Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA POISK (Поиск) - By : BKU

PART 4



POV Astrid



Astrid Purnama


“Siapa kamu?”

Dua kata yang terucap dari mulut lelaki yang sangat ku sayangi ini, langsung membuatku terdiam, jantung yang berdegub kencang, serta kedua mataku mulai memanas dan masih berusaha membendung air mata yang akan siap jatuh membasahi pipiku lagi.

Ada apa ini? Kenapa mas Yusuf tidak mengenalku? Setelah sekian lama kami saling mengenal, saling berbagi kasih, justru di saat ia tersadar dari komanya seolah-olah dia melupakanku?

Pertanyaan demi pertanyaan masih menyelimuti pikiranku ini. Di saat kemudian, aku tak tahan untuk menahan lagi air mata, hingga aku menangis di hadapannya.

“Mas... hiks! Ba-bagaimana kamu tidak mengenalku mas?”

Sejujurnya aku berharap, jika ini hanya lah sebuah mimpi. Berharap jika mas Yusuf tak akan pernah melupakanku, meski apapun yang akan terjadi.

.

.


“Mas... kamu jangan pernah ninggalin Astrid.” Kenangan beberapa bulan yang lalu, di saat mas Yusuf pergi melewati batas waktu yang ia jelaskan ke aku sebelumnya. Meski hanya lewat dua hari saja, tapi bagiku itu sangat menyiksa.

“Iya sayang, mas gak akan ninggalin kamu kok..” balas mas Yusuf yang selalu saja dapat memberiku keyakinan. Aku memang yakin dengannya, aku memang sangat menyayanginya. Tapi setelah kepergiannya lewat dari dua hari itulah, aku merasa seolah-olah berada di situasi akan kehilangan dirinya. Aku gak sanggup jika kehilangannya.

“Mas jangan pernah melupakan Astrid... sampai kapanpun” ujarku sambil menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Loh kok kamu ngomong gitu sih, kan mas akan menjadi suami kamu nanti. Hehehe... sudah ah, kenapa bahasannya jadi galau gini.” Balas Mas Yusuf sambil menyentuhkan telapak tangannya ke pipi kanannku.

“Habisnya, mas pergi lewat dua hari kemarin... Astrid ketakutan mas. Astrid gak sanggup, jika nanti kehilangan mas.”

“Ssstttttsss!” mas Yusuf kemudian meletakkan jari telunjuknya di bibirku.

“Itu tak akan mungkin terjadi sayang, karena tiada wanita lain yang bisa menggantikan kamu dalam hati mas... lagian, hanya kamu yang bisa menerima mas apa adanya” balas Mas Yusuf, lalu secara perlahan mas Yusuf mendekatkan wajahnya.

Kami lalu berciuman...

.

.


Tapi ternyata... mas akhirnya melupakan Astrid juga kan. Batinku berkata, di saat menemukan situasi yang pernah dan sempat menjadi kekhawatiran dalam diriku ini.

“Mas... apa mas lupa dengan janji mas, kalo tak akan pernah melukapan Astrid?” ujarku yang tak dapat mampu menahan kesedihanku sekarang ini. Tangisanku pecah kembali, sambil menatapnya meminta jawaban atas kesedihanku ini.

Mas Yusuf mulai mengernyitkan keningnya, di saat ini pula aku menyadari kalo sosok Mas Yusuf sangat lah berbeda dari sosok yang aku kenal selama ini. Tak ada senyuman lagi di saat menatap wajahku. Tak ada sikap yang ingin menghentikan air mataku seperti yang biasa ia lakukan kepadaku. Mas Yusuf yang aku kenal selama ini tak akan membiarkan aku menangis. Tak akan sedikit pun membiarkanku bersedih. Namun mengapa sekarang dia diam saja? apa karena dia masih mengenakan selang infus yang jarumnya masih ter tertancap pada lengannya? Sehingga ia tak dapat menggerakkan lengannya itu?

Mana mas Yusuf yang dulu?

Yang tak akan pernah, sedikit pun tega melihatku bersedih.

Ya Allah, setelah engkau melepaskan kepedihanku, menghapus semua keresahan dan kekhawatiran yang mendalamku karena kehilangan mas Yusuf. Malah engkau gantikan dengan situasi yang meski mas Yusuf kini terbaring di hadapanku, tapi dia bagaikan orang lain buat hambamu ini.

Di saat aku masih diam terpaku, dengan derasnya air mata yang keluar membasahi wajahku ini.

Aku melihat dokter seolah mengajak mas Yusuf berbicara sambil memeriksakan kondisi mas Yusuf.

“Apa anda tahu, siapa nama anda, mas?” tanya dokter yang tengah duduk di samping kanan mas Yusuf, sambil memeriksakan kedua mata mas yusuf dengan senter kecil. Satu dokter lagi memeriksa aliran darahna. Jujur aku tidak begitu tau apa yang sebenarnya terjadi, yang jelas aku pasrah dan berharap yang terbaik buat mas Yusuf.

Mas yusuf hanya menatap dokter tanpa menjawab pertanyaannya. Aku sempat menyeka wajahku dan kedua mataku, menghentikan air mataku sambil menahan nafas sesekali. Jantungku berdegub kencang, menanti jawaban dari mas Yusuf ini.

Tunggu! Tidak mungkin dia tidak mengetahui namanya sendiri kan?

Dokter yang berada di sisi kiri mas Yusuf baru saja memeriksakan kepala mas Yusuf, dan luka yang sedang di perban. Kemudian dokter itu menoleh dan saling berpandangan dengan dokter yang tadi bertanya ke mas Yusuf. Lalu, mereka saling mengangguk yang entah apa maksudnya itu.

“Anda tidak mengenal dia?” tanya dokter yang sama lagi, yang jika aku baca di tag namenya bernama dokter Ferdy. Sepertinya dia dokter senior di rumah sakit ini, karena perawakannya kalo boleh aku tebak umurnya jauh lebih tua dari pada dokter yang satunya lagi, yang kelihatan masih muda banget.

Aku lagi-lagi menahan nafas setelah dokter Ferdy menanyakan mas yusuf sambil menunjukku yang berdiri di bagian kaki mas Yusuf.

Mas Yusuf lalu menatapku mengernyit. Mataku kembali berkaca-kaca di saat aku tak menemukan ekspresi mas Yusuf seperti biasanya. Sikap yang biasanya ia tunjukkan ketika aku bersedih. Ini... ini sangatlah berbeda, bahkan cara dia menatap seolah-olah dia benar-benar tak pernah mengenalku.

Ada apa ini?

“Anda benar-benar tidak mengenal siapa nama anda, dan siapa dia?” dokter Ferdy mengulang pertanyaan yang sama.

Aneh sekali... pikirku.

Gak mungkin... ini gak mungkin terjadi. Kenapa mas Yusuf tidak mengingat apa-apa? Jangan... jangan?

Ku gelengkan kepalaku sesaat, menepis apa yang baru saja terbersik di pikiranku. Gak mungkin mas Yusuf kehilangan ingatannya kan?

Pertannyaan demi pertanyaan dari dokter Ferdy selanjutnya, masih saja tidak di respon oleh mas Yusuf yang masih diam. Pandangannya kadang ke arahku, kadang ke dokter dengan ekspresi yang mengernyit, seolah dia sedang bertanya-tanya dalam hati.

Hingga akhirnya, dokter Ferdy berdiri sambil menatapku.

Dia mendesah sesaat, “Sepertinya pasien terkena Amnesia, mba Astrid” ujar dokter Ferdy yang lagi-lagi membuatku terpukul.

Apa?

Amnesia? Hilang ingatan? Seperti yang aku pikirkan tadi...

“Betul dok... pasien terkena amnesia” timpal dokter satunya lagi, setelah memberikan sesuatu pada infus mas Yusuf.

“Dok... ke-kenapa bisa mas Yusuf amnesia dok? Hiks...” aku yang belum bisa menerima kenyataan ini, masih berusaha untuk memastikan kepada kedua dokter itu. Jujur, aku memahami amnesia adalah kehilangan ingatan seseorang akibat kecelakaan yang ia dapatkan. Namun tetap saja otakku tidak dapat menerima serta merta pernyataan dari kedua dokter itu.

“Kami akan memeriksanya lebih detail lagi, yang jelas pasien telah sadar itu sudah menunjukkan ke arah yang lebih baik. Tinggal kita melihat hasil dari pemeriksaan berikutnya, apakah sudara Yusuf terkena benturan pada kepalanya atau tidak” terang dokter Ferdy yang masih berdiri di sisi kanan ranjang Mas Yusuf.

“Terus kapan mas Yusuf di lakukan pemeriksaan lanjutan Dok?” tanyaku, sambil melirik ke mas Yusuf yang masih diam, namun pandangannya masih saja kepadaku.

“Besok pagi kami akan merontgen kepala dan beberapa bagian tubuh sudara Yusuf untuk mendapatkan hasil yang lebih spesifik lagi” jawab dokter Ferdy. “Jadi... biarkan pasien istirahat dulu malam ini, kami juga sudah memberikan obat penenang agar pasien bisa kembali beristirahat.”

“Jadi ada baiknya mba Astrid jangan terlalu memaksa ingatan pasien dulu malam ini, cukup menemaninya saja hingga pasien bisa beristirahat kembali.” Timpal dokter satunya lagi.

“Ba-baik dok” ujarku yang mencoba untuk memahaminya.

Setelah itu, kedua dokter berpamitan untuk meninggalkan kamar ini. Berjanji esok pagi mereka akan kembali ke kamar untuk memeriksakan keadaan mas Yusuf lagi.

Sepeninggalan kedua dokter itu, aku kembali menatap kepada sosok mas Yusuf. Percaya tidak percaya, Cuma memang sudah seperti ini keadaannya. Mas Yusuf yang baru sadar justru harus kehilangan ingatannya.

Aku mencoba menghapus air mataku, berusaha tegar dan kuat. Demi mas Yusuf.

“Kamu siapa?” kembali lagi pertanyaan yang sama terucap dari mulutnya.

Aku menarik nafas sedalam mungkin, mencoba untuk membuat wajahku tersenyum, kemudian menyentuh keningnya lalu mengusapnya.

“Mas gak kenal sama Astrid?”

Dia belum menjawab. Tatapannya itu... tatapan yang amat sangat berbeda dari tatapan yang biasa ku dapatkan. Tak ada lagi sosokku yang biasa ku lihat di kedua bola matanya itu. Tak ada pancaran kehangatan, dan kasih sayang di sana. Hanya menyisahkan tatapan penuh tanya, dan tersirat sebuah tatapan yang cukup membuat tubuhku gemetar.

Aku masih berusaha untuk kuat.

Aku tak boleh menunjukkan diriku yang lemah di hadapan mas Yusuf. Sudah cukup aku bersedih selama berhari-hari menantikan kehadiran mas Yusuf, dan dua hari ini menantikan mas Yusuf sadar, serta dengan sabar menemaninya di rumah sakit.

Ku genggam tangannya sesaat, tapi genggamanku tak mendapat balasan.

“Saya tidak mengenalmu... dan siapa saya?” ujar mas Yusuf lagi.

Aku tersenyum meski dadaku terasa sesak menahan kesedihan saat ini.

“Aku Astrid mas... Astrid Purnama, dan kamu mas Yusuf, tunangan Astrid.”

“Ohh...” dia hanya berseru dengan satu kata. Kemudian memalingkan pandangannya dariku.

Dia memandang ke seluruhan ruangan. “Saya ada dimana?” tanyanya kemudian.

“Hehe... mas lagi di rumah sakit.”

“Saya tahu di rumah sakit, tapi saya lagi dimana... di tempat mana? Kamu mengerti pertanyaan saya?” Haaaa? Kenapa cara dia berbicara sungguh sangat amat berbeda dari cara Mas Yusuf berbicara denganku selama ini. Dan juga cara dia menatapku seolah-olah menyiratkan kekesalan karena aku entah salah menjawab pertanyaannya atau gimana... aku jujur hampir meneteskan kembali air mata di hadapannya, namun aku harus kuat menahannya. Bertahanlah Astrid... janganlah kamu bersedih lagi, karena mas Yusuf sudah sadar, dan dia masih hidup sekarang ini, adalah jauh lebih penting. Meski kondisinya sedang hilang ingatan.

“Mas... sebaiknya mas istirahat dulu, jangan memaksakan diri untuk mengingat-ngingat dulu semuanya mas.” Ujarku selanjutnya.

Ku usap lengannya, kemudian membantunya menarik selimut untuk menutup tubuhnya.

Di saat mulutnya aku lihat ingin mengatakan sesuatu, aku kemudian menyentuhkan jari ku di ujung bibirnya. “Ssssttttt... mas jangan banyak bicara, mas istirahat dulu yah.”

Setelah mengatakan itu, aku menarik nafas. Di saat aku ingin mengatakan sesuatu, mas Yusuf sudah memejamkan matanya.

Aku akhirnya bisa tersenyum, meski masih menyisahkan rasa kepedihan dalam diriku ini. Masih belum menerima kenyataan kalo mas Yusuf melupakanku. Tapi, mungkin aku memang yang harus mengalah dan memberikan kesempatan kepada mas Yusuf untuk perlahan-lahan mengembalikan ingatannya.



---000---




POV Arjun



Sekujur badan saya sangat sakit, ketika saya tersadar tadi. Kemudian pertanyaan langsung terbersik, saya dimana... meski di saat saya tersadar tadi, saya tak langsung membuka mata ketika mendengar suara orang yang tengah berbincang-bincang di dekat saya berada.

Hingga tersisa saya berdua dengan seorang gadis yang asing bagi saya. Jelas saja asing, karena saya tidak mengenalnya. Makanya di saat saya sudah tak sabar setelah mendengar berulang-ulang dia menangis bersedih menyebut namanya dan juga nama seseorang yang juga asing bagi saya, akhirnya saya membuka mata dan menatapnya.

“Siapa kamu?” dua kata yang akhirnya langsung terucap, karena di saat saya membuka mata, wajah yang tengah mengeluarkan air mata itu, memang benar-benar tak pernah saya lihat.

Dan dia langsung menangis dan sedikit tergambarkan dari ekspresinya jika dia merasa bahagia melihat saya tersadar. Semakin membuat saya bingung.

Dan satu pertanyaan langsung saya pikirkan, apakah ini suatu jebakan?

Apakah saya sudah jatuh ke tangan musuh?

Namun semua itu langsung terbayar kontan ketika gadis itu kembali dengan membawa dua dokter yang langsung memeriksakan keadaan saya yang baru sadar.

Oia... Jujur saya masih belum habis pikir, mengapa gadis ini masih saja memanggil nama saya dengan panggilan Yusuf? Dan dia, siapa sebenarnya? Berbagai pertanyaan yang masih saja memenuhi isi kepala saya ini.

Saya teringat dengan kejadian terakhir di saat saya tak punya pilihan lain selain harus terjun ke laut. Sebelum saya kehilangan kesadaran, saya sempat merasakan satu peluru menembus kaki.

BANGSAT!

Mengingat kejadian kala itu, emosi saya menjadi meluap-luap. Saya langsung berfikir, tak mungkin Teddy yang hanya berpangkat ‘Pembantu letnan satu/bintara tinggi’ berhubungan langsung dengan para mafia yang telah menjadi target dalam misi saya kala itu. Sudah jelas seorang Teddy di sini hanya sebagai pelaksana, dan karena sebagai pelaksana berarti ada yang mencetuskan perintah kepadanya. Dan ini yang akan menjadi misi pribadi saya, mencari tahu siapa orang yang memberikan perintah itu kepada Teddy.

Namun saya juga belum tahu sekarang ini, mana musuh mana kawan. Hanya satu orang saja yang dapat saya percaya, hanya saja posisinya sedang menjalankan misi selama 3 bulan lamanya. Dia lah Sandi, sahabat saya sejak dulu.

Muncul pertanyaan tiba-tiba dalam benak saya. Apakah kehadiran gadis ini, beserta tempat yang asing bagi saya ini, adalah bagian dari rencana musuh?

Untuk mendapatkan jawaban itu, saya mesti mengikuti permainan mereka. Well! Benar tidaknya sandiwara ini, saya harus mengikuti ‘Permainan’ mereka. Dan hingga menjadikan satu keputusan bagi saya agar tidak mengatakan kepadanya, dan kepada kedua dokter yang tengah memeriksa saya, siapa saya sebenarnya.

Mengenai pertanyaan saya, apakah ini adalah sebuah jebakan? Apakah ini hanya permainan dari pihak lawan? Dengan kemampuan saya yang sudah amat sangat terlatih ini, selalu harus mempunyai beberapa rencana agar saya tidak mati konyol.

“Apa anda tahu, siapa nama anda, mas?” satu pertanyaan langsung di ucapkan dokter yang tengah duduk di samping saya.

Saya bukan tidak mengetahui siapa saya, bukan? karena memang saya diam, sengaja untuk tetap pada rencana saya. Entah dia sedang bersandiwara saja atau tidak, saya tetap akan jalan dengan rencana A. Ketika rencana saya mendapatkan kendala, maka saya juga sudah mempunyai rencana lainnya.

“Anda tidak mengenal dia?” satu pertanyaan lagi dari dokter yang sama, membuat saya langsung menatap wajah gadis itu.

Saya hanya kernyitkan dahi, biar kesannya saya masih bingung dengan situasi sekarang ini.

Beberapa kali dokter satunya memeriksa luka saya, kemudian memeriksa mata, dan mulut saya dengan alat kedokterannya. Saya tidak terlalu fokus dengannya, karena saya hanya ingin mengikuti apa yang tengah kalian rencanakan ini.

Hoho!

Kalian pikir, saya dapat kalian permainkan?

Tentu saja tidak. Saya ingin melihat, sampai dimana sandiwara yang akan kalian mainkan ini. Pikir saya untuk sesaat.

“Anda benar-benar tidak mengenal siapa nama anda, dan siapa dia?” dokter itu kembali menanyakan pertanyaan yang sama sebelumnya. Dan tentu dia tak akan mendapat jawaban apapun dari saya, karena saya tidak akan membuka mulut saat ini. Meski nanti saya akan mendapatkan siksaan dari mereka.

Namun semakin kesini, saya merasa sedikit ada keanehan dari situasi sekarang ini. Tapi saya belum bisa menyimpulkannya.

Namun...

Keputusan saya yang tidak akan mengatakan siapa saya sebenarnya, memang sudah bagian dari rencana saya. Mungkin tidak untuk sekarang. Ataukah mereka justru menyadari siapa saya sebenarnya? Saya belum bisa menyimpulkan itu, karena jika saya boleh membaca dari ekspresi baik dari gadis bernama Astrid ini, dan kedua dokter yang tengah sibuk memeriksa saya, tak ada yang menunjukkan kecurigaan yang mengarahkan kepada ‘Sandiwara’ yang tengah mereka jalankan di hadapan saya ini.

Oia! Untuk mengikuti permainan mereka, apakah berarti saya mesti mengaku jika saya memang benar bernama ‘Yusuf’? Tidak... itu tidak mungkin saya lakukan. Bagaimana kalau Yusuf hanyalah sebagai tokoh fiktif yang mereka ciptakan. Satu lagi, katakanlah itu memang benar. Ini bukanlah sebuah sandiwara, berarti memang saya butuh setidaknya waktu untuk memulihkan kondisi saya terlebih dahulu, dan sambil menunggu Sandi kembali dari misinya. Baru saya akan melakukan pergerakan kembali, untuk mengungkap siapa otak di balik penyerangan dan pengkhianatan yang dilakukan Teddy.

Berarti, jika saya mengakui dengan gamblang apa yang di katakan Astrid, gadis yang masih saja bersedih ini, jika saya adalah Yusuf. Justru menurut saya, akan sangat cepat kebohongan saya terungkap. Karena tentu saja saya tidak tahu siapa Yusuf, dan bagaimana profil orang itu. Sikap dan sifatnya juga tentu tak sama dengan saya.

“Sepertinya pasien terkena Amnesia, mba Astrid” ujar dokter yang sama lagi.

Otak saya langsung menangkap satu kesempatan baik, bagi saya. Yaitu saya terkena amnesia. Not bad, setidaknya dengan cara itu saya tak perlu bersusah-susah untuk mengakui saya sebagai orang yang bernama Yusuf.

“Betul dok... pasien terkena amnesia” timpal dokter satunya lagi, setelah memberikan sesuatu pada infus saya.

“Dok... ke-kenapa bisa mas Yusuf amnesia dok? Hiks...” Astrid langsung menangis dan menanyakan kembali ke dokter. Sepertinya dia belum menerima informasi itu. Terbukti dia masih bersedih. Hadehh! Saya paling malas mendengar seorang wanita menangis di dekat saya.

“Kami akan memeriksanya lebih detail lagi, yang jelas pasien telah sadar itu sudah menunjukkan ke arah yang lebih baik. Tinggal kita melihat hasil dari pemeriksaan berikutnya, apakah sudara Yusuf terkena benturan pada kepalanya atau tidak”

“Terus kapan mas Yusuf di lakukan pemeriksaan lanjutan Dok?” tanyaku, sambil melirik ke mas Yusuf yang masih diam, namun pandangannya masih saja kepadaku.

Mereka kemudian terlibat obrolan yang sejujurnya tak saya hiraukan lagi.

Di mulai dari kata dokter yang sama, jika besok saya akan di periksa lebih detail lagi. Mungkin di saat itulah, kesempatan bagi saya untuk melancarkan rencana lainnya.

“Besok pagi kami akan merontgen kepala dan beberapa bagian tubuh sudara Yusuf untuk mendapatkan hasil yang lebih spesifik lagi... Jadi... biarkan pasien istirahat dulu malam ini, kami juga sudah memberikan obat penenang agar pasien bisa kembali beristirahat.”

“Jadi ada baiknya mba Astrid jangan terlalu memaksa ingatan pasien dulu malam ini, cukup menemaninya saja hingga pasien bisa beristirahat kembali.”

“Ba-baik dok”

Setelah itu, kedua dokter berpamitan untuk meninggalkan kamar ini.

Sepeninggalan kedua dokter itu, Astrid kembali menatap saya.

“Kamu siapa?” kembali lagi pertanyaan yang sama saya tanyakan ke gadis itu.

“Mas gak kenal sama Astrid?”

“Saya tidak mengenalmu... dan siapa saya?” tanya saya ke dia.

Ia tersenyum, kemudian menggenggam tangan saya tapi saya tetap diam dan tak membalas genggaman tangannya itu.

“Aku Astrid mas... Astrid Purnama, dan kamu mas Yusuf, tunangan Astrid.” Ohh iya? Tunangan? Hmm! Menarik, tapi tentu saya tidak akan langsung percaya begitu saja dengannya.

“Ohh...”

“Saya ada dimana?”

“Hehe... mas lagi di rumah sakit.”

“Saya tahu di rumah sakit, tapi saya lagi dimana... di tempat mana? Kamu mengerti pertanyaan saya?” sejujurnya saya sempat merasa geram kepada gadis ini, apa yang di tanyakan apapula yang dia jawab.

“Mas... sebaiknya mas istirahat dulu, jangan memaksakan diri untuk mengingat-ngingat dulu semuanya mas.” Ujarnya lagi.

Di saat saya ingin membalasnya, dia kemudian meletakkan jarinya di mulut saya sambil menyuruh saya untuk tidak berbicara lagi. “Ssssttttt... mas jangan banyak bicara, mas istirahat dulu yah.”

Jadi...

Mengenai penyakit amnesia yang di katakan dokter tadi, tentu tak akan bertahan lama, mungkin jika saya tidak menjalankan rencana lainnya kepada mereka berdua, kesempatan saya untuk mengetahui secara detail apa yang terjadi di tempat ini, akan menemui kendala. Tidak mungkin kan, kebohongan ini tak akan di ketahui di saat dokter memeriksa kondisi saya secara detail? Maka dari itu, saya mesti menemui dan berbicara dengan dokter itu.

Saya kemudian memejamkan mata sesaat...

Lalu tanpa sadar, ketika satu sentuhan di lengan membuat saya membuka mata kembali.

“Mas...”

Saya mengernyit dan menatapnya tanpa merubah ekspresi pada wajah saya. Dan saya langsung menangkap ekspresi sedih Astrid kembali, apakah ini bagian dari sandiwaranya lagi?

“Mas... hiks... hiks! Mas Yusuf sudah lupa ma janji mas yang sering mas katakan ke Astrid...” ungkapnya kembali, membuat saya semakin penasaran.

“Apa janji saya?” akhirnya saya bertanya.

“Mas berjanji... tidak akan pernah melupakan Astrid. Tak akan pernah meninggalkan Astrid, tapi apa mas? Justru baru beberapa bulan, mas sudah melupakan Astrid... hiks!”

“Bukannya kamu sudah mendengar kata dokter, saya tidak sengaja lupa semuanya. Amnesia yang saya derita sekarang ini, tentu saja bukan kemauan saya” ujar saya menjelaskan, yang seharusnya dia juga mengerti, tak perlu bersedih jika memang ini bukanlah ‘Sandiwara’, bukan? karena sudah jelas dari penjelasan kedua dokter tadi, jika saya tengah menderita amnesia.

“Mas...”

Saya diam tapi tetap menatap wajahnya.

Wajahnya lumayan cantik, tapi saya tidak akan pernah terkecoh dengan kecantikan seorang wanita. Karena justru kecantikan seorang wanita ini lah peluru yang paling tepat buat menghancurkan kami. Khususnya saya, dan itu tentu tidak akan terjadi, karena saya sangat sulit untuk menyukai seorang wanita.

Kemudian...

Saya menatap gadis itu lagi untuk sesaat, karena dia masih belum mengatakan sesuatu.

“Mas... Astrid merindukanmu, mas” Pffhhhh! Saya ingin tertawa mendengarnya saja. gadis ini, sangat amat pandai juga yah melakukan sandiwara.

“Mas...”

Lagi-lagi dia memanggil saya dengan mas. Ingin rasanya saya mengatakan, jika saya bukan orang jawa, saya asli berasal dari luar pulau jawa, Cuma memang di tugaskan di ibu kota.

Pfffhhh! Apakah perawakan saya memang seperti mas-mas yah?

Kesal juga sih, Cuma ya sudah lah saya juga memang sedang bersandiwara ‘Amensia’ kan? Jadi sama-sama, mari bersandiwara. Hoho!

Namun...

Di saat saya ingin memejamkan mata, saya menyadari jika dia bergerak mendekat. Dia mau ngapain? Apa dia ingin membunuh saya?

Saya langsung dengan sigap menatapnya dengan tajam, di saat lengannya sudah menindih dada saya. Kemudian kepalanya mendekat.

Tunggu?

Jangan-jangan dia ing-



CUPPPP!!!



DEGH!!!




Still Continued...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd