Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT PERSELINGKUHAN

Padahal ceritanya sederhana...
Tapi penggarapan dan penuturan serta alurnya
Bikin ciamik...
 
Selamat pagi teman-teman.

Saya membaca komentar teman-teman semua dan melihat banyak sekali pujian yang berlebihan. Jadi bikin besar kepala hahaha
Sekali lagi terima kasih ya atas antusiasnya. Jangan lupa baca cerita lain juga agar forum ini selalu ramai pengunjung.

Kita lanjut ke bagian berikutnya ya. Semoga Bayu, Dokter Mirza dan Eva baik-baik saja. Selamat membaca!
 
BAGIAN 17
KEPUTUSAN

Hubungan kami makin gila. Keberanian sudah meningkat sekian ratus persen. Frekuensi persetubuhan juga kian sering. Setelah berhasil menjebak Mbak Eva untuk sebuah pertemuan yang selama ini gagal aku lakukan, kami bersetubuh kilat. Mungkin tak ada setengah jam. Aku selalu menyukai sensasi persetubuhan kilat dengan Dokter Mirza. Birahi yang bercampur dengan kekhawatiran membuat orgasmeku lebih hebat.

"Setelah ini bagaimana, Dok?" tanyaku sambil merapikan pakaian

"Kita tunggu keputusan Eva. Seharusnya tidak ada yang berubah kan?" tanya Dokter Mirza

"Bagaimana memperlakukan Mbak Eva di hubungan kita?" aku balik bertanya

"Seperti kamu memperlakukan saya. Bermain rapi, tunggu kesempatan yang bagus, dan bersikap normal," jawabnya santai

"Dokter sudah mengatur pikiran dan perasaan untuk itu?" tanyaku lagi

"Sudah. Kalau saya minta prioritas pertama bagaimana?" kini Ia yang bertanya

"Tentu. Siapa yang bisa menolak ini?" aku menjawab lalu memegang payudara dan bokongnya

Kami tertawa, lalu berciuman.

"Saya penasaran, gimana rasanya?" tanya Dokter Mirza

"Seperti persetubuhan pertama kita. Perlu banyak belajar," aku mencubit hidungnya

Kami tertawa lagi. Dokter Mirza menerawang. Mungkin mengingat persetubuhan pertama itu. Buru-buru, deg-degan, dan amatiran.

"Buktikan lagi kalau begitu," Ia malah ke kamar mandi

"Pernah kepikiran main bertiga, Dok?" tanyaku iseng

"Kayaknya seru. Tapi buat dia lebih pintar dulu, biar seimbang. Saya mau bikin kamu minta ampun," katanya sambil mencubit perutku

"Kita buktikan saja nanti," kataku memungkasi pertemuan hari itu

Kami belum membahas bagaimana jika Mbak Eva menolak ajakan tadi. Entahlah. Mungkin kehidupan berjalan seperti kemarin. Kami masih akan tetap mencuri waktu dan kesempatan untuk bercinta. Mungkin kami akan eksplorasi hal-hal lain yang bisa membuat persetubuhan kami tidak monoton. Kami juga akan terus mencari cara agar hubungan ini tetap aman terkendali. Nanti saja dipikirkan lagi.

Tiga hari setelahnya, di akhir pekan, Dokter Mirza menghubungiku. Ia bilang Mbak Eva ingin bertemu. Aku yang sedang bersama istri dan anak mau tidak mau harus mencari cara memenuhi ajakan itu. Setelah negosiasi dengan istri dan juga Dokter Mirza, aku berhasil memaksa mereka menyepakati usulku. Sabtu sore pukul 16.00. Aku mengantar istri dan anak pulang, lalu bergegas menuju lokasi yang ditentukan Dokter Mirza.

"Pintu ruko tidak dikunci. Kamu parkir agak jauh dari ruko ya. Lokasinya di sebelah toko alat pancing. Pintunya agak susah sedikit. Langsung ke lantai 2"

Sebuah pesan dari Dokter Mirza yang hanya bertahan 15 menit. Itu perjanjian kami. Jika bukan pesan formal, itu batas waktunya.

Aku tiba pukul 15.50. Mobil kuparkir sekitar 100 meter dari lokasi. Dengan sedikit usaha, pintu ruko berhasil terbuka. Hanya ada etalase, banner obat, dan kursi berserakan. Sepertinya bekas apotek. Aku segera menuju lantai dua seperti instruksi Dokter Mirza.

"Saya baru ingat kemarin kalau ada ruko nggak terpakai ini, Mas," Ia menyambutku, lalu kami saling memeluk

"Bekas apotek, Dok?" tanyaku

"Iya. Dulu dipakai suami waktu masih praktek di sini. Sudah tiga tahun nganggur," jawabnya

"Ada hantunya nggak, Dok?" tanyaku menggoda

"Kamu hantunya," jawabnya sambil menjewer telingaku

"Bisa nih ya buat lokasi tetap?" aku kembali menggodanya

"Sepertinya begitu. Tapi tetap harus hati-hati," jawabnya

Melihat ruangan di lantai dua ini memang lebih terawat. Ada beberapa sofa dan karpet yang cukup tebal. Meski dalam kondisi bagus, terlihat dipenuhi debu di beberapa bagian. Ada plastik yang digunakan untuk membungkusnya.

"Kita perlu permak sedikit, Dok," kataku sambil berkeliling

"Saya serahkan ke kamu dan Eva, ya?" katanya menawarkan

"Sebentar. Mbak Eva sudah menerima tawaran kita?" tanyaku penasaran

"Kita lihat sebentar lagi," jawabnya

Kami lalu merapikan beberapa bagian agar lebih nyaman untuk sementara. Siapa tahu akan terjadi hal-hal yang diinginkan setelah ini.

"Eva ada di bawah kayaknya," kata Dokter Mirza

Ia bergegas turun. Aku hanya menunggu sambil rebahan di sofa.

"Eh, Mbak Eva," kami bersalaman

Mbak Eva kemudian duduk di depanku. Dokter Mirza menawari kami minum lalu duduk di sebelahku.

"Saya malu, Dok," kata Mbak Eva sambil menunduk, "seolah-olah saya ini wanita yang gila sama begituan. Sampai-sampai saya berani ke sini buat ketemu Dokter sama Mas Bayu," lanjutnya

"Kenapa harus malu, Mbak? Kalau mau jujur, sekarang saya malah ketagihan sama seks. Itu bukan hal memalukan, Mbak," Dokter Mirza berusaha menenangkan

"Tiga hari ini saya jadi susah tidur, Dok, saya bingung harus bagaimana," kata Mbak Eva lagi

Dokter Mirza tiba-tiba berdiri. Ia menjauh dari kami, mengambil kursi lalu mendudukinya.

"Cuma ada satu cara untuk membuktikan. Mas Bayu dan Mbak Eva, silakan bersetubuh sekarang. Kalau menikmati berarti Mbak Eva memang menginginkan," kata Dokter Mirza santai

Spontan saja kami kaget. Aku selalu geleng-geleng kepala menyaksikan langkah yang diambil Dokter Mirza. Tak bisa ditebak. Bagaimana bisa wanita alim begini, setelah 4 bulan selingkuh denganku malah meminta aku bercinta dengan orang lain, di depannya. Sudah gila memang.

"Saya cuma akan lihat. Saya juga nggak akan cemburu. Wong tujuan kita memang cuma seks, kan?" Ia tersenyum tenang

Aku yang kini bingung harus bagaimana. Jangan tanya bagaimana raut muka Mbak Eva. Ia hanya menunduk dan sesekali memandangku atau Dokter Mirza. Sebenarnya nafsuku naik juga ditantang begitu. Lagi-lagi sensasi baru akan kudapatkan. Bagi kami bertiga juga pasti. Setelah kejadian video call dengan Mbak Eva saat bercinta dengan Dokter Mirza, kini aku bisa mengulanginya namun secara langsung. Dan pemerannya terbalik. Oh, penisku mulai berdiri perlahan.

"Apa saya perlu pergi?" tanya Dokter Mirza lirih

Aku memilih bergerak. Ku dekati Mbak Eva, lalu mencoba membuat wajahnya mendongak. Ku pegang kedua tangannya sambil menatap matanya dalam-dalam.

"Lepaskan saja, Mbak. Saya ingin lihat Mbak Eva seperti malam itu," kataku sambil membelai jari-jarinya

Mbak Eva masih diam. Ia hanya menatapku tanpa merespon belaian. Aku jadi deg-degan.

"Anggap saja saat ini kita cuma berdua," aku berbisik di telinganya

Mbak Eva bergidik. Mudah-mudahan nafsunya mulai bangkit. Hari ini Ia memakain kemeja dan celana kain longgar. Jilbabnya model terusan agak lebar yang menutupi hingga di atas perut. Jari-jariku mulai menggerayangi lengannya, lalu memeluk.

"Kalau Mbak Eva nggak nyaman, kita sudahi sekarang. Saya nggak mau memaksa," bisikku sambil mengusap punggungnya

Ia masih diam. Aku memilih menunggu beberapa saat. Aku harus mendapatkan persetujuan sebelum melangkah lebih jauh.

"Lakukan, Mas. Saya sudah memendam ini sebulan lebih," katanya lalu memeluk erat

Mendapat lampu hijau, berarti waktunya beraksi. Aku sudah rindu dengan payudara besar nan bulat milik Mbak Eva. Hanya berpelukan begini saja rasanya sudah bikin birahi.

Kami memulai dengan perlahan. Aku masih membelai pungungnya saat Mbak Eva tiba-tiba mengambil inisiatif untuk menciumku. Sempat terkejut, aku cepat menguasai keadaan dan meladeni serangan Mbak Eva. Kenapa Ia jadi agresif begini.

Mbak Eva nampaknya ingin memegang kendali. Aku sedikit mundur dan memberikannya kesempatan. Ia mendorong tubuhku rebah lalu mengarahkan kepalanya ke selangkanganku. Dengan cepat, Ia melepaskan gesperku dan melucuti celana. Kini aku hanya mengenakan boxer tanpa celana dalam. Sengaja memang.

Tanpa ampun, Mbak Eva segera menelanjangi bagian bawah tubuhku. Penisku sudah tegang sempurna menunggu untuk dimainkan. Aku benar-benar rindu sentuhan Mbak Eva hingga cepat konak begini. Tanpa sepatah kata pun, Mbak Eva mulai memainkan penisku. Digenggam, lalu dikocok perlahan, bibir mendekat, sedikit jilatan, lalu mengitari kepalanya. Dan, hap! Penis itu masuk ke mulut mungil Mbak Eva. Hangat sekali.

Aku hanya bisa melenguh keenakan. Entah kenapa permainan mulut Mbak Eva makin lihai rasanya. Nanti saja kutanyakan apakah sebulan ini Ia telah melatih kemampuan ini dengan suaminya atau tidak. Sambil tetap merem melek menikmati jilatan dan hisapan Mbak Eva, aku teringat ada Dokter Mirza di ruangan ini. Kutengok ke arah Ia duduk, terlihat Dokter Mirza memperhatikan kami. Mata kami bertemu, Ia memberi isyarat untuk menikmati. Aku jadi berimajinasi ingin melihatnya bermasturbasi melihat persetubuhanku dengan Mbak Eva. Sebenarnya aku tak ingin main bertiga dulu tapi kalau ternyata keadaan tak mengizinkan ya apa boleh buat.

Melihat Mbak Eva sepertinya mulai pegal, aku mengangkat wajahnya lalu memberikan ciuman ke bibirnya. Nafasnya memburu, birahinya sedang tinggi. Aku menuntun Mbak Eva untuk duduk di pangkuan. Perlahan, kulepas kemeja dan membiarkan jilbabnya tetap terpasang. Ia memberi isyarat untuk melepas jilbabnya namun kutahan. Aku ingin bercinta dengan jilbab tetap menutupi kepalanya. Setelah lepas, akhirnya payudara favoritku terlihat. Mataku langsung hijau rasanya. Tanpa ampun, aku mengerjai bukit kembar itu. Mbak Eva hanya bisa melenguh dan meliuk-liuk badannya.

Selang beberapa saat, kuminta Ia berdiri. Aku melepas celananya sekalian dengan celana dalam merah yang menutupi vaginanya. Ah, Ia merapikan jembutnya. Masih lebat tapi lebih rapi dari yang terakhir kulihat. Lalu dengan isyarat, aku memintanya duduk di wajahku. Ia kaget sebentar tapi tak mampu menahan birahinya. Setelah posisinya pas, giliran vaginya tembam itu yang kukerjai. Aroma vagina milik Mbak Eva selalu bikin melayang. Tidak sewangi milik Dokter Mirza tapi mampu membangkitkan nafsuku berlipat-lipat. Baunya khas, bikin ketagihan.

"Uhh. Masssss. Uhh,"

Aku tak menghiraukan desahannya yang mulai kencang. Fokusku adalah mengerjai klitoris dan vaginanya. Kini tanganku ikut membantu dengan menyodok lubang vagina yang basah kuyup itu.

"Mas. Oh. Sedikit lagi. Ohh. Ohh.,"

Kali ini aku akan sedikit menggodanya. Aku menghentikan serangan tiba-tiba. Ia protes dengan menjambak rambutku dan mengarahkannya kembali ke vaginanya. Aku menolak. Kutangkap tubuhnya dan kubaringkan di sofa. Wajahnya sayu, penuh birahi yang ingin dituntaskan. Aku memposisikan penisku di vaginanya. Sengaja kubuat posisiku menghadap Dokter Mirza. Ia benar-benar sedang menonton kami. Wajahnya juga sayu. Dia pasti menahan biarhi. Aku yakin vaginanya sudah banjir..

"OOOHHHHH MASSSS"

Mbak Eva berteriak ketika kuhujamkan penisku dalam-dalam. Aku menatap Dokter Mirza, Ia sedang menggigit bibir bawahnya dan mengcengkeram pinggiran kursi. Sepertinya akan kesampaian melihatnya masturbasi.

"Uh. Aduh Mas. Enak bangeeet. Ohh. Ohh,"

Racauan Mbak Eva memenuhi ruangan ini. Semoga saja kedap dan tak terdengar hingga ke sebelah. Aku makin mempercepat sodokanku. Penisku gatal sekali. Tapi aku tak ingin orgasme dulu. Aku ingat, Mbak Eva adalah wanita yang susah mendapatkan orgasme.

"Masss. Ohhhh. Ohh,"

Mbak Eva menuntun tanganku untuk memainkan payudaranya. Sebuah undangan yang tak mungkin aku tolak. Dengan tetap menggenjotnya dari atas, aku memilin puting itu berkali-kali. Kaki Mbak Eva menjepit bokongku, mendorong penisku untuk lebih masuk.

"Mass. Adduuh. Penuuuh. Ah. Ah. Ah,"

Gerakanku sengaja aku buat tak beraturan. Aku sedang berupaya mencari titik lemahnya agar cepat orgasme. Aku tak akan mampu bertahan lama seperti biasanya. Nafsuku kadung membumbung karena lama sekali tak menyentuh tubuh ini.

Tak kuduga, Mbak Eva mendorongku hingga penisku lepas. Ia mendorong tubuhku lagi untuk rebah. Dengan gerakan cepat, Ia menduduki tubuhku, lalu mengarahkan penisku kembali ke sarangnya. Bles.

"Saya pengen cepet keluar Mas. Maaf ya,"

Sempat-sempatnya Ia meminta maaf dalam kondisi begini. Dengan gerakan liar cenderung tak beraturan, Mbak Eva menggenjot penisku penuh nafsu. Payudaranya yang mengalun kesana kemari kutangkap dengan mulutku. Ia makin intens bergoyang. Penisku seperti ditelan habis.

"Masss. Pleasee jangan dicabut lagi ya,"

Ia benar-benar memohon. Aku membiarkan Mbak Eva mengatur gerakannya sendiri. Aku hanya fokus memainkan payudaranya.

"Mass. Mass. Aku mau dapat. Oh. Oh. Oh,"

Ia naik turun, memutar, maju-mundur, melahap penisku tanpa ampun. Aku juga ingin meledak rasanya. Vaginanya selalu bikin merem-melek.

"Mas Bayuuu. Aduh. Aku. Aku. Oh. Aku mau. Oh. Oh,"

Aku membantunya. Kuhujamkan penisku ke atas berulang kali. Sementara tubuhnya naik turun membalas. Aku dibekap dengan payudaranya.

"MASSSS OHHHH AKU KELUAAAAR"

"MBAAAK OOOOH"

Kami berteriak bersamaan. Dengan menghujamkan kelamin masing-masing, rasanya penisku disedot keras sekali. Sampai sedikit ngilu rasanya. Tapi jangan tanya sensasinya. Melepaskan sperma di dalam vagina Mbak Eva tak pernah mengecewakan. Aku ingin melakukannya berulang kali.

"AAAHHHH"

Kami masih ambruk saat mendengar desahan. Ya. Itu jelas suara Dokter Mirza. Dengan masih pada posisi semula. kami menengok ke arah Dokter Mirza. Ia sudah bersandar di kursi dengan posisi tangan kiri di vagina dan tangan kanan di payudara. Bajunya juga awut-awutan. Kami berpandangan lalu tersenyum. Setelah itu kami berciuman. Dalam sekali. Kelamin kami masih menempel dengan sisa-sisa cairannya meleleh keluar.
 
Spt nya agak loncat ya Hu... Ane kok gak menemukan sesi dimana dr. Mirza atau Bayu "negosiasi" shg bisa meyakinkan Eva unt join? Atau sy yg ketinggalan 1 charter ya...
 
BAGIAN 17
KEPUTUSAN

Hubungan kami makin gila. Keberanian sudah meningkat sekian ratus persen. Frekuensi persetubuhan juga kian sering. Setelah berhasil menjebak Mbak Eva untuk sebuah pertemuan yang selama ini gagal aku lakukan, kami bersetubuh kilat. Mungkin tak ada setengah jam. Aku selalu menyukai sensasi persetubuhan kilat dengan Dokter Mirza. Birahi yang bercampur dengan kekhawatiran membuat orgasmeku lebih hebat.

"Setelah ini bagaimana, Dok?" tanyaku sambil merapikan pakaian

"Kita tunggu keputusan Eva. Seharusnya tidak ada yang berubah kan?" tanya Dokter Mirza

"Bagaimana memperlakukan Mbak Eva di hubungan kita?" aku balik bertanya

"Seperti kamu memperlakukan saya. Bermain rapi, tunggu kesempatan yang bagus, dan bersikap normal," jawabnya santai

"Dokter sudah mengatur pikiran dan perasaan untuk itu?" tanyaku lagi

"Sudah. Kalau saya minta prioritas pertama bagaimana?" kini Ia yang bertanya

"Tentu. Siapa yang bisa menolak ini?" aku menjawab lalu memegang payudara dan bokongnya

Kami tertawa, lalu berciuman.

"Saya penasaran, gimana rasanya?" tanya Dokter Mirza

"Seperti persetubuhan pertama kita. Perlu banyak belajar," aku mencubit hidungnya

Kami tertawa lagi. Dokter Mirza menerawang. Mungkin mengingat persetubuhan pertama itu. Buru-buru, deg-degan, dan amatiran.

"Buktikan lagi kalau begitu," Ia malah ke kamar mandi

"Pernah kepikiran main bertiga, Dok?" tanyaku iseng

"Kayaknya seru. Tapi buat dia lebih pintar dulu, biar seimbang. Saya mau bikin kamu minta ampun," katanya sambil mencubit perutku

"Kita buktikan saja nanti," kataku memungkasi pertemuan hari itu

Kami belum membahas bagaimana jika Mbak Eva menolak ajakan tadi. Entahlah. Mungkin kehidupan berjalan seperti kemarin. Kami masih akan tetap mencuri waktu dan kesempatan untuk bercinta. Mungkin kami akan eksplorasi hal-hal lain yang bisa membuat persetubuhan kami tidak monoton. Kami juga akan terus mencari cara agar hubungan ini tetap aman terkendali. Nanti saja dipikirkan lagi.

Tiga hari setelahnya, di akhir pekan, Dokter Mirza menghubungiku. Ia bilang Mbak Eva ingin bertemu. Aku yang sedang bersama istri dan anak mau tidak mau harus mencari cara memenuhi ajakan itu. Setelah negosiasi dengan istri dan juga Dokter Mirza, aku berhasil memaksa mereka menyepakati usulku. Sabtu sore pukul 16.00. Aku mengantar istri dan anak pulang, lalu bergegas menuju lokasi yang ditentukan Dokter Mirza.

"Pintu ruko tidak dikunci. Kamu parkir agak jauh dari ruko ya. Lokasinya di sebelah toko alat pancing. Pintunya agak susah sedikit. Langsung ke lantai 2"

Sebuah pesan dari Dokter Mirza yang hanya bertahan 15 menit. Itu perjanjian kami. Jika bukan pesan formal, itu batas waktunya.

Aku tiba pukul 15.50. Mobil kuparkir sekitar 100 meter dari lokasi. Dengan sedikit usaha, pintu ruko berhasil terbuka. Hanya ada etalase, banner obat, dan kursi berserakan. Sepertinya bekas apotek. Aku segera menuju lantai dua seperti instruksi Dokter Mirza.

"Saya baru ingat kemarin kalau ada ruko nggak terpakai ini, Mas," Ia menyambutku, lalu kami saling memeluk

"Bekas apotek, Dok?" tanyaku

"Iya. Dulu dipakai suami waktu masih praktek di sini. Sudah tiga tahun nganggur," jawabnya

"Ada hantunya nggak, Dok?" tanyaku menggoda

"Kamu hantunya," jawabnya sambil menjewer telingaku

"Bisa nih ya buat lokasi tetap?" aku kembali menggodanya

"Sepertinya begitu. Tapi tetap harus hati-hati," jawabnya

Melihat ruangan di lantai dua ini memang lebih terawat. Ada beberapa sofa dan karpet yang cukup tebal. Meski dalam kondisi bagus, terlihat dipenuhi debu di beberapa bagian. Ada plastik yang digunakan untuk membungkusnya.

"Kita perlu permak sedikit, Dok," kataku sambil berkeliling

"Saya serahkan ke kamu dan Eva, ya?" katanya menawarkan

"Sebentar. Mbak Eva sudah menerima tawaran kita?" tanyaku penasaran

"Kita lihat sebentar lagi," jawabnya

Kami lalu merapikan beberapa bagian agar lebih nyaman untuk sementara. Siapa tahu akan terjadi hal-hal yang diinginkan setelah ini.

"Eva ada di bawah kayaknya," kata Dokter Mirza

Ia bergegas turun. Aku hanya menunggu sambil rebahan di sofa.

"Eh, Mbak Eva," kami bersalaman

Mbak Eva kemudian duduk di depanku. Dokter Mirza menawari kami minum lalu duduk di sebelahku.

"Saya malu, Dok," kata Mbak Eva sambil menunduk, "seolah-olah saya ini wanita yang gila sama begituan. Sampai-sampai saya berani ke sini buat ketemu Dokter sama Mas Bayu," lanjutnya

"Kenapa harus malu, Mbak? Kalau mau jujur, sekarang saya malah ketagihan sama seks. Itu bukan hal memalukan, Mbak," Dokter Mirza berusaha menenangkan

"Tiga hari ini saya jadi susah tidur, Dok, saya bingung harus bagaimana," kata Mbak Eva lagi

Dokter Mirza tiba-tiba berdiri. Ia menjauh dari kami, mengambil kursi lalu mendudukinya.

"Cuma ada satu cara untuk membuktikan. Mas Bayu dan Mbak Eva, silakan bersetubuh sekarang. Kalau menikmati berarti Mbak Eva memang menginginkan," kata Dokter Mirza santai

Spontan saja kami kaget. Aku selalu geleng-geleng kepala menyaksikan langkah yang diambil Dokter Mirza. Tak bisa ditebak. Bagaimana bisa wanita alim begini, setelah 4 bulan selingkuh denganku malah meminta aku bercinta dengan orang lain, di depannya. Sudah gila memang.

"Saya cuma akan lihat. Saya juga nggak akan cemburu. Wong tujuan kita memang cuma seks, kan?" Ia tersenyum tenang

Aku yang kini bingung harus bagaimana. Jangan tanya bagaimana raut muka Mbak Eva. Ia hanya menunduk dan sesekali memandangku atau Dokter Mirza. Sebenarnya nafsuku naik juga ditantang begitu. Lagi-lagi sensasi baru akan kudapatkan. Bagi kami bertiga juga pasti. Setelah kejadian video call dengan Mbak Eva saat bercinta dengan Dokter Mirza, kini aku bisa mengulanginya namun secara langsung. Dan pemerannya terbalik. Oh, penisku mulai berdiri perlahan.

"Apa saya perlu pergi?" tanya Dokter Mirza lirih

Aku memilih bergerak. Ku dekati Mbak Eva, lalu mencoba membuat wajahnya mendongak. Ku pegang kedua tangannya sambil menatap matanya dalam-dalam.

"Lepaskan saja, Mbak. Saya ingin lihat Mbak Eva seperti malam itu," kataku sambil membelai jari-jarinya

Mbak Eva masih diam. Ia hanya menatapku tanpa merespon belaian. Aku jadi deg-degan.

"Anggap saja saat ini kita cuma berdua," aku berbisik di telinganya

Mbak Eva bergidik. Mudah-mudahan nafsunya mulai bangkit. Hari ini Ia memakain kemeja dan celana kain longgar. Jilbabnya model terusan agak lebar yang menutupi hingga di atas perut. Jari-jariku mulai menggerayangi lengannya, lalu memeluk.

"Kalau Mbak Eva nggak nyaman, kita sudahi sekarang. Saya nggak mau memaksa," bisikku sambil mengusap punggungnya

Ia masih diam. Aku memilih menunggu beberapa saat. Aku harus mendapatkan persetujuan sebelum melangkah lebih jauh.

"Lakukan, Mas. Saya sudah memendam ini sebulan lebih," katanya lalu memeluk erat

Mendapat lampu hijau, berarti waktunya beraksi. Aku sudah rindu dengan payudara besar nan bulat milik Mbak Eva. Hanya berpelukan begini saja rasanya sudah bikin birahi.

Kami memulai dengan perlahan. Aku masih membelai pungungnya saat Mbak Eva tiba-tiba mengambil inisiatif untuk menciumku. Sempat terkejut, aku cepat menguasai keadaan dan meladeni serangan Mbak Eva. Kenapa Ia jadi agresif begini.

Mbak Eva nampaknya ingin memegang kendali. Aku sedikit mundur dan memberikannya kesempatan. Ia mendorong tubuhku rebah lalu mengarahkan kepalanya ke selangkanganku. Dengan cepat, Ia melepaskan gesperku dan melucuti celana. Kini aku hanya mengenakan boxer tanpa celana dalam. Sengaja memang.

Tanpa ampun, Mbak Eva segera menelanjangi bagian bawah tubuhku. Penisku sudah tegang sempurna menunggu untuk dimainkan. Aku benar-benar rindu sentuhan Mbak Eva hingga cepat konak begini. Tanpa sepatah kata pun, Mbak Eva mulai memainkan penisku. Digenggam, lalu dikocok perlahan, bibir mendekat, sedikit jilatan, lalu mengitari kepalanya. Dan, hap! Penis itu masuk ke mulut mungil Mbak Eva. Hangat sekali.

Aku hanya bisa melenguh keenakan. Entah kenapa permainan mulut Mbak Eva makin lihai rasanya. Nanti saja kutanyakan apakah sebulan ini Ia telah melatih kemampuan ini dengan suaminya atau tidak. Sambil tetap merem melek menikmati jilatan dan hisapan Mbak Eva, aku teringat ada Dokter Mirza di ruangan ini. Kutengok ke arah Ia duduk, terlihat Dokter Mirza memperhatikan kami. Mata kami bertemu, Ia memberi isyarat untuk menikmati. Aku jadi berimajinasi ingin melihatnya bermasturbasi melihat persetubuhanku dengan Mbak Eva. Sebenarnya aku tak ingin main bertiga dulu tapi kalau ternyata keadaan tak mengizinkan ya apa boleh buat.

Melihat Mbak Eva sepertinya mulai pegal, aku mengangkat wajahnya lalu memberikan ciuman ke bibirnya. Nafasnya memburu, birahinya sedang tinggi. Aku menuntun Mbak Eva untuk duduk di pangkuan. Perlahan, kulepas kemeja dan membiarkan jilbabnya tetap terpasang. Ia memberi isyarat untuk melepas jilbabnya namun kutahan. Aku ingin bercinta dengan jilbab tetap menutupi kepalanya. Setelah lepas, akhirnya payudara favoritku terlihat. Mataku langsung hijau rasanya. Tanpa ampun, aku mengerjai bukit kembar itu. Mbak Eva hanya bisa melenguh dan meliuk-liuk badannya.

Selang beberapa saat, kuminta Ia berdiri. Aku melepas celananya sekalian dengan celana dalam merah yang menutupi vaginanya. Ah, Ia merapikan jembutnya. Masih lebat tapi lebih rapi dari yang terakhir kulihat. Lalu dengan isyarat, aku memintanya duduk di wajahku. Ia kaget sebentar tapi tak mampu menahan birahinya. Setelah posisinya pas, giliran vaginya tembam itu yang kukerjai. Aroma vagina milik Mbak Eva selalu bikin melayang. Tidak sewangi milik Dokter Mirza tapi mampu membangkitkan nafsuku berlipat-lipat. Baunya khas, bikin ketagihan.

"Uhh. Masssss. Uhh,"

Aku tak menghiraukan desahannya yang mulai kencang. Fokusku adalah mengerjai klitoris dan vaginanya. Kini tanganku ikut membantu dengan menyodok lubang vagina yang basah kuyup itu.

"Mas. Oh. Sedikit lagi. Ohh. Ohh.,"

Kali ini aku akan sedikit menggodanya. Aku menghentikan serangan tiba-tiba. Ia protes dengan menjambak rambutku dan mengarahkannya kembali ke vaginanya. Aku menolak. Kutangkap tubuhnya dan kubaringkan di sofa. Wajahnya sayu, penuh birahi yang ingin dituntaskan. Aku memposisikan penisku di vaginanya. Sengaja kubuat posisiku menghadap Dokter Mirza. Ia benar-benar sedang menonton kami. Wajahnya juga sayu. Dia pasti menahan biarhi. Aku yakin vaginanya sudah banjir..

"OOOHHHHH MASSSS"

Mbak Eva berteriak ketika kuhujamkan penisku dalam-dalam. Aku menatap Dokter Mirza, Ia sedang menggigit bibir bawahnya dan mengcengkeram pinggiran kursi. Sepertinya akan kesampaian melihatnya masturbasi.

"Uh. Aduh Mas. Enak bangeeet. Ohh. Ohh,"

Racauan Mbak Eva memenuhi ruangan ini. Semoga saja kedap dan tak terdengar hingga ke sebelah. Aku makin mempercepat sodokanku. Penisku gatal sekali. Tapi aku tak ingin orgasme dulu. Aku ingat, Mbak Eva adalah wanita yang susah mendapatkan orgasme.

"Masss. Ohhhh. Ohh,"

Mbak Eva menuntun tanganku untuk memainkan payudaranya. Sebuah undangan yang tak mungkin aku tolak. Dengan tetap menggenjotnya dari atas, aku memilin puting itu berkali-kali. Kaki Mbak Eva menjepit bokongku, mendorong penisku untuk lebih masuk.

"Mass. Adduuh. Penuuuh. Ah. Ah. Ah,"

Gerakanku sengaja aku buat tak beraturan. Aku sedang berupaya mencari titik lemahnya agar cepat orgasme. Aku tak akan mampu bertahan lama seperti biasanya. Nafsuku kadung membumbung karena lama sekali tak menyentuh tubuh ini.

Tak kuduga, Mbak Eva mendorongku hingga penisku lepas. Ia mendorong tubuhku lagi untuk rebah. Dengan gerakan cepat, Ia menduduki tubuhku, lalu mengarahkan penisku kembali ke sarangnya. Bles.

"Saya pengen cepet keluar Mas. Maaf ya,"

Sempat-sempatnya Ia meminta maaf dalam kondisi begini. Dengan gerakan liar cenderung tak beraturan, Mbak Eva menggenjot penisku penuh nafsu. Payudaranya yang mengalun kesana kemari kutangkap dengan mulutku. Ia makin intens bergoyang. Penisku seperti ditelan habis.

"Masss. Pleasee jangan dicabut lagi ya,"

Ia benar-benar memohon. Aku membiarkan Mbak Eva mengatur gerakannya sendiri. Aku hanya fokus memainkan payudaranya.

"Mass. Mass. Aku mau dapat. Oh. Oh. Oh,"

Ia naik turun, memutar, maju-mundur, melahap penisku tanpa ampun. Aku juga ingin meledak rasanya. Vaginanya selalu bikin merem-melek.

"Mas Bayuuu. Aduh. Aku. Aku. Oh. Aku mau. Oh. Oh,"

Aku membantunya. Kuhujamkan penisku ke atas berulang kali. Sementara tubuhnya naik turun membalas. Aku dibekap dengan payudaranya.

"MASSSS OHHHH AKU KELUAAAAR"

"MBAAAK OOOOH"

Kami berteriak bersamaan. Dengan menghujamkan kelamin masing-masing, rasanya penisku disedot keras sekali. Sampai sedikit ngilu rasanya. Tapi jangan tanya sensasinya. Melepaskan sperma di dalam vagina Mbak Eva tak pernah mengecewakan. Aku ingin melakukannya berulang kali.

"AAAHHHH"

Kami masih ambruk saat mendengar desahan. Ya. Itu jelas suara Dokter Mirza. Dengan masih pada posisi semula. kami menengok ke arah Dokter Mirza. Ia sudah bersandar di kursi dengan posisi tangan kiri di vagina dan tangan kanan di payudara. Bajunya juga awut-awutan. Kami berpandangan lalu tersenyum. Setelah itu kami berciuman. Dalam sekali. Kelamin kami masih menempel dengan sisa-sisa cairannya meleleh keluar.
Kerrm hu update nya
 
Bimabet
Mantap bayu dapat dua sekaligus.
Mirza ma eva jdiin istri bayu aja.
Bikin merka cerai dr suaaminya.
Jd bayu punya 3. 😁
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd