Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT PERJUMPAAN (racebannon)

PERJUMPAAN – 26

--------------------
--------------------

wpp-of10.jpg

“Bas, we need to talk”
“Hah?”

Aku kaget, karena aku harusnya sendirian di dalam ruangan ini. Kemarin Stephanie tidak masuk ke kantor, dan dia menolak bantuanku. Tapi…

“Kamu gak perlu kayak gini, aku balikin”
“Steph…”

Di dalam ruangan focus / huddle room yang difungsikan agar kita bisa bekerja dengan fokus sendirian ini, Stephanie berdiri di belakangku. Dia membawa sebuah kantong besar yang berisikan parasetamol, koyo, kompresan dan heatpad.

“Aku gak kenapa-napa Bas, dan aku udah bilang kemarin… Aku Cuma butuh istirahat”
“Anggap aja itu temen bantuin temen” jawabku pelan.

Ya, karena kemarin Stephanie menolak apapun yang aku tawarkan, maka aku dengan diam-diam mengirim beberapa benda yang kupikir bisa membantu dirinya. Obat-obatan generik dan beberapa benda seperti koyo dan penghangat. Kenapa? Just because. Hanya karena.

“Aku udah bilang gak usah”
“Dan aku cuman ngirim gitu doang”
“Ini gak Cuma gitu doang Bas…”
“Tapi?”
“Itu….” Stephanie menghela nafas panjang. “Udah lah… Kalau kamu kayak gini aku jadi gak nyaman bareng ama kamu”

“Aku kan emang gak bareng sama kamu” jawabku dengan nada tajam, sambil menatap wajahnya yang kurindukan itu. Dia tampak menggemaskan dengan dandanannya yang sederhana dan rambut hitamnya yang menawan itu.

“Kamu ngerti lah Bas, jangan bikin ini tambah complicated”
“….”
“Oke?”

Tanpa menunggu aba-aba dari siapapun, dia meletakkan kantong yang berisi supplies itu di meja dan keluar dari ruangan kecil ini. Ruangan yang harusnya Cuma satu orang yang pakai.

Tak ada kata-kata apalagi setelah itu. Hening. Aku kembali berbuat bodoh dengan mengirimkan pesan singkat di whatsapp. Entah kenapa aku merasa seperti tidak harus mengerem apapun kepada Stephanie.

“Aku cuma khawatir kamu kenapa-napa. Maaf kalau kamu gak suka”

Sudah. Aku matikan kembali layar handphoneku dan kembali ke laptop, mengerjakan pekerjaanku kembali. Dan entah kenapa, ada perasaan sunyi di hati ini. Bukan sekali dua kali ini aku ditolak oleh perempuan, dan bukan sekali dua kali ini pengejaranku berakhir sia-sia.

Tapi entah kenapa, dengan Stephanie, semuanya seperti “harus”. Harus bisa bicara dengannya. Harus bisa menarik perhatiannya. Harus bisa mendapatkan dirinya….

Padahal selama waktu aku hidup sampai sekarang ini, tidak pernah aku begitu menggebu-gebu dan berambisi akan sesuatu.

Sekarang, rasanya seperti terbakar. Entah kenapa, penolakan kali ini membuatku begitu merasa sunyi. Tanpa diminta, aku langsung membuka handphoneku lagi. Aku melihat layarnya. Sepi. Aku membuka layarnya dan langsung menuju ke percakapanku dengan Stephanie. Hanya centang biru. Dia tidak membalasnya sama sekali.

Tidak sepatah kata pun.

Tidak satu huruf pun.

--------------------
--------------------
--------------------

cafe10.jpg

“Kenapa kamu ngelamun gitu?”
“Eh?”

Teguran dari Listya membuyarkan lamunanku. Di hari minggu ini, sehabis kami berdua berbelanja rutin, seperti biasa kami makan di sebuah restoran yang ada di pusat perbelanjaan. Rasanya sudah ratusan bahkan ribuan kali kami makan disini. Tidak ada perubahan dan tidak ada variasi.

“Gapapa” senyumku kecil, sambil menatap ke makananku yang setengah habis.
“Abisin gih makanan kamu, kelamaan kita disini” sambung Listya.
“Emang udah lama banget?” bingungku dengan kalimatnya.
“Enggak sih, tapi daripada kelamaan disini….”

Dengan otomatis, aku celingukan kesana kemari.

“Kenapa kamu kayak gitu?” bingung Listya.
“Kayaknya disini gak rame”
“Emang gak rame”
“Aku pikir tadi ada yang ngantri jadi kita harus buru-buru makannya”

“Enggak sih Bas, cuman aku pikir kamu agak kelamaan aja makannya, ngelamun mulu”
“Kita habis ini emang harus kemana lagi?” tanyaku dengan bingung.
“Enggak sih, kita langsung pulang, gak kemana-mana lagi”
“Jadi menurut aku sih mending kita nikmatin aja waktu disini” aku mencoba tersenyum lagi.

Kalau memang arus ini yang harus kuikuti, maka kita coba menikmati sungainya.

“Ya ampun Bas, ngapain disini, diem doang…”
“Gak diem doang sih… Kita kan bisa ngobrol”
“Di rumah juga bisa ngobrol”
“Kan disini suasananya beda”
“Mau dimana juga sama aja… Kan ngomongnya sama kamu ini…. Enakan di rumah, gak ada orang lalu lalang” jawab Listya atas kalimatku itu.

Sebenarnya sederhana. Aku cuma mau menikmati perasaan yang ada sekarang. Menikmati waktu dengan tenang, di hari libur, sedikit melepaskan kepalaku dari rutinitas. Dan mungkin, mencoba menikmati waktu bersama Listya bisa sedikit membuatku bergerak dari memori-memori di Bangkok yang mencoba menghantuiku.

“Sekali-kali lah… Atau abis ini mau nonton? Ke toko buku? Atau apa?” tanyaku, mencoba mengalihkan perhatiannya dari suasana hatinya yang tampak bosan.

“Nonton kan bisa di rumah Bas… Kan ada Netflix jaman sekarang….”
“Film baru kan banyak keluar juga… Masa gak pengen nonton di luar lagi kayak dulu?”
“Aku sih mendingan di rumah” tawa Listya dengan tatapan heran ke arahku.

“Gak bosen?”
“Ngapain bosen sih… Bosen kan perasaan kamu doang….. Kalau kamu dikit-dikit bosen gak stabil ntar hidup” lanjut Listya.
“Dari mana kamu denger hal-hal kayak gitu?” heranku.
“Yah…. Coba kalo misal aku bosenan orangnya, aku pasti udah pindah-pindah kantor, gak tahan sama suasana di kantor… Kadang jenuh emang, tapi ya aku paksain aja, orang jalan karir di kantorku udah jelas…. Jadi ya gimana, aku mentingin masa depan dibandingin perasaan sih ya…” jawab Listya panjang lebar.

“Kayaknya beda deh maksudku….” Kesalku.
“Sama aja Bas”
“Jangan samain kerjaan kita sama kehidupan sehari-hari kita”
“Lah, ya ga bisa lah, kita sebagian besar waktu dihabisin di kantor, ya kita adalah pekerjaan kita, ya kan?” sambung Listya.

Oke. Aku fix heran. Sekalinya deep talk dengan istriku, malah jawaban seperti itu yang aku dapatkan. Aku kaget sejadi-jadinya. Berapa lama kami tidak bicara sejauh dan sedalam ini? Kenapa aku melewatkan pembicaraan-pembicaraan ini dari dulu dan hanya mengikuti kemana arah angin membawa hubunganku dengan Listya.

“Kamu tuh apa sebenernya?” tanyaku.
“Aku ya istri kamu, karyawan PT Penanaman Modal…”
“Stop”
“Eh?”

“Aku tanya sekali lagi” aku menarik nafas panjang, dan membuka mulutku lagi. “Kamu itu apa sebenernya?”

“Ya jawabanku bakal sama kayak tadi” bingungnya.
“Coba kamu tanya itu ke aku”
“Gimana?”
“Tanya aku pertanyaan yang sama”
“Kamu itu apa Bas?” tanya Listya dengan nada terpaksa.

“Aku Baskara Firdaus, aku ciptaan Tuhan, maka aku berusaha ngikut sifat-sifat Tuhan, dan aku orang yang pengen menyadari semua potensi yang aku punya dan berkembang sejauh-jauhnya”

“Oh” Listya merespon jawaban panjangku hanya dengan jawaban super pendek.
“Oh?”

“Ternyata main psikologi – psikologian” balas istriku.
“Bukan gitu…”
“Terus apa?”
“Aku nanya… Bukan… Maksudku, pertanyaanku itu, artinya… Nanya ke kamu, seperti apa kamu ngangep dirimu sendiri dan apa yang kamu pengen”

“Bas, aku gak ada waktu untuk hal-hal kayak gitu”
“Hah?”
“Senin – Jumat udah habis waktuku buat kerjaan, sabtu minggu jangan dipake mikir juga dong….”

“Terus kapan kita ngobrol hal-hal yang penting kayak gini?”
“Ngobrol penting itu urusan kerjaan, Bas, atau rencana punya anak, atau plan nabung kita”
“Itu juga penting, tapi kamu gak pengen sekali-kali ngeliat dunia di sekeliling kamu emangnya?” tanyaku dengan kesal.

“Duniaku ya ini” Listya mengangkat bahu dengan nada kesal.
“Mungkin itu kenapa kita gak dikasih-kasih anak” balasku.
“Kenapa kamu ngomong kesana?”
“Karena mungkin hati kita gak siap buat ngajarin manusia baru itu apapun soal hidup”
“Ngomong kamu kejauhan” sambar Listya.

“Fuck” Tanpa sadar aku menekan meja dengan kepalan tanganku, dan sendok yang ada di piringku tersenggol dan jatuh.

“Trang!!”

Mendadak suasana hening. Aku bisa merasakan beberapa pasang mata melihat ke arah kami berdua.

“Udah lah Bas, gak usah aneh-aneh… Hidup gak usah ditanyain, kamu Cuma perlu ngejalanin” balas Listya sambil geleng-geleng kepala.

Dengan muka kesal, aku mengacungkan tanganku, dan mencari-cari waiter.

“Bill nya” aku berbisik kecil pada diriku sendiri sambil menatap mata seseorang pegawai restoran yang kemudian siap siaga bergegas mencari tagihan mejaku dan istriku.

Suasana tetap hening.

Tetap sunyi.

Tetap mati.

Sudahlah.

------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd