Karawangbekasi
Adik Semprot
- Daftar
- 21 Mar 2021
- Post
- 111
- Like diterima
- 294
INDeks
Bahagian 1: halaman 1
Bahagian 2: halaman 1
Bahagian 3: halaman 1
Bahagian 4: halaman 2
Bahagian 5: halaman 2
Bahagian 6: halaman 2
Bahagian 7: halaman 2
Bahagian 8: halaman 3
Bahagian 9: halaman 3
Bahagian 10: halaman 3
-Bahagian 1-
Eksibisioner, dia atau aku?
Suara burung alap-alap penghuni atap seng rumah kosong sebelah me-weker-i ku.
Ya, setiap pagi demikian rutinitasnya.
CUI... CUI...
kutengok di meja, 5:21 AM.
AC rusak ini membuat hari-hariku diawali dengan keringat, kipas angin yang tak henti menoleh kiri-kanan-kiri juga hampir tak bisa membantu.
Kuikat ekor kuda rambut hitamku yang disusupi uban, kuraba kutang putihku, lumayan lepek.
Bulan April ini panasnya seperti bersekutu dengan AC yang rusak ini, yang mana sudah 2 hari pesan WA ku ke Jack, tukang AC langgananku hanya bercentang satu, jangan-jangan dia dah mampus.
Aku Meicy, keturunan Tionghoa, di pecinan sebuah kota kecil, sebutlah kota A.
Di usia 43 tahun aku termasuk kategori perawan tua di kotaku, atau demikianlah orang-orang melabeliku.
Di kota sekecil ini aku pastinya menonjol, dengan tinggi badan seperti Luna Maya namun montok berisi.
Aku tinggal bertiga dengan mama dan seorang pembantu, namun mereka sedang pergi berlibur ke daerah yang lebih dingin, sebutlah kota B, yang jelas tidak sepanas cuaca kota A saat ini.
Aku keluar dari kamar berdinding tripleks melamin, membuat derit di engsel pintunya.
CUI...CUI...
Aku melongok ke luar jendela, seperti biasa melihat ke titik yang sama, dimana sepasang alap-alap hinggap dan istirahat disana, di bawah teritisan atap lainnya.
Bau sampah organik di dapur mengingatkanku, bahwa semalam lupa kubawa turun.
Yah, antara malas menyelesaikan perkara ini dan perasaan ngantuk, ogah-ogahan aku mengikat kresek berisi sampah organik (lebih keren daripada disebut sisa makanan).
Sudah kutenteng menuruni tangga teraso ber railing besi tua, baru aku tersadar, hanya mengenakan kolor lusuh dan kutang tipis.
Ah, biar saja, jam segini juga belum ada orang.
Dengan cuek, kubuka pintu lipat besi di lantai 1, dan melenggang keluar, hendak menggantungnya di pagar besi setinggi kepala di depan rumah.
Dan, perkiraanku ternyata meleset.
CEKIIIIT..
Suara decitan velg dan karet rem beradu menyita perhatianku.
Di depan rumah, tampak sebuah sepeda-gerobak terdiam.
Pengendaranya tertegun, mematung menatapku.
Akupun sesaat mematung, tak sempat berbalik segera ke dalam rumah.
Bapak tua bercelana pendek itu melompat turun, dan tergesa-gesa menepikan sepeda-gerobaknya.
Firasatku mendadak tidak enak, dan untungnya segera ku tersadar.
Buru-buru kugantung kresek sampah tadi di pagar, dan berbalik masuk, menutup pintu besi.
Dari teras lantai 2 kuintip ke arah jalanan.
Sepeda-gerobaknya masih terparkir setia di seberang jalan.
Apa maunya? Jangan-jangan mau rampok pagi-pagi.
Mendadak sosok tadi muncul kembali, menaiki jok sepeda gerobaknya.
Pandangannya tiba-tiba mengarah ke arahku.
"Oh shit" Aku sampai setengah berbisik.
Lampu teras ini menyala.
"Woi" Suara seraknya memanggilku.
Ditunjuknya selangkangannya yang diremas-remasnya sendiri.
"Isepin dong ci.. "
"Hih.. Gila lu.. "
Aku segera masuk menutup pintu dan kembali ke kamar.
"Woih.. Sstt... " Muncul lagi suara tadi.
Sejak kapan bapak itu sudah berpindah ke rumah kosong sebelah?
Rumah kosong di sebelah bagian depannya sudah tak beratap, sebagian sudah disikat oleh pemulung macam dia.
Apa maunya? Pasti seperti cerita-cerita temanku, mereka menyebutnya eksibisionis.
Temanku yang biasa lari pagi beberapa kali mengalaminya, bahkan ada yang semprotan maninya mengenai sepatunya.
Ah biar aja, nanti juga dia pergi sendiri.
"Woii.. Ci.. Ci... Liat sini donk.. "
Aku matikan lampu lorong, lalu beringsut mendekati jendela.
Samar-samar, diterangi langit yang mulai pagi, ada bapak tadi di sebelah.
Dia masih merogoh-rogoh isi celananya, sambil sesekali melirik ke jendela gelap ini, sesekali ke arah jalanan.
"Ah tai.. " Dia berbalik kembali ke jalanan sambil menendang ranting tua di halaman rumah kosong itu.
Aku tersenyum sendiri.
Rasain lu tua bangka, ga bisa liat paha mulus pagi-pagi ya?
Rumahku memang terletak tidak jauh dari pemukiman mereka, kampung pemulung, penjual barang bekas, dan penjahat-penjahat lainnya. Tidak jauh juga adalah kompleks pelacuran kelas rendahan.
Kebanyakan supir-supir 'main' disana.
Bisa ditebak, bapak tua tadi salah satu dari kelompok pemulung dan pencuri dari sana.
Baik malam ataupun siang, biasa berkeliling memantau dan mempelajari lokasi mana saja yang bisa menghasilkan uang.
Peristiwa tadi sudah pasti merupakan anomali, atau semacam keajaiban dalam keseharian mereka.
Pagi buta, disuguhi seorang enci-enci tinggi montok, hanya berkolor lusuh dan kutang yang agak lepek karena keringat.
Lampu teras bawah tadi juga masih menyala, sudah pasti kulit putihku dengan lekukan-lekukannya, dan permukaan yang sedikit mengkilap oleh keringat, disorot lampu teras, kontras sekali dengan suasana remang-remang di sekitarnya.
Siang berlalu, di hari libur bersama alias kejepit nasional ini aku menghabiskan waktu di rumah saja.
Aku termasuk tipe yang malas bepergian.
HP ku berbunyi, pesan WA dari Jack.
"Sory ci, HP gue rusak beberapa hari"
"Siang ada orang di rumah? Gue kesana cek AC nya ya? Paling cuma mau dicuci aja. "
"OK dateng aja ko. "
"Bener kan? Cuma mau dicuci aja.. Freon aman koq ci. " Terang Jack sambil menyeka keringat di dahinya dan kembali melihat ke arah anggotanya yang sedang menyemprot indoor AC kamarku.
"Dah dingin lagi kan? " Tambah Jack sambil menggulung kabel kompresor air.
"Iya.. Eh iya Jack.. "
"Ya?"
"Ntar gue transfer aja ya? Kayak biasa. "
"Haha beres.. Kayak baru cuci AC sama gue aja ci.. "
"Iya.. Gue dah 2 hari ga keluar, ternyata di dompet duit tinggal dikit. "
"Beres.. Santai aja. "
"Dul, itu di tembok ntar lap dikit ya ada dikit yang ngalir. "Suruh Jack ke anggotanya.
Jack keturunan Tionghoa juga, sudah beberapa tahun menjalani usaha servis AC. Badannya agak pendek gempal, dengan kulit kecoklatan terbakar matahari dan kacamata berbingkai tebalnya.
PIP!
Jack melambaikan tangan singkat, sambil berlalu dengan Suzuki Carry nya.
"Yuuuuuur.. "
KRING
"Sayuuuuur.. "
"Dek, masih ada nih.. "
Sesiang ini masih keliling juga si bapak.
"Nggak pak, saya ga masak dulu nih.. "
Bapak penjual sayur melompat turun dari sepeda onthelnya, menyandarkannya di rumah kosong sebelah.
"Tomat sama jeruk nipisnya baru nih dek.. " Ucap si bapak sambil menata dan merapikannya di belakang sepedanya.
Bapak itu masih ingat, saya suka beli jeruk nipis sama tomatnya, untuk dijus atau diminum dengan madu.
"Iya deh pak.. Kasih saya 10rb ya campur aja.. "
Dibungkusnya dengan gesit ke dalam kresek garis-garis.
"Nih bapak tambahin beberapa, buat langganan setia. " Balasnya bersamaan dengan senyum yang tidak dibuat-buat.
"Makasih pak"
"Ayuk dek.. " Sejurus kemudian si bapak sudah mengayuh sepedanya menjauh.
Begitulah, di kota pinggiran yang kecil ini, seapertinya paling tidak separuh kota saling kenal, atau paling tidak, saling tahu.
Oh si itu tinggal di jalan itu.
Oh si anu anaknya toko anu.
Oh itu yang kemarin baru meninggal bapaknya.
Dan sebagainya.
Dan terpikir olehku, apa mungkin terhadapku, kelompok pemulung itu membicarakan hal yang serupa.
Oh itu, enci-enci bohay yang suatu pagi cuma pakai celdam dan kutang dan kelihatan kulit putih mulusnya.
Oh, mengapa ada sensasi aneh kurasakan, ketika memikirkan hal ini.
Jantungku berdebar hanya dengan memikirkan kalimat tadi.
Aku masih berdiri terdiam, dengan kresek garis-garis tadi menggantung di tanganku yang mungil jari-jarinya.
"Sst... " Lamunanku terganggu oleh suara di depanku.
Dalam siang yang panas menyengat dan terang benderang ini, sosok yang kukenal tadi, berhenti.
Kami hanya terpaut sekitar 2 meter, dibatasi pagar.
Aku terpaku, kakiku seperti mau berbalik segera, namun..
"Ada kardus bekas ga ci? " Suaranya kembali memecah keterpakuanku.
"A.. Ada. " Sedikit gemetar suaraku.
"Ditaruh depan pagar aja ci, ntar saya ambil. "
Lalu bapak itu kembali berlalu.
Kutumpuk kardus-kardus bekas setinggi lutut di depan pagar.
Tak lama bapak tadi kembali, lalu dengan cepat mengambil kardus-kardus dan memasukkannya ke dalam gerobak.
"Makasih ci.. "
"Iya pak.. "
Saat aku berbalik, dipanggilnya lagi.
"Cik.. "
"Pagi-pagi koq gak buang sampah lagi? "
Aku tak memperdulikannya dan melanjutkan masuk ke rumah.
Perasaanku tak jelas.
Aku semestinya terganggu, dilecehkan demikian, walaupun tidak terang-terangan.
Tapi, kejadian pagi itu akan mengungkap sisi eksibisionisku.
Aku memang seorang eksibisionis.
Di sebuah forum bernama forum semprot, aku suka memamerkan tubuhku, tentunya dengan wajah dan latar yang kusensor.
Tapi ini sesuatu yang jauh berbeda.
Kuakui, sisi tersebut menginginkan aku untuk memamerkan tubuhku ke bapak tadi, pada pagi itu.
Namun sisi logis dari diriku melarangnya.
Bisa panjang perkaranya.
Apa jadinya kalau satu kampung pemulung itu tahu tentang adanya diriku?
Ini kan kota kecil.
Sebuah ironi.
Semakin besar ketegangan yang kupikirkan, semakin terangsang pula diriku.
Dan, kebulatan tekad itu akhirnya kurumuskan dalam sebuah rencana kecil.
KLEK
Pintu besi kubuka pada suatu pagi, lebih dini dari pagi yang lampau itu.
Kresek hitam tergantung di tanganku, lampu teras menyala dengan baik.
Kulirik, penonton setiaku sudah di balik pagar samping rumahku.
Jantungku memukul-mukul dari balik dadaku.
Seirama dengan goyangan tetekku yang hanya terbungkus lingerie biru tua berenda hitam, yang kontras dengan kulit Tionghoa ku.
Berjalan pelan ke samping, mendekati pagar itu, kulirik sedikit.
Kontol bapak pemulung sudah menggantung gagah kecoklatan.
Dikocoknya pelan dari balik teralis pagar.
Aku menggantung kresek di pagar depan perlahan.
Bisa kurasakan si bapak pemulung juga bergeser mendekatiku ke arah depan.
Kuraih sapu dan pengki, dan mulai menyapu halaman, walaupun tidak ada dedaunan disana.
Aku membelakangi bapak tadi, sambil sedikit membungkuk terus menyapu.
Dan, finalnya pun tiba.
Selesai menyapu separuh halaman, aku berbalik dan menyapu separuh lagi, semakin mendekat ke arah bapak tadi berdiri.
Ah, aku horny sekali.
Aku berusaha tetap berdiri tenang, walau sebenarnya kakiku agak gemetaran.
Selangkah demi selangkah, aku mendekati tempat bapak pemulung mengocok kontolnya.
Bapak pemulung diam saja sembari mengocok, sepertinya dia paham permainan ini.
Dan, tibalah ketika aku hanya berjarak kurang 1 meter dari pagar.
Nikmatilah pak, belahan tetekku ini, yang menggantung bebas hanya tertutup sehelai kain tipis.
Nikmati aroma tubuh dan rambutku.
Dan kini saatnya kunikmati pemandangan kontolmu, yang sedang menunggu dimuntahkan.
Aku kini melihat dengan jelas di depanku, kontol tua dari bapak pemulung.
Kepalanya masih keras mengkilat, sedang dikocok pelan.
Bapak pemulung hanya diam, matanya bergerilya, sesekali melihat wajahku yang pagi ini ber make-up tipis, berpindah ke tetekku, lalu pahaku, dan seterusnya.
Aku berjongkok dari balik pagar, tepat berhadapan dengan kontolnya yang offside dari teralis pagar.
Nafas bapak pemulung mulai berat.
Mulai memburu.
Dan..
"Oohhhh" Lolongan parau kaluar dari kerongkongannya.
CROT CROT..
CROT..
CROT..
semprotan demi semprotan putih kental mendarat di belahan tetekku, bahuku, dan yang terakhir jatuh di pahaku.
Bahagian 1: halaman 1
Bahagian 2: halaman 1
Bahagian 3: halaman 1
Bahagian 4: halaman 2
Bahagian 5: halaman 2
Bahagian 6: halaman 2
Bahagian 7: halaman 2
Bahagian 8: halaman 3
Bahagian 9: halaman 3
Bahagian 10: halaman 3
-Bahagian 1-
Eksibisioner, dia atau aku?
Suara burung alap-alap penghuni atap seng rumah kosong sebelah me-weker-i ku.
Ya, setiap pagi demikian rutinitasnya.
CUI... CUI...
kutengok di meja, 5:21 AM.
AC rusak ini membuat hari-hariku diawali dengan keringat, kipas angin yang tak henti menoleh kiri-kanan-kiri juga hampir tak bisa membantu.
Kuikat ekor kuda rambut hitamku yang disusupi uban, kuraba kutang putihku, lumayan lepek.
Bulan April ini panasnya seperti bersekutu dengan AC yang rusak ini, yang mana sudah 2 hari pesan WA ku ke Jack, tukang AC langgananku hanya bercentang satu, jangan-jangan dia dah mampus.
Aku Meicy, keturunan Tionghoa, di pecinan sebuah kota kecil, sebutlah kota A.
Di usia 43 tahun aku termasuk kategori perawan tua di kotaku, atau demikianlah orang-orang melabeliku.
Di kota sekecil ini aku pastinya menonjol, dengan tinggi badan seperti Luna Maya namun montok berisi.
Aku tinggal bertiga dengan mama dan seorang pembantu, namun mereka sedang pergi berlibur ke daerah yang lebih dingin, sebutlah kota B, yang jelas tidak sepanas cuaca kota A saat ini.
Aku keluar dari kamar berdinding tripleks melamin, membuat derit di engsel pintunya.
CUI...CUI...
Aku melongok ke luar jendela, seperti biasa melihat ke titik yang sama, dimana sepasang alap-alap hinggap dan istirahat disana, di bawah teritisan atap lainnya.
Bau sampah organik di dapur mengingatkanku, bahwa semalam lupa kubawa turun.
Yah, antara malas menyelesaikan perkara ini dan perasaan ngantuk, ogah-ogahan aku mengikat kresek berisi sampah organik (lebih keren daripada disebut sisa makanan).
Sudah kutenteng menuruni tangga teraso ber railing besi tua, baru aku tersadar, hanya mengenakan kolor lusuh dan kutang tipis.
Ah, biar saja, jam segini juga belum ada orang.
Dengan cuek, kubuka pintu lipat besi di lantai 1, dan melenggang keluar, hendak menggantungnya di pagar besi setinggi kepala di depan rumah.
Dan, perkiraanku ternyata meleset.
CEKIIIIT..
Suara decitan velg dan karet rem beradu menyita perhatianku.
Di depan rumah, tampak sebuah sepeda-gerobak terdiam.
Pengendaranya tertegun, mematung menatapku.
Akupun sesaat mematung, tak sempat berbalik segera ke dalam rumah.
Bapak tua bercelana pendek itu melompat turun, dan tergesa-gesa menepikan sepeda-gerobaknya.
Firasatku mendadak tidak enak, dan untungnya segera ku tersadar.
Buru-buru kugantung kresek sampah tadi di pagar, dan berbalik masuk, menutup pintu besi.
Dari teras lantai 2 kuintip ke arah jalanan.
Sepeda-gerobaknya masih terparkir setia di seberang jalan.
Apa maunya? Jangan-jangan mau rampok pagi-pagi.
Mendadak sosok tadi muncul kembali, menaiki jok sepeda gerobaknya.
Pandangannya tiba-tiba mengarah ke arahku.
"Oh shit" Aku sampai setengah berbisik.
Lampu teras ini menyala.
"Woi" Suara seraknya memanggilku.
Ditunjuknya selangkangannya yang diremas-remasnya sendiri.
"Isepin dong ci.. "
"Hih.. Gila lu.. "
Aku segera masuk menutup pintu dan kembali ke kamar.
"Woih.. Sstt... " Muncul lagi suara tadi.
Sejak kapan bapak itu sudah berpindah ke rumah kosong sebelah?
Rumah kosong di sebelah bagian depannya sudah tak beratap, sebagian sudah disikat oleh pemulung macam dia.
Apa maunya? Pasti seperti cerita-cerita temanku, mereka menyebutnya eksibisionis.
Temanku yang biasa lari pagi beberapa kali mengalaminya, bahkan ada yang semprotan maninya mengenai sepatunya.
Ah biar aja, nanti juga dia pergi sendiri.
"Woii.. Ci.. Ci... Liat sini donk.. "
Aku matikan lampu lorong, lalu beringsut mendekati jendela.
Samar-samar, diterangi langit yang mulai pagi, ada bapak tadi di sebelah.
Dia masih merogoh-rogoh isi celananya, sambil sesekali melirik ke jendela gelap ini, sesekali ke arah jalanan.
"Ah tai.. " Dia berbalik kembali ke jalanan sambil menendang ranting tua di halaman rumah kosong itu.
Aku tersenyum sendiri.
Rasain lu tua bangka, ga bisa liat paha mulus pagi-pagi ya?
Rumahku memang terletak tidak jauh dari pemukiman mereka, kampung pemulung, penjual barang bekas, dan penjahat-penjahat lainnya. Tidak jauh juga adalah kompleks pelacuran kelas rendahan.
Kebanyakan supir-supir 'main' disana.
Bisa ditebak, bapak tua tadi salah satu dari kelompok pemulung dan pencuri dari sana.
Baik malam ataupun siang, biasa berkeliling memantau dan mempelajari lokasi mana saja yang bisa menghasilkan uang.
Peristiwa tadi sudah pasti merupakan anomali, atau semacam keajaiban dalam keseharian mereka.
Pagi buta, disuguhi seorang enci-enci tinggi montok, hanya berkolor lusuh dan kutang yang agak lepek karena keringat.
Lampu teras bawah tadi juga masih menyala, sudah pasti kulit putihku dengan lekukan-lekukannya, dan permukaan yang sedikit mengkilap oleh keringat, disorot lampu teras, kontras sekali dengan suasana remang-remang di sekitarnya.
Siang berlalu, di hari libur bersama alias kejepit nasional ini aku menghabiskan waktu di rumah saja.
Aku termasuk tipe yang malas bepergian.
HP ku berbunyi, pesan WA dari Jack.
"Sory ci, HP gue rusak beberapa hari"
"Siang ada orang di rumah? Gue kesana cek AC nya ya? Paling cuma mau dicuci aja. "
"OK dateng aja ko. "
"Bener kan? Cuma mau dicuci aja.. Freon aman koq ci. " Terang Jack sambil menyeka keringat di dahinya dan kembali melihat ke arah anggotanya yang sedang menyemprot indoor AC kamarku.
"Dah dingin lagi kan? " Tambah Jack sambil menggulung kabel kompresor air.
"Iya.. Eh iya Jack.. "
"Ya?"
"Ntar gue transfer aja ya? Kayak biasa. "
"Haha beres.. Kayak baru cuci AC sama gue aja ci.. "
"Iya.. Gue dah 2 hari ga keluar, ternyata di dompet duit tinggal dikit. "
"Beres.. Santai aja. "
"Dul, itu di tembok ntar lap dikit ya ada dikit yang ngalir. "Suruh Jack ke anggotanya.
Jack keturunan Tionghoa juga, sudah beberapa tahun menjalani usaha servis AC. Badannya agak pendek gempal, dengan kulit kecoklatan terbakar matahari dan kacamata berbingkai tebalnya.
PIP!
Jack melambaikan tangan singkat, sambil berlalu dengan Suzuki Carry nya.
"Yuuuuuur.. "
KRING
"Sayuuuuur.. "
"Dek, masih ada nih.. "
Sesiang ini masih keliling juga si bapak.
"Nggak pak, saya ga masak dulu nih.. "
Bapak penjual sayur melompat turun dari sepeda onthelnya, menyandarkannya di rumah kosong sebelah.
"Tomat sama jeruk nipisnya baru nih dek.. " Ucap si bapak sambil menata dan merapikannya di belakang sepedanya.
Bapak itu masih ingat, saya suka beli jeruk nipis sama tomatnya, untuk dijus atau diminum dengan madu.
"Iya deh pak.. Kasih saya 10rb ya campur aja.. "
Dibungkusnya dengan gesit ke dalam kresek garis-garis.
"Nih bapak tambahin beberapa, buat langganan setia. " Balasnya bersamaan dengan senyum yang tidak dibuat-buat.
"Makasih pak"
"Ayuk dek.. " Sejurus kemudian si bapak sudah mengayuh sepedanya menjauh.
Begitulah, di kota pinggiran yang kecil ini, seapertinya paling tidak separuh kota saling kenal, atau paling tidak, saling tahu.
Oh si itu tinggal di jalan itu.
Oh si anu anaknya toko anu.
Oh itu yang kemarin baru meninggal bapaknya.
Dan sebagainya.
Dan terpikir olehku, apa mungkin terhadapku, kelompok pemulung itu membicarakan hal yang serupa.
Oh itu, enci-enci bohay yang suatu pagi cuma pakai celdam dan kutang dan kelihatan kulit putih mulusnya.
Oh, mengapa ada sensasi aneh kurasakan, ketika memikirkan hal ini.
Jantungku berdebar hanya dengan memikirkan kalimat tadi.
Aku masih berdiri terdiam, dengan kresek garis-garis tadi menggantung di tanganku yang mungil jari-jarinya.
"Sst... " Lamunanku terganggu oleh suara di depanku.
Dalam siang yang panas menyengat dan terang benderang ini, sosok yang kukenal tadi, berhenti.
Kami hanya terpaut sekitar 2 meter, dibatasi pagar.
Aku terpaku, kakiku seperti mau berbalik segera, namun..
"Ada kardus bekas ga ci? " Suaranya kembali memecah keterpakuanku.
"A.. Ada. " Sedikit gemetar suaraku.
"Ditaruh depan pagar aja ci, ntar saya ambil. "
Lalu bapak itu kembali berlalu.
Kutumpuk kardus-kardus bekas setinggi lutut di depan pagar.
Tak lama bapak tadi kembali, lalu dengan cepat mengambil kardus-kardus dan memasukkannya ke dalam gerobak.
"Makasih ci.. "
"Iya pak.. "
Saat aku berbalik, dipanggilnya lagi.
"Cik.. "
"Pagi-pagi koq gak buang sampah lagi? "
Aku tak memperdulikannya dan melanjutkan masuk ke rumah.
Perasaanku tak jelas.
Aku semestinya terganggu, dilecehkan demikian, walaupun tidak terang-terangan.
Tapi, kejadian pagi itu akan mengungkap sisi eksibisionisku.
Aku memang seorang eksibisionis.
Di sebuah forum bernama forum semprot, aku suka memamerkan tubuhku, tentunya dengan wajah dan latar yang kusensor.
Tapi ini sesuatu yang jauh berbeda.
Kuakui, sisi tersebut menginginkan aku untuk memamerkan tubuhku ke bapak tadi, pada pagi itu.
Namun sisi logis dari diriku melarangnya.
Bisa panjang perkaranya.
Apa jadinya kalau satu kampung pemulung itu tahu tentang adanya diriku?
Ini kan kota kecil.
Sebuah ironi.
Semakin besar ketegangan yang kupikirkan, semakin terangsang pula diriku.
Dan, kebulatan tekad itu akhirnya kurumuskan dalam sebuah rencana kecil.
KLEK
Pintu besi kubuka pada suatu pagi, lebih dini dari pagi yang lampau itu.
Kresek hitam tergantung di tanganku, lampu teras menyala dengan baik.
Kulirik, penonton setiaku sudah di balik pagar samping rumahku.
Jantungku memukul-mukul dari balik dadaku.
Seirama dengan goyangan tetekku yang hanya terbungkus lingerie biru tua berenda hitam, yang kontras dengan kulit Tionghoa ku.
Berjalan pelan ke samping, mendekati pagar itu, kulirik sedikit.
Kontol bapak pemulung sudah menggantung gagah kecoklatan.
Dikocoknya pelan dari balik teralis pagar.
Aku menggantung kresek di pagar depan perlahan.
Bisa kurasakan si bapak pemulung juga bergeser mendekatiku ke arah depan.
Kuraih sapu dan pengki, dan mulai menyapu halaman, walaupun tidak ada dedaunan disana.
Aku membelakangi bapak tadi, sambil sedikit membungkuk terus menyapu.
Dan, finalnya pun tiba.
Selesai menyapu separuh halaman, aku berbalik dan menyapu separuh lagi, semakin mendekat ke arah bapak tadi berdiri.
Ah, aku horny sekali.
Aku berusaha tetap berdiri tenang, walau sebenarnya kakiku agak gemetaran.
Selangkah demi selangkah, aku mendekati tempat bapak pemulung mengocok kontolnya.
Bapak pemulung diam saja sembari mengocok, sepertinya dia paham permainan ini.
Dan, tibalah ketika aku hanya berjarak kurang 1 meter dari pagar.
Nikmatilah pak, belahan tetekku ini, yang menggantung bebas hanya tertutup sehelai kain tipis.
Nikmati aroma tubuh dan rambutku.
Dan kini saatnya kunikmati pemandangan kontolmu, yang sedang menunggu dimuntahkan.
Aku kini melihat dengan jelas di depanku, kontol tua dari bapak pemulung.
Kepalanya masih keras mengkilat, sedang dikocok pelan.
Bapak pemulung hanya diam, matanya bergerilya, sesekali melihat wajahku yang pagi ini ber make-up tipis, berpindah ke tetekku, lalu pahaku, dan seterusnya.
Aku berjongkok dari balik pagar, tepat berhadapan dengan kontolnya yang offside dari teralis pagar.
Nafas bapak pemulung mulai berat.
Mulai memburu.
Dan..
"Oohhhh" Lolongan parau kaluar dari kerongkongannya.
CROT CROT..
CROT..
CROT..
semprotan demi semprotan putih kental mendarat di belahan tetekku, bahuku, dan yang terakhir jatuh di pahaku.
Terakhir diubah: