Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT PERSELINGKUHAN

Kok malah terpejam mbak eva? Gara2 ditinggal ngelamun bayu ya? Hekekek

Thx hu
 
Nice n good story bro,
Smooth, but too long updating next chapter
 
Selamat pagi teman-teman. Masih betah ya? Hahaha

Terima kasih kalau masih betah menunggu. Saya ucapkan selamat datang juga bagi yang baru bergabung. Bacanya pelan-pelan, jangan terburu-buru.

Kita lanjut ke bagian selanjutnya saja ya agar cerita ini cepat rampung. Selamat membaca!
 
BAGIAN 14
PASRAH

Kulihat arloji menunjukkan pukul dua dini hari. Aku tertidur setelah tak berani menganggu Mbak Eva yang tak menjawab pertanyaan terakhirku semalam. Dengan malas, aku melangkahkan kaki ke kamar mandi. Mataku masih lengket karena belum seratus persen sadar.

"Eh, sorry, Mbak," kataku kaget

Aku menutup kembali pintu kamar mandi setelah sekilas melihat Mbak Eva sedang berada di sana. Kenapa pintunya tak dikunci sih. Tidak ada yang aneh dengan kondisi Mbak Eva di dalam. Ia masih mengenakan baju semalam, tanpa berkurang satu pun. Jilbab juga masih menempel di sana meski agak acak-acakan. Aku sudah sangat ingin buang air kecil. Setelah Mbak Eva keluar, buru-buru kutuntaskan hasrat yang tertunda ini.

Keluar dari kamar mandi, aku melihat Mba Eva berdiri di dekat jendela. Ia menatap langit dan lampu-lampu, tak peduli aku sudah berada di dekatnya.

"Maaf ya Mbak kalau pertanyaan saya semalam menyinggung," kataku sambil duduk di sofa

"Nggak kok, Mas. Saya memang ketiduran semalam, maaf ya," jawabnya meski agak kaget

"Jujur saya memang mancing Mbak Eva tadi malam. Tapi ternyata tidak berhasil," kataku lalu tertawa

Ia tidak menjawab, hanya tersenyum. Pandangannya masih ke luar jendela.

"Siapa sih Mbak yang nggak punya pikiran mesum kalau sekamar sama wanita kayak Mbak Eva," kataku

Aku memang mencoba menggodanya lagi. Kali ini dengan cara yang lain. Ide ini kudapatkan saat melepaskan air kencing barusan. Tapi Mbak Eva masih diam, hanya tersenyum.

"Mbak Eva sadar nggak kalau sangat menarik buat laki-laki?" tanyaku tidak menyerah

"Maksudnya, Mas?" akhirnya dia buka suara

"Mbak pernah perhatiin nggak kalau Mas Abror dan Pak Yunus sering curi-curi pandang ke Mbak Eva?" tanyaku berusaha mengungkapkan apa yang kudapat selama ini

Dua nama yang ku sebutkan adalah kader dari program ini yang memang beberapa kali kutangkap memperhatikan tubuh Mbak Eva. Bahkan sempat sekali atau dua kali aku menggoda mereka berdua.

"Kalau sekadar lihat dan godain kayak biasanya ya sering, Mas. Tapi menurut saya itu biasa saja," jawabnya coba mengelak

"Fisik Mbak Eva paling menarik diantara yang lain. Laki-laki mana pun sadar itu," kataku mencoba terus memuji

"Itu perkataan Mas Bayu atau Mas Abror dan Pak Yunus?" tanyanya menyelidik

"Jelas perkataan saya, tapi Mas Abror dan Pak Yunus bilang hal yang hampir sama waktu saya goda ketika curi-curi pandang ke Mbak Eva," jawabku berkilah

"Mas Bayu berlebihan. Dina sama Ayuk lebih menarik dari saya, Mas," Ia mulai terbawa suasana

"Itu kan pendapat Mbak Eva. Kalau saya punya pendapat berbeda nggak apa kan?" tanyaku menggoda

Ia hanya tersenyum, melirik sebentar, lalu membuang pandangan lagi.

"Sebelum kejadian di hotel kemarin, jujur saya kurang memperhatikan Mbak Eva. Tapi ternyata Mas Abror dan Pak Yunus benar. Mbak Eva seksi sekali," kataku mulai frontal

"Seksi dari mananya, Mas? Wong sudah ibu-ibu begini," katanya sedikit malu-malu

"Justru karena itu, wong ibu-ibu anaknya dua kok badannya bisa begini. Maaf ya, Mbak, meskipun Mbak Eva pakai baju seperti apa pun nggak akan bisa menutupi kelebihan itu," kataku makin tak terkendali

"Hah? Kelebihan apa, Mas?" Ia mulai memposisikan diri menghadapku

"Maaf ya, Mbak, itu susu sama bokong Mbak Eva. Kayak bukan ibu-ibu anak 2," sudah kepalang tanggung, digas sekalian pikirku

Mbak Eva membetulkan bajunya. Aku menunduk, berusaha menunjukkan rasa bersalah. Sengaja aku gunakan kata yang agak kasar untuk memancingnya. Siapa tahu berhasil. Tapi Ia justru kembali menghadap ke luar jendela.

"Saya jadi iri sama suami Mbak," kataku belum menyerah

"Mas Bayu kan sudah punya istri dan Dokter Mirza," aku cukup kaget dengan jawabannya

"Kalau ternyata Mbak Eva mau sama saya, mana bisa saya menolak," kataku sambil tertawa genit

"Mas Bayu dari tadi mencoba menggoda saya?" Ia menyerangku langsung ke jantung pertahanan

"Iya, Mbak. Saya bukan orang yang memaksa. Kalau ternyata saya tidak berhasil membuat Mbak Eva mau, saya tidak akan mengganggu lagi," kataku dengan sangat tenang

"Ke Dokter Mirza juga begini?" Ia bertanya lagi

"Iya. Kalau saya memaksa, hasilnya tidak akan mungkin seperti yang Mbak Eva lihat kemarin," jawabku lagi

Ia menarik nafas panjang. Aku masih belum bisa yakin bahwa ini pertanda kemenangan. Bisa saja Ia tiba-tiba menolak mentah-mentah. Mimiknya berubah-ubah, sulit ditebak.

Mbak Eva beranjak dari tempatnya berdiri sedari tadi. Ia berjalan melewatiku menuju ranjang, lalu merebahkan diri. Ah, nampaknya aku gagal kali ini. Aku merasa Ia begitu tenang.

"Buktikan kalau bukan cuma Dokter Mirza yang bisa teriak-teriak sama kemampuan Mas Bayu,"

Hah? Apa aku tidak salah dengar? Aku mematung sejenak, tak percaya apa yang kudengar baru saja. Apa ini artinya Ia mempersilakan aku menikmati tubuhnya. Atau bagaimana. Otakku tiba-tiba berhenti memproses informasi. Aku masih termenung. Memandang Mbak Eva yang sudah berbaring dengan tonjolan payudara yang menantang.

"Mas Bayu nggak jadi tertarik sama saya?" tanya Mbak Eva menyadarkanku

"Saya masih nggak percaya Mbak," jawabku sambil tersenyum

"Ini pertama kalinya saya dengan laki-laki selain suami, Mas," katanya sedikit gugup

"Ikuti insting Mbak Eva saja," kataku menenangkan

Ini canggung sekali. Tapi birahiku mulai naik. Kesempatan ini tak mungkin aku lewatkan begitu saja. Belum tentu besok masih akan sama.

"Kalau Mbak Eva nggak nyaman, bilang ya,"

Aku sudah berbaring di sebelahnya. Pakaiannya masih lengkap, sengaja kubiarkan. Kami masih saling pandang lalu pelan-pelan wajah kami mendekat. Cup. Bibir itu akhirnya bertemu. Mbak Eva masih tegang tapi nafasnya panas sekali. Birahinya sudah diujung sepertinya.

Kami berciuman dengan pelan. Ia masih kaku menerima bibir baru ini. Aku mulai emainkan lidahku berusaha membawa suasana menjadi lebih nyaman. Setelah beberapa kali usaha akhirnya Ia merespon. Memang amatir. Gerakannya kaku, penuh kehati-hatian. Perlahan, aku mencoba meraba tubuhnya. Astaga, payudara itu memang besar. Tanganku tak muat menggenggamnya. Ia melenguh. Satu per satu kancing bajunya kulepaskan. Ia memakai kemeja panjang hingga lutut dan celana kain. Bebas. Payudaranya kini terpampang di depanku. Aku melepaskan bibirku dari tautan bibirnya. Pemandangan ini harus kunikmati sebentar. Benar-benar indah. Tubuh ramping dan putih itu sangat cocok dengan payudara besar yang menepel di sana. Ia memakai bra yang terlihat kekecilan dengan renda di sekeliling. Seleranya lumayan.

"Malu mas, jangan dilihati gitu," katanya dengantangan berusaha menutupi payudaranya

Itu tak akan berhasil. Tangan mungil itu jelas bukan tandingan payudaranya. Aku hanya membalas dengan senyuman lalu menyingkirkan tangannya perlahan. Kembali kucumbui bibirnya. Ia lebih rilek sekarang dan mengikuti permainanku. Kedua tanganku sudah melaksanakan tugasnya. Mereka bergerilya melepas bra dan mulai bekerja. Untuk ukuran ibu dua anak, payudara ini masih kencang. Putingnya besar kecoklatan, kontras sekali dengan warna kulitnya.

"Uh, Massss"

Mbak Eva melenguh ketika aku mulai memainkan putingnya. Aku gemas sekali dengan gunung kembar ini. Bibirku mendarat di sana dan mulai menjilati setiap inchi bagiannya.

"Uh. Ehh. Massss. Uh,"

Ia lebih berisik dari pada Dokter Mirza. Baru begini saja sudah meracau. Masih dengan bibir mengerjai payudara, tanganku berusaha melepaskan celananya. Beberapa kali payudaranya kusedot seperti bayi yang sedang menyusu. Ia terus menjambak rambutku. Dengan bantuannya, aku berhasil meloloskan celana panjang itu. Seperti dugaanku, vaginanya tembam dan penuh bulu. Beberapa bahkan keluar melewati celana dalam berwarna hitam itu.

Bibirku mulai beranjak. Pelan-pelan, sedikit demi sedikit kujilati perutnya. Ia menggeliat. Tangannya masih di rambutku. Pusarnya menjadi sasaranku kemudian. Ia kembali kegelian. Sementara jariku berusaha menerobos masuk lewat celah celana dalam.

"Ohhh, Masss,"

Lenguhannya seksi sekali. Tangaku mulai mencari di mana tonjolan kecil yang bisa membuatnya semakin mengaduh. Bibir ikut turun. Dengan sedikit usaha, celana dalam ditu lepas. Bebas. Bulunya memang lebat dan terkesan tidak teratur. Dengan bentuk begini, aku harus berusaha lebih keras.

"Mass. Mas Bayu mau ngapain ohhh,"

Pinggulnya terangkat saat bibirku mulai mengerjai klitorisnya. Cukup susah menemukannya. Dan kini lidahku ikut membantu. Kelentitnya cukup besar dan tersembunyi. Kujilati dan kusedt bergantian. Lalu tanganku mulai menusuk lubang vaginanya. Kombinasi ini biasanya mampu membuat pasangan seksku orgasme. Durasinya saja yang berbeda-beda.

"Ouh Masss. Enaak ohhh terusss,"

Wanita ini berisik sekali. Tapi karena suaranya seksi aku jadi makin termotivasi. Kuteruskan aksiku tanpa mempedulikan Mbak Eva makin sering menggeliat, mengangkat pinggul, atau menenggelamkan wajahku. Aku sampai kesulitan bernafas. Karena tubuhnya kecil maka gerakannya mudah kuhentikan. Vagina itu makin basah. Kocokan tanganku makin kencang. Hisapan dan permainan lidahku juga makin cepat. Ia makin tak beraturan gerakannya.

"Mas. Mass. Masss. Ahhh. Ohhh. Ohhh,"

Sialan. Orgasmenya belum datang juga sementara tanganku mulai pegal. Tapi kesan pertama harus selalu istimewa. Aku makin gila. Kini ada dua jari yang keluar masuk vagina Mbak Eva. Ia makin kacau. Kecepatannya kutambah. Aku sedikit kesulitan bernafas.

"ADUUUH OOOOH. APA INIII. OOOOH. MAASSSSS"

Ia muncrat. Ya, muncrat. Cairan vagina bercampur cairan kencing itu membasahi seluruh wajahku. Aku mundur. Nafasku ngos-ngosan. Wajahku basah kuyup, juga pakaianku.

Aku memandang tubuh Mbak Eva dengan nafas kembang-kempis. Ia menengadah mengatur nafasnya sedemikian rupa. Sengaja kutunggu reaksinya.

"Saya malu, Mas," katanya dengan terbata-bata

"Kenapa, Mbak?" tanyaku

"Saya kalau lagi begituan nggak pernah bisa diam. Padahal kan ini sama suami orang," jawabnya lalu menutupi muka

Kontan saja aku tertawa, meski kutahan agar tak terbahak. Kupikir malu karena apa. Kalau sudah begini, Ia benar-benar menikmati pengalaman barunya. Tak ada mimik menyesal ku lihat.

Aku mendekati tubuh telanjang itu. Ia menatapku dalam, lalu kami berciuman lagi. Kali ini makin pintar saja Ia membalas pagutanku. Tanganku tentu saja sudah menjelajah payudaranya. Sayang sekali kalau benda indah itu dibiarkan. Mbak Eva berinisiatif membuka kaosku, kemudian celana kolor yang kukenakan. Ia berusaha mengimbangi, meski terkesan kaku.

"Biar saya yang memuaskan Mbak Eva malam ini, jangan terlalu dipaksa kalau nggak nyaman," kataku berbisik

Itu kulakukan saat Ia mulai memainkan penisku, dan terasa sekali canggungnya. Aku berusaha mengajaknya untuk jujur dalam bercinta karena itu kunci kepuasan bagiku. Percuma kalau memaksa, yang ada malah trauma. Mbak Eva mengerti, lalu mengalihkan tangannya memelukku. Aku sendiri melanjutkan merangsang birahinya naik lagi dengan menjilati payudaranya. Percayalah, aku tak akan bosan dengan benda ini.

"Uhh, Masss. Saya sudah nggak tahan," katanya dengan menjambak rambutku

Aku mengikuti keinginannya. Kuminta Ia berbalik, mimiknya menunjukkan protes tapi aku merayunya.

"Mbak Eva kan sudah biasa gaya kayak biasanya, nggak mau coba variasi lain?" Tanyaku menggoda

Ia mencium bibirku lalu menungging. Pelan-pelan, kegesekkan penisku ke lubang yang sangat basah itu. Bentuknya memang mengairahkan.

"Aduuuh enak, Masss,"

Bless. Penis itu masuk perlahan. Mbak Eva meringis seperti menahan sesuatu. Gesekan vaginanya harus kuakui lebih menggigit ketimbang Dokter Mirza. Mungkin karena posturnya lebih ramping.

"Masss penuuh ooooh," Ia mulai meracau

Aku suka suaranya, maka kubiarkan Ia mengoceh sesuka hati. Setelah nyaman, penisku mulai beraksi. Maju mundur perlahan sambil bokongnya kuremas.

"Masss Ohhh. Ternyata posisi ini enak. Ohhh,"

"Aduh. Aduh. Terus, Mass,"

"Ehh. Enak. Ohh. Enak,"

"Masss. Lebih cepet lagi. Aduuuh,"

"Rasanya, ohh. Gatel, Mas. Oohhh teruss,"

"Pantas Dokter Mirza teriak-teriah. Uh. Uh. Uh,"

"Mass Bayuu. Ooh. Kok enak, Mass,"

"Tambah lagi, Mas. Ohh. Ohh. Saya mau lagi, duh,"

Mendengar racauannya yang tanpa jeda membuat birahiku makin tinggi. Aku hanya takut ejakulasi lebih dulu. Padahal pengalaman tadi menunjukkan Mbak Eva bukan wanita yang mudah orgasme. Bahaya ini.

"Masss. Kamu belajar di mana. Ohh,"

"Kalau saya ketagihan gimana ini. Uh. Uh. Terus, Masss,"

Racauannya benar-benar membuat terpacu. Tak tahan, badanku menelungkup dan mempermainkan payudaranya. Wajahnya menengok dan kusambar segera. Mbak Eva meremas sprei kuat-kuat.

Aku mulai ngos-ngosan tapi orgasmenya belum datang juga. Entah sudah berapa lama kami berpacu birahi. Kuputuskan ganti gaya. Kuminta dia di atas. Ia menurut. Ah. Ini pemandangan luar biasa. Wajahnya erotis sekali kalau sedang birahi begini.

"Aduuh penuhnyaaa,"

Ia kini bergerak. Aku pun. Kami berpacu lagi. Jelas tak kusia-siakan kesempatan mengerjai gunung kembar favoritku.

"Saya belum pernah diginikan Mas. Ooohh,"

Payudara ini melonjak kesana kemari jika dilepaskan. Kuminta Ia rebah. Mulutku melahap habis gunungnya sembari penis tetap bergerak menghujam liang surganya. Mbak Eva mulai berteriak. Antara desahan dan jeritan sudah tak ada beda.

"Mas. Mas. Mas. Kayaknya saya mau. Oooohhh,"

Yes. Akhirnya aku akan berhasil membuatnya orgasme. Aku juga sudah di ujung masalahnya. Aku tak bisa bertahan lebih lama lagi. Ini terlalu nikmat. Jepitannya menakjubkan. Vaginya seperti menyedot penisku habis. Belum lagi aku dibutakan payudara bulat ini. Aduh. Kombinasi sempurna.

"Mass. Mau muncrat lagi. Aduuuh. Terus, Mas,"

"Mbak saya juga mau muncrat. Kita bareng yaa,"

"Iya. Aduh. Iya. Semprot saya, Mas. Saya mau, ih. Oh. Oh,"

"Mbak, ayo. Ayo. Uhhh,"

"MASSSSS OOOOH"

"MBAK EVAAA OOOHHH"

Ia menjambak rambutku kencang sekali. Aku memegang bokongnya. Menghujamkan penisku sedalam-dalamnya. Kami mencapainya bersamaan. Selangkanganku basah. Mbak Eva benar-benar muncrat. Cairan kelamin kami bertemu di dalam sana. Jangan ditanya lagi, ini nikmat sekali. Rasanya beda dengan Dokter Mirza. Aku kini percaya, tiap vagina punya kenikmatan masing-masing. Sulit sekali digambarkan. Hanya dengus nafas kami yang menjelaskan.
 
Bimabet
Mantab bay, maen tebas aja mba eva nya.. 😍 bakalan jadi ga tuh.? 😋🤔
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd