Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT PERSELINGKUHAN

Selamat malam teman-teman semua. Sekali lagi, terima kasih atas waktu dan responnya pada cerita ini. Bisa jadi ceritanya tidak sesuai ekspektasi kalian semua. Karena memang tujuannya tidak untuk menyenangkan semua orang. Kebetulan ada cerita yang bisa saya tulis dan dibagikan. Maka, dinikmati saja ya. Sebagai tambahan bacaan saat diam di rumah atau masih harus bekerja.

Selamat membaca kelanjutannya, teman-teman.
 
BAGIAN 4
PERTAMA KALI

Kami sudah seminggu tak saling kontak setelah pertemuan hari itu. Besok, kami akan bertemu lagi. Aku hanya takut suasananya menjadi canggung. Alangkah tidak baiknya kami yang harusnya berkolabarasi untuk kesuksesan program ini malah membikin kacau. Aku punya dua pilihan: melanjutkan usaha untuk menggodanya dengan risiko hubungan ini kian buruk atau mundur teratus dan menyelamatkan semua. Setan masih mengajakku untuk tidak menyerah. Apalagi, sudah hampir tiga minggu aku tak dapat jatah dri istriku. Dia makin tak tertarik dengan seks semenjak melahirkan. Seingatku, kemampuanku di atas ranjang tak bisa dikatakan buruk. Paling tidak, Ia masih sering mendesah orgasme ketika kami berhubungan badan. Entahlah kalau itu hanya pura-pura.

"Besok saya langsung ke lokasi ya, Mas, soalnya ada perlu dulu. Langsung koordinasi sama Mas Yogi ya,"

Pesan dari Dokter Mirza malam itu terasa berbeda. Agak kaku dan terasa menjauh. Aku menghargai keputusannya. Kuikut saja kemana air mengalir sambil menyiapkan diri siapa tahu ada kejutan selanjutnya.

"Siap, Dok. Saya coba kontak Mas Yogi,"

Mas Yogi adalah leader di lapangan. Ia yang mengkomandani urusan logistik, perlengkapan, juga anggota lain.

"Terima kasih ya, Mas Bayu"

Balasnya masih kaku.

"Sama-sama, Dok"

Aku tiba di lokasi bersama rombongan dan tak melihat Doker Mirza di sana. Kata Mas Yogi, mungkin dia akan terlambat. Ada urusan dulu, katanya.

Ramai sekali hari itu. Peserta jauh lebih banyak dari biasanya. Aku sampai ikut turun untuk melakukan penertiban agar tak kacau. Sudah tak kuperhatikan lalu-lalang orang di balai desa. Hingga menjelang istirahat siang baru aku sadar bahwa Dokter Mirza sudah tiba. Ia terlihat sedang berbincang dengan kepala desa. Aku menyapanya dengan senyuman berusaha untuk mencairkan hubungan kami. Ia membalas dengan sedikit berbeda dari biasanya. Tapi sungguh, tetap manis sekali.

"Aku nanti pulang dulu ya, Mas, sekitar jam 2. Tapi ada yang perlu aku bicarakan sama Mas Bayu. Kalau bisa pulang duluan, nanti aku tunggu di sekolah ya,"

Tiba-tiba masuk pesan dari Dokter Mirza. Bikin penasaran juga. Kalau soal program, tentu bisa dibicarakan di sini. Kalau ini soal kejadian minggu lalu, aku harus menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Tapi, aku tak bisa membayangkan apa itu.

"Baik, Dok. Nanti kalau bisa saya mampir"

Balasku singkat. Sengaja. Namanya juga sedang memancing.

Ia tak membalas lagi, hanya mengirimiku lokasi sekolah yang dimaksud. Itu nampaknya lokasi sekolah play group yang Ia punya. Pikiran mesumku mulai muncul. Dengan asumsi 1 jam perjalanan dari sini ke sekolah tersebut, paling tidak baru akan sampai jam 2. Jam segitu, sekolah jelas sudah bubar. Tapi tak tahu juga ada ruangan apa saja di sana. Siapa tahu itu juga kantor yang diisi oleh para guru.

Aku sudah tak fokus. Pikiranku hanya tertuju pada Dokter Mirza. Ia sudah pergi dari setengah jam yang lalu. Aku akhirnya memutuskan untuk pamit kepada Mas Yogi dengan dalih ada urusan lain. Load pasien mulai menurun memang dan sudah bisa ditangani oleh teman-teman relawan lain. Aku cabut dengan pikiran tak karuan.

Karena diantar oleh supir kantor, aku meminta diturunkan di dekat lokasi yang dimaksud oleh Dokter Mirza. Sebelumnya sudah kuhubungi yang bersangkutan. Ia mengatakan baru sampai di lokasi. Ini sudah jam 4 sore. Aku masuk dan disambut oleh beberapa orang yang sepertinya staf administrasi sekolah itu. Mereka bersiap pulang. Aku dipersilakan untuk menunggu di ruang tamu. Dokter Mirza masih sholat, katanya. Satu per satu mereka pulang.

"Sorry, Mas, tadi sholat dulu," katanya

"Nggak apa, Dok. Santai saja," aku deg-degan sekali sampai tak tahu mau berkata apa

"Di ruangan saya saja, Mas," ajaknya

Aku mengikuti langkahnya. Ruangannya ada di pojok. Cukup besar dengan meja kerja, sofa untuk tamu, juga ornamen khas anak-anak yang lucu. Aku masih deg-degan. Sungguh.

"Silakan di minum, Mas," katanya menawarkan minuman yang sudah tersedia di meja, nampaknya memang disiapkan

"Terima kasih, Dok," balasku agak canggung

Dokter Mirza duduk di sampingku. Ia sudah tak memakai baju yang sama dengan tadi. Kini lebih santai, aku susah mendeskripsikannya. Seperti terusan longgar untuk muslimah begitu. Jilbab yang dipakai pun sederhana, tak seribet tadi.

"Aku mau membahas apa yang kita lakukan minggu lalu, Mas," katanya tanpa basa-basi

"Kita sudah melakukan apa minggu lalu, Dok? Bukannya cuma ngobrol?" jawabku

Ia menghela nafas. Dalam sekali.

"Obrolan itu yang akan kita bahas," jawabnyanya singkat

"Silakan, Dok," aku deg-degan

Ia kembali menghela nafas panjang.

"Saya dari keluarga terpandang, suami saya seorang dokter yang terkenal. Kegiatan saya juga banyak sekali mau itu bisnis mau pun sosial. Saya dikenal banyak orang. Tapi mungkin kamu tahu setelah banyak ngobrol kalau ada yang kurang di hidup saya. Nggak usah disebutkan itu apa. Jadi saya mau tanya, kalau saya selingkuh apa risikonya?" katanya panjang lebar dengan nafas tak teratur

Aku kaget. Ia begitu spontan, tanpa tedeng aling-aling. Aku tak memperkirakan secepat ini.

"Risikonya jelas ketahuan. Lalu keluarga dokter akan berantakan, mungkin. Lalu reputasi dokter akan hancur, sepertinya. Dan yang pasti karier mungkin juga mengikuti. Kalau tidak ketahuan, semua risiko itu tidak terjadi," jawabku ringkas

Ia diam. Matanya nanar. Nampak ada beberapa tetes air mata yang keluar. Aku memandangnya tajam. Mau tidak mau, ini adalah kesempatan. Kepalaku pusing memikirkan langkah selanjutnya.

"Bagaimana biar risiko itu tidak terjadi?" pertanyaannya sulit sekali

"Nggak tahu, Dok. Saya belum pernah soalnya. Pilihan menghindari risiko yang paling bagus adalah tidak dilakukan," kataku dengan yakin

Ia menatapku. Mata kami bertemu. Wajahnya tegang sekali. Air mata tadi sudah dihapus tapi matanya masih sedikit merah.

Aku memegang tangannya. Ini keberanian luar biasa. Yakin saja, kalau ternyata tak diterima, anggap saja kami tak pernah saling kenal. Ia tak menolak. Aku menggenggam erat tanpa mengalihkan pandangan.

"Kalau menurut saya, yang penting jangan ada perasaan menyesal. Kalau mau ya lakukan, kalau nggak ya diakhiri. Kata orang, yang penting yakin," kataku berusaha memberikan keyakinan

Ia memandangku lekat-lekat.

Kami berciuman. Ini momen terbaik yang benar-benar tak ada dalam bayanganku sebelumnya. Wanita penuh reputasi tinggi dan soleha ini telah berselingkuh. Dan aku yang mendapatkannya. Ciuman kami dalam sekali. Meski tak ada gerakan liar, tapi Ia mengecup bibirku dalam. Air matanya menetes lagi. Kugenggam tangannya erat.

Kami melepaskan diri. Aku menghapus air matanya. Ia masih diam. Aku tak berencana untuk membuka suara terlebih dahulu. Kubiarkan pergolakan batinnya Ia tangani sendiri. Tangannya tetap dalam genggamanku.

"Ini keberanian terbesar dalam hidup saya. Saya sudah mengkhianati banyak orang," katanya tiba-tiba

"Putuskan sekarang, Dok. Kita sudah sama-sama dewasa dan semua sudah kadung terjadi," kataku kembai berusaha meyakinan

Ia kembali mengambil nafas panjang.

"Saya nggak mau ada perasaan. Kalau nanti salah satu dari kita sudah nggak nyaman, semua harus diakhiri," katanya tegas

"Deal" aku menjabat tangannya

Ia tersenyum. Lalu kami berciuman lagi.

Kali ini, kami sama-sama rileks. Bibir kami beradu. Tangan kami saling meremas. Lidahnya tiba-tiba menjelalah. Aku cukup kaget dengan gerakan agresif ini sebelum akhirnya kubalas dengan seimbang.

"Sebentar. Aman kan, Dok?" tanyaku memastikan

"Itulah alasan saya minta kamu ke sini," Ia tersenyum

Kami melanjutkan perbuatan ini dengan perasaan tenang. Aku belum berani mengambil tindakan lebih, biar Ia saja yang mengambil inisiatif. Sejurus kemudian, tangan Dokter Mirza sudah berada di area selangkanganku. Ia membelai dan memeriksanya dari luar. Tak mau kalah, aku mendaratkan tanganku di payudaranya. Sialan. Ternyata yang terbungkus di balik pakaian islaminya setiap hari lumayan besar. Ia terhenyak. Sedikit kaget namun cepat menyesuaikan diri. Kami fokus pada kegiatan masing-masing hingga tanpa sadar Ia berhasil melucuti celanaku. Kini tangannya telah berada di dalam sana. Ia melepaskan ciuman kami dan memandangku penuh nafsu. Wajah seperti ini tak pernah kusaksikan sebelumnya. Hilang sudah aura kalem yang biasa Ia tunjukkan saban hari. Berganti wanita binal dengan nafsu tertahan selama bertahun-tahun. Bayangkan saja sendiri bagaimana bentuknya.

Aku jelas tak mau kalah. Meski cukup kesusahan mencari jalan masuk, akhirnya tanganku berhasil menyentuh gundukan kenyal itu. Benar-benar di luar ekspektasi. Bulat, kencang, dan cukup besar. Tak muat di genggaman. Tak ada baju yang melekat di tubuhnya, ia lepas bersama gerakan cepatku saat menemukan jalan masuk tadi. Bra berwarna hitam yang jelas kontras dengan putih kulitnya membuat bagian ini terasa seksi. Aku memandangi kedua gunung kembar yang masih terbungkus tersebut. Ia menutupinya malu-malu.

"Biar saya duluan, Dok," Ia mengangguk setuju

Kubaringkan tubuhnya di sofa dan aku memulai tugas berat hari ini. Kubiarkan jilbab itu melekat di kepalanya. Entah kenapa, aku merasa Ia makin seksi dengan begini. Sasaran pertamaku jelas dua daging kenyal itu. Tanpa melepaskan kaitan bra, aku mulai memainkannya. Putingnya cukup menonjol dengan areola coklat yang lumayan lebar. Kusasar keduanya bergantian. Ada bagian yang bergetar, entah di mana. Tangannya memegang kuat bagian belakang kepalaku. Nafsuku sudah sangat tinggi, aku harus berusaha keras untuk mengendalikannya.

Nafas Dokter Mirza kian memburu saat aku mulai memainkan bagian bawah. Ya, aku sudah berhasil melepaskan rok sekalian dengan celana dalam yang juga berwarna hitam itu. Aku sedikit tak menyangka dengan bentuk vaginanya. Tembem dan dipenuhi bulu yang cukup lebat, meski tertata rapi. Seringkali aku berhasil membuat istriku orgasme dengan keahlihanku memainkan vaginanya. Semoga saja ini juga berhasil pada Dokter Mirza.

Vagina ini basah sekali. Aku memainkan lidahku dengan hati-hati, mencari di mana letak klitorisnya. Karena bentuknya tadi, aku cukup kesulitan. Dan, ah. Aku berhasil. Ia mengerang saat kusentuh bagian itu.

"Ahhhh..."

Suara erangan yang cukup panjang. Ia mulai membekap kepalaku makin dalam. Parahnya, aku akan kesulitan bernafas dengan posisi seperti ini. Kalau ini kuhentikan atau mengubah posisi akan mengganggu kenikmatan yang Ia dapatkan. Maka pilihannya adalah segera selesaikan. Kupacu kecepatan lidahku dalam memainkan klitorisnya. Jilat ke atas, sapu ke bawah, lalu putar. Dan aku mulai memainkan jari-jariku untuk mengerjai vaginanya. Cara ini cukup efektif. Ia makin meronta, bukan mendesah lagi.

"Mas Bayuu, oh,"

Dokter Mirza mendapatkan orgasme pertama dalam perselingkuhan pertamanya.

Nafasnya ngos-ngosan. Wajahku basah oleh cairan vaginanya. Aku yang hampir kehabisan nafas cukup lega prosesi ini lekas berakhir. Dengan sukses tentunya. Dan, wajah binalnya sungguh ingin kuterkam saja.

"Akhirnya rasa penasaran saya hilang, Mas," katanya dengan nafas yang masih tak teratur

"Di bagian mana ini penasarannya Dok?" tanyaku

"Semuanya. Belum ada bibir yang pernah mampir di sana," jawabnya cekikikan

"Kalau tangan, sudah berarti ya?" godaku

Ia mencubit lenganku. Kami sedang duduk berdampingan. Ia menyenderkan tubuhnya padaku. Ia juga hanya mengenakan bra yang tak jelas bentuknya dan jilbab yang sudah berantakan. Tak pernah terbayangkan aku dapat menyaksikan Dokter Mirza dengan kondisi seperti ini.

Sedang enak-enak beristirahat, tangannya kembali mampir ke dalam celanaku. Ia mulai memainkan penisku meski agak sedikit kaku. Aku yakin Ia tak pengalaman dalam soal ini.

"Maaf kalau amatiran ya, Mas,"

Ia mulai turun. Kini tangan dan bibirnya bekerja sama menjalankan tugas. Tidak semahir istriku rasanya, tapi sensasinya yang bikin nafsu naik cepat sekali. Disepong oleh seorang dokter alim dengan reputasi menterang dan istri seorang terpandang jelas membuat nafsuku tak terkendali. Penisku sudah basah, berkali-kali keluar masuk mulut yang selama ini hanya bisa kupandang. Dokter Mirza mengerjai penisku dengan nafsu menggebu-gebu. Aku beberapa kali menahan ngilu karena tak mulus prosesnya.

"Kita nggak punya waktu banyak, Dok," kataku menghentikan aksinya

Ia naik. Tanpa komando, Ia memosisikan diri telentang di sofa.

"Kita coba posisi lain Dok,"

Aku meminta Ia menungging. Ia harus mendapatkan pengalaman berbeda pada kesempatan pertamanya berselingkuh. Aku yakin Ia jarang atau bahkan belum pernah mencoba posisi ini.

"AAAAHHH"

Ia mengerang saat penisku masuk ke vaginanya untuk pertama kali. Matanya mencari mataku. Kami berpandangan, lalu mulai kugerakkan dengan pelan. Posisi ini membuat penisku tertekan sempurna oleh vagina gemuk miliknya. Apalagi, pantat dokter Mirza sangat bulat.

"Mas, saya nggak nyangka seenak ini," katanya dengan nafas yang tak berirama

Aku terus meningkatkan kecepatan. Posisiku kini menelungkup, menempel ke tubuhnya. Kumainkan payudaranya meski agak kesusahan. Oh ya, jilbabnya masih belum lepas dan itu menambah nafsuku.

"Mas, lebih cepet. Aku mau sampai lagi OH," Ia ikut menggerakkan tubuhnya

Aku menaikkan kecepatan tusukan. Nafasku mulai memburu. Aku harus mengakhiri persetubuhan kali ini. Aku sangat bernafsu hingga kekuatanku tak sebaik biasanya. Selain itu, aku tetap ingin memberikan rasa penasaran padanya.

"Mas, Oh, Mas Bayu," Ia makin meronta

"Kita bareng, Dok," pintaku

"Keluarin, Mas, Oh, Saya mau sampai," Ia mencengkeram lenganku

Kami berpacu dengan nafas yang tak karuan lagi ritmenya. Sodokanku makin cepat, juga kuat. Ia ikut membantu dengan gerakan tak terkontrol. Kami berpacu dengen keringat yang mulai menetes.

"OOOHHHH AAAHHH"

Kami menyelesaikan persetubuhan pertama sebagai sepasang manusia yang berselingkuh. Ini perselingkuhan pertama kami.

Harus kuakui, sensasi menyetubuhi Dokter Mirza sangat berbeda dengan istriku. Selain bentuk tubuh yang berbeda, sensasi adrenalin sebagai pasangan selingkuh ini yang membuatnya makin menakjubkan. Aku menindih tubuhnya. Penisku sudah terlepas tapi nafas kami masih kembang kempis.

"Kalau kita ternyata nggak bisa mengulangi ini nantinya, saya mau bilang terima kasih, Mas," katanya membuka percakapan

Kami sudah pada posisi duduk. Ia masih dalam bentuk semula. Aku pun sama, tanpa celana tapi masih memakai baju.

"Untuk apa, Dok?" tanyaku sambil memeluknya erat

"Kesempatan merasakan orgasme dua kali dan sensasi berselingkuh," katanya tegas

"Tidak menyesal, kan?" tanyaku lagi

"Tidak. Saya tahu ini dosa, biarlah itu jadi tanggungan saya nanti," jawabnya lalu memelukku

Kami masih meneruskan percakapan dengan kondisi yang tak berubah. Kami menyadari ini salah. Tapi, nafsu telah menang. Dan kami memutuskan untuk mengulangi bila kesempatan benar-benar datang.

"Saya belum pernah setelah seks malah ngobrol panjang gini," katanya sambil mengenakan pakaian

"Seks bukan cuma intercourse dan foreplay kan, Dok?" tanyaku

"Ini kenapa aku yakin, Mas," jawabnya dengan senyum manis sekali

Kami berpisah hari itu. Langit sudah gelap saat Dokter Mirza menurunkanku di sebuah minimarket. Aku harus balik dengan kendaraan umum, demi memimalisir jejak. Senyumku mengembang sempurna. Selain berhasil membuat seorang wanita alim berselingkuh, ternyata sensasi yang kudapatkan juga melebihi ekspektasi. Dokter Mirza benar-benar menggairahkan.

*

"Berkasnya sudah siap. Jadi diambil di kantor kan, Mas?"

Aku tersenyum membaca pesan di ponselku. Kami tetap berkirim pesan dengan profesional. Tanpa perlu disampaikan, kami saling memahami maksud pesan itu. Kalau tiba-tiba dibaca pasangan tidak akan timbul fitnah, katanya. Suka atau tidak, aku mulai menikmati perselingkuhan ini.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd