hanya sebatas jari.

Cynthia menciumku tanpa aba-aba. Ciuman yang pelan dan dalam. Seakan dia ingin menarik semua memoriku. Mencari jawaban atas rasa penasaran dan sebuah kejanggalan.

Ku tarik tangan Cynthia. Dia berdiri dan berpindah posisi, dia menaiki meja dengan pantatnya yang seksi sebagai tumpuan. Gerakkannya sungguh menggairahkan.

Lalu dia duduk mengangkang di atas pangkuan ku. Lalu kami berciuman dengan ganasnya.

Kuremas bagian favoritku dari seorang perempuan, bokon bulat sempurna.

"Emmhhhh sshhhhhh"

Dia gerakan tubuhnya menekan kebawah. Kelamin kami bergesekan walau terhalang celana.

Ku remas juga dadanya yang membusung dibalik kemeja putih tipis.

"Ouughhhh sshhhhh"
Kubuka kamcingnya satu persatu. Kuciumi leher dan dadanya. Cynthia hanya melenguh menikmati rangsangan dariku.

"Aahhhh iyaahhh hisappp.. jilat iyaa begituuu uuhhh"

Perintahnya ketika mulutku menikmati puting payudaranya yang keras mengacung. Selangkangannya tak berhenti bergerak menekan penisku yang telah ereksi.

Puas bermain dengan payudaranya aku pun menengadah. Kami saling tatap. Lalu Cynthia membisikkan satu kalimat

"I want you, dari dulu" aku rasa dia telah mendapatkan jawaban atas semua pertanyaannya.

Cynthia turun dari pangkuan ku. Gepsper, kancing dan resleting celanaku dibukanya. Ditarikanya batang kejantananku hingga mengacung tepat didepan mukanya.

"Ouuhhh yaahhhh" ketika kurasakan kepala penisku masuk ke mulutnya

Basah dan hangat rongga mulutnya membuatku melayang.

Kulihat Cynthia dengan telaten mengul penisku. Jilatan dan hisapan serta tangannya yang rak berhenti memainkan buah zakarku membuatku kewalahan. Teramat nikmat untuk dituliskan.

Akupun memintanya untuk menyudahinya.

"I want you, now" bisikku kepada Cyntia yang wajahnya merah merona.

Dia berdiri dan menurunkan celana bahan beserta cd nya. Lalu menungging bersandar ke meja kerjaku.

Langsung ku posisikan diriku. Aku berdiri di belakangnya.

Tanpa susah payah, penisku masuk menelusup liang senggama yang masih terasa sempit. Basah, hangat, dan berdenyut membuatku makin tak bisa berkata apa-apa.

Kuhentakan selangkanganku menabrak bokong seksinya.

"Aahhhh ahhh yaa emhhhh teruuss lebih kencanghh ahhhh"

Kancing kemejanya yang terbuka membuat payudaranya menyembul keluar dan bergoyang seirama genjotanku.

Puas denga posisi itu aku minta Cynthia duduk mengangkan di atas meja.

"Oughhhhh mmmhhh ssshhhhh yang dalemmm... mentokiin emhhh"

Ku genjot Vaginanya sambil kumainkan biji kelentitnya.

"Awhhh aduuh geliiii ... du duu duuhhh, aku keluaaaarrrrr aahhhhhh"

Dia organsme setelah ku genjot hampir 10 menit dengan posisi itu. Aku menyusul organsmenya beberapa menit kemudian, setelah Cynthia turun dan mengulum penisku lagi. Sperma ku tumpah dimulutnya dan dia telan habis tak tersisa.

Cynthia berdiri lalu membereskan pakainnya.

"Kita perlu bicara lebih banyak" pungkasnya sambil lalu meninggalkan ku

Aku duduk di kursi ku, membetulkan celana dan kemeja. Lalu ku ambil kamera kecil di balik lemari dokument yang ku sembunyikan. Setiap hari kunyalakan kamrena ini untuk mendapatkan momen yang baru saja terjadi. Tapi aku tak menyangka bisa secepat ini.

Beberapa hari kemudin seperti tak terjadi apa apa, kami bersikap seperti biasanya. Aku pun bekerja dengan sempurna.

Namun setiap ada kesempatan, kami akan memanfaatkan itu dengan baik.

Seminggu setelahnya kami janjian di sebuah hotel. Cunthia ijin untuk tidak masuk kantor dan aku ijin untuk bertemu klien.

Aku yang sampe dahulu di hotel itu memasang kamera seperti biasanya.

Tepat disore hari Cynthia datang dengan anggun dan berseri. Kami berpelukan dengan eratnya seperti sepasang kekasih.

Seperti sudah saling mengerti, dalam hitungan menit kami sudah sama sama bertelajang bulat. Cynthia melenguh nikmat menikmati setiap dorongan batang kejantananku yang masuk menerobos liang vaginanya.

"Mmmmmhhhhh sshhhhh pelan.. pelan ajaa, nikmatiinn.. nikmatin tubuhku"

Kami dalam posisi missionaris. Kakinya melingkar erat di pinggangku. Tangannya merangkul leher dan menjambak rambutku. Sambil terus ku genjot aku jilat dan ciumi lehernya, hisap puting payudaranya bergantian.

Aku tegakkan badanku, lalu kutarik Cynthia ke pangkuan ku. Dia menduduki dengan vaginanya yang terisi penuh oleh penisku.

"Eemmhhhh sshhhh cyynnn aahh.. "

Cynthia menggerakan pinggulnya maju mundur. Pundakku jadi tumpuannya. Payudaranya indah menggantung. Bibirnya merah merekah. Didigigitnya bibir itu sambil terus menghentakkan selangkangan ku.

"Ahh ahh ughhhh yaahhh aku bentar lagii ahhh"

"Aku jugaaaa aahhhh"

Kami bergerak bersamaan menaiki anak tangga kenikmatan menuju puncak birahi. Semakin cepat gerakkan kami, semakin tinggi desahan yang keluar dari mulut kamii.

" aaa aa aaaa aaagghhhhhhh aku keluaaarrrhhhh "

Jerit Cynthia mendapatkan organsmenya

Aku dorong dia terlentang, kembali ku genjot vaginanya dengan cepat.

"Aaagghhhhhhhh aku jugaaaaaa"

Ku semburkan spermaku ke perut dan dadanya.
Aku pun ambruk di atas tubuh Cynthia.

Setelah gelombang organsme kami reda, kucabut penisku dari vaginanya. Ku baringkan tubuhku disampingnya disusul Cynthia yang lalu memeluku. Hening beberapa saat. Tanpa suara hanya ada napas yang mereda.

"Jadi apa yang aka kita bicarakan" kataku memulai obrolan

"Tidak ada"

"Tidak ada? Lalu?"

"Aku tidak ingin bicara, aku ingin mendengar. Ceritakan semuanya"

Ku hela napas panjang, aku tak bisa menutupinya lagi. Ceritaku akan memvalidasi semua pertanyaannya tentangku. Keraguan dan keganjilannya atas kehadiranku.

Ku ceritakan seperti pendongeng mahir. Tak ada sedikit pun yang kulewatkan. Cynthia mendengar tanpa bertanya. Perasaanku berkecamuk. Semua rasa bercampur. Sampai tak kuasa akupun menitikan air mata.

Cynthia mengangkat kepalanya yang bersandar di dadaku. Mengecup keningku lalu dihapusnya air mata yang menetes.

"Lanjutkan, keluarkan semua emosi mu" lirih suara Cynthia seperti merasakan hal yang sama kurasakan

Ku lanjutkan ceritaku sampe titik dimana ku menyimpan dendam seumur hidupku. Jari lentiknya mengusap dadaku yang bidang berusaha meredakkan amarah, memadamkan api dendam.

"Kamu harus tahu satu hal, setelah ini antar aku ke suatu tempat"

Dia pun bangkit. Postur tinggi semampai telanjang tanpa sehelai benang pun berjalan menuju kamar mandi.

"Mau ikut?" Cynthia menoleh sambil menjulurkan tangannya mengajakku mandi bersama

Aku seperti kerbau dicocok hidungnya, menurut tanpa perlawanan.

Kami bercinta dibawah shower kamar mandi. Kurumpahkan emosi dan dendam dalam senggama. Cynthia tak merasakan itu, dia merasa hanya kenikmatan bersetubuh dengan orang yang dulu dia kagumi. Cynthia tak merasakan bahwa dirinya alatku membalas dendam.

Kami praktekkan bermacam gaya semampu yang kami bisa. Standing doggy style atau dari depan dengan satu kaki terangkat.

Walaupun badan kami diguyur air dingin, tapi birahi membakar jiwa kami.

Kamipun organsme bersamaan setelah hampir lebih dari setengah jam kami memicu hasrat bersetubuh.

Tentu aku keluar kamar mandi lebih dulu untuk mengamankan kamera yang telah ku siapkan sebelumnya. Setelah sama-sama berpakaian kami pun berpelukan erat dan diakhiri ciuman mesra.

Keluar dari hotel kami berangkat menuju sebuah rumah sakit. Disana aku tak tahu siapa yang akan kami kunjungi.

Betapa terkejutnya ketika kami sampai disebuah kamar vip. Aku tak berani melangkah masuk. Cynthia pun sadar, kami hanya berdiri mematung melihat sosok terbaring lemah dengan berbagai selang menempel ditubuhnya.

Disana Pak Iswandi terbaring tak berdaya. Sudah 3 bulan lamanya menurut penuturan Cynthia.

"Apa kamu akan tetap membalaskan dendam mu?"
Tanyanya dengan muka pilu

Aku diam tak menjawabnya. Tak terasa air mataku pun turun membasahi pipiku. Ada kesedihan namun lega, sebuah kesadaran pun menhampiri.

Hanya Tuhan lah yang berhak menghakimi.

Kami pun berpisah ketujuan masing-masing. Aku pulang ke kamr kos dan Cynthia pulang ke pangkuan suaminya.

Aku terbangun tengah malam. Lalu tak bisa tidur lagi hingha pagi menjelang.

"Bagaimana dengan kita?"

Sebuah pesan di handphone kecilku yang cynthia kirim malam itu.

TAMAT
Mantap nih...walaupn endingx menggantung banget...
 
Duh keren banget. Apalafi kalo dibuat cerita bersambung. Sampai ditentukan apa itu bentuknya balas dendam
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd