Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Preman Masuk Pesantren Lanjutan

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Chapter 1




"Siapakah mereka, Pak?" Aku berharap sebuah jawaban yang berbeda dari dugaanku, kalau jawabannya sama dengan apa yang kupikirkan maka itu adalah sebuah tragedi yang mengerikan.

"Bapak tidak tahu siapa, hanya itulah yang bapak ketahui dari Mbak Ti." Jawaban Bapak terdengar ragu, dia belum mempercayaiku sepenuhnya seperti pengakuannya.

"Lalu kenapa Bapak menghalangiku menemani Shinta, menemui Mbak Ti?" Aku heran, perkataan Bapak seperti mengada ada. Ada sesuatu yang disembunyikan dari Shinta.

"Tolong, jangan tanyakan alasan Bapak, Bapak tidak mau Shinta akan sangat membenci ke dua orang tuanya kalau sampai tahu alasan mereka membuangnya." Bapak menatapku, wajah tuanya terlihat semakin tua dalam waktu hanya beberapa hari, begitu rapuh mengharapkan uluran tanganku.

"Baiklah Pak, saya akan berusaha membujuk Shinta mengurungkan niatnya." Jawabku, Shinta lebih beruntung dibandingkan dengan nasibku. Dia dibesarkan orang tua angkat yang sangat mencintainya, sedangkan aku harus dibesarkan oleh ibu tiri yang menganggapku sebagai anak jadah pembawa sial. Aku tidak mau kebahagiaan Shinta terganggu setelah mengetahui alasan ke dua orang tua kandung yang sengaja membuangnya. Cukup aku yang mengalami kepahitan hidup yang terasa tidak adil.

"Kita pulang, Nak..!" Bapak menepuk pundakku yang sedang memandangi mata kail yang belum tersentuh umpan sejak tadi, bahkan seekor ikanpun tidak mau memakan umpanku. Aneh, padahal keahlian ku mancing tidak perlu diragukan lagi.

"Iya, Pak..!" Jawabku pelan, kisah hidup Shinta dan teka teki siapa orang tuanya menambah beban hidupku dalam sekejap, semoga apa yang kupikirkan tidak pernah terjadi. Membayangkannya saja sudah membuatku muak, kenapa aku harus terjebak pada situasi seperti ini.

Sampai rumah aku segera masuk ke dalam kamar, melihat Shinta sedang sibuk berkemas.

"Dapat, Mas?" Tanya Shinta tersenyum malu malu, sepertinya dia masih terusik dengan kejadian semalam. Betapa liarnya dia di ranjang, menanggalkan semua kealimannya.

"Sudah kuduga, dari dulu bapak kalau pulang mancing jarang dapat ikan." Shinta tertawa geli, kebahagiaan terpancar dari raut wajahnya.

"Masa..!" Aku duduk di sisi ranjang tepat menghadap Shinta yang sedang sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam tas yang diletakkan di atas meja, beberapa kitab tertata rapi di atasnya.

"Iya, aku sering diajak bapak mancing tapi belum pernah dapat ikan. Entah apa yang salah dengan umpan atau kail yang dipakai, soalnya aku lihat orang yang mancing di dekat kami selalu berhasil mendapatkan ikan." Jawab Shinta diakhiri tawa kecil, wajahnya begitu bahagia mengenang masa kecilnya pindah membuatku sedikit banyak merasa iri dengan keberuntungannya.

"Lucu ya, mungkin pemancing lain mempunyai umpan yang disukai ikan." Jawabku lebih tertarik melihat raut wajah Shinta yang menurutku semakin cantik, auranya semakin memancar.

"Shinta, sepertinya kita tidak perlu ke kampung halaman bapak untuk mencari Bude Ti, itu hanya akan buang buang waktu." Aku mulai menyinggung rencana kami untuk ke kampung halaman bapak mertuaku, mencari tahu keberadaan orang tua kandung Shinta.

"Aku harus mencari tahu siapa orang tuaku sebenarnya, kenapa mereka sampai membuangku." Jawab Shinta tanpa menoleh ke arahku, tekadnya sulit untuk ditentang. Keras kepala, begitu kata mertuaku mengenai sifat Shinta. Dan seperti itulah Shinta yang kukenal selama tinggal di pondok pesantren.

"Kita bisa minta tolong Nyai Jamilah, bukankah menurut kamu dia mantan polisi? " Aku belum menyerah, berusaha membujuk Shinta. Setidaknya dia harus menghargai ku sebagai suami, Shinta pasti tahu kewajibannya sebagai seorang istri.

"Nyai Jamilah sudah berhenti, bagaimana caranya dia akan menolongku? Lagi pula, kita tidak perlu melibatkan Nyai Jamilah dalam hal ini. Ini rahasiaku, aib keluarga yang harus aku simpan rapat-rapat." Jawab Shinta tegas, dalam situasi seperti ini dia masih bisa berpikir jernih.

"Atau begini saja, aku yang akan mencari informasi siapa orang tua kandungmu?" Aku masih berharap Shinta mau mendengarkan usulku, terlalu riskan kalau sampai aku mengetahui siapa orang tua kandung Shinta adalah Nyai Nur yang juga adalah ibu kandungku. Semoga bukan begitu kenyataannya, itu tragedi paling menakutkan dibanding kematian.

"Kamu?" Shinta berhenti melipat baju, dia memandangiku heran.

"Ya, aku yang akan melakukannya sendiri. Kalau kita berdua yang bertanya langsung ke Bude Ti, ada kemungkinan dia akan merahasiakannya. Berbeda kalau aku melakukannya seorang diri, aku bisa membuat strategi sehingga dia mengatakan siapa orang yang sudah memberikannya anak." Jawabku, berusaha meyakinkan Shinta, inilah strategi terbaik yang bisa dilakukan.

"Lalu, bagaimana dengan aku?" Shinta menatapku tajam, semakin membuat sepasang matanya terlihat indah.

"Pondok membutuhkan tenagamu sebagai santriwati paling senior, kamu bisa ikut bantu Nyai Nur dan Nyai Jamilah mengajar para santriwati." Jawabku menemukan ide yang kurasa paling tepat mencegah Shinta.

"Kamu yakin, bisa mendapatkan informasi tentang orang tuaku? Atau jangan-jangan, kamu punya rencana meninggalkanku?" Tanya Shinta membuatku tersedak, bagaiman bisa dia berpikir sejauh itu.

"Ngawur, aku tidak mungkin meninggalkan istri secantik kamu." Aku memeluk Shinta, perasaan sayang semakin tumbuh di hatiku terlebih ada kemungkinan dia adalah adik kandungku. Kemungkinan yang sangat mengerikan.

"Gombal, masih banyak gadis yang lebih cantik dariku." Jawab Shinta dengan wajah bersemu merah, tidak ada wanita yang tidak suka dibilang cantik.

"Serius, aku beruntung bisa memiliki istri secantik kamu..!" Aku berbisik di telinganya yang tidak tertutup hijab, rasanya terlalu mengada ada kalau Shinta tetap memakai hijab di dalam rumah, apa lagi hanya berdua di dalam kamar.

"Hihihi, geli Mas..!" Shinta mengangkat bahunya dan memiringkan kepalanya menahan rasa geli akibat hembusan nafasku yang hangat, justru sifat malu malu seperti itu membuatku semakin bergairah menggelitik telinganya dengan hembusan nafas.

"Mas...!" Shinta menatapku yang tidak berhenti menggoda birahinya, wajahnya bersemu merah saat aku gemas menowel payudaranya yang menyembul indah.

"Kenapa, sayang?" Aku tersenyum, semakin menggodanya dengan remasan lembut pada payudaranya yang masih tersembunyi di balik pakaian, begitu kenyal dan lembut.

"Nakal, aku lagi beres beres." Shinta mendelik manja, nafasnya mulai tidak beraturan mengingatkanku pada keliarannya semalam.

"Bisa ditunda, aku pengen ngerasain kamu nyepong kontolku..!" Bisikku disertai jilatan pada telinganya,

"Ich, jijik..!" Shinta berusaha menghindar saat aku kembali menjilati leher jenjangnya, sengaja menggodaku dengan caranya yang malu malu kucing. Tapi saat gairahnya terbakar, Shinta akan berubah menjadi wanita binal yang memacu kontolku dengan liar seperti semalam.

"Tapi kamu suka kalau kontolku masuk memekmu, kan?" Aku semakin terangsang melihat sikapnya yang malu malu kucing, has santriwati yang akan berlari begitu kita mendekatinya.

"Aku malu, kenapa semalam aku bisa seliar itu." Gumam Shinta, dia berusaha menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya membuatku semakin terangsang untuk menggumuli tubuhnya yang sexy.

"Shinta, ada tamu yang mencari kalian berdua...!" Suara bapak mertuaku terpaksa menunda gairahku yang sudah semakin panas, siapa yang datang mencari kami? Apakah tetangga atau teman masa kecil Shinta yang datang untuk mengucapkan kata selamat? Sungguh sangat mengganggu.

"Enggeh Pak, tunggu sebentar." Jawab Shinta cepat, dia memakai jilbab untuk menemui tamu yang datang.

Kami segera menemui tamu yang datang, sekali ini aku sangat terkejut melihat siapa tamu yang datang, nyaris tidak percaya aku menghampirinya dengan berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk. Aku segera menghampirinya, mencium tangannya yang berbau harum.

"Assalammualaikum, Pak Yai. Saya nggak nyangka Pak Yai berkenan datang, ada yang bisa saya lakukan?" Tanyaku dengan suara bergetar menahan gejolak perasaan yang bercampur aduk melihat Gus Mir duduk dengan senyuman yang memuakkan, topeng yang dikenakan berhasil menyembunyikan wajah aslinya

"Kebetulan aku baru selesai mengisi pengajian di Masjid An-Nur di kampung sebelah, motor yang mengantarku bannya bocor tepat di gang masuk ke arah sini. Ya sudah aku mampir, mudah mudahan kamu bisa ngantar aku ke terminal." Jawab Gus Mir

"Bisa, Pak Yai." Jawabku cepat, semakin cepat dia pergi dari hadapanku akan semakin baik.

"Sekarang saja, aku takut kemalaman sampai pondok." Gus Mir tersenyum penuh arti, matanya berbinar aneh menatapku.

"Loh Pak Yai, jenengan jangan buru buru pulang.!" Bapak keberatan dengan rencana Gus Mir yang buru buru ingin pulang.

"Insya Allah bila ada kesempatan, saya akan mampir dan ngobrol lebih lama." Jawab Gus Mir.

"Ya sudah, biar Zakaria mengantar sampean ke pondok dengan motor." Bapak memberikan kunci motor miliknya berikut STNK.

"Sampeyan nggak keberatan Zakaria mengantar sampai pondok?"

"Nggak masalah Pak, Yai. Jarak dari sini ke pondok sekitar tiga jam kalau naik motor, kalau naik angkutan umum pasti akan lebih lama lagi." Jawab bapak mertuaku, sebuah kehormatan melayani Gus Mir, ulama yang sangat dihormati oleh masyarakat umum dan mereka yang tidak mengetahui siapa sebenarnya Gus Mir, serigala berbulu domba.

Akhirnya dengan berat hati aku terpaksa mengantar Gus Mir dengan meminjam motor bapak mertuaku, setidaknya ada hikmah di balik kejadian ini. Aku bisa mengulur waktu lebih lama sehingga Shinta membatalkan niatnya ke kampung halaman bapaknya, padahal orang tua kandung yang dicarinya berada tidak jauh, bahkan mereka sudah saling mengenal sejak lama

"Kita belok kiri, Zaka.!" Kata Gus Mir membuatku heran, setahuku belok kiri bukan arah menuju pondok.

"Kok belok kiri, Pak Yai? Apa kita akan motong jalan, biar cepat sampai?" Tanyaku yang tidak mengenal jalan di sini, aku hanya tahu jalan raya utama yang dilalui angkutan umum.

"Bukan, kita menemui seseorang yang sudah menunggu." Jawab Gus Mir, bukan urusanku siapa yang sedang menunggunya. Tugasku hanya mengantar Gus Mir sampai tempat tujuan, dalam keadaan selamat tidak kurang apa apa.

"Baik, Pak Yai." Aku menjalankan motor sesuai instruksi Gus Mir, hingga akhirnya Gus Mir memintaku masuk ke pekarangan sebuah hotel bintang tiga. Sepertinya orang yang akan ditemui Gus Mir orang penting, tempat ini tidak sembarang orang yang bisa masuk dan tergolong mewah untuk ukuranku. Bukan urusanku siapa orang yang akan ditemui Gus Mir, aku memarkir motor di tempat yang sudah disediakan.

"Ikut aku, Zakaria..!" Gus Mir mengajakku yang berdiri mencari tempat duduk selama Gus Mir menemui seseorang.

"Saya ikut, Gus?" Tanyaku heran, kenapa aku harus ikut.

"Tentu saja, aku ke mana mana selalu ditemani oleh para santri, biasanya Ahmad yang menemaniku." Jawab Gus Mir membuatku sadar dengan keanehan yang terjadi, ternyata Gus Mir datang seorang diri dan dia sengaja menemuiku tentu untuk dijadikan pengawal yang akan menambah wibawanya sebagai seorang kyai.

"Iya, Pak Yai." Aku terpaksa mengikuti Gus Mir dari belakang seperti yang sering kulihat, para ulama akan selalu diikuti para murid yang berjalan di belakangnya dan itu akan menambah kewibawaannya di masyarakat umum.

Gus Mir masuk ke dalam lobi hotel yang mewah, berjalan melewati resepsionis yang memberinya hormat. Sepertinya Gus Mir sudah sering ke sini, dia sangat hafal seluk beluk tempat ini. Akhirnya Gus Mir berhenti di pintu kamar bernomor xxx, Gus Mir mengetuk pelan. Setelah tiga kali mengetuk pintu, barulah pintu terbuka dan aku terpana melihat Nyai Nur yang membuka pintu. Gus Mir langsung masuk ke dalam kamar tanpa mengajakku yang mematung berdiri memandang Nyai Nur, apa yang sedang direncanakan oleh Gus Mir sehingga mengikut sertakan Nyai Nur?

"Masuk Zakaria, kamu kaget ya melihatku di sini?" Nyai Nur menggandeng tanganku masuk ke dalam kamar yang memiliki dua spring bed besar, begitu santai tidak memperdulikan keberadaan Gus Mir.

"Ada apa ini, Nyai?" Tanyaku gelisah, kenapa ada ibu kandung yang sudah membuangku sehingga aku harus hidup dengan ibu tiri yang menganggapku sebagai anak pembawa sial? Rencana apa lagi yang mereka rencanakan , untukku?

"Rileks Zakaria, Aku hanya ingin memberimu hadiah kejutan untuk pernikahanmu dengan Shinta." Jawab Gus Mir, nada suaranya sangat memuakkan. Ingin rasanya aku merobek robek mulut berbisanya.

"Sssst, nikmati saja sayang..!" Bisik Nyai Nur meletakkan jari telunjuknya di bibirku, aku menatapnya dengan berbagai perasaan yang sulit aku jabarkan, antara kerinduan, cinta dan sekaligus benci atas semua penderitaan yang kualami selama ini

"Bukan Nyai Nur istriku yang akan jadi hadiahmh, Zakaria." Gus Mir tertawa kecil, dia menebak pikiranku dengan tepat.

"Ya, bukan aku yang akan menjadi hadiah utamanya, karena kamu sudah sering menikmati tubuhku. Yang ini berbeda, dia wanita yang istimewa." Nyai Nur menarik tanganku agar duduk di sisinya di atas spring bed empuk yang memantul saat pantatku jatuh di atas permukaannya.

"Aku harus pulang, Shinta adalah hadiah terindah dalam hidupku." Jawabku menahan kemarahan yang nyaris memecahkan kepalaku.

"Ya aku tahu, makanya kamu harus menunjukkan rasa terimakasih mu kepadaku." Jawab Gus Mir, entah rencana busuk apa yang berada di otaknya..

"Aku tidak mengerti, Gus..!" Jawabku, setelah berhasil mengendalikan kemarahanku.

"Sssssss, dari pada kita berdebat tentang hadiah yang masih dalam perjalanan, lebih baik kamu menikmati hidangan pembuka yang tidak kalah nikmatnya." Bisik Nyai Nur, dia mendorongku rebah.

"Nyai, apa yang akan kamu lakukan?" Ah, kenapa gairahku justru memuncak dengan cepat saat Nyai Nur merangkak di atas tubuhku, aku hanya bisa memilikinya diantara kobaran api birahi.

"Kenapa sayang, bukankah kamu sudah sering menikmati jepitan memekku?" Goda Nyai Nur yang berubah menjadi binal menciumi leherku, membuatku menggelinjang nikmat.

Kupeluk kepalanya yang tertutup hijab, kuhirup aroma yang keluar dari tubuhnya. Aku bisa merasakan kebahagian semu karena berhasil memilihnya, wanita yang sudah melahirkan ku dan kemudian meninggalkanku ke wanita lain yang memperlakukan ku sebagai pelampiasan kemarahannya karena tidak mampu memberikan seorang keturunan kepada ayahku. Walau pada akhirnya wanita itu berhasil hamil, namun kebenciannya kepadaku tidak pernah berakhir dan menganggapku sebagai pembawa sial.

"Kamu suka, sayang!" Bisik Nyai Nur, hembusan nafasnya membuatku bahagia, sudah seharusnya aku mendapatkan perlakuan istimewa darinya, wanita yang sudah melahirkan ku.

"Iya, Nyai..!" Aku tersenyum, menyambut bibirnya yang hangat mencumbu bibirku. Kuhisap bibirnya yang manis, kucari air liurnya sebagai pengganti ASI yang tidak pernah kudapatkan darinya. Sekarang, aku mendapatkan hakku.

"Hei hei, kalian sudah mulai saja..!" Seru Gus Mir membuatku muak, persetan dengannya. Aku hanya ingin menikmati saat saat Nyai Nur memperlakukan dengan cara yang sangat istimewa.

"Nyai, aku bahagia .!" Bisikku jujur, kutatap wajahnya saat dia akan melucuti bajuku. Begitu cantik, semuanya adalah milikku dan sudah seharusnya aku memilikinya Nyai nur hanya tersenyum simpul, jemari lentiknya mulai membuka satu persatu kancing baju Koko yang kukenakan.

"Dadamu berotot, sangat sexy." Aku tersenyum bahagia saat Nyai Nur membelai dada bidangku yang berotot, mempermainkan puting dadaku yang mengeras oleh sensasi yang lebih dahsyat dibandingkan wanita lain yang melakukannya.

Gerakan Nyai Nur saat mendekatkan wajahnya yang cantik ke dadaku, seperti sebuah gerakkan lambat sehingga aku bisa melihat setiap pori pori wajahnya dan setiap helai bulu halus di wajahnya. Ya Tuhan, dia adalah milikku dan harus menjadi milikku secara utuh.


"Iiii....Nyai...!" Aku mengatupkan bibir, hampir saja aku memanggilnya ibu. Nyai Nur hanya menoleh sesaat lalu kembali menciumi dada bidangku, menghirup aroma tubuhku yang lahir dari rahimnya. Lidahnya bergerak menyusuri tekstur kulitku yang tertempa oleh kegetiran hidup, dia akan bisa melihat luka memanjang di dadaku, luka yang terjadi oleh hantaman rotan dari ibu tiriku. Dia harus bisa merasakan penderitaan yang tergambar oleh luka itu.

"Ini luka karena, apa?" Nyai Nur menatapku, membuatku hampir menangis mengingat kejadian yang terjadi saat aku berusia 10 tahun. Ibu tiriku murka karena pengaduan tetanggaku yang buah mangganya aku curi bersama teman temanku, rotan yang dipegangnya menghantam dada telanjangnya sehingga meninggalkan luka yang tidak akan pernah hilang, baik luka di kulit terlebih luka yang tergores di dasar sanubariku.

"Kenakalan masa kecil, Nyai..!" Jawabku bersusah payah mengatakan kalimat yang nyaris membuat tangisanku pecah, hanya kekerasan hatiku yang membuatku mampu bertahan.

"Sakit..?" Pertanyaan itu membuatku tidak mampu menahan air mata yang bersusah payah aku tahan, aku mengangguk berusaha menyembunyikan air mataku dari Gus Mir. Kubenamkan wajahku ke dada Nyai Nur, air mataku membasahi bajunya. Kenapa baru sekarang dia menanyakannya setelah kami sering bercumbu, menumpahkan semua syahwat tabu.

"Ning, kenapa kamu belum membuka pakaianmu?" Tanya Gus Nur membuatku muak, aku hanya ingin menangis menumpahkan semua keluh kesah ku yang tersimpan rapat.

"Aku buka baju dulu ya, sayang..!" Nyai Nur menghapus air mataku dengan ciumannya, membasuh lukaku dengan geliat birahi semu. Perlahan Nyai Nur membuka pakaian lebar yang berhasil menyembunyikan kebinalannya, dengan gerakan perlahan sehingga tidak menimbulkan kecurigaan Gus Mir, Nyai Nur menghapus sisa sisa air mataku.

"Tunggu dulu, dia sudah datang.!" Seru Gus Mir, mencegah Nyai Nur menelanjangi dirinya.

"Hadiahmu sudah datang, sayang..!" Bisik Nyai Nur lirih, suaranya bergetar menyembunyikan sesuatu yang tidak aku mengerti.




Bersambung
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd