Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT PERJUMPAAN (racebannon)

PERJUMPAAN – 25

--------------------
--------------------

desain10.jpg

“Nnn…”

Listya bergerak di atas tubuhku, sambil memegang-megang payudaranya sendiri. Gerakan mononton ini berlangsung cukup lama, dan aku menutup mataku, sambil mengenggam pahanya, dan sesekali melirik ke arah dirinya.

Aku tidak bisa fokus pada dirinya.

Aku Cuma bisa fokus pada jawaban Stephanie tadi. Pikiranku terus terbang kesana, aku tidak bisa bohong lagi pada bayangan-bayangan yang muncul terus menerus di kepalaku. Percakapan tadi sore terngiang lagi di dalam kepalaku.

“Malam ini? Kayaknya Free… Mau ngajakin meeting?”
“Oh… Engga… Aku cuma pengen makan aja sama kamu…”
“Makan malam sama aku?”
“Iya”
“Bas… Aku… Aku gak bisa, sorry…”
“….” Aku masih ingat aku terdiam sejenak untuk kemudian bertanya lagi, sebisaku. “Kenapa?” dan tadi, nadaku terdengar seperti sedang merajuk.

“Aku gak bisa….. Ini udah bukan Regional Meet lagi, Bas…”
“Kita makan malam as a friend aja Steph..”
“Thanks buat ajakannya, but no thanks…. Aku pengen biasa-biasa aja sama kamu…. Ya?”

Senyum penolakannya masih terbayang, dan yang kurasakan sekarang bertolak belakang dengan isi kepalaku. Istriku masih bergerak naik dan turun di atas area kejantananku, tapi aku malah membayangkan perempuan lain yang sedang berada disana.

Stephanie Kirana Hartanto.

Badannya yang ramping, payudaranya yang kecil namun indah, hidung mancungnya, mata kecilnya, bibir manisnya dan juga kulit putihnya yang cenderung pucat, kini terpampang dengan jelas di dalam kepalaku. Dan aku membayangkan sedang bersetubuh dengan dirinya. Image istriku jelas-jelas menghilang dari mataku.

Entah mengapa, aku malah jadi bersemangat. Aku menutup mata dan membayangkan Stephanie meliuk-liuk liar di atas badanku. Aku membayangkan desahannya, karena istriku hanya mendesah seperlunya saja.

Tidak ada Listya disana, yang ada hanya Stephanie. Aku rindu sekali dengan Bangkok. Aku rindu dengan kehangatan yang selama ini tidak aku dapatkan dari Listya. Hal yang sudah lama memudar ini terisi kembali ketika aku bersama dengan Stephanie di Bangkok kemarin.

Tanpa sadar, aku membiarkan alam bawah sadarku menguasaiku. Aku mendadak menggenggam paha itu. Aku memutar arah badan Listya dan dia tampak kaget.

“Bas?”

Aku mengambil alih kontrol dan dia berada di bawah badanku. Entah kenapa, rasa capek dan pegal yang kurasakan semenjak pulang dari kantor tadi hilang. Pikiranku lari ke masa lalu.

Listya berbaring telentang di atas kasur, dalam kondisi telanjang bulat. Aku menimpa tubuhnya dan menggerakkan kemaluanku dengan kecepatan yang tak terarah. Dalam kepalaku, yang ada di bawah tubuhku bukanlah Listya. Tapi Stephanie. Aku masih ingat kehangatan yang ia berikan waktu itu.

Kehangatan yang tidak ingin aku lupakan dan ingin aku ulangi lagi. Imajinasiku dan libidoku mengalir deras. Aku yakin Listya merasakan sesuatu yang berbeda karena dia memelukku dengan erat dan tidak bersuara sedikitpun.

Aku tidak peduli apa yang dia rasakan, aku hanya bergerak tanpa ritme, dan hanya mengikuti kenangan yang ada di dalam kepalaku.

“Nnnh!”

Ya.

Dia kaget. Dia kaget karena aku mendadak berhenti. Spermaku meledak di dalam tubuhnya. Aku tidak bergerak sama sekali. Aku terdiam, dan menutup mataku, membayangkan Stephanie, dan mengulang-ngulang hal-hal yang manis dari memoriku.

Entahlah. Perbuatan yang bodoh, namun tidak kusesali sama sekali.

--------------------
--------------------

00004710.jpg

“Gak bisa kayak gitu…. Mereka sadar gak kalo timelinenya udah mepet”

Aku berbicara dengan setengah kesal di tengah lalu lintas Jakarta pagi itu. sehabis mengantarkan Listya ke kantornya, aku meluncur ke arah kantorku.

“Kak Bas….. Dari sisi production juga sebenernya kesel, karena si sutradaranya dalam detik-detik terakhir cabut…”
“Ada pinaltinya gak sih kontraknya? Ini waste of time banget”
“Bentar kak”

Aku bisa mendengarkan suara Anthony dan Dea berbisik bisik tak jelas membicarakan hal yang mungkin saja mereka sudah tahu lebih dulu daripada aku, tapi tampaknya mereka ingin membahasakan kalimat mereka dengan cara hati-hati supaya aku tidak terpancing amarahnya.

“Gak ada pinalti”
“What?”
“Soalnya…. Emang produksinya belum jalan kan?”
“Emang mereka bisa dalam seminggu cari sutradara baru, ini harus presentasi ulang ke klien? Bisa gila kayak gini… Muka kita mau ditaro dimana?”

“Ya tim produksi gak bisa nahan, mereka janji dalam waktu 1 x 24 jam bakal cari sutradara baru”
“Dan kita dalam waktu berapa kali 24 jam harus bikin draft yang sesuai dengan visi si sutradara baru ini? Kalian tau lah sutradara, beda orang beda style, gak mungkin yang baru mau ngikutin style nya orang yang cabut ini!”

“Iya kak”
“Iya kak apa?”
“Iya… Kita…”
“Pertanyaan gue belom dijawab”
“Pertanyaan yang mana?”
“Kita bisa bikin draft baru berapa lama?”
“Ya mesti ngobrol sama sutradara barunya sih kak….”
“Berapa lama?” nada bicaraku semakin tinggi.

“Itu…”
“Guys” Aku menarik nafas. “Kita itu William and Green.. Bukan agency abal-abal kemarin sore… Klien kita semua perusahaan gede. Kalau kalian gak bisa jawab pertanyaan gue tadi, gue ga tau harus ngomong apa”

“Kita belum itu soalnya kak…”
“Jangan jawab sekarang kalo gak tau… Ngobrol dulu ama Stephanie, atau tanya anaknya, dan kalian kasih perkiraan waktu ke gue. Hari ini”

“….”
“Kok diem?”
“Kak Stephanie hari ini katanya gak masuk Kak”
“Kenapa?”
“Sakit”
“Kalian bisa wa dia kan? Atau kalian bisa nanya anaknya….” Kesalku.

“Iya kak”
“Kalau bisa pas gue sampe kantor, gue udah tau apa jawabannya”
“Iya kak”
“Bye, gue konsen nyetir lagi”
“Bye kak”

Telpon sudah terputus. Aku menarik nafas panjang. Lagi. Kenapa anak-anak jadi kayak gitu? Aku pikir mereka sudah lebih cepat mengambil keputusan untuk hal-hal kecil kayak gini. Harusnya mereka bisa lebih cepat putar otak. Oke sutradara ganti, oke kita mesti revisi, setidaknya harus sudah ada bayangan soal berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk proses itu semua.

Wait. Ada satu hal yang mendadak terlintas di kepalaku. Aku kembali menekan layar handphoneku dan menelpon satu nomer yang selama ini ingin kuhubungi.

Aku menunggu nada dering itu berhenti. Setiap nada yang terdengar terasa begitu lama. Aku menelan ludahku, sambil menunggu orang yang kutelpon mengangkatnya.

“Hai Bas” akhirnya.
“Steph, kamu sakit?”
“Yup”

Jawaban yang singkat dan jelas.

“Do you need something?”
“Gak Bas, aku Cuma butuh istirahat”
“Are you sure?”
“Yup”
“Kamu gak kena covid kan? Are you alright?”
“Aku udah pernah covid Bas, gak kayak gini rasanya, udah ya, aku mau istirahat lagi….”

“Kamu butuh apa? Kamu udah sarapan? Butuh dibeliin obat?”
“Bas… No need… I just need to rest”
“Steph..”
“Bas… Stop”
“Why? Aku Cuma mau nolong kamu…” jawabku dengan nada khawatir.

“No need. Gak usah.. Oke?”
“Tapi…”
“Gak usah Bas… Bye”

Ceklek. Sambungan terputus. Atau diputus paksa. Aku menelan ludahku, lagi-lagi. Entah kenapa, aku ingin memutar setirku ke arah apartemen Stephanie, bukan ke kantor. Pada saat ini, hatiku dan otakku sedang duel, perasaan dan pikiranku berkecamuk dan membuatku ingin melanggar janji yang kubuat pada Anthony dan Dea, untuk datang ke kantor agar mereka bisa menjawab pertanyaanku.

Fuck.

--------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd