Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Preman Masuk Pesantren Lanjutan

Status
Please reply by conversation.
Chapter 3



""Dendam lama, kamu tidak perlu tahu itu." Jawab Henny menyanggul rambutnya yang tergerai sehingga lehernya yang jenjang semakin terlihat menonjol, aku menatapnya takjub. Gadis ini terlalu cantik untuk menyimpan sebuah dendam, dia lebih pantas menjadi wanita sempurna.

Entah apa yang sudah dialaminya, sehingga dia berniat untuk membunuh Gus Mir. Atau, apa yang sudah dilakukan oleh Gus Mir, sehingga Henny sangat membencinya sebegitu rupa.

"Maaf, aku terlalu mencampuri urusanmu, tapi aku harus tahu sebuah alasan yang kuat sehingga kamu menyuruhku untuk membunuh Gus Mir." Aku menatap Henny, berusaha menyelami apa yang sedang dipikirkannya. Ah, aku hanya bisa mengagumi kecantikannya semata.

"Sudahlah, kalau kamu tidak sanggup melakukannya aku tidak akan memaksamu." Henny menatapku tajam, sebuah senyum samar membayang dari bibir sensualnya yang menggiurkan. Bukan sebuah mimpi, bibir itu baru saja memanjakan kontolku yang tidak tahu diri.

"Ya, memang." Aku tidak perlu merasa bersalah karena mengingkari janji, karena aku bukan seorang pembunuh. Janji, sebenarnya aku tidak pernah mengucapkan janji itu.

"Kamu sepertinya terbiasa ingkar janji, aku merasa tidak heran dengan hal itu." Jawab Henny, dia duduk di depan meja rias membelakangiku. Siluet tubuh yang seharusnya menggairahkan, tertutup gamis lebar. Aku sudah menyia-nyiakan kesempatan yang ada saat gadis itu mempertontonkan tubuh moleknya.

Aneh, gairahku kembali bangkit tidak terkendali melihat tubuh molek itu tersembunyi di balik gamis lebarnya. Kontolku mulai bereaksi, perlahan bangkit hingga akhirnya tegak sempurna.

"Terserah penilaianmu, kamu sudah tahu banyak tentang aku dan seperti yang kamu tahu aku seorang perampok bukan seorang pembunuh." Jawabku ketus, wanita ini terus menerus menginjak harga diriku dengan sikapnya. Mengintimidasi dengan cara elegan, menarikku masuk dalam jeratnya yang sangat berbisa

"Hihihi, benar kata Nyai Jamilah, kamu mudah terpancing." Henny memandangku dengan kerling mata yang sulit aku terka, entah dia sengaja menggodaku atau justru sedang mengejekku.

Aku memejamkan mata, mengumpulkan semua tekad yang kumiliki untuk bertahan, tetap sadar dan bisa berpikir jernih.

"Ka....kamu kenal Nyai Jamilah?" Tanyaku kaget, entah rencana apa lagi yang dijalankan Nyai Jamilah, Nyai Nur dan Gus Mir, mereka seperti sebuah lingkaran yang sedang mempermainkan hidupku.

Hidupku, apa aku masih memiliki hidup yang bebas merdeka? Bukankah hidupku sendiri dibayang bayangi rasa takut terus menerus sehingga aku terpaksa mengikuti cara mereka untuk melindungi diri.

"Ya tentu, Nyai Jamilah salah satu Ustadzah yang sering mengisi ceramah di kampusku, seperti juga Nyai Nur. Bahkan, Nyai Jamilah yang pertama kali merekomendasikanmu sebagai suami mut'ah ku selama beberapa bulan." Jawab Henny membuatku terpaku, ternyata aku belum mengenal Nyai Jamilah, dia sebuah rahasia di balik rahasia. Aku tidak pernah bisa menjangkaunya dari tempatku, yang bisa kuraih hanyalah tubuhnya, bukan jiwanya.

"Dan kamu tahu, pekerjaan ku yang sebenarnya adalah seorang perampok yang menjadi DPO dari Nyai Jamilah?" Aku mulai mengerti, kenapa Henny mengetahui masa laluku, yang aku heran kenapa Nyai Jamilah begitu lancang memberi tahu masa laluku kepada orang asing. Situasiku akan sangat berbahaya, polisi bisa dengan mudah mengendus keberadaan ku. Bayang bayang jeruji besi membuatku putus asa, entah berapa lama aku akan meringkuk di dalamnya.

"Ya, aku sudah mengganggap Nyai Jamilah seperti kakak kandungku sendiri. Aku adalah anak tunggal dari keluarga berada, dan Alhamdulillah aku dikaruniai wajah yang menurut orang sangat rupawan sehingga banyak pria yang bertekuk lutut mengemis cinta padaku. Aku bosan dengan situasi seperti itu hidupku sangat monoton, aku ingin membuat hidupku lebih bermakna." Henny terdiam beberapa saat, matanya menerawang entah apa yang sedang dipikirkannya. Beberapa kali dia menyibakkan anak rambut di keningnya yang halus, dihembuskannya nafas yang membebani pikirannya.

"Lalu?" Tanyaku memecahkan kesunyian setelah beberapa menit gadis itu larut dalam lamunannya, Henny memandangku dengan senyum tipis membayang samar. Senyum yang mulai menarik birahiku untuk mengulumnya, mengajaknya larut dalam badai nafsu yang mulai menguasai jiwaku.

"Lalu,..... Aku mengenal seorang pemuda berwajah sangat mirip denganmu, kalian seperti pinang dibelah dua." Henny berjalan mendekatiku dan membungkuk saat berada di hadapanku, jemari lentiknya mengangkat daguku sehingga kami saling bertatapan sekian lama. "Aku jatuh cinta padanya, pada tutur katanya yang lembut. Tingkah lakunya yang agamis berhasil menuntunku untuk berhijrah, hijrah dalam arti menjalankan ajaran Islam secara kaffah." Wajah cantik Henny tidak bisa menyembunyikan duka yang membayang di wajahnya, senyumnya yang indah berusaha menyembunyikan kepedihan hatinya.

"Ya, kalian pasti bahagia." Gumamku, terbayang Dewi yang kini harus meringkuk dalam penjara. Secara tidak langsung, akulah yang menjerumuskan hidupnya menjadi sampah masyarakat. Akulah yang seharusnya bertanggung jawab menyelamatkannya, bukan malah menghancurkan hidupnya.

"Tapi dia justru mengkhianati cintaku, dia mencampakkan ku begitu saja dan menganggapku tidak berguna." Gumam Henny, dia mendorong dadaku hingga jatuh terlentang di atas spring bed empuk yang menurutku sangat mewah. Ah, kenapa kisah gadis ini sangat mirip dengan Dewi. Kami seperti mempunyai sebuah kesamaan dalam hidup.

Aku menatap Henny tak percaya, rasanya mustahil ada seorang pria yang mencampakkan wanita secantik Henny. Mustahil, kecuali pria itu tidak waras. Aku menggelengkan kepala, berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari bibir sensual Henny.

"Kamu tidak percaya dengan ceritaku, ini?" Tanya Henny menatapku tajam, dia tidak berusaha menyembunyikan rasa kecewanya. Dia kembali membuka gamis lebar yang dipakainya dan mencampakkannya ke lantai, dia sudah tidak membutuhkan pakaian itu ketika melihat kontolku ngaceng maksimal. Dia juga mencapakkan pakaian dalamnya, melemparkan celana dalamnya ke wajahku yang menciumi celana dalamnya dengan bernafsu, aroma memeknya begitu tajam menempel.

"Sulit dipercaya, ada pria mencampakkan wanita secantik kamu." Jawabku jujur sambil terus memegang celana dalam Henny, aku tidak mau dipermalukan untuk kedua kalinya. Aku harus lebih bisa menahan diri, sehingga kontolku tidak mempermalukan ku untuk kedua kalinya.

"Ternyata memang ada, karena pria itu memilih meninggalkanku untuk mendapatkan kemuliaan bersanding dengan 72 bidadari di surga yang akan tetap perawan seperti yang dikatakan para ustadz. Pria itu meninggalkanku dan pergi mengikuti langkahnya untuk menjadi seorang mujahid, dia mencampakkanku, pergi ke sebuah negeri yang sedang dilanda konflik berkepanjangan hingga akhirnya aku mendengar kabar, dia mati dengan cara yang diinginkannya sebagai syuhada. Hahahaha, lucu sekali, dia memerangi saudara seagamanya sendiri untuk mendapatkan surga dan bersanding dengan 72 bidadari." Henny merangkak naik dan kemudian tengkurap di atas tubuhku sehingga payudaranya yang sekal menempel lembut didadaku, matanya menatapku penuh selidik antara nafsu dan kemarahan yang tersimpan di hatinya.

Apa yang dirasakan Henny, bukanlah urusanku dan aku tidak perlu mati konyol untuk mendapatkan bidadari. Saat ini bidadari itu sudah berada di atas tubuhku, dia datang menyerahkan dirinya secara suka rela. Nikmat apa lagi yang harus aku ingkari, aku harus bersyukur untuk hal ini.

"Maksud kamu, pria itu pergi ke Syuriah?" Tanyaku bergidik ngeri, terbayang olehku pembantaian manusia dengan dalih yang menurutku tidak masuk akal dan sangat mengada ada. Kebencian, bau anyir darah adalah hal yang sangat menjijikkan. Kedamaian dan senyum anak anak akan dirampas paksa, masa depan yang tidak pasti akan membuat mereka terlunta-lunta lunta dibayangi rasa takut.

Ah, kenapa harus mengejar bidadari yang belum pasti sementara ada bidadari lain di hadapannya. Sungguh bodoh pria itu yang sudah mencampakkan bidadari yang kini berada di atas tubuhku dengan tubuh polosnya, siap membawaku ke surga dunia yang sangat indah, walau dia bukanlah perawan yang tetap suci setiap kali kita gauli. Perlahah, aku membelai pantatnya yang halus dan hangat, meremas kekenyalannya yang memabukkan.

"Seperti itu, kamu percaya akan ada 72 bidadari yang akan menyambutnya ketika dia mati?" Tanya Henny tersenyum sinis, menertawakan kebodohan pria yang sudah membuatnya jatuh hati. Hembusan nafasnya menerpa wajahku, hangat dan harum.

"Aku nggak tahu, karena aku belum pernah mati." Jawabku diplomatis, hanya mereka yang sudah mati yang tahu jawabannya. Lagi pula seburuk buruknya aku, aku masih sangat percaya bahwa Islam itu rahmatan lill 'almiin. Islam selalu menyebarkan kebajikan di atas muka bumi, bukan justru sebaliknya. Islam akan melindungi kaum minoritas seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah. Toleransi adalah syarat mutlak dalam Islam yang rahmatan lill 'alamiin.

"Hahaha, pikiranmu tidak bisa dibantah. Ah, andai aku tidak bertemu dengan Nyai Jamilah, hidupku akan semakin hancur dan dipenuhi kebencian kepada setiap orang yang tidak sejalan dengan pikiranku." Henny tiba tiba mencium bibirku, melumatnya dengan bernafsu. Dia seakan ingin melupakan semua dukanya, lidahnya bergerak masuk menjilati rongga mulutku liar

Kali ini aku tidak berusaha menolaknya, aku membalas pagutan Henny dengan penuh gairah. Kapan lagi aku bisa menikmati bibir sensual seorang bidadari kalau memang ada di alam dunia ini. Kuhisap kehangatan bibirnya seperti yang biasa kulakukan dengan wanita lainnya, tapi sensasi yang saat ini kurasakan jauh berbeda. Setelah sekian lama bibir kami bersatu, akhirnya Henny berhenti lebih dulu. Dia menatapku tajam, membuatku berkelit dari tatapannya..

"Kamu menyuruhku membunuh Gus Mir, karena dia yang mempengaruhi kekasihmu hingga pergi mencampakkanmu?" Tanyaku berhati hati, aku ngeri membayangkan Henny mengiyakan pertanyaanku. Itu artinya, Gus Nur terlibat dalam jaringan itu.

"Bukan, aku hanya bercanda. Kamu pikir, aku serius mengatakan hal itu? Aku bukan psikopat, yang terobsesi mencium bau anyir darah."jawaban Henny membuatku lega, gadis ini bukanlah iblis berwajah bidadari seperti yang aku takutkan. Dia hanya gadis lemah yang berusaha menutupi kerapuhan hatinya dengan cara yang salah.

"Syukurlah, aku lega sekarang. Yang masih membuatku tidak mengerti, alasanmu menikah mut'ah denganku?" Aku menatap Henny tepat pada manik manik hitam matanya, indah sekali seakan menghipnotis kesadaranku. Sekilas, aku seperti melihat duka dari manik manik matanya.

"Karena wajahmu sangat mirip dengan pria yang sudah mencampakkanku, pertama kali aku melihatmu di saat datang melayat waktu Mbah Kholil wafat." Jawab Henny, dia membelai wajahku yang mulai berkeringat karena harus menahan beban tubuhnya yang menindihku.

Aku berusaha mengingat, adakah wanita bercadar di antara para pelayat yang datang dengan mengenakan cadar seperti penampilan Henny? Rasanya aku tidak melihat wanita bercadar, karena itu akan sangat mencolok dan akan menjadi pusat perhatian, bahkan mungkin akan menjadi bahan gunjingan para santri. Bagi kami, wanita bercadar adalah hal aneh, kami tidak pernah diperintahkan untuk bercadar. Cukup menutup aurat dengan pakaian yang pantas, tidak berlebihan seperti memakai cadar.

"Aku tidak melihat ada wanita bercadar yang datang, aku yakin itu." Aku menatap Henny yang mulai terasa berat dan membuatku kesulitan bernafas, tapi aku tidak berusaha melepaskan diri dari tindihannya. Kehangatan tubuhnya, kehalusan kulitnya membuatku tidak mau melepaskan momen seperti ini.

"Kamu pikir aku gila, datang ke pondok pesantren tradisional yang sangat mengagungkan kebudayaan lokal sebagai bagian dari iman. Tentu aku harus beradaptasi dengan mereka, lagi pula pakaian yang kukenakan hanya karena aku bosan melihat tatapan liar penuh syahwat dari pria hidung belang. Aku ingin bebas beraktivitas tanpa kejaran para pria hidung belang yang menjadikan diri mereka sebagai budakku, cadar yang aku kenakan bisa melindungiku dari hal ini dan Nyai Jamilah dan Nyai Nur tidak melarangku." Jawab Henny.

Kami saling bertatapan, manik manik mata Henny semakin membesar menyeret ku dalam gairah birahi.

"Kontolmu sudah ngaceng lagi, semoga kali ini tidak mengecewakanku." Bisik Henny, dia menggerakkan pinggulnya sehingga kontolku bergesekan dengan memeknya yang tidak pernah ditumbuhi bulu.

"Kamu benar-benar menginginkan hal ini, Henny?" Untuk pertama kali aku memanggil namanya, tanganku meremas pantatnya yang sekal dan kulitnya sangat halus.

"Ya, aku menginginkannya setelah pria itu mencampakkanku tanpa pernah menyentuhku." Bisik Henny, disudahi dengan menjilati belakang telingaku. Aku menggeleng geli, salah satu daerah sensitif ku berhasil membuatku semakin terbakar birahi.

Tanpa sadar, aku menggerakkan pinggulku sehingga kontolku bergesekan dengan permukaan memeknya yang lunak dan hangat. Aku sudah sangat tidak sabar untuk membenamkan kontolku ke dalam lobang sempit Henny dan berpikir apakah memeknya sebanding dengan wajah cantiknya?

"Kamu nakal, kontolmu sudah berani menggesek gesek memekku...!" Seru Henny, matanya terpejam merasakan sensasi nikmat yang tidak bisa dipungkirinya.

Perlahan, aku miringkan tubuh hingga akhirnya gadis cantik itu rebah di sampingku dengan pasrah, tubuh bugilnya membuatku tidak berkedip mengaguminya. Gila, tubuh seindah ini ditinggalkan demi sebuah keyakinan yang tidak masuk akal.

"Jangan kecewakan aku, Yudha..!" Bisik Henny memanggilku Yudha, itukah pria yang sudah mencampakkannya?

"Yudha. !" Aku menatap Henny, yang mengangguk mengiyakan pertanyaanku yang tidak terucap.

"Aku ingin menikmati malam ini, Yudha. Singkirkan semua obsesi gilamu yang tidak masuk akal itu, aku adalah bidadari yang menjadi hadiahmu tanpa perlu mengorbankan nyawamu yang sangat berharga." Bisik Henny, dia menarik wajahku ke arah payudaranya yang montok dan tidak sedikitpun mengendur. Sempurna, seperti payudara gadis ABG yang tidak pernah tersentuh.

Harum sekali payudaranya, menyegarkan paru-paruku. Hawa hangat menjalari wajahku, padahal masih kulit kami belum bersentuhan. Puting payudara Henny terlihat semakin mengeras saat lidahku terjulur menyentuh permukaan payudaranya yang halus.

"Ahhhh, jangan siksa aku Yudh. Aku milikmu sekarang....!" Henny menggeliat merasakan sentuhan lidah kasarku, perlahan menyusuri sekeliling puting payudaranya.

"Jangan panggil aku Yudha, karena aku bukan Yudha." Kataku jengkel, terlalu konyol kalau aku harus memerankan pria lain.

"Hahahaha, bukankah dengan cara itu kamu akan lebih perkasa?" Goda Henny, dia meremas sepasang payudaranya menggodaku.

"Aku bisa menaklukkan mu tanpa berperan sebagai orang lain." Jawaku ketus, mataku terus tertuju pada gerakkan Henny meremas payudaranya dengan lembut.

Kenapa aku harus pusing dengan panggilannya, payudara ini tidak bisa aku biarkan mengganggur begitu saja. Aku segera menghisap putingnya dengan rakus, persetan Henny akan memanggilku apa. Aku lebih fokus menghisap puting kenyal disertai gigitan lembut yang membuat gadis cantik itu semakin menggeliat dan tangannya merangkul kepalaku.

"Iyaaa, begitu sayang ....!" Jeritan kecil Henny semakin membakar birahiku, membuatku semakin rakus menghisap puting payudaranya bergantian.

Tanganku mulai ikut beraksi, menyentuh memeknya yang gundul. Heran, ternyata ada wanita yang sama sekali tidak ditumbuhi bulu area memeknya. Ini benar benar alami, tidak ada bekas cukuran.

"Aaahhh, ihhhh kamu sudah berani ya? Awas, jangan kecewakan aku..!" Seru Henny, pahanya semakin terbuka memberiku ruang untuk menjelajahi memeknya. Jariku menyentuh celah sempit yang mulai basah, kugesek dengan lembut hingga menyentuh itilnya yang mungil. Kugelitik itilnya hingga membuat pinggul Henny terangkat tanpa disadarinya.

Aku menatap wajah Henny, matanya terpejam dengan desisan halus yang terus keluar dari bibirnya yang sensual, dia sangat menikmati jemariku yang terus mempermainkan itilnya dan beberapa kali menyentuh permukaan lobang memeknya. Wajahnya terlihat semakin cantik dan bersemu merah oleh birahi yang membakar jiwanya, lehernya yang jenjang terlihat semakin indah saat wajahnya mendongak meresapi rasa nikmat yang diperolehnya.

"Ahhhh, Zaka geliiii ..!" Henny menggelengkan wajahnya saat aku menciumi leher jenjangnya, kutinggalkan bercak merah sebagai tanda aku pernah menyentuh nya.

Puas bermain main dengan leher dan payudara, aku mengalihkan sasaranku pada memeknya, perlahan aku membuka belahan pahanya agar aku bisa leluasa bermain main dengan memeknya yang hanya berupa belahan tipis yang sangat rapat. Wajahku semakin mendekati memeknya, jemariku membuka belahannya untuk melihat bagian dalamnya yang berwarna merah dan terlihat sangat basah.

"Uhhhh, jilatin memekku sayang...!" Henny menarik rambutku sehingga wajahku tersungkur di memeknya, dia sangat tidak sabar untuk merasakan jilatan lidah kasarku pada memeknya.

Lidahku menyentuh memeknya, menjilat cairan birahi yang terus menerus keluar dari dalamnya. Harus kuakui, rasanya tidak berbeda dengan cairan memek wanita lain yang pernah kurasakan, tapi sensasi yang kurasakan selalu berbeda-beda dari setiap wanita.

"Aduhhh, ennak banget...!" Jeritan kecil Henny mengiringi gerakan lidahku menggelitik itilnya, membuatku semakin bersemangat untuk memberikan pelayanan maksimal.

Aku semakin asik menghirup aroma memek Henny yang semakin tajam seiring dengan cairan birahi yang tidak berhenti merembes keluar, padahal aku sudah berusaha menyeruputnya habis. Tapi semakin banyak cairan yang keluar, hingga sebagian membasahi sekitar area bibir dan daguku.

"Ampunnnnn, ak Akku kelllllluaarrrrr...!" Teriak Henny setelah hampir sepuluh menit lidah dan bibirku bermain main di area memeknya. Pinggulnya terangkat, menyambut orgasme dahsyat dan aku berharap orgasme yang didapatkannya lebih dahsyat dibandingkan dia mendapatkannya dari pria lain.

"Sudah Zak, masukin kontolmu sayang..!" Henny mendorong wajahku menjauh dari memeknya, keinginannya merasakan sodokan kontolku pada memeknya terpancar jelas di wajahnya yang semakin cantik.

Perlahan aku merangkak di atas tubuhnya yang terlentang pasrah, kami saling bertatapan dengan makna yang berbeda. Aku mengarahkan kontolku pada celah sempit yang sangat basah, kugesek gesekkan pelan untuk memastikan memek Henny sudah siap menerima kehadiran kontolku yang menurut para wanita termasuk besar bahkan yang terbesar yang pernah mereka rasakan.

"Masukin, aku sudah nggak tahan..!" Seru Henny, dia mengangkat pinggulnya dengan perasaan tidak sabar.

Perlahan aku mendorong kontolku memasuki memeknya, aku tidak mau tergesa gesa melakukannya. Ukuran kontolku terlalu besar, sehingga ada beberapa wanita yang kapok ngentot denganku. Dan aku tidak mau sampai Henny kapok ngentot denganku, sebuah kerugian besar buatku. Kapan lagi aku bisa menikmati memek wanita secantik ini, wanita tercantik yang menyerahkan memeknya secara suka rela.

"Auuu, pelan pelan Zak, kontol kamu terlalu besar...!" Seru Henny, dia menahan pinggangku agar kontolku tidak masuk lebih dalam ke dalam memeknya yang merenggang lebih besar dari biasanya.

Aku hanya mengangguk, menarik kontolku perlahan dan kemudian kembali mendorong masuk dan saat kepala kontolku terbenam, aku kembali menariknya. Begitu berulang ulang, hingga kurasakan tubuh Henny mulai rileks, pada saat itulah aku mendorong hingga kontolku terbenam seluruhnya.

"Aduhhh, gila kontol kamu bisa masuk..!" Seru Henny takjub, dia meraba memeknya yang sudah tertusuk sempurna oleh kontolku.

"Ennak, nggak?" Godaku sambil menarik kontolku perlahan membuat dinding memek Henny seperti ikut tertarik, lalu aku kembali menusuk lembut.

"Iyya, sekarang mulai nikmat. Ohhh, yahhh gitu..!" Seru Henny, pinggulnya mulai bergerak mengikuti gerakkan kontolku yang bergerak memompa memeknya

Gila, harus kuakui memek Henny sangat berbeda, memeknya seperti berdenyut meremas kontolku.

"Ahhh, memekmu rasanya berbeda..!" Gumamku takjub, semakin lama sodokanku semakin cepat.

"Enakk mana dengan memek, istrimu?" Goda Henny, gerakan pinggulnya semakin cepat membalas serangan ku. Dia ternyata mempunyai kemampuan ngentot yang piawai, tidak kalah dengan para pelacur yang memang dituntut untuk bisa memuaskan para pelanggannya.

Aku hanya tersenyum, tidak mungkin aku membandingkan dengan memek Shinta istriku dan aku berharap Shinta akan terus mendampingiku dalam suka dan duka. Lalu bagaimana dengan Nyai Jamilah, bukankah dia juga adalah istriku? Ah, kenapa dalam situasi ini aku malah teringat pada mereka berdua, ini bukan saat yang tepat.

"Akkku akkkkku mauuuu kelllllluaarrrrr...!" Henny menjerit kecil setelah aku menggenjot memeknya cukup lama, akhirnya dia mendapatkan orgasme dahsyat yang membuat tubuhnya menggeliat, memeknya seperti menyedot kontolku.

"Ampun, akkku juga kelllllluaarrrrr...!" Aku takluk, memek Henny seperti menyedot kontolku, memaksa pejuhku keluar tanpa bisa kucegah lebih lama lagi.

Henny memelukku erat, kakinya menjepit pinggangku sehingga pejuhku membanjiri memeknya tanpa bisa kucegah.

"Henny...!" Aku mengeluh, saat pejuhku tertumpah di mulut rahim Henny.

"Kenapa, sayang?" Tanya Henny tersenyum, gelombang orgasme dengan cepat berlalu.

"Pejuhku..!" Aku menatap Henny, kenapa dia tidak panik memeknya menampung semua pejuhku.

"Penuh kamu hangat, enak sekali rasanya." Jawab Henny cuek, dia masih terus memelukku tidak peduli tanganku yang mulai pegal menahan beban tubuhku.

"Maksudku, bagaimana kalau kamu hamil?" Tanyaku heran, kenapa Henny terlihat santai dengan situasi ini.

"Aku dan teman teman pengajian di kampus berencana melakukan KKN di pondok pesantren tempatmu, Gus Mir, Nyai Nur dan Nyai Jamilah sudah setuju. Aku ingin secepatnya itu terjadi, sehingga aku bisa menerima semburan pejuhmu setiap malam." Bisik Henny, dia sama sekali tidak tertarik membahas kemungkinan hamil oleh semburan pejuhku, bahkan dia sangat menginginkan semburan pejuhku sebanyak banyaknya.

"Kamu mau, KKN di pondok pesantren ku?" tanyaku heran, entah ini sebuah anugerah atau justru bencana buatku.

Bersambung...
 
Terakhir diubah:
Chapter 4



""Dendam lama, kamu tidak perlu tahu itu." Jawab Henny menyanggul rambutnya yang tergerai sehingga lehernya yang jenjang semakin terlihat menonjol, aku menatapnya takjub. Gadis ini terlalu cantik untuk menyimpan sebuah dendam, dia lebih pantas menjadi wanita sempurna.

Entah apa yang sudah dialaminya, sehingga dia berniat untuk membunuh Gus Mir. Atau, apa yang sudah dilakukan oleh Gus Mir, sehingga Henny sangat membencinya sebegitu rupa.

"Maaf, aku terlalu mencampuri urusanmu, tapi aku harus tahu sebuah alasan yang kuat sehingga kamu menyuruhku untuk membunuh Gus Mir." Aku menatap Henny, berusaha menyelami apa yang sedang dipikirkannya. Ah, aku hanya bisa mengagumi kecantikannya semata.

"Sudahlah, kalau kamu tidak sanggup melakukannya aku tidak akan memaksamu." Henny menatapku tajam, sebuah senyum samar membayang dari bibir sensualnya yang menggiurkan. Bukan sebuah mimpi, bibir itu baru saja memanjakan kontolku yang tidak tahu diri.

"Ya, memang." Aku tidak perlu merasa bersalah karena mengingkari janji, karena aku bukan seorang pembunuh. Janji, sebenarnya aku tidak pernah mengucapkan janji itu.

"Kamu sepertinya terbiasa ingkar janji, aku merasa tidak heran dengan hal itu." Jawab Henny, dia duduk di depan meja rias membelakangiku. Siluet tubuh yang seharusnya menggairahkan, tertutup gamis lebar. Aku sudah menyia-nyiakan kesempatan yang ada saat gadis itu mempertontonkan tubuh moleknya.

Aneh, gairahku kembali bangkit tidak terkendali melihat tubuh molek itu tersembunyi di balik gamis lebarnya. Kontolku mulai bereaksi, perlahan bangkit hingga akhirnya tegak sempurna.

"Terserah penilaianmu, kamu sudah tahu banyak tentang aku dan seperti yang kamu tahu aku seorang perampok bukan seorang pembunuh." Jawabku ketus, wanita ini terus menerus menginjak harga diriku dengan sikapnya. Mengintimidasi dengan cara elegan, menarikku masuk dalam jeratnya yang sangat berbisa

"Hihihi, benar kata Nyai Jamilah, kamu mudah terpancing." Henny memandangku dengan kerling mata yang sulit aku terka, entah dia sengaja menggodaku atau justru sedang mengejekku.

Aku memejamkan mata, mengumpulkan semua tekad yang kumiliki untuk bertahan, tetap sadar dan bisa berpikir jernih.

"Ka....kamu kenal Nyai Jamilah?" Tanyaku kaget, entah rencana apa lagi yang dijalankan Nyai Jamilah, Nyai Nur dan Gus Mir, mereka seperti sebuah lingkaran yang sedang mempermainkan hidupku.

Hidupku, apa aku masih memiliki hidup yang bebas merdeka? Bukankah hidupku sendiri dibayang bayangi rasa takut terus menerus sehingga aku terpaksa mengikuti cara mereka untuk melindungi diri.

"Ya tentu, Nyai Jamilah salah satu Ustadzah yang sering mengisi ceramah di kampusku, seperti juga Nyai Nur. Bahkan, Nyai Jamilah yang pertama kali merekomendasikanmu sebagai suami mut'ah ku selama beberapa bulan." Jawab Henny membuatku terpaku, ternyata aku belum mengenal Nyai Jamilah, dia sebuah rahasia di balik rahasia. Aku tidak pernah bisa menjangkaunya dari tempatku, yang bisa kuraih hanyalah tubuhnya, bukan jiwanya.

"Dan kamu tahu, pekerjaan ku yang sebenarnya adalah seorang perampok yang menjadi DPO dari Nyai Jamilah?" Aku mulai mengerti, kenapa Henny mengetahui masa laluku, yang aku heran kenapa Nyai Jamilah begitu lancang memberi tahu masa laluku kepada orang asing. Situasiku akan sangat berbahaya, polisi bisa dengan mudah mengendus keberadaan ku. Bayang bayang jeruji besi membuatku putus asa, entah berapa lama aku akan meringkuk di dalamnya.

"Ya, aku sudah mengganggap Nyai Jamilah seperti kakak kandungku sendiri. Aku adalah anak tunggal dari keluarga berada, dan Alhamdulillah aku dikaruniai wajah yang menurut orang sangat rupawan sehingga banyak pria yang bertekuk lutut mengemis cinta padaku. Aku bosan dengan situasi seperti itu hidupku sangat monoton, aku ingin membuat hidupku lebih bermakna." Henny terdiam beberapa saat, matanya menerawang entah apa yang sedang dipikirkannya. Beberapa kali dia menyibakkan anak rambut di keningnya yang halus, dihembuskannya nafas yang membebani pikirannya.

"Lalu?" Tanyaku memecahkan kesunyian setelah beberapa menit gadis itu larut dalam lamunannya, Henny memandangku dengan senyum tipis membayang samar. Senyum yang mulai menarik birahiku untuk mengulumnya, mengajaknya larut dalam badai nafsu yang mulai menguasai jiwaku.

"Lalu,..... Aku mengenal seorang pemuda berwajah sangat mirip denganmu, kalian seperti pinang dibelah dua." Henny berjalan mendekatiku dan membungkuk saat berada di hadapanku, jemari lentiknya mengangkat daguku sehingga kami saling bertatapan sekian lama. "Aku jatuh cinta padanya, pada tutur katanya yang lembut. Tingkah lakunya yang agamis berhasil menuntunku untuk berhijrah, hijrah dalam arti menjalankan ajaran Islam secara kaffah." Wajah cantik Henny tidak bisa menyembunyikan duka yang membayang di wajahnya, senyumnya yang indah berusaha menyembunyikan kepedihan hatinya.

"Ya, kalian pasti bahagia." Gumamku, terbayang Dewi yang kini harus meringkuk dalam penjara. Secara tidak langsung, akulah yang menjerumuskan hidupnya menjadi sampah masyarakat. Akulah yang seharusnya bertanggung jawab menyelamatkannya, bukan malah menghancurkan hidupnya.

"Tapi dia justru mengkhianati cintaku, dia mencampakkan ku begitu saja dan menganggapku tidak berguna." Gumam Henny, dia mendorong dadaku hingga jatuh terlentang di atas spring bed empuk yang menurutku sangat mewah. Ah, kenapa kisah gadis ini sangat mirip dengan Dewi. Kami seperti mempunyai sebuah kesamaan dalam hidup.

Aku menatap Henny tak percaya, rasanya mustahil ada seorang pria yang mencampakkan wanita secantik Henny. Mustahil, kecuali pria itu tidak waras. Aku menggelengkan kepala, berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari bibir sensual Henny.

"Kamu tidak percaya dengan ceritaku, ini?" Tanya Henny menatapku tajam, dia tidak berusaha menyembunyikan rasa kecewanya. Dia kembali membuka gamis lebar yang dipakainya dan mencampakkannya ke lantai, dia sudah tidak membutuhkan pakaian itu ketika melihat kontolku ngaceng maksimal. Dia juga mencapakkan pakaian dalamnya, melemparkan celana dalamnya ke wajahku yang menciumi celana dalamnya dengan bernafsu, aroma memeknya begitu tajam menempel.

"Sulit dipercaya, ada pria mencampakkan wanita secantik kamu." Jawabku jujur sambil terus memegang celana dalam Henny, aku tidak mau dipermalukan untuk kedua kalinya. Aku harus lebih bisa menahan diri, sehingga kontolku tidak mempermalukan ku untuk kedua kalinya.

"Ternyata memang ada, karena pria itu memilih meninggalkanku untuk mendapatkan kemuliaan bersanding dengan 72 bidadari di surga yang akan tetap perawan seperti yang dikatakan para ustadz. Pria itu meninggalkanku dan pergi mengikuti langkahnya untuk menjadi seorang mujahid, dia mencampakkanku, pergi ke sebuah negeri yang sedang dilanda konflik berkepanjangan hingga akhirnya aku mendengar kabar, dia mati dengan cara yang diinginkannya sebagai syuhada. Hahahaha, lucu sekali, dia memerangi saudara seagamanya sendiri untuk mendapatkan surga dan bersanding dengan 72 bidadari." Henny merangkak naik dan kemudian tengkurap di atas tubuhku sehingga payudaranya yang sekal menempel lembut didadaku, matanya menatapku penuh selidik antara nafsu dan kemarahan yang tersimpan di hatinya.

Apa yang dirasakan Henny, bukanlah urusanku dan aku tidak perlu mati konyol untuk mendapatkan bidadari. Saat ini bidadari itu sudah berada di atas tubuhku, dia datang menyerahkan dirinya secara suka rela. Nikmat apa lagi yang harus aku ingkari, aku harus bersyukur untuk hal ini.

"Maksud kamu, pria itu pergi ke Syuriah?" Tanyaku bergidik ngeri, terbayang olehku pembantaian manusia dengan dalih yang menurutku tidak masuk akal dan sangat mengada ada. Kebencian, bau anyir darah adalah hal yang sangat menjijikkan. Kedamaian dan senyum anak anak akan dirampas paksa, masa depan yang tidak pasti akan membuat mereka terlunta-lunta lunta dibayangi rasa takut.

Ah, kenapa harus mengejar bidadari yang belum pasti sementara ada bidadari lain di hadapannya. Sungguh bodoh pria itu yang sudah mencampakkan bidadari yang kini berada di atas tubuhku dengan tubuh polosnya, siap membawaku ke surga dunia yang sangat indah, walau dia bukanlah perawan yang tetap suci setiap kali kita gauli. Perlahah, aku membelai pantatnya yang halus dan hangat, meremas kekenyalannya yang memabukkan.

"Seperti itu, kamu percaya akan ada 72 bidadari yang akan menyambutnya ketika dia mati?" Tanya Henny tersenyum sinis, menertawakan kebodohan pria yang sudah membuatnya jatuh hati. Hembusan nafasnya menerpa wajahku, hangat dan harum.

"Aku nggak tahu, karena aku belum pernah mati." Jawabku diplomatis, hanya mereka yang sudah mati yang tahu jawabannya. Lagi pula seburuk buruknya aku, aku masih sangat percaya bahwa Islam itu rahmatan lill 'almiin. Islam selalu menyebarkan kebajikan di atas muka bumi, bukan justru sebaliknya. Islam akan melindungi kaum minoritas seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah. Toleransi adalah syarat mutlak dalam Islam yang rahmatan lill 'alamiin.

"Hahaha, pikiranmu tidak bisa dibantah. Ah, andai aku tidak bertemu dengan Nyai Jamilah, hidupku akan semakin hancur dan dipenuhi kebencian kepada setiap orang yang tidak sejalan dengan pikiranku." Henny tiba tiba mencium bibirku, melumatnya dengan bernafsu. Dia seakan ingin melupakan semua dukanya, lidahnya bergerak masuk menjilati rongga mulutku liar

Kali ini aku tidak berusaha menolaknya, aku membalas pagutan Henny dengan penuh gairah. Kapan lagi aku bisa menikmati bibir sensual seorang bidadari kalau memang ada di alam dunia ini. Kuhisap kehangatan bibirnya seperti yang biasa kulakukan dengan wanita lainnya, tapi sensasi yang saat ini kurasakan jauh berbeda. Setelah sekian lama bibir kami bersatu, akhirnya Henny berhenti lebih dulu. Dia menatapku tajam, membuatku berkelit dari tatapannya..

"Kamu menyuruhku membunuh Gus Mir, karena dia yang mempengaruhi kekasihmu hingga pergi mencampakkanmu?" Tanyaku berhati hati, aku ngeri membayangkan Henny mengiyakan pertanyaanku. Itu artinya, Gus Nur terlibat dalam jaringan itu.

"Bukan, aku hanya bercanda. Kamu pikir, aku serius mengatakan hal itu? Aku bukan psikopat, yang terobsesi mencium bau anyir darah."jawaban Henny membuatku lega, gadis ini bukanlah iblis berwajah bidadari seperti yang aku takutkan. Dia hanya gadis lemah yang berusaha menutupi kerapuhan hatinya dengan cara yang salah.

"Syukurlah, aku lega sekarang. Yang masih membuatku tidak mengerti, alasanmu menikah mut'ah denganku?" Aku menatap Henny tepat pada manik manik hitam matanya, indah sekali seakan menghipnotis kesadaranku. Sekilas, aku seperti melihat duka dari manik manik matanya.

"Karena wajahmu sangat mirip dengan pria yang sudah mencampakkanku, pertama kali aku melihatmu di saat datang melayat waktu Mbah Kholil wafat." Jawab Henny, dia membelai wajahku yang mulai berkeringat karena harus menahan beban tubuhnya yang menindihku.

Aku berusaha mengingat, adakah wanita bercadar di antara para pelayat yang datang dengan mengenakan cadar seperti penampilan Henny? Rasanya aku tidak melihat wanita bercadar, karena itu akan sangat mencolok dan akan menjadi pusat perhatian, bahkan mungkin akan menjadi bahan gunjingan para santri. Bagi kami, wanita bercadar adalah hal aneh, kami tidak pernah diperintahkan untuk bercadar. Cukup menutup aurat dengan pakaian yang pantas, tidak berlebihan seperti memakai cadar.

"Aku tidak melihat ada wanita bercadar yang datang, aku yakin itu." Aku menatap Henny yang mulai terasa berat dan membuatku kesulitan bernafas, tapi aku tidak berusaha melepaskan diri dari tindihannya. Kehangatan tubuhnya, kehalusan kulitnya membuatku tidak mau melepaskan momen seperti ini.

"Kamu pikir aku gila, datang ke pondok pesantren tradisional yang sangat mengagungkan kebudayaan lokal sebagai bagian dari iman. Tentu aku harus beradaptasi dengan mereka, lagi pula pakaian yang kukenakan hanya karena aku bosan melihat tatapan liar penuh syahwat dari pria hidung belang. Aku ingin bebas beraktivitas tanpa kejaran para pria hidung belang yang menjadikan diri mereka sebagai budakku, cadar yang aku kenakan bisa melindungiku dari hal ini dan Nyai Jamilah dan Nyai Nur tidak melarangku." Jawab Henny.

Kami saling bertatapan, manik manik mata Henny semakin membesar menyeret ku dalam gairah birahi.

"Kontolmu sudah ngaceng lagi, semoga kali ini tidak mengecewakanku." Bisik Henny, dia menggerakkan pinggulnya sehingga kontolku bergesekan dengan memeknya yang tidak pernah ditumbuhi bulu.

"Kamu benar-benar menginginkan hal ini, Henny?" Untuk pertama kali aku memanggil namanya, tanganku meremas pantatnya yang sekal dan kulitnya sangat halus.

"Ya, aku menginginkannya setelah pria itu mencampakkanku tanpa pernah menyentuhku." Bisik Henny, disudahi dengan menjilati belakang telingaku. Aku menggeleng geli, salah satu daerah sensitif ku berhasil membuatku semakin terbakar birahi.

Tanpa sadar, aku menggerakkan pinggulku sehingga kontolku bergesekan dengan permukaan memeknya yang lunak dan hangat. Aku sudah sangat tidak sabar untuk membenamkan kontolku ke dalam lobang sempit Henny dan berpikir apakah memeknya sebanding dengan wajah cantiknya?

"Kamu nakal, kontolmu sudah berani menggesek gesek memekku...!" Seru Henny, matanya terpejam merasakan sensasi nikmat yang tidak bisa dipungkirinya.

Perlahan, aku miringkan tubuh hingga akhirnya gadis cantik itu rebah di sampingku dengan pasrah, tubuh bugilnya membuatku tidak berkedip mengaguminya. Gila, tubuh seindah ini ditinggalkan demi sebuah keyakinan yang tidak masuk akal.

"Jangan kecewakan aku, Yudha..!" Bisik Henny memanggilku Yudha, itukah pria yang sudah mencampakkannya?

"Yudha. !" Aku menatap Henny, yang mengangguk mengiyakan pertanyaanku yang tidak terucap.

"Aku ingin menikmati malam ini, Yudha. Singkirkan semua obsesi gilamu yang tidak masuk akal itu, aku adalah bidadari yang menjadi hadiahmu tanpa perlu mengorbankan nyawamu yang sangat berharga." Bisik Henny, dia menarik wajahku ke arah payudaranya yang montok dan tidak sedikitpun mengendur. Sempurna, seperti payudara gadis ABG yang tidak pernah tersentuh.

Harum sekali payudaranya, menyegarkan paru-paruku. Hawa hangat menjalari wajahku, padahal masih kulit kami belum bersentuhan. Puting payudara Henny terlihat semakin mengeras saat lidahku terjulur menyentuh permukaan payudaranya yang halus.

"Ahhhh, jangan siksa aku Yudh. Aku milikmu sekarang....!" Henny menggeliat merasakan sentuhan lidah kasarku, perlahan menyusuri sekeliling puting payudaranya.

"Jangan panggil aku Yudha, karena aku bukan Yudha." Kataku jengkel, terlalu konyol kalau aku harus memerankan pria lain.

"Hahahaha, bukankah dengan cara itu kamu akan lebih perkasa?" Goda Henny, dia meremas sepasang payudaranya menggodaku.

"Aku bisa menaklukkan mu tanpa berperan sebagai orang lain." Jawaku ketus, mataku terus tertuju pada gerakkan Henny meremas payudaranya dengan lembut.

Kenapa aku harus pusing dengan panggilannya, payudara ini tidak bisa aku biarkan mengganggur begitu saja. Aku segera menghisap putingnya dengan rakus, persetan Henny akan memanggilku apa. Aku lebih fokus menghisap puting kenyal disertai gigitan lembut yang membuat gadis cantik itu semakin menggeliat dan tangannya merangkul kepalaku.

"Iyaaa, begitu sayang ....!" Jeritan kecil Henny semakin membakar birahiku, membuatku semakin rakus menghisap puting payudaranya bergantian.

Tanganku mulai ikut beraksi, menyentuh memeknya yang gundul. Heran, ternyata ada wanita yang sama sekali tidak ditumbuhi bulu area memeknya. Ini benar benar alami, tidak ada bekas cukuran.

"Aaahhh, ihhhh kamu sudah berani ya? Awas, jangan kecewakan aku..!" Seru Henny, pahanya semakin terbuka memberiku ruang untuk menjelajahi memeknya. Jariku menyentuh celah sempit yang mulai basah, kugesek dengan lembut hingga menyentuh itilnya yang mungil. Kugelitik itilnya hingga membuat pinggul Henny terangkat tanpa disadarinya.

Aku menatap wajah Henny, matanya terpejam dengan desisan halus yang terus keluar dari bibirnya yang sensual, dia sangat menikmati jemariku yang terus mempermainkan itilnya dan beberapa kali menyentuh permukaan lobang memeknya. Wajahnya terlihat semakin cantik dan bersemu merah oleh birahi yang membakar jiwanya, lehernya yang jenjang terlihat semakin indah saat wajahnya mendongak meresapi rasa nikmat yang diperolehnya.

"Ahhhh, Zaka geliiii ..!" Henny menggelengkan wajahnya saat aku menciumi leher jenjangnya, kutinggalkan bercak merah sebagai tanda aku pernah menyentuh nya.

Puas bermain main dengan leher dan payudara, aku mengalihkan sasaranku pada memeknya, perlahan aku membuka belahan pahanya agar aku bisa leluasa bermain main dengan memeknya yang hanya berupa belahan tipis yang sangat rapat. Wajahku semakin mendekati memeknya, jemariku membuka belahannya untuk melihat bagian dalamnya yang berwarna merah dan terlihat sangat basah.

"Uhhhh, jilatin memekku sayang...!" Henny menarik rambutku sehingga wajahku tersungkur di memeknya, dia sangat tidak sabar untuk merasakan jilatan lidah kasarku pada memeknya.

Lidahku menyentuh memeknya, menjilat cairan birahi yang terus menerus keluar dari dalamnya. Harus kuakui, rasanya tidak berbeda dengan cairan memek wanita lain yang pernah kurasakan, tapi sensasi yang kurasakan selalu berbeda-beda dari setiap wanita.

"Aduhhh, ennak banget...!" Jeritan kecil Henny mengiringi gerakan lidahku menggelitik itilnya, membuatku semakin bersemangat untuk memberikan pelayanan maksimal.

Aku semakin asik menghirup aroma memek Henny yang semakin tajam seiring dengan cairan birahi yang tidak berhenti merembes keluar, padahal aku sudah berusaha menyeruputnya habis. Tapi semakin banyak cairan yang keluar, hingga sebagian membasahi sekitar area bibir dan daguku.

"Ampunnnnn, ak Akku kelllllluaarrrrr...!" Teriak Henny setelah hampir sepuluh menit lidah dan bibirku bermain main di area memeknya. Pinggulnya terangkat, menyambut orgasme dahsyat dan aku berharap orgasme yang didapatkannya lebih dahsyat dibandingkan dia mendapatkannya dari pria lain.

"Sudah Zak, masukin kontolmu sayang..!" Henny mendorong wajahku menjauh dari memeknya, keinginannya merasakan sodokan kontolku pada memeknya terpancar jelas di wajahnya yang semakin cantik.

Perlahan aku merangkak di atas tubuhnya yang terlentang pasrah, kami saling bertatapan dengan makna yang berbeda. Aku mengarahkan kontolku pada celah sempit yang sangat basah, kugesek gesekkan pelan untuk memastikan memek Henny sudah siap menerima kehadiran kontolku yang menurut para wanita termasuk besar bahkan yang terbesar yang pernah mereka rasakan.

"Masukin, aku sudah nggak tahan..!" Seru Henny, dia mengangkat pinggulnya dengan perasaan tidak sabar.

Perlahan aku mendorong kontolku memasuki memeknya, aku tidak mau tergesa gesa melakukannya. Ukuran kontolku terlalu besar, sehingga ada beberapa wanita yang kapok ngentot denganku. Dan aku tidak mau sampai Henny kapok ngentot denganku, sebuah kerugian besar buatku. Kapan lagi aku bisa menikmati memek wanita secantik ini, wanita tercantik yang menyerahkan memeknya secara suka rela.

"Auuu, pelan pelan Zak, kontol kamu terlalu besar...!" Seru Henny, dia menahan pinggangku agar kontolku tidak masuk lebih dalam ke dalam memeknya yang merenggang lebih besar dari biasanya.

Aku hanya mengangguk, menarik kontolku perlahan dan kemudian kembali mendorong masuk dan saat kepala kontolku terbenam, aku kembali menariknya. Begitu berulang ulang, hingga kurasakan tubuh Henny mulai rileks, pada saat itulah aku mendorong hingga kontolku terbenam seluruhnya.

"Aduhhh, gila kontol kamu bisa masuk..!" Seru Henny takjub, dia meraba memeknya yang sudah tertusuk sempurna oleh kontolku.

"Ennak, nggak?" Godaku sambil menarik kontolku perlahan membuat dinding memek Henny seperti ikut tertarik, lalu aku kembali menusuk lembut.

"Iyya, sekarang mulai nikmat. Ohhh, yahhh gitu..!" Seru Henny, pinggulnya mulai bergerak mengikuti gerakkan kontolku yang bergerak memompa memeknya

Gila, harus kuakui memek Henny sangat berbeda, memeknya seperti berdenyut meremas kontolku.

"Ahhh, memekmu rasanya berbeda..!" Gumamku takjub, semakin lama sodokanku semakin cepat.

"Enakk mana dengan memek, istrimu?" Goda Henny, gerakan pinggulnya semakin cepat membalas serangan ku. Dia ternyata mempunyai kemampuan ngentot yang piawai, tidak kalah dengan para pelacur yang memang dituntut untuk bisa memuaskan para pelanggannya.

Aku hanya tersenyum, tidak mungkin aku membandingkan dengan memek Shinta istriku dan aku berharap Shinta akan terus mendampingiku dalam suka dan duka. Lalu bagaimana dengan Nyai Jamilah, bukankah dia juga adalah istriku? Ah, kenapa dalam situasi ini aku malah teringat pada mereka berdua, ini bukan saat yang tepat.

"Akkku akkkkku mauuuu kelllllluaarrrrr...!" Henny menjerit kecil setelah aku menggenjot memeknya cukup lama, akhirnya dia mendapatkan orgasme dahsyat yang membuat tubuhnya menggeliat, memeknya seperti menyedot kontolku.

"Ampun, akkku juga kelllllluaarrrrr...!" Aku takluk, memek Henny seperti menyedot kontolku, memaksa pejuhku keluar tanpa bisa kucegah lebih lama lagi.

Henny memelukku erat, kakinya menjepit pinggangku sehingga pejuhku membanjiri memeknya tanpa bisa kucegah.

"Henny...!" Aku mengeluh, saat pejuhku tertumpah di mulut rahim Henny.

"Kenapa, sayang?" Tanya Henny tersenyum, gelombang orgasme dengan cepat berlalu.

"Pejuhku..!" Aku menatap Henny, kenapa dia tidak panik memeknya menampung semua pejuhku.

"Penuh kamu hangat, enak sekali rasanya." Jawab Henny cuek, dia masih terus memelukku tidak peduli tanganku yang mulai pegal menahan beban tubuhku.

"Maksudku, bagaimana kalau kamu hamil?" Tanyaku heran, kenapa Henny terlihat santai dengan situasi ini.

"Aku dan teman teman pengajian di kampus berencana melakukan KKN di pondok pesantren tempatmu, Gus Mir, Nyai Nur dan Nyai Jamilah sudah setuju. Aku ingin secepatnya itu terjadi, sehingga aku bisa menerima semburan pejuhmu setiap malam." Bisik Henny, dia sama sekali tidak tertarik membahas kemungkinan hamil oleh semburan pejuhku, bahkan dia sangat menginginkan semburan pejuhku sebanyak banyaknya.

"Kamu mau, KKN di pondok pesantren ku?" tanyaku heran, entah ini sebuah anugerah atau justru bencana buatku.

Bersambung...
mantap suhu
 
Chapter 4



""Dendam lama, kamu tidak perlu tahu itu." Jawab Henny menyanggul rambutnya yang tergerai sehingga lehernya yang jenjang semakin terlihat menonjol, aku menatapnya takjub. Gadis ini terlalu cantik untuk menyimpan sebuah dendam, dia lebih pantas menjadi wanita sempurna.

Entah apa yang sudah dialaminya, sehingga dia berniat untuk membunuh Gus Mir. Atau, apa yang sudah dilakukan oleh Gus Mir, sehingga Henny sangat membencinya sebegitu rupa.

"Maaf, aku terlalu mencampuri urusanmu, tapi aku harus tahu sebuah alasan yang kuat sehingga kamu menyuruhku untuk membunuh Gus Mir." Aku menatap Henny, berusaha menyelami apa yang sedang dipikirkannya. Ah, aku hanya bisa mengagumi kecantikannya semata.

"Sudahlah, kalau kamu tidak sanggup melakukannya aku tidak akan memaksamu." Henny menatapku tajam, sebuah senyum samar membayang dari bibir sensualnya yang menggiurkan. Bukan sebuah mimpi, bibir itu baru saja memanjakan kontolku yang tidak tahu diri.

"Ya, memang." Aku tidak perlu merasa bersalah karena mengingkari janji, karena aku bukan seorang pembunuh. Janji, sebenarnya aku tidak pernah mengucapkan janji itu.

"Kamu sepertinya terbiasa ingkar janji, aku merasa tidak heran dengan hal itu." Jawab Henny, dia duduk di depan meja rias membelakangiku. Siluet tubuh yang seharusnya menggairahkan, tertutup gamis lebar. Aku sudah menyia-nyiakan kesempatan yang ada saat gadis itu mempertontonkan tubuh moleknya.

Aneh, gairahku kembali bangkit tidak terkendali melihat tubuh molek itu tersembunyi di balik gamis lebarnya. Kontolku mulai bereaksi, perlahan bangkit hingga akhirnya tegak sempurna.

"Terserah penilaianmu, kamu sudah tahu banyak tentang aku dan seperti yang kamu tahu aku seorang perampok bukan seorang pembunuh." Jawabku ketus, wanita ini terus menerus menginjak harga diriku dengan sikapnya. Mengintimidasi dengan cara elegan, menarikku masuk dalam jeratnya yang sangat berbisa

"Hihihi, benar kata Nyai Jamilah, kamu mudah terpancing." Henny memandangku dengan kerling mata yang sulit aku terka, entah dia sengaja menggodaku atau justru sedang mengejekku.

Aku memejamkan mata, mengumpulkan semua tekad yang kumiliki untuk bertahan, tetap sadar dan bisa berpikir jernih.

"Ka....kamu kenal Nyai Jamilah?" Tanyaku kaget, entah rencana apa lagi yang dijalankan Nyai Jamilah, Nyai Nur dan Gus Mir, mereka seperti sebuah lingkaran yang sedang mempermainkan hidupku.

Hidupku, apa aku masih memiliki hidup yang bebas merdeka? Bukankah hidupku sendiri dibayang bayangi rasa takut terus menerus sehingga aku terpaksa mengikuti cara mereka untuk melindungi diri.

"Ya tentu, Nyai Jamilah salah satu Ustadzah yang sering mengisi ceramah di kampusku, seperti juga Nyai Nur. Bahkan, Nyai Jamilah yang pertama kali merekomendasikanmu sebagai suami mut'ah ku selama beberapa bulan." Jawab Henny membuatku terpaku, ternyata aku belum mengenal Nyai Jamilah, dia sebuah rahasia di balik rahasia. Aku tidak pernah bisa menjangkaunya dari tempatku, yang bisa kuraih hanyalah tubuhnya, bukan jiwanya.

"Dan kamu tahu, pekerjaan ku yang sebenarnya adalah seorang perampok yang menjadi DPO dari Nyai Jamilah?" Aku mulai mengerti, kenapa Henny mengetahui masa laluku, yang aku heran kenapa Nyai Jamilah begitu lancang memberi tahu masa laluku kepada orang asing. Situasiku akan sangat berbahaya, polisi bisa dengan mudah mengendus keberadaan ku. Bayang bayang jeruji besi membuatku putus asa, entah berapa lama aku akan meringkuk di dalamnya.

"Ya, aku sudah mengganggap Nyai Jamilah seperti kakak kandungku sendiri. Aku adalah anak tunggal dari keluarga berada, dan Alhamdulillah aku dikaruniai wajah yang menurut orang sangat rupawan sehingga banyak pria yang bertekuk lutut mengemis cinta padaku. Aku bosan dengan situasi seperti itu hidupku sangat monoton, aku ingin membuat hidupku lebih bermakna." Henny terdiam beberapa saat, matanya menerawang entah apa yang sedang dipikirkannya. Beberapa kali dia menyibakkan anak rambut di keningnya yang halus, dihembuskannya nafas yang membebani pikirannya.

"Lalu?" Tanyaku memecahkan kesunyian setelah beberapa menit gadis itu larut dalam lamunannya, Henny memandangku dengan senyum tipis membayang samar. Senyum yang mulai menarik birahiku untuk mengulumnya, mengajaknya larut dalam badai nafsu yang mulai menguasai jiwaku.

"Lalu,..... Aku mengenal seorang pemuda berwajah sangat mirip denganmu, kalian seperti pinang dibelah dua." Henny berjalan mendekatiku dan membungkuk saat berada di hadapanku, jemari lentiknya mengangkat daguku sehingga kami saling bertatapan sekian lama. "Aku jatuh cinta padanya, pada tutur katanya yang lembut. Tingkah lakunya yang agamis berhasil menuntunku untuk berhijrah, hijrah dalam arti menjalankan ajaran Islam secara kaffah." Wajah cantik Henny tidak bisa menyembunyikan duka yang membayang di wajahnya, senyumnya yang indah berusaha menyembunyikan kepedihan hatinya.

"Ya, kalian pasti bahagia." Gumamku, terbayang Dewi yang kini harus meringkuk dalam penjara. Secara tidak langsung, akulah yang menjerumuskan hidupnya menjadi sampah masyarakat. Akulah yang seharusnya bertanggung jawab menyelamatkannya, bukan malah menghancurkan hidupnya.

"Tapi dia justru mengkhianati cintaku, dia mencampakkan ku begitu saja dan menganggapku tidak berguna." Gumam Henny, dia mendorong dadaku hingga jatuh terlentang di atas spring bed empuk yang menurutku sangat mewah. Ah, kenapa kisah gadis ini sangat mirip dengan Dewi. Kami seperti mempunyai sebuah kesamaan dalam hidup.

Aku menatap Henny tak percaya, rasanya mustahil ada seorang pria yang mencampakkan wanita secantik Henny. Mustahil, kecuali pria itu tidak waras. Aku menggelengkan kepala, berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari bibir sensual Henny.

"Kamu tidak percaya dengan ceritaku, ini?" Tanya Henny menatapku tajam, dia tidak berusaha menyembunyikan rasa kecewanya. Dia kembali membuka gamis lebar yang dipakainya dan mencampakkannya ke lantai, dia sudah tidak membutuhkan pakaian itu ketika melihat kontolku ngaceng maksimal. Dia juga mencapakkan pakaian dalamnya, melemparkan celana dalamnya ke wajahku yang menciumi celana dalamnya dengan bernafsu, aroma memeknya begitu tajam menempel.

"Sulit dipercaya, ada pria mencampakkan wanita secantik kamu." Jawabku jujur sambil terus memegang celana dalam Henny, aku tidak mau dipermalukan untuk kedua kalinya. Aku harus lebih bisa menahan diri, sehingga kontolku tidak mempermalukan ku untuk kedua kalinya.

"Ternyata memang ada, karena pria itu memilih meninggalkanku untuk mendapatkan kemuliaan bersanding dengan 72 bidadari di surga yang akan tetap perawan seperti yang dikatakan para ustadz. Pria itu meninggalkanku dan pergi mengikuti langkahnya untuk menjadi seorang mujahid, dia mencampakkanku, pergi ke sebuah negeri yang sedang dilanda konflik berkepanjangan hingga akhirnya aku mendengar kabar, dia mati dengan cara yang diinginkannya sebagai syuhada. Hahahaha, lucu sekali, dia memerangi saudara seagamanya sendiri untuk mendapatkan surga dan bersanding dengan 72 bidadari." Henny merangkak naik dan kemudian tengkurap di atas tubuhku sehingga payudaranya yang sekal menempel lembut didadaku, matanya menatapku penuh selidik antara nafsu dan kemarahan yang tersimpan di hatinya.

Apa yang dirasakan Henny, bukanlah urusanku dan aku tidak perlu mati konyol untuk mendapatkan bidadari. Saat ini bidadari itu sudah berada di atas tubuhku, dia datang menyerahkan dirinya secara suka rela. Nikmat apa lagi yang harus aku ingkari, aku harus bersyukur untuk hal ini.

"Maksud kamu, pria itu pergi ke Syuriah?" Tanyaku bergidik ngeri, terbayang olehku pembantaian manusia dengan dalih yang menurutku tidak masuk akal dan sangat mengada ada. Kebencian, bau anyir darah adalah hal yang sangat menjijikkan. Kedamaian dan senyum anak anak akan dirampas paksa, masa depan yang tidak pasti akan membuat mereka terlunta-lunta lunta dibayangi rasa takut.

Ah, kenapa harus mengejar bidadari yang belum pasti sementara ada bidadari lain di hadapannya. Sungguh bodoh pria itu yang sudah mencampakkan bidadari yang kini berada di atas tubuhku dengan tubuh polosnya, siap membawaku ke surga dunia yang sangat indah, walau dia bukanlah perawan yang tetap suci setiap kali kita gauli. Perlahah, aku membelai pantatnya yang halus dan hangat, meremas kekenyalannya yang memabukkan.

"Seperti itu, kamu percaya akan ada 72 bidadari yang akan menyambutnya ketika dia mati?" Tanya Henny tersenyum sinis, menertawakan kebodohan pria yang sudah membuatnya jatuh hati. Hembusan nafasnya menerpa wajahku, hangat dan harum.

"Aku nggak tahu, karena aku belum pernah mati." Jawabku diplomatis, hanya mereka yang sudah mati yang tahu jawabannya. Lagi pula seburuk buruknya aku, aku masih sangat percaya bahwa Islam itu rahmatan lill 'almiin. Islam selalu menyebarkan kebajikan di atas muka bumi, bukan justru sebaliknya. Islam akan melindungi kaum minoritas seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah. Toleransi adalah syarat mutlak dalam Islam yang rahmatan lill 'alamiin.

"Hahaha, pikiranmu tidak bisa dibantah. Ah, andai aku tidak bertemu dengan Nyai Jamilah, hidupku akan semakin hancur dan dipenuhi kebencian kepada setiap orang yang tidak sejalan dengan pikiranku." Henny tiba tiba mencium bibirku, melumatnya dengan bernafsu. Dia seakan ingin melupakan semua dukanya, lidahnya bergerak masuk menjilati rongga mulutku liar

Kali ini aku tidak berusaha menolaknya, aku membalas pagutan Henny dengan penuh gairah. Kapan lagi aku bisa menikmati bibir sensual seorang bidadari kalau memang ada di alam dunia ini. Kuhisap kehangatan bibirnya seperti yang biasa kulakukan dengan wanita lainnya, tapi sensasi yang saat ini kurasakan jauh berbeda. Setelah sekian lama bibir kami bersatu, akhirnya Henny berhenti lebih dulu. Dia menatapku tajam, membuatku berkelit dari tatapannya..

"Kamu menyuruhku membunuh Gus Mir, karena dia yang mempengaruhi kekasihmu hingga pergi mencampakkanmu?" Tanyaku berhati hati, aku ngeri membayangkan Henny mengiyakan pertanyaanku. Itu artinya, Gus Nur terlibat dalam jaringan itu.

"Bukan, aku hanya bercanda. Kamu pikir, aku serius mengatakan hal itu? Aku bukan psikopat, yang terobsesi mencium bau anyir darah."jawaban Henny membuatku lega, gadis ini bukanlah iblis berwajah bidadari seperti yang aku takutkan. Dia hanya gadis lemah yang berusaha menutupi kerapuhan hatinya dengan cara yang salah.

"Syukurlah, aku lega sekarang. Yang masih membuatku tidak mengerti, alasanmu menikah mut'ah denganku?" Aku menatap Henny tepat pada manik manik hitam matanya, indah sekali seakan menghipnotis kesadaranku. Sekilas, aku seperti melihat duka dari manik manik matanya.

"Karena wajahmu sangat mirip dengan pria yang sudah mencampakkanku, pertama kali aku melihatmu di saat datang melayat waktu Mbah Kholil wafat." Jawab Henny, dia membelai wajahku yang mulai berkeringat karena harus menahan beban tubuhnya yang menindihku.

Aku berusaha mengingat, adakah wanita bercadar di antara para pelayat yang datang dengan mengenakan cadar seperti penampilan Henny? Rasanya aku tidak melihat wanita bercadar, karena itu akan sangat mencolok dan akan menjadi pusat perhatian, bahkan mungkin akan menjadi bahan gunjingan para santri. Bagi kami, wanita bercadar adalah hal aneh, kami tidak pernah diperintahkan untuk bercadar. Cukup menutup aurat dengan pakaian yang pantas, tidak berlebihan seperti memakai cadar.

"Aku tidak melihat ada wanita bercadar yang datang, aku yakin itu." Aku menatap Henny yang mulai terasa berat dan membuatku kesulitan bernafas, tapi aku tidak berusaha melepaskan diri dari tindihannya. Kehangatan tubuhnya, kehalusan kulitnya membuatku tidak mau melepaskan momen seperti ini.

"Kamu pikir aku gila, datang ke pondok pesantren tradisional yang sangat mengagungkan kebudayaan lokal sebagai bagian dari iman. Tentu aku harus beradaptasi dengan mereka, lagi pula pakaian yang kukenakan hanya karena aku bosan melihat tatapan liar penuh syahwat dari pria hidung belang. Aku ingin bebas beraktivitas tanpa kejaran para pria hidung belang yang menjadikan diri mereka sebagai budakku, cadar yang aku kenakan bisa melindungiku dari hal ini dan Nyai Jamilah dan Nyai Nur tidak melarangku." Jawab Henny.

Kami saling bertatapan, manik manik mata Henny semakin membesar menyeret ku dalam gairah birahi.

"Kontolmu sudah ngaceng lagi, semoga kali ini tidak mengecewakanku." Bisik Henny, dia menggerakkan pinggulnya sehingga kontolku bergesekan dengan memeknya yang tidak pernah ditumbuhi bulu.

"Kamu benar-benar menginginkan hal ini, Henny?" Untuk pertama kali aku memanggil namanya, tanganku meremas pantatnya yang sekal dan kulitnya sangat halus.

"Ya, aku menginginkannya setelah pria itu mencampakkanku tanpa pernah menyentuhku." Bisik Henny, disudahi dengan menjilati belakang telingaku. Aku menggeleng geli, salah satu daerah sensitif ku berhasil membuatku semakin terbakar birahi.

Tanpa sadar, aku menggerakkan pinggulku sehingga kontolku bergesekan dengan permukaan memeknya yang lunak dan hangat. Aku sudah sangat tidak sabar untuk membenamkan kontolku ke dalam lobang sempit Henny dan berpikir apakah memeknya sebanding dengan wajah cantiknya?

"Kamu nakal, kontolmu sudah berani menggesek gesek memekku...!" Seru Henny, matanya terpejam merasakan sensasi nikmat yang tidak bisa dipungkirinya.

Perlahan, aku miringkan tubuh hingga akhirnya gadis cantik itu rebah di sampingku dengan pasrah, tubuh bugilnya membuatku tidak berkedip mengaguminya. Gila, tubuh seindah ini ditinggalkan demi sebuah keyakinan yang tidak masuk akal.

"Jangan kecewakan aku, Yudha..!" Bisik Henny memanggilku Yudha, itukah pria yang sudah mencampakkannya?

"Yudha. !" Aku menatap Henny, yang mengangguk mengiyakan pertanyaanku yang tidak terucap.

"Aku ingin menikmati malam ini, Yudha. Singkirkan semua obsesi gilamu yang tidak masuk akal itu, aku adalah bidadari yang menjadi hadiahmu tanpa perlu mengorbankan nyawamu yang sangat berharga." Bisik Henny, dia menarik wajahku ke arah payudaranya yang montok dan tidak sedikitpun mengendur. Sempurna, seperti payudara gadis ABG yang tidak pernah tersentuh.

Harum sekali payudaranya, menyegarkan paru-paruku. Hawa hangat menjalari wajahku, padahal masih kulit kami belum bersentuhan. Puting payudara Henny terlihat semakin mengeras saat lidahku terjulur menyentuh permukaan payudaranya yang halus.

"Ahhhh, jangan siksa aku Yudh. Aku milikmu sekarang....!" Henny menggeliat merasakan sentuhan lidah kasarku, perlahan menyusuri sekeliling puting payudaranya.

"Jangan panggil aku Yudha, karena aku bukan Yudha." Kataku jengkel, terlalu konyol kalau aku harus memerankan pria lain.

"Hahahaha, bukankah dengan cara itu kamu akan lebih perkasa?" Goda Henny, dia meremas sepasang payudaranya menggodaku.

"Aku bisa menaklukkan mu tanpa berperan sebagai orang lain." Jawaku ketus, mataku terus tertuju pada gerakkan Henny meremas payudaranya dengan lembut.

Kenapa aku harus pusing dengan panggilannya, payudara ini tidak bisa aku biarkan mengganggur begitu saja. Aku segera menghisap putingnya dengan rakus, persetan Henny akan memanggilku apa. Aku lebih fokus menghisap puting kenyal disertai gigitan lembut yang membuat gadis cantik itu semakin menggeliat dan tangannya merangkul kepalaku.

"Iyaaa, begitu sayang ....!" Jeritan kecil Henny semakin membakar birahiku, membuatku semakin rakus menghisap puting payudaranya bergantian.

Tanganku mulai ikut beraksi, menyentuh memeknya yang gundul. Heran, ternyata ada wanita yang sama sekali tidak ditumbuhi bulu area memeknya. Ini benar benar alami, tidak ada bekas cukuran.

"Aaahhh, ihhhh kamu sudah berani ya? Awas, jangan kecewakan aku..!" Seru Henny, pahanya semakin terbuka memberiku ruang untuk menjelajahi memeknya. Jariku menyentuh celah sempit yang mulai basah, kugesek dengan lembut hingga menyentuh itilnya yang mungil. Kugelitik itilnya hingga membuat pinggul Henny terangkat tanpa disadarinya.

Aku menatap wajah Henny, matanya terpejam dengan desisan halus yang terus keluar dari bibirnya yang sensual, dia sangat menikmati jemariku yang terus mempermainkan itilnya dan beberapa kali menyentuh permukaan lobang memeknya. Wajahnya terlihat semakin cantik dan bersemu merah oleh birahi yang membakar jiwanya, lehernya yang jenjang terlihat semakin indah saat wajahnya mendongak meresapi rasa nikmat yang diperolehnya.

"Ahhhh, Zaka geliiii ..!" Henny menggelengkan wajahnya saat aku menciumi leher jenjangnya, kutinggalkan bercak merah sebagai tanda aku pernah menyentuh nya.

Puas bermain main dengan leher dan payudara, aku mengalihkan sasaranku pada memeknya, perlahan aku membuka belahan pahanya agar aku bisa leluasa bermain main dengan memeknya yang hanya berupa belahan tipis yang sangat rapat. Wajahku semakin mendekati memeknya, jemariku membuka belahannya untuk melihat bagian dalamnya yang berwarna merah dan terlihat sangat basah.

"Uhhhh, jilatin memekku sayang...!" Henny menarik rambutku sehingga wajahku tersungkur di memeknya, dia sangat tidak sabar untuk merasakan jilatan lidah kasarku pada memeknya.

Lidahku menyentuh memeknya, menjilat cairan birahi yang terus menerus keluar dari dalamnya. Harus kuakui, rasanya tidak berbeda dengan cairan memek wanita lain yang pernah kurasakan, tapi sensasi yang kurasakan selalu berbeda-beda dari setiap wanita.

"Aduhhh, ennak banget...!" Jeritan kecil Henny mengiringi gerakan lidahku menggelitik itilnya, membuatku semakin bersemangat untuk memberikan pelayanan maksimal.

Aku semakin asik menghirup aroma memek Henny yang semakin tajam seiring dengan cairan birahi yang tidak berhenti merembes keluar, padahal aku sudah berusaha menyeruputnya habis. Tapi semakin banyak cairan yang keluar, hingga sebagian membasahi sekitar area bibir dan daguku.

"Ampunnnnn, ak Akku kelllllluaarrrrr...!" Teriak Henny setelah hampir sepuluh menit lidah dan bibirku bermain main di area memeknya. Pinggulnya terangkat, menyambut orgasme dahsyat dan aku berharap orgasme yang didapatkannya lebih dahsyat dibandingkan dia mendapatkannya dari pria lain.

"Sudah Zak, masukin kontolmu sayang..!" Henny mendorong wajahku menjauh dari memeknya, keinginannya merasakan sodokan kontolku pada memeknya terpancar jelas di wajahnya yang semakin cantik.

Perlahan aku merangkak di atas tubuhnya yang terlentang pasrah, kami saling bertatapan dengan makna yang berbeda. Aku mengarahkan kontolku pada celah sempit yang sangat basah, kugesek gesekkan pelan untuk memastikan memek Henny sudah siap menerima kehadiran kontolku yang menurut para wanita termasuk besar bahkan yang terbesar yang pernah mereka rasakan.

"Masukin, aku sudah nggak tahan..!" Seru Henny, dia mengangkat pinggulnya dengan perasaan tidak sabar.

Perlahan aku mendorong kontolku memasuki memeknya, aku tidak mau tergesa gesa melakukannya. Ukuran kontolku terlalu besar, sehingga ada beberapa wanita yang kapok ngentot denganku. Dan aku tidak mau sampai Henny kapok ngentot denganku, sebuah kerugian besar buatku. Kapan lagi aku bisa menikmati memek wanita secantik ini, wanita tercantik yang menyerahkan memeknya secara suka rela.

"Auuu, pelan pelan Zak, kontol kamu terlalu besar...!" Seru Henny, dia menahan pinggangku agar kontolku tidak masuk lebih dalam ke dalam memeknya yang merenggang lebih besar dari biasanya.

Aku hanya mengangguk, menarik kontolku perlahan dan kemudian kembali mendorong masuk dan saat kepala kontolku terbenam, aku kembali menariknya. Begitu berulang ulang, hingga kurasakan tubuh Henny mulai rileks, pada saat itulah aku mendorong hingga kontolku terbenam seluruhnya.

"Aduhhh, gila kontol kamu bisa masuk..!" Seru Henny takjub, dia meraba memeknya yang sudah tertusuk sempurna oleh kontolku.

"Ennak, nggak?" Godaku sambil menarik kontolku perlahan membuat dinding memek Henny seperti ikut tertarik, lalu aku kembali menusuk lembut.

"Iyya, sekarang mulai nikmat. Ohhh, yahhh gitu..!" Seru Henny, pinggulnya mulai bergerak mengikuti gerakkan kontolku yang bergerak memompa memeknya

Gila, harus kuakui memek Henny sangat berbeda, memeknya seperti berdenyut meremas kontolku.

"Ahhh, memekmu rasanya berbeda..!" Gumamku takjub, semakin lama sodokanku semakin cepat.

"Enakk mana dengan memek, istrimu?" Goda Henny, gerakan pinggulnya semakin cepat membalas serangan ku. Dia ternyata mempunyai kemampuan ngentot yang piawai, tidak kalah dengan para pelacur yang memang dituntut untuk bisa memuaskan para pelanggannya.

Aku hanya tersenyum, tidak mungkin aku membandingkan dengan memek Shinta istriku dan aku berharap Shinta akan terus mendampingiku dalam suka dan duka. Lalu bagaimana dengan Nyai Jamilah, bukankah dia juga adalah istriku? Ah, kenapa dalam situasi ini aku malah teringat pada mereka berdua, ini bukan saat yang tepat.

"Akkku akkkkku mauuuu kelllllluaarrrrr...!" Henny menjerit kecil setelah aku menggenjot memeknya cukup lama, akhirnya dia mendapatkan orgasme dahsyat yang membuat tubuhnya menggeliat, memeknya seperti menyedot kontolku.

"Ampun, akkku juga kelllllluaarrrrr...!" Aku takluk, memek Henny seperti menyedot kontolku, memaksa pejuhku keluar tanpa bisa kucegah lebih lama lagi.

Henny memelukku erat, kakinya menjepit pinggangku sehingga pejuhku membanjiri memeknya tanpa bisa kucegah.

"Henny...!" Aku mengeluh, saat pejuhku tertumpah di mulut rahim Henny.

"Kenapa, sayang?" Tanya Henny tersenyum, gelombang orgasme dengan cepat berlalu.

"Pejuhku..!" Aku menatap Henny, kenapa dia tidak panik memeknya menampung semua pejuhku.

"Penuh kamu hangat, enak sekali rasanya." Jawab Henny cuek, dia masih terus memelukku tidak peduli tanganku yang mulai pegal menahan beban tubuhku.

"Maksudku, bagaimana kalau kamu hamil?" Tanyaku heran, kenapa Henny terlihat santai dengan situasi ini.

"Aku dan teman teman pengajian di kampus berencana melakukan KKN di pondok pesantren tempatmu, Gus Mir, Nyai Nur dan Nyai Jamilah sudah setuju. Aku ingin secepatnya itu terjadi, sehingga aku bisa menerima semburan pejuhmu setiap malam." Bisik Henny, dia sama sekali tidak tertarik membahas kemungkinan hamil oleh semburan pejuhku, bahkan dia sangat menginginkan semburan pejuhku sebanyak banyaknya.

"Kamu mau, KKN di pondok pesantren ku?" tanyaku heran, entah ini sebuah anugerah atau justru bencana buatku.

Bersambung...
Mantullll om... Thanks for your posting... :semangat:
 
Akhirnya henny bisa dijebol juga..
Tambah pusing si zaka..masalah dengan gus mir blm kelar, tapi dia malah dipaksa nikah terus..

Mantep, makasih updatenya master satria..
:ampun:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd