Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT PERSELINGKUHAN

BAGIAN 2
AWAL MULA

"Bagaimana rasanya menikah selama 14 tahun, Dok?" Tanyaku padanya saat kami rehat setelah kegiatan bakti sosial hari itu

"Kalau kata anak-anak sih kayak makan permen nano-nano," jawabnya yang kemudian disusul oleh tawa kami berdua

Hari itu, Kami melakukan kegiatan pemeriksaan mata di sebuah desa di lereng gunung. Dokter Mirza sebagai ketua tim relawan memang mengawal program ini langsung. Aku seringkali salut dengan dedikasinya pada kegiatan sosial seperti ini. Meski harus melalui medan yang tidak mudah, bahkan pernah beberapa kali sampai malam hari, Ia dengan penuh semangat tak pernah alpa. Aku yang jarang ikut serta turun lapangan dibuat heran namun bangga. Sebagai wanita dari kalangan berada, kenyamanan adalah kesehariannya. Tapi Ia memilih jalan lain. Mengabdikan diri untuk masyarakat, terutama mereka yang kurang mampu.

"Lihat ini belum selesai, kayaknya kita sampai malam ini, Dok, baru pulang," kataku sesaat setelah kami menyelesaikan ibadah sore itu

"Screening terakhir malam baru jam 10 malam aku sampai rumah, Mas," jawabnya

"Terima kasih ya, Dok, sudah sebegini dedikasinya," kataku memuji

"Teman-teman, Mas, yang luar biasa. Saya kan hanya mengawal," balasnya merendah

Senyumnya manis sekali. Kadang, aku sampai lupa kalau Ia istri orang. Dan berusia 10 tahun lebih tua dariku. Ia punya gingsul yang sepertinya dibiarkan. Kami memang makin akrab beberapa minggu ini. Apalagi kalau bukan karena aku ditugaskan kantor untuk menjadi bagian dari tim relawan kegiatan pemeriksaan mata dan operasi katarak untuk waga kurang mampu. Karena butuh koordinasi, mau tidak mau kami sering berkontak. Baik itu secara langsung mau pun melalui ponsel. Aku suka mendengarkan suaranya ketika kami bertelepon.

Entahlah. Sebagai pria beristri, harusnya aku tak melakukan ini. Aku juga telah memiliki anak berusia hampir 2 tahun. Sebagaimana rumah tangga pada umumnya, aku sedang dalam masa jenuh. Kami menikah hampir 3 tahun. Aku menikah muda, saat itu usiaku baru 24 tahun, istriku setahun lebih tua. Maka, melihat wanita seperti Dokter Mirza, dan kami mempunyai komunikasi yang bagus, hati siapa yang tidak tergoda. Bukan. Bukan untuk mencinta tentu saja. Smpai saat ini, aku masih sangat mencintai istriku. Tapi, ya, sedang bosan saja. Seperti manusia yang setiap hari makan nasi, terkadang ingin juga makan kentang, atau burger misalkan. Namanya uga manusia, tak ada puasnya.

Tapi melihat bagaimana kondisi Dokter Mirza, seringkali kubuang jauh-jauh pikiran kotor itu. Ia religius sekali. Setiap ada kegiatan bersama, Ia orang yang paling awal mengajak kami sholat tepat waktu. Pakaiannya juga tertutup, jilbab lebar dan baju longgar. Hanya pada kegiatan tertentu saja Ia menyesuaikan. Itu pun tetap masih sangat sopan. Aku terkadang kagu dengan bagaimana Ia bertingkah laku. Meski tentu, pikiran kotor itu seringkali mampir. Dasar otak mesum.

"Dok, kayaknya saya butuh beberapa dokumen untuk kelengkapan pencairan dana. Draftnya nanti tak kirim ya," kataku saat kami sedang beres-beres

"Siap. Harus diselesaikan kapan?" tanya Dia

"Lebih cepat selesai, lebih cepat cair," jawabku sambil bercanda

Kami tertawa. Aku suka sekali melihatnya tertawa. Ku perhatikan bagaimana suara dan gerak bibirnya saling mendukung.

"Mas. Mas Bayu," Dokter Mirza menyadarkanku dari lamunan

"Eh, sorry, Dok. Oleng," jawabku malu-malu

"Dih. Lagi mikirin istri di rumah? Habis ini pulang kok," katanya menggoda

"Lagi mikir cicilan, Dok. Hehehe. Tadi Dokter ngomong apa?" aku berusaha mengalihkan pembicaraan

"Besok tak usahakan selesai dokumennya. Sore aja tapi. Mau diantar atau diambil?" tanyanya

"Tak ambil saja. Biar Dokter nggak repot. Kan sudah capek ini sampai malam," kataku berusaha merayu

"Ya sudah besok saya kabari ya kalau sudah selesai," katanya

Kami menyelesaikan kegiatan malam itu. Aku makin akrab dengan Dokter Mirza. Kami makin sering bercanda. Tak ada kecanggungan seperti beberapa bulan lalu saat kami baru saja berkenalan. Ini yang bikin pikiran nakalku tak kunjung pergi.

Esoknya, aku dikabari oleh Dokter Mirza untuk mengambil dokumen di tempatnya pukul 15.30. Ia sedang ada di kantornya, di rumah sakit yang dipimpinnya, RS Amanah. Aku sudah dua kali mampir ke ruangannya. Tentu untuk kebutuha koordinasi program yang kami jalankan.

"Assalamualaikum. Permisi Bu Dokter," sapaku sambil mengetuk pintu

"Waalaikumsalam. Masuk, Mas," jawabnya sambil menunjukkan senyum yang sealu membuatku meleleh

"Lagi sibuk ini, Dok?" tanyaku basa-basi

"Nggak kok. Lagi ngoreksi dokumen yang mau diserahkan ke Mas Bayu. Monggoh diperiksa lagi, Mas" jawabnya dengan menyerahkan dokumen yang memang kuminta tadi malam

"Saya koreksi dulu ya, Dok," kataku

"Eh, mau minum apa?" tanyanya

"Seadanya saja, Dok. Air putih juga nggak apa," jawabku

Ia menyodorkan teh dalam kemasan di depanku. Aku masih mengoreksi dokumen yang Ia berikan. Lengkap dan tak ada yang salah.

"Alhamdulillah kalau lengkap semua," jawabnya lega

"Berarti agenda selanjutnya yang di Desa Sumberbaru ya, Dok?" tanyaku

"Iya, Mas. Sekalian pelatihan kadernya soalnya cuma desa itu yang belum dapat pelatihan," jawabnya

"Tetap hari Rabu, ya?" tanyaku lagi

"Iya. Mas Bayu bisa ikut lagi?" Ia mengkonfirmasi kehadiranku

"Insyaallah, Dok," jawabku singkat

Dokter Mirza memakai pakaian causal hari itu. Terlihat santai meski tetap tertutup seperti biasanya. Kami melanjutkan pembicaraan dengan topik ringan. Sesekali aku memandangi wajahnya yang masih saja membuatku senyum-senyum sendiri.

"Tapi hubungan sama istri di rumah masih baik-baik saja kan, Mas?" Tanya Dokter Mirza saat aku curhat perihal hubungan selepas punya anak

"Masih kok, Dok. Meski harus diakui tingkat kemesraannya berkurang karena sering lebih fokus ke anak," kuakhiri jawaban tersebut dengan tertawa, Ia mengikuti

Kami lalu melanjutkan perbincangan tentang kondisi rumah tangga masin-masing. Dokter Mirza menceritakan usahanya untuk memiliki anak yang butuh waktu 6 tahun. Kami memang cukup sering saling berbagi kisah-kisah pribadi akhir-akhir ini. Aku makin kagum dengan kepribadiannya. Bukan hal mudah untuk berjuang mendapatkan anak selama ini. Selain tekanan dari keluarga, tetangga dan kolega rasanya makin memperburuk suasana. Masyarakat kita memang begitu. Dan aku yakin, wanita selalu berada pada posisi yang disalahkan. Padahal kan ya seringkali laki-laki yang terlampau egois.

"Untungnya keluarga saya support aja, sih. Cuma teman dan tetangga ini yang kadang omongannya bikin sakit hati," jelasnya saat kutanyakan bagaimana Ia menghadapi waktu 6 tahun itu

Aku ta bertanya bagaimana caranya Ia berhasil. Terlalu pribadi kurasa. Aku sih menduga Ia menempuh cara-cara medis. Kalau memang tak menunda dan keduanya baik-baik saja, rasanya tak akan butuh waktu selama itu. Tapi kan itu hanya logika awamku saja.

"Jadi, baru 2 minggu langsung hamil?" tanya Dia dengan wajah terkejut

"Waktu nikahnya kayaknya pas Dok, jadi nggak butuh waktu lama," jawabku sambil tertawa

"Waktu nikahnya atau cara bikinnya?" Ia menggodaku, lalu kami tertawa bersama

"Caranya sih sama, pemerannya yang beda," kami tertawa lagi

"Kamu yakin cara setiap orang sama?" Dokter Mirza kembali menggoda

Kali ini otakku berhenti sepersekian detik memikirkan jawaban apa yang tepat. Bercandaan kami tak pernah sejauh ini. Kami sedang berada di ruang tertutup, tak ada orang selain kami berdua. Ingin kuanggap ini serius tapi takut Ia hanya bercanda seperti biasa. Tapi, kesempatan seperti ini tak yakin akan datang lagi. Otak mesumku terus memintaku untuk melakukan sesuatu yang lebih.

"Seinget saya caranya sama kayak film-film yang pernah saya tonton. Nggak tahu sih kalau Dokter punya cara lain," aku mengakhiri jawaban itu dengan tetawa

Ia tertawa. Mungkin ada yang mendengar tawa kami dari luar. Menyenangkan sekali obrolan kami hari ini. Ini obrolan paling intim yang pernah kami lakukan. Aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Semoga lebih baik. Entah bagi siapa.

"Jadi sering nonton film begituan?" tanya Ia menyelidik

"Kan buat referensi, Dok. Biar makin pinter katanya," kami tertawa lagi

Kami saling memandang. Manis sekali. Aku suka sekali senyumnya. Seperti yang kukatakan dari awal. Mata kami bertemu lama sekali. Waktu rasanya berhenti begitu saja. Kami bersebelahan. Dihalangi oleh meja ruang tamu yang rendah.

"Jujur saya belum pernah nonton, lho," katanya setelah tawa kami mereda

Aku sedang minum teh dingin yang Ia suguhkan. Rasanya minuman itu terhenti di tenggorokan. Obrolan ini kian dalam. Otakku mengirim sinyal bahwa ini adalah sebuah kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Jika mengingat pesan orang alim bahwa jangan pernah berduaan dengan lawan jenis karena yang ketiga adalah setan, itu benar sekali dala situasi ini. Bisikan jahat sudah dari tadi berlomba mempengaruhiku.

"Berarti otodidak ya, Dok? Menerapkan ilmu otonomi tubuh manusia?" pancingku yang diikuti tawa renyah kami sekali lagi

Ia terpingkal. Telapak tangannya mencoba menutupi mulut yang tak mampu Ia tahan untuk terbuka.

"Obrolan kita makin aneh-aneh ya," katanya berusaha mengakhiri topik mesum kali ini

"Selingan, Dok. Bosen juga tiap ketemu kalau yang diobrolin soal program terus," jawabku

Lalu kami diam. Tiba-tiba otakku buntu. Tak ada ide untuk melanjutkan obrolan ini. Dokter Mirza juga sama. Ia nampak menerawang. Mungkin memilih kalimat yang tepat untuk meneruskan obrolan kami. Pada satu kesempatan, mata kami bertemu lagi. Kami sama-sama tersenyum. Pandangan kami tidak lepas selama beberapa detik.

"Saya punya pikiran jelek, Mas. Saya takut kita melebihi batas," katanya tiba-tiba

"Sama, Dok. Kalau begitu saya pamit sekarang," aku tersenyum, Ia menunduk

Aku berdiri. Sambil membawa ponsel dan dokumen yang diberikan oleh Dokter Mirza. Aku pamit. Kulirik, Dokter Mirza tersenyum melihat aku beranjak. Kubalas senyumnya. Aku meninggalkan ruangan itu.
 
tempo lambat untuk hasil akhir yg fenomenal
yang penting bisa sampai tamat hihi
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd