Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

lanjut bos :D
kelanjutan cerita berarti hari Senin lg. tungguin ya...
suhu ryu memang gak kehabisan ide, gw bisa sebut ide2 gila, mataap abis. :jempol::jempol::jempol::jempol: w kasih 4 jempol buat suhu ryu
thx atas apresiasinya.
Wah langsung lanjut
Ane kira sekarang jatahnya side quest (penasaran sama kehidupan maria dan kawan2nya setelah tria pergi)

side quest biasanya dilakukan klo ada yg betul2 menarik (menurut saya). krn masalah maria dkk sudah kelar. tinggal melanjutkan hidup saja di masa depan.
lagipula tidak ada jadwal khusus utk side quest. cuma ane sendiri yg tau jadwalnya... hue hue hue...
 
========
QUEST#12
========​

"Semua barang-barangmu sudah dibawa?" tanya bu Desi saat kami di basement apartemen ini. Hari sudah menunjukkan jam 10 malam. Aku mengikuti bu Desi ke mobil yang dikendarainya sendiri.
"Sudah, bu Desi..." jawabku menujukkan tas ransel yang selama ini setia menemaniku kemana saja. Masih ada bekas tali plastik tag bandara saat aku ke Australia dulu bahkan.
Satu alisnya diangkat memandang tas ransel lusuhku. Dipake sekolah, jalan-jalan, berpetualang—dengan benda yang sama. Jangan pernah malu dengan benda milikmu sendiri. Itu yang selalu kupaham sejak kecil. Aku tak ragu memakai benda yang sudah jelek begini walau keluargaku lebih dari mampu untuk membeli benda remeh ini.
Aku sudah kadung nyaman dengan tas ransel ini. Yang penting fungsinya tidak terganggu dan tidak rusak. Ini sudah kupakai sejak kelas dua. Mama membelikannya saat ia pulang bisnis dari Cina saat itu. Benda ini sebenarnya buatan Indonesia yang diekspor ke sana. Entah bagaimana mama menemukannya di sana dan terbit jiwa nasionalismenya kemudian membelinya dengan bangga. Terbukti kualitasnya dan sukses kupakai sampai sekarang. Memang beberapa kali aku harus mengganti restleting-nya yang rusak ke tukang jahit tak jauh dari sekolahku.
"Kamu tadi kemari naik apa?" tanya bu Desi menon-aktifkan alarm mobilnya lalu membuka pintu supir.
"Naik mobil, bu..." kataku memberi arah di mana mobilku parkir. Tidak terlihat dari sini, sih.
"Oh... Kamu bisa nyetir mobil kalau begitu... Kamu yang bawa, deh..." katanya urung masuk ke bangku supir, membiarkannya terbuka, menyerahkan kunci padaku dan berputar ke sisi satunya. Buru-buru kususul dia dan membukakan pintu penumpang di samping supir. Agak jentelmen...
"Makasih..." jawabnya datar dan masuk ke dalam mobil.
Ia berdiam diri sepanjang perjalanan setelah menyebutkan daerah rumahnya berada. Interior mobil yang temaram membuatku kurang begitu yakin kalau ia tidur. Lampu jalan yang menerangi siluet tubuhnya sesekali. Wajahnya menghadap jendela samping, kakinya bersilang memamerkan paha mulusnya ber-panty hose merah dress code arisan yang hanya sedikit ditutup rok gaunnya yang pendek. Glittering bahan gaunnya memberi sedikit keceriaan sepi di mobil ini. Berbeda seperti yang ia tunjukkan saat berkenalan bersama teman-temannya tadi. Ia bisa bergenit ria...
Bisa dibilang aneh perempuan ini. Apa ia sama seperti baby sitter-nya itu yang bisa punya kepribadian. Atau ia hanya berpura-pura ceria di sekitar teman-teman arisannya? Dan inilah dirinya yang asli. Pendiam yang membosankan.
"Mungkin ia hanya bisa ceria disekitar orang yang dipercayanya, Satria... Teman-temannya adalah orang yang dipercayanya... Bersama mereka ia merasa aman dan tak perlu memberi tameng pelindung... Ini bagian dari perlindungan diri... Belagak tangguh padahal takut..." kata Andin langsung ke pikiranku. Aku memang suka analisanya. Memberiku sudut pandang baru yang aku sangat kurang paham.
"Apa membawa orang asing ke rumahnya bukan langkah berani? Gegabah malah?" tanyaku. "Anaknya masih bayi begitu... Sejauh apa ia kenal denganku? Apa ia begitu yakin kalau aku tidak akan macam-macam di rumahnya?" lanjutku.
"Mereka sudah melakukan ini berkali-kali... Kau juga bukan brondong pertama yang pernah dimenangkannya... Selama ini tak pernah ada masalah sepertinya... Brondong yang pernah dimenangkannya juga tak berulah macam-macam... Ia yakin kalau kau juga begitu demi order yang melimpah kedepannya... Bukan begitu?" jawab Andin. Entah dimana ARC FORM dari UNDINE DROP itu sekarang berada. Ia hanya menyampaikan analisanya lewat Drop miliknya itu dari jauh.
"Apa kabarmu sekarang, Andin? Gak pernah ketemu lagi sejak ketemu sama mbak Susan waktu itu..." kataku. Mending ngobrol bareng Andin daripada dianggurin bu Desi begini.
"Baik... Seperti kataku dulu... Aku perlu belajar... Yah... Browsing-browsing dikit... Jadi anggota perpustakaan... Melancong sana-sini... Memperluas cakrawala pengetahuan deh pokoknya..." jawabnya. Ia juga melakukan ini seperti semacam telepati seperti mbak Susan bisa tau kalau aku butuh perawatan kesehatan dan muncul di belahan bumi manapun; menjadi perawat dadakan.
"Sekarang lagi ada dimana?" tanyaku spesifik tentang lokasinya.
"Mm... Di kota kecil bernama Los Amariles... Ini perbatasan Mexico dan Amerika... Koleksi cerita rakyat perpustakaan di sini sungguh beragam... Aku tertarik membacanya... Jadi aku coba membaca dan tak terasa hampir semua koleksinya kulahap habis..." jelasnya. Wah... Sampe ke Mexico sana Andin melancongnya.
--------​
Selesai memarkir mobil bu Desi di garasi, aku disuruhnya masuk ke rumah. Seorang asisten rumah tangga yang seumuran dengannya datang tergopoh-gopoh menyambut kami.
"Tantri... Tunjukkan padanya kamar tamu... Saya mau mandi..." katanya memberi instruksi.
'Baik, bu... Bathtub-nya sudah saya siapkan... Mari, mas?" jawabnya sigap dan kemudian mengajakku ke arah sebaliknya dari kepergian bu Desi. Ia menaiki tangga utama yang menuju lantai dua rumah bergaya Mansion ini. Aku sempat menikmati lenggak-lenggok pinggulnya yang alami tidak dibuat-buat kala menaiki tangga. Sebagian pahanya, betis sempurnanya, lekuk tubuhnya, goyangan rambut bergelombangnya, semuanya!
Dan ia menghilang dari pandanganku di lantai dua sana. Eh! Aku malah ditinggal mbak Tantri tadi.
Aku ditempatkan di sebuah kamar tamu dengan furnitur standar kamar. Ada tempat tidur, lemari pakaian, meja rias, TV dan kamar mandi. Mbak Tantri berpesan kalau mau mandi silahkan saja karena semuanya tersedia. Tambahan kalau lapar silahkan pergi ke dapur. Kuterima tawarannya. Lapar, eh.
Tak mau berlama-lama mandi dan berganti pakaian, aku menunggu mbak Tantri datang lagi. Aku gak boleh byayak'an keliling-keliling rumah orang sembarangan, kan untuk mengganjal perut yang kukuruyuk menjelang tengah malam begini. Capek dan lelah meladeni anggota arisan brondong, aku gak sempat makan. Malah keluar energi banyak banget. Genjot sana-sini, kobel sana-sini, sedot sana-sini, ngecrot dua kali.
Ketukan di pintu melegakan perutku yang melilit. Mbak Tantri mengajakku makan malam. Kuikuti dia menuju ruang makan, tidak, ternyata dapur. Bu Desi ada di sana duduk di area breakfast table sedang makan sesuatu. Sesuatu yang ternyata es krim.
Unik nih orang. Makan es krim malam-malam begini.
"Kamu mau makan? Sepertinya kamu gak makan apa-apa di sana tadi? Tapi jangan minta Tantri masakin... Dia gak bisa masak... Apalagi saya... Pesan delivery aja, ya?" katanya rombongan yang sulit kucerna akibat perutku kosong—kosong juga kepalaku. Entah kalo pejuh masih ada stok, gak?
"Ng? Gimana, ya?" kataku kalut. Aku memang gak ada penyakit semacam maag atau asam lambung atau sejenisnya. Tapi ini beneran kelaparan. "Es krim itu juga boleh, deh..." kataku nekat.
"Yakin? Ambil noh di kulkas... Tantri kamu udah pergi tidur aja..." katanya. Mbak Tantri pergi dari dapur ini.
Kubuka kulkas dan ya ampun... Isinya es krim mulu! Berbagai macam jenis es krim ada di dalamnya. Ada jenis cup gede, ice cup kecil-kecil, ice cone bermerk terkenal, ice stick sampe es lilin juga ada.
Kuambil dua buah es krim cone rasa coklat berinti strawberry. Kumakan satu dengan rakus sambil tanpa permisi meraup 3 buah telur yang tersisa di egg tray kulkas itu, menghidupkan kompor gasnya, menaruh sebuah panci teflon dan mulai memasak tanpa minyak goreng.
Menunggu teflon panas, kuembat es krim kedua. Tiga butir telur kuceplok bersamaan di panci teflon, taburi generous amount of salt, sedikit ground pepper. Voila! Telor ceplok mata Saptri siap. (Mata anda tidak salah membacanya. Memang Saptri. *bad pun)
Cari piring, sendok dan nasi aku muter-muter keliling dapur ini. Piring dan sendok ketemu tapi nasi tidak ada di dalam rice cooker. Malah nemu sambal botol dan kecap. Duduk di depan sang empunya rumah yang sama sekali tak melarangku, duduk saja menontonku melakukan semua seperti sebuah hal yang wajar saja.
"Kayaknya sambel itu udah expired, deh..." katanya saat aku akan menuang sambal botolan itu ke piringku. Kulirik sebentar font digital di label merek sambal botol ini. Benar expired dua bulan lalu. Begitu juga dengan kecap ini. Kusisihkan kedua botol ini, setidaknya telur mata Saptri-ku enggak kadaluarsa.
Kuserang makanan yang baru kumasak ini dan dengan cepat habis karena hanya telor ceplok walau memakai 3 butir telor sekalipun. Perut masih belum kenyang dan bu Desi paham penderitaanku lalu menunjuk kulkasnya lagi. Es krim...
Menunggu delivery makanan yang dipesan bu Desi tiba, kami makan es krim masing-masing satu cup gede dalam bungkam padahal berhadapan. Kepalaku terasa beku, kuping pengar dan tak bisa berfikir jernih karena kebanyakan gula.
"Kamu beneran anak SMA?" tanya bu Desi sekonyong-konyong.
"Ya... Umur saya masih 17 tahun..." jawabku sebelum memasukkan sendokan es krim lagi ke mulutku.
"Kok keliatan lebih dewasa dari 17 tahun, ya? Punya paspor?" tanyanya mengejutkan. Kenapa tiba-tiba nanya paspor? Kenapa bukan KTP atau kartu pelajar? Mukaku sama sekali gak ada bule-bulenya gitu, kan? Jadi aku masih bisa keliaran di negaraku ini tanpa kartu pengenal yang memadai sekalipun.
"Punya... Tapi gak dibawa... SIM A ada..." jawabku culun seadanya.
"Mau ke Singapur masa pake SIM... Ambil besok paspormu... Bolos sekolah dan kita ke Singapur besok siang..." katanya melahap es krimnya sendiri.
"Ke Singapur? Ngapain?" bengongku heran. Aneh benar nih orang. Maen suruh aja tanpa memberi kesempatan orang untuk menolak.
"Yang rasa kacang merah itu cup yang terakhir di kulkasku... Aku harus beli lagi di Singapur untuk stokku..." tunjuknya pada es krim yang sedang kunikmati ini. Rasa kacang merah? Aku memakan es krim rasa kacang merah stok terakhirnya dan belinya di Singapur. Tajir gila nih orang. Masa nyetok es krim aja harus di Singapur?
"Cuma beli es krim?" tanyaku jadi enggan makan es krim ini lagi. Jadi gak enakan gimana gitu.
"Ya, enggaklah... Ngurusin bisnis... Ketemu dokter juga... Belanja keperluan salon... Begitu, deh..." jawabnya menerawang menatap kulkasnya.
"Trus saya ikut ke sana-nya ngapain? Jadi bodyguard?" tanyaku.
"Boleh juga... Jadi porter juga bisa..." katanya lalu mengangkat telepon, berbicara sebentar dan turun dari breakfast table ini. "Delivery-nya udah nyampe... Kamu tunggu disitu dulu nanti saya balik lagi..." katanya pergi meninggalkan dapur dengan kibasan kain piyama tidurnya.
Jadi porter? Jadi bodyguard? Kenapa gak sekalian aja jadi kacungnya? Memang dua hari ini aku menjadi miliknya sebagai hadiah menang arisan. Tapi gak segitunya juga kalee. Tapi beneran aneh household rumah ini. Pengaturannya berantakan banget. Ada segala asisten rumah tangga yang ngajak ke dapur tapi gak bisa masak, baby sitter bipolar, segala kulkas isi es krim semua. Apa bisa dia merawat bayi yang masih kecil dengan cara pikir begini? Kayak orang yang belum dewasa begitu.
"Eh... Jangan nge-judge secepat itu? Kau belum liat semuanya, kan? Siapa tau ada asisten lainnya untuk bagian masak-masak... Tidak semua bipolar disorder itu kacau hidupnya... Ini dapur bersih... jadi wajar aja kalau ada kulkas lain yang berisi bahan makanan di dapur kotor sebelah..." sergah Andin meralatku.
"Iya-iya tau... Sorry..." jawabku menunggu sampe bu Desi kembali membawa pesanan makanan pesan-antar tadi.
--------​
"Jadi Alex yang ngenalin kamu ke bu Ajeng?" tanya bu Desi setelah ia membawa dua buah kotak pizza ukuran Large. Satu Meat Lover dan satu Pepperoni lengkap dengan garlic bread, salad dan minuman cola-nya. Seiris pizza Meat Lover kupegang tinggal setengah. Bu Desi cukup dengan es krim lagi.
"Ya... Awalnya aku hanya ngajak dia tarohan... Aku dapat mobilnya... Trus dia nawarin aku dikenalin sama mami-nya... Gitu, deh..." jelasku sesingkat mungkin.
"Iya... Bu Ajeng memang mami-nya Alex..." katanya menyendok satu scoop es krim lagi. "Bentar-bentar lagi mungkin tuh anak akan ditendang ke laut karena gila judinya amit-amit banget..."
"Oh... Gitu? Baguslah..." jawabku menggigit irisan pizza ini dan mengunyahnya pelan-pelan. Tanpa dikorek malah keluar sendiri informasinya.
"Mami kamu tajir? Lancar duitnya?" tanya bu Desi tembak langsung. Aku hampir tersedak dan buru-buru mengambil cola—meneguknya. Sodanya menguap di sinus sampai sedikit pening.
"Terus terang... saya masih baru di bidang ini, bu Desi... Saya membual sama Alex kalau mamiku memberiku duit banyak bahkan mobil Jaguar untuk memancingnya... Padahal mami-ku fiktif—gak ada sama sekali..." terangku. Ini sebenarnya langkah berani di awal perkenalan dengan targetku. Tapi menyatakan kejujuran di tahap ini akan menjadi satu nilai plus.
"... duit dan Jaguar hanya pinjaman?" potong bu Desi.
"Duitnya beneran ada... Itu ditransfer temen... benar-benar hadiah untukku... Janjinya sejuta dolar... Jaguar-nya dibeliin papaku... Masih terparkir di apartemen bu Ajeng sana..." jawabku mulai terkendali. Rasanya plong kalau menyatakan kejujuran. Kukeluarkan HP-ku yang menunjukkan saldo akhir account-ku lewat mobile banking (Gila! Udah 900 jutaan aja!), SIM A dan STNK mobil sport atas namaku.
"Jadi... dengan semua yang kau miliki, kenapa kau ada disini?" katanya mulai serius. Ditatapnya mataku tajam walau wajahnya tidak terlihat tegang. Mungkin ini bagian kelihaian bisnis dan pengalaman hidupnya. "Uang yang kau dapat dari arisan kami gak seberapa dibanding duit di tabunganmu... Apa maumu?" tatapnya semakin menusuk tajam. Seakan ia punya SHADOW MIND yang menggerogoti pikiranku. "Kamu anaknya Buana Suryawan dan bu Utami Perkasa Alam, kan?"
"Benar... Tapi saya tidak mewakili siapa-siapa kali ini... Tidak keluarga besar Suryawan atau keluarga besar Perkasa Alam... Tidak ada hubungannya... Saya tidak ada maksud jahat pada bu Desi... pada bisnis ibu... pada rekan-rekan bisnis ibu... pada keluarga ibu... pada teman arisan ibu... Saya hanya ada urusan dengan ibu Desi seorang... dan mendekati ibu lewat arisan brondong itu sepertinya satu-satunya jalan cepat dan tepat..." jelasku sangat teramat lugas.
Ia tidak seperti yang aku pikirkan. Ia sangat siap dengan hidupnya sampai bisa mencari tau jelas keluargaku sampai mencurigai akan memata-mata bisnisnya. Padahal bisnisnya yang jelas di depan publik hanyalah salon Premium di mall itu saja.
"Bagus kalau kamu mau jujur... Untuk itu kamu boleh gak manggil saya bu Desi lagi... mbak Desi rasanya cukup... Kemari!" katanya lalu memanggil seseorang lewat telepon selularnya.
Loh? Dia gak marah ternyata. Trus siapa yang dipanggilnya kemari itu? Apa dia punya semacam pembunuh bayaran atau asisten super yang bisa disuruhnya ini-itu?
"Gak usah khawatir... Yang saya panggil kemari si Emi itu, loh... Yang di salon tadi siang... Bukan satpam..." katanya mengerti kecemasanku. Mungkin yang terbaca di mukaku adalah kecemasan yang mungkin dialami orang normal. Tapi aku bukan orang normal kebanyakan. Power Ranger sama Ultraman bawa kemari aku gak takut. He-he-he.
Menunggu sampai mbak Emi itu sampai ke dapur ini, bu Desi—eh, mbak Desi menikmati es krimnya lagi.
Tak lama mbak Emi itu sampai ke dapur ini dan menghampiri kami di breakfast table yang penuh dengan kotak pizza dan es krim.
"Malam, bro... Malam, sis... Banyak makanan, bleh... Kirain belom pesan... Gua bawain mie instan, nih..." katanya menunjukkan plastik kresek berisi 3 buah mie instan cup. Ia duduk di sampingku tanpa beban. Bukannya mbak Emi ini baby sitter bayinya mbak Desi. Kenapa akrab banget gini gesture-nya? Bro okelah. Sis...?
"Kenapa lo masih pake seragam pink itu? Udah lecek bau gitu... Awas aja kalau Jojo sampe bersin-bersin..." katanya.
"Ya elah, Des... Ini, kan gara-gara elu juga, buset... 'Pain pake nyuruh gua ngeladenin tuh brondong di salon? Trus ngurusin anak lu selama lu arisan ampe gua gak sempet bebesih... Eh, bujug?... Ni dia tuh brondong! Elo yang menang? Sekate-kate, lu kagak ngabarin gua dulu?" jawabnya nyablak abis. Telat menyadari kalau aku orang yang sama dengan yang di salon tadi siang.
"Iya, Mi... Gue yang menang... Doa lo terkabul, deh..." kata dua orang ini yang akrab abis tidak seperti majikan dan bawahan.
"Emi..." katanya membanggakan diri menepuk dada.
"Benar kata elo yang satunya kalau si Satria ini beda... Kenalin... namanya Satria... Dia ini memang beda karena dia bukan brondong seperti yang elo bilang itu..." kata mbak Desi membingungkanku. Apa yang mereka bicarakan?
"Beneran, kan? Eno kagak pernah salah..." sahut mbak Emi kegirangan sampai bertepuk tangan. Apa ini?
"Tuh anak lagi bingung, noh..." kata mbak Desi menyadari ekspresi bingungku.
"Eh.. Sori, bro... Kami bedua emang aneh sejak dulu banget malah... Kalo elu bingung wajar aje... Lah ampe sekarang kami bedua malah masih bingung napa kami dua orang aneh bisa pada ngumpul? Ho-oh?" katanya menepuk-nepuk bahuku seperti sudah kenal akrab banget.
"Jadi gini, Satria... Si Emi temanku ini punya kelainan jiwa..."
"Et-dah! Ngapa kelaenan jiwa, sih? Bujug-buset!" potong mbak Emi menggebrak meja membuatku hampir tergelak geli dengan makiannya. "Pake kata lain, ngapa?"
"Jadi Bipolar itu lo sebut apa? Rasa kecap asin? Kelainan, kan?" sergah mbak Desi. Ternyata hubungan mereka teman yang sangat akrab.
"Kecap asin enak tuh untuk buat semur ayam..." tambahku mengacungkan dua jempol.
"Et-dah, bocah? Apaan, sehh?... Segala kecap asin dibawa-bawa? Lo kira gua mau dibilang sakit jiwa?" kata mbak Emi malah mengkonfrontir penjelasan temannya tentang masalah yang kalau dijelaskan baik-baik mungkin bisa dicerna dengan mudah. Tengah malam ini jadi rame dan hangat dengan teriakan kedua wanita yang... sudah tak muda lagi.
"Stt... Tutup bacot... Ada dua kepribadian di kelainan Bipolar Emi ini... Yang ngobrol dengan kita ini namanya Emi dan satunya bernama Eno... Eno yang ngeladenin kamu di salon tadi siang..." jelas mbak Desi tentang temannya ini.
"Kalo gua... yaaa... Begini ini... Perempuan kampung biasa dari pelosok Bekasi yang tamat SMA doang... Kadang jadi jongosnya Desi... Sekarang malah jadi bebi sister... Disuruh-suruh terus juga ujungnya, mah..." kata mbak Emi merendahkan dirinya.
"Tapi kalo Eno yang menguasai tubuhnya... Kau liat apa yang kami capai saat ini... Kami yang gak punya apa-apa sekarang jadi begini... Eno sangat cerdas dan jenius... Prediksinya tak pernah meleset... Perhitungan bisnis untuk untung rugi segala resiko bisa dilakukannya dengan sempurna... Segala macam bursa efek ato saham... dia jagonya... Tapi dia sedikit... bukan sedikit... Agak gila... Mudah-mudahan Eno gak dengar gue ngatain doi itu..." jelas mbak Desi lebih lengkap tentang keanehan temannya.
"Wow? Ada dua kepribadian, ya?' kataku. Ini tepat seperti yang diberitahu Andin padaku. Aku mau mencoba sesuatu. Mungkin ini bisa menjelaskan semuanya.
"Trus... apa yang dikatakan beda sama Eno dariku? Mungkin kalian mau membaginya?" kataku mengarahkan HP dengan aplikasi Coremeter itu terarah pada mbak Emi.
"Jelaskan dulu tentang bedanya kamu..." kata mbak Desi.
"Apaan ntu?" tanya mbak Emi kepo.
"Ya elah... HP, Emi... HP..." kata mbak Desi.
"Besar awalnya 592 Hz dan berubah menjadi 1028 Hz... Begitu, ya?" gumamku sedikit tercerahkan. Bacaan Coremeter-ku menemukan kalau perempuan pengidap Bipolar ini ternyata punya dua panjang gelombang core yang berganti-ganti tiap kepribadian yang muncul. Sosok jenius dan sedikit gila itu pemilik panjang gelombang core yang cukup tinggi. 1028 Hz.
Sampai sekarang aku belum menentukan atau merevisi ambang batas istimewa atau tidaknya core seseorang. Awalnya aku menentukan angkanya harus diatas 1500 Hz. Seiring waktu aku beberapa kali menjumpai individu dengan panjang gelombang dibawah angka 1500 dan cukup hebat dan kuat. Seperti Angel alias Mei Ren-Hwa alias Dellayani yang memiliki angka panjang gelombang 1378 Hz tetapi menguasai STONE PUNCH yang kuat itu dan hanya bisa dibunuh dengan cara yang spesifik.
OK, deh. Fix! Sekarang ambang batas terendahnya adalah 1000 Hz. Puas semua? Everybody...? Aku gak Bipolar. Tentu gak akan ada yang akan menjawabnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya mbak Desi.
"Eh, bro... Jangan nyusain orang, dong? Gua gak paham, nih..." kata mbak Emi melongo bego.
"Begini, ya?... Kejadian sekitar setahun yang lalu... Ada mahluk-mahluk aneh yang keluar dari tubuh semua orang... Tentunya termasuk dari anda berdua... coba jelaskan bentuk mahluk itu padaku? Dari situ akan lebih mudah menjelaskannya..." kataku tentang FLOOD SWARM pembasmian iblis neraka yang menginvasi bumi.
"Kita bedua lagi pegi ke Singapur, yak, Des? Besoknya Jojo lahir, yak?" kata mbak Emi tetap nyablak.
"Enggak, Emi... Itu kejadiannya beda bulan... Kita ke Singapur untuk lahiran Jojo bulan Maret akhir... Ulang tahun Jojo, kan tanggal 28 Maret... Nah kejadian mahluk aneh itu bulan Februari tanggal 8... Kita masih di sini... Di kota ini... Lu mah banyak lupanya..." jelas mbak Desi tentang hari bersejarah itu. Sejarah yang masih membingungkan untuk dunia. Sejarah kelam untukku. Karena disitulah penderitaanku bermula.
"Mahluknya? Coba gambarkan bentuknya?" pintaku lagi pada keduanya.
"Kalo yang dari tubuh mbak... Gedeeeeeeeeeee.... banget!" katanya melebarkan tangannya dari depan ke belakang untuk menjelaskan ukuran mahluk CREATURE FORM PISCES yang dilihatnya. "Ada kali segede ikan paus... Terbang ke langit..." lanjutnya menunjuk langit-langit dapur. Wah! Segede ikan paus?
"Satu lagi... dari perut yang berisi Jojo... Panjaaaang kayak ular naga... juga terbang ke langit..." jelasnya menambahkan. Dari perutnya? Core milik Jojo? Berbentuk bukan skeletal kurus berkuping kucing? Corenya istimewa juga? Bayi yang belum lahir itu?
Buru-buru aku mengganti pengaturan pencarian CORE pada Coremeter pada jenis kelamin laki-laki saja dan memindai isi rumah ini. Ketemu! 2500 Hz! Sama seperti panjang gelombangku dan kedua saudara kembarku. 2500 Hz...
"... kalau dari tubuh gua nih... badannya kurus, item... Jari tangannya cuma tiga... Begini... Kepalanya segitiga kayak kue lupis... Matanya bercahaya... Dan... pan die mau terbang, noh... badannya tiba-tiba bengkak aja noh kaya kodok bangkong... Jadi berisi gitu, yak... Trus terbang, deh..." jelas mbak Emi tentang yang ia saksikan pada malam itu.
Core manusia biasa yang bisa berubah berisi tubuhnya karena mengalami peningkatan tenaga dari situasi Bipolar pemiliknya. Itu saja sudah cukup memusingkan. Ditambah lagi Jojo; bayi mbak Desi yang memiliki core setara denganku di usianya ini.
"Trus... Apa hubungannya?" tanya mbak Desi yang dengan segala hormat lebih pintar dibanding temannya yang sedang memakai atribut Emi.
"Ho-oh. Apaan cobak?" mbak Emi ngekor.
"Mahluk-mahluk itu disebut CORE... Artinya adalah inti. Inti terdalam dari semua mahluk hidup. Semua manusia, hewan bahkan tumbuhan punya core di dalam tubuhnya... Saat semua core keluar malam itu ada satu kejadian berbahaya yang membutuhkan bantuan semua core yang ada di Bumi ini... Kejadian genting dan berbahaya yang memerlukan mereka semua... Membasmi iblis-setan yang memasuki dunia kita dari neraka... Semua keluar termasuk core milik kalian berdua... bahkan milik Jojo yang masih di dalam kandungan... Membasmi semua iblis-setan itu dan kembali ke asalnya dan selesai... Begitu inti ceritanya..." jelasku sebaik-baiknya. Aku terbuka untuk pertanyaan.
"Nah... Disitulah kau berbedanya... Kau bisa membuang salah satu antara aku atau Emi selamanya di tubuh ini..." sergah intonasi berbeda dari wanita yang selama ini ngobrol bersama kami.
"Eno..." lirih mbak Desi. Kami memandang wajahnya yang pucat dengan mata terpejam erat.
--------​
Pribadi bernama Eno ini tidak lagi nyablak, pintar, cerdas dan licik. Ia kepribadian yang bertolak belakang dengan Emi yang kocak, easy-going, apa adanya dan... tidak pintar. Tapi bagaimana cara ia tiba-tiba muncul? Karena setauku akan ada tanda-tanda dahulu atau tekanan tertentu sebelum kemunculannya.
"Intinya... salah satu dari kami harus dibuang... Kalau terserah aku... tentunya itu harus Emi... Karena tidak bisa ada dua kepribadian berbeda seperti langit dan bumi ini ada pada satu kepala... Kami tidak bisa hidup normal karena bisa menyebabkan banyak masalah dan menyusahkan banyak orang... Dari dulu kami tidak bisa dekat dengan orang lain apalagi pacar bahkan suami... Hanya Desi yang mau berbaik hati karena memanfaatkan kelebihanku... Karena dia juga orang yang selalu bermasalah... Selalu didekati oleh orang yang salah... seperti aku... Jadilah kami cocok satu sama lain..." jelas Eno tentang keadaannya.
"Tunggu dulu?... Aku tidak pernah bilang kalau aku bisa membuang salah satu dari kepribadian ini..." kataku sedikit kacau. Ceritaku hanya masih sekitar dasar pengetahuan core. Tidak ada tentang aku yang memanggil semua core itu, menggunakan kekuatannya, kemampuanku memanfaatkan core milikku. Dengan hati-hati aku sudah memilih kata-kata agar tidak terjebak sendiri.
"Kau kamu tau info yang tidak semua orang tau... Kalau itu semua benar tentunya sangat luar biasa... Hanya ada dua kemungkinan... Kau mengarangnya atau kau sendiri yang menyebabkannya... Tentunya itu memerlukan kekuatan... yang sangat besar... Membuang satu kepribadian ini pastinya masalah kecil untukmu..." jelas Eno. Gila! Dia memang pintar... Atau aku aja yang bego. Termakan kata-kataku sendiri. Kalau dirunut benar-benar memang betul apa yang disimpulkannya.
"Apa yang elo bedua omongin? Aku gak paham sama sekali..." tanya mbak Desi bergantian memandangku dan Eno yang masih dengan mata terpejam.
"Baiklah... Dengarin baik-baik, ya... Mbak Emi kalau dengar? Dengarin baik-baik juga... Nama kejadian yang menghebohkan di seluruh dunia itu nama resminya adalah FLOOD SWARM... Saat itu raja dari segala raja iblis yang bernama Lucifer membuka ribuan pintu neraka yang langsung terhubung ke dunia kita... Semua rakyatnya berbondong-bondong masuk kemari... Untuk membasmi mereka... Bumi memerlukan jumlah setara dengan iblis-iblis itu... Maka dipanggillah semua core dari semua mahluk hidup dan terjadilah FLOOD SWARM tadi... Semua iblis yang terlanjur masuk langsung dan dibasmi. Lucifer menutup semua pintu neraka dan dia juga dibasmi kemudian... Yang melakukan itu semua... bertarung dengan Lucifer, yang melakukan FLOOD SWARM dan membasmi Lucifer adalah aku sendiri..." jelasku tentang hasil akhir kejadian itu.
"Haah??" kaget mbak Desi menutup mulutnya. Tetapi tidak dengan Eno. Ia hanya tersenyum mendengarnya.
"Apa masalahmu dengan Lucifer sampai-sampai kau harus melakukan itu semua? Tentu ada hubungannya dengan munculnya banyak monster sebelumnya, kan?" tanya Eno. Ia ingat betul dengan rangkaian kejadian sebelumnya di kota ini.
"Sebelum Lucifer muncul... bawahannya berusaha keras membangkitkan lagi dia dengan cara menemukan kunci segelnya berupa HOLY LIGHT... yang kebetulan dimiliki oleh pacarku, Carrie... Kami berusaha melindunginya tetapi mereka berhasil mendapatkan Carrie... HOLY LIGHT diambil dari Carrie dan Lucifer bangkit ke dunia lewat mediumnya... Bertarung dan terus bertarung lagi hingga FLOOD SWARM itu terjadi... Singkat cerita... Carrie yang sudah diambil HOLY LIGHT-nya mengalami amnesia akut... Ia tidak ingat apapun termasuk aku dan hubungan kami sebelumnya... Ia belajar lagi dari awal dengan perkembangan mental setahun tiap bulannya... Sekarang taraf mentalnya remaja berumur 13 tahunan..." jelasku. Berhenti sejenak untuk mengambil nafas dan melegakan sesak di dadaku.
"Ada sebuah cara untuk menyembuhkan Carrie melalui sebuah permohonan... Satu permohonan atau permintaanku akan dikabulkan kalau aku sudah berhasil memenuhi semua syarat-syaratnya... Yaitu aku bisa lengkap mengumpulkan 12 ZODIAC CORE dari ARIES sampai PISCES... Terkumpul ke-12 ZODIAC CORE itu akan muncul GOD MAESTER CORE... pelindung semua core yang ada di Bumi... Ia yang akan memenuhi permintaanku untuk mengembalikan ingatan Carrie..."
"Sudah 11 ZODIAC CORE yang terkumpul dan tinggal satu yang tersisa..." tuntasku.
"PISCES ada di Desi..." simpul Eno cepat.
"Aku... Ya... Aku memang berzodiak Pisces... Lho?" heran mbak Desi tak secepat Eno menyadarinya.
"Dia mau mengambil ZODIAC CORE PISCES darimu, Des..." ujar Eno dengan kalimat yang paling tepat.
"Dan itu hanya bisa kulakukan pada hari ulang tahun mbak Desi tanggal 27 Februari nanti..." kutambahkan informasi ini juga.
"Hanya pada hari ulang tahunnya? Itu menarik... Metode apa yang kau lakukan? Apa akan sama dengan cara kau menghilangkan satu kepribadian kami ini?" tanya Eno mencecarku terus dengan pertanyaan begitu ada tambahan info.
"Masalah menghilangkan kepribadian itu kita bahas nanti... Caraku mengambil ZODIAC CORE mbak Desi nanti... dan sudah kulakukan berkali-kali sebelumnya adalah lewat seks... Saat aku melakukan ejakulasi yang sangat dahsyat bernama TRIGGENCE... ZODIAC CORE mbak Desi akan keluar dan menjadi milikku... Saat itu juga aku akan berubah menjadi CHARM yang wujudnya berbeda denganku sekarang ini..." jawabku atas pertanyaan tadi. Yang penting dasar atau standar informasiku harus kusampaikan dahulu pada targetku. Akan selalu kubiarkan mereka memahami dan mencernanya. Sejauh ini selalu berhasil dan bisa dimengerti.
"Pusing palaku ngedengernya... Ada ngeseks-nya... Ada merek pembalutnya (Ch**m)... Elo sudah ngerti, No?" kata mbak Desi mengurut pelipisnya.
"Jelas dan paham..." jawab Eno mengangguk-angguk. "Bisa kau tunjukkan begaimana bentuk CHARM itu? Supaya kami berdua—bertiga lebih paham lagi..." tawarnya.
"Kalian mau ngeliat CHARM? Itu (sangat berbahaya)? ... Oh... Sebentar..." kataku jadi tanggap. Kebanyakan makan es krim manis membuatku jadi penuh semangat. Kalau kutunjukkan CHARM yang asli, mereka berdua pastinya langsung klepek-klepek. Pakai SHAPE SHIFTING aja, menjadi Max. Aku turun dari stool tinggi breakfast table ini dan bersiap.

Max
"Wow?" kaget mbak Desi melihat perubahanku. Tubuhku menjadi lebih tinggi sedikit dan perubahan bentuk wajah dan perawakan.
"Beginilah bentuk CHARM itu... Kalian sudah liat, kan?" kataku merentangkan tanganku. Pakaian yang kupakai terasa lebih sempit jadinya.
"Tidak ada yang terlalu istimewa... dari bentuk barumu ini... Kukira akan ada sesuatu yang lebih ajaib dari sekedar perubahan bentuk..." kata Eno sepertinya kurang puas.
"Itu betul... Ini bukan CHARM yang sebenarnya... Kalau CHARM benar-benar kuaktifkan... kalian berdua tidak akan duduk lagi di sana... Pasti sudah menelanjangi diri dan minta dientot dengan penuh nafsu yang tak masuk akal..." jelasku.
"Wah? Beneran?" kata mbak Desi melongo.
"Hmm... Cukup masuk akal... Dan kita tidak akan bisa berdiskusi lebih panjang kalau itu terjadi... Kamu penuh perhitungan ternyata... Aku sudah paham semua... dan aku tidak perlu tau semua kekuatan ajaib lainmu kalau begitu..." kata Eno puas dengan semua penjelasanku. Bahkan ia sudah antisipasi beberapa kekuatanku yang lain.
"Tapi wajahmu tidak asing... Gue kayak sering liat wajah seperti ini belakangan... Kamu pernah maen sinetron atau semacamnya di TV?" tanya mbak Desi. Ahhh... Buntutnya ini lagi.
"Film bokep, mbak Desi..." jawabku membocorkan.
"Ya... Max... Max dan titit gedenya..." kata mbak Desi menjentikkan jarinya mengingat tokoh alter ego-ku yang harum namanya di Fireday Productions. Menghilang tanpa jejak dan menjadi legenda karena tak kunjung ketemu juntrungannya. "Itu kamu, ya?"
"Ya, mbak... Itu aku... Saat itu aku sedang mengejar ZODIAC CORE CAPRICORN dari salah satu bintang bokep Productions itu..." jawabku secukupnya.
"Velinda Shaw..." simpul Eno.
Sumpah orang ini pinter banget! Dari clue seiprit itu ia bisa menyimpulkan jawaban tepat. Kapasitas ingatannya mungkin setara dengan Andin menggunakan kemampuan ingatan fotografik MEMORY.
"Woah?? Keren banget... Jadi beneran Velinda Shaw dan Max kabur bersamaan dan merit?" tanya mbak Desi kemakan gosip yang dihembuskan berbagai sumber.
"Jangan disebarin ya, mbak? Velinda-nya udah aman dan tenang di persembunyiannya... Gak merit, dong mbak... Max kan aku sendiri... Janji, loh?" kataku memintanya jangan membahas ini dengan siapapun sebagai bahan hot gosip.
"Iya, deh... Kami pernah mutar film Velinda dan Max Double Unisex waktu party sama brondong-brondong yang udah dicekoki minum sampe mabok... Ngehits banget pokoknya... Ternyata kamu orang aslinya... Ck... Ck... Ck... Gak nyangka? Dapet jackpot gede deh gue kali ini... Pantes aja kamu bisa ngadepin ibu-ibu kayak kami dengan mudah... Seminggu pernah dijabanin, kok?" kata mbak Desi kagum.
"Cukup kagumnya, Des... Kita bahas tentang aku dan Emi... Apa yang akan kita lakukan?" potong Eno. Ia sepertinya tidak sabar tentang status kelangsungan eksistensinya. Ia akan terus mengemukakan isu ini sampai mendapatkan titik temu. Pastinya harus menguntungkannya.
"Harus sekarang, No? Gak nanti-nanti aja?" kata mbak Desi cenderung untuk meredam ini semua.
"Sepertinya dia harus mendapatkan jawabannya segera... Bukan begitu, mbak Eno?" kataku.
"Tepat sekali..." katanya. Aku sudah mulai terbiasa menghadapi jalan fikirnya apalagi penampilannya yang memejamkan mata erat begitu. Ia dengan anehnya bisa melihat dengan cara itu.
"OK... Ini perundingan tri-partit kalau begitu..." kataku mulai serius.
"Tri...partit?" ulang mbak Desi.
 
"Benar tri-partit... Ada tiga pihak... Aku dan Emi dalam satu kubu... Desi dan kau masing-masing satu kubu... Kita semua mempunyai kepentingan dalam perundingan ini... Kau membutuhkan PISCES dari Desi demi kepentinganmu.. Desi butuh kemampuan bisnis selalu dariku di usahanya... Aku dan Emi butuh kepastian identitas yang bisa kau selesaikan dengan kekuatanmu... Deal?" rangkum Eno tentang perundingan yang harus kami selesaikan. Semua pihak harus mendapat kepuasan demi kata mufakat.
Aku, mbak Desi dan Eno berpandangan satu sama lain. Entah apa yang mereka fikirkan. Tapi kurasa ini semua sangat adil. Harus ada timbal balik yang saling menguntungkan dari perundingan segi tiga ini. Aku bisa mendapatkan ZODIAC CORE terakhirku; PISCES, dari mbak Desi. Mbak Desi akan bisa terus berbisnis dengan mulus berkat analisa Eno dan Eno bisa mendapatkan satu identitas tetapnya sebagai individu yang hakiki secara sosial maupun administratif.
Akankah Eno menekanku atas kepentingan mbak Desi atas kemampuannya? Secara langsung tidak untung bagi mbak Desi bila ia membantuku menyerahkan ZODIAC CORE PISCES miliknya secara suka rela untuk keperluanku. Tapi bisa dipertimbangkan kalau aku bisa membantu Eno mendapatkan identitasnya.
Bagaimana dengan mbak Emi? Mbak Desi lebih dekat dengan mbak Desi dari pada dengan Eno. Kalau mbak Emi kuhapus selamanya; kalau itu bisa kulakukan, apa yang akan dilakukan mbak Desi? Semua kuncinya ada di Bipolar Disorder perempuan ini. Emi atau Eno?
"OK... Aku setuju dengan tri-partit ini..." putus mbak Desi memandang Eno lalu padaku.
"Aku tentu setuju..." jawab Eno pasti memandang mbak Desi lalu padaku. Tinggal aku seorang.
"Aku juga harus setuju..." jawabku.
"Bagus... Semua sudah deal... Walau kalian menganggap aku sebagai pribadi yang licik dan egois... aku memberikan kesempatan pertama padamu untuk bicara duluan... Silahkan..." kata Eno mengejutkan mempersilahkan orang lain yang mulai dahulu. Aku!
"Makasih atas kesempatannya... Ehem-hem... Kepentingan utamaku tentunya adalah PISCES milik mbak Desi yang harus dan bisa kudapatkan tanggal 27 Februari nanti... Secara teknis 8 hari lagi... Aku akan menggunakan bentuk CHARM-ku yang melakukan TRIGGENCE... ejakulasi dahsyat untuk mengeluarkan ZODIAC CORE itu dari tubuh mbak... Secara garis besar... kita akan melakukan seks yang dapat saya katakan sangat hebat... Ini bukan janji kosong... Lebih dahsyat dengan arisan tadi bersama teman-teman mbak..." paparku sebaik-baiknya. Mencoba memberi gambaran konkrit apa yang akan terjadi pada rencanaku ini. "Sekian... Silahkan selanjutnya..."
"Giliranmu sekarang, Des..." kata Eno kembali berbaik hati agar tujuannya menjadi semakin cerah.
"Baiklah... Dasarnya aku tidak masalah PISCES ini diambil dariku... Gak rugi kalau ini diambil dariku, kan?" katanya menunjuk perutnya yang terbungkus kain piyama.
"Secara umum tidak ada... Setelah ZODIAC CORE diambil dari tubuh mbak... yang tertinggal adalah core biasa..." kataku dengan mengaktifkan HP-ku untuk menunjukkan Coremeter. "PISCES milik mbak itu ada dalam kriteria core istimewa dengan panjang gelombang 1864 Hz... Setelah kuambil nanti akan tertinggal sekitar 500-an Hz saja... Manusia biasa... Perempuan lain yang sudah kuambil ZODIAC CORE-nya tetap biasa saja sampai sekarang... Tak ada masalah..." jelasku.
"OK... Aku percaya tak ada masalah... Urusan denganmu sudah fix karena sebenarnya kepentinganmu lebih ke Eno yang minta Emi untuk dihilangkan..." kata mbak Desi beralih memandang Eno dengan tajam.
"Jangan besar kepala kalau aku tergantung padamu untuk bisnis... Benar berkat analisa dan prediksi-prediksi jitumu yang membuat kita bisa melewati masa sulit... Dari miskin gak punya apa-apa sampai sekarang kaya raya dan punya segalanya... Tapi ingat!... Aku rela melepaskan semua itu demi Emi... Emi-lah yang selama ini menjadi temanku... Menyabarkanku yang menangis kelaparan... Menahanku agar tidak melacurkan diri... Menasehatiku agar tidak tenggelam di bangsatnya narkoba..." kata mbak Desi tetap dengan tatapan tajam.
"Dimana kau saat itu? Kau tidak pernah keluar menunjukkan diri di masa-masa susah itu... Ngumpet di kamar sempit yang kau sebut sebagai otak pintermu itu!" ketus mbak Desi. Mereka bertatapan. Sengit sekali. Eno tak menjawab karena ini belum gilirannya.
"Jadi membuang Emi bukanlah keputusanmu... Ingat itu!" tuntas mbak Desi menyelesaikan bagiannya dengan muka ketat.
"Baik... Sekarang giliranku... Sepertinya kita akan mendapatkan jalan buntu... Karena perundingan tri-partit kita ini tidak akan menemui titik temu yang saling memuaskan semua pihak... Kalian tentu tau... aku menginginkan tubuh ini untukku sendiri... Lepas dari sosok Emi..." kata Eno mengatakan itu semua dengan tone rendah dan dalam. Menegaskan kalau ia yang punya otak dan wibawa tinggi.
"Begini ya, Eno... Perundingan ini bisa berubah menjadi bi-partit saja kalau kau terus memaksakan kehendakmu... Kenapa aku bisa mengatakan begitu... karena dari pernyataan awal mbak Desi tadi... ketergantungannya padamu yaitu sosok Eno tidak mutlak... Bukan begitu, mbak Desi?" ungkapku.
Mbak Desi hanya mengangguk, melirik pada Eno sebentar dan memandangku kemudian.
"Sudah jelas... Pemaksaan kehendakmu ini... untuk melenyapkan Emi dari bagian Bipolar kalian berdua tidak bisa diterima oleh pihak mbak Desi yang merasa lebih dekat dengan sosok Emi secara emosional dari pada kebutuhannya pada sosokmu, Eno secara finansial... Dan menurutku juga sangat tidak adil hanya mendengarkan kamu sendiri memutuskan ini sebagai perwakilan dari pihak kalian berdua... Karena akan ada yang dirugikan diantara kalian... dalam hal ini mbak Emi... Bukan begitu?" kataku mencoba mengkonfrontirnya. Entah sanggup atau tidak aku melawannya?
"Sebagai perwakilan dari kami berdua... aku berhak untuk menyatakan keputusan... dari pihak kami... Itu keputusannya... Melenyapkan Emi..." jawabnya cenderung keras kepala.
"Boleh kami mendengarnya langsung dari mbak Emi?" kataku. Mbak Desi juga mengangguk.
Eno terdiam beberapa saat. Sepertinya ia berpikir keras. Dahinya berkerut-kerut dan mulutnya terkunci rapat. Matanya masih terpejam erat, bergerak-gerak liar.
"Aku tidak terkejut kalau Eno akan berusaha keras membuka mata dan meniru tone suara Emi..." kata Andin yang rupanya terus memantau pembicaraan kami ini.
"Wah... Benar... Sosok Emi membuka mata dan Eno terpejam... Apa dia bisa melakukan itu?" tanyaku agak cemas kalau ia berhasil meniru mbak Emi.
"Blok dia dengan SHADOW MIND! Cepat sebelum terlambat!" tiba-tiba kata Andin.
"SHADOW MIND? Benar!" kataku tersadar. Segera kukerahkan kekuatan ketiga LEO ini untuk memasuki pikirannya yang kompleks hendak mengendalikan seluruh tubuhnya. Kendali mata yang tidak bisa dikuasainya.
"Apa yang kau lakukan di dalam sini?" sentak sebuah suara yang kukenal sebagai suara Eno. SHADOW MIND-ku gagal memasukinya. Pengendalian Eno atas otaknya sangat luar biasa hingga kekuatanku yang bisa membaca fikiran tahap awal ini tidak bisa memasukinya.
Pandangan Eno bergeser sedikit beralih padaku. Seakan mengejek dan menantangku. "Kau tidak bisa apa-apa di daerah kekuasaanku!"
"Ini jadi semakin menarik Satria... Kau tidak merasa tertantang?" tanya Andin malah memanas-manasiku.
"Andin... Elemenmu itu es... Gak pantes banget kalau ngompor-ngomporin kayak gitu..." kataku pada wanita es itu.
"Memang ia menguasai pikirannya... Tapi tubuh itu bukan miliknya sendiri... Ada Emi di dalam sana... Aku curiga kalau ia berusaha melenyapkan Emi sendiri di dalam sana... Itu akan berdampak besar bagi si Desi ini..." kata Andin.
"Tapi dia minta bantuan padaku untuk melenyapkan Emi? Bukankah itu artinya ia tidak sanggup..." kataku.
"Kecepatan waktu di dalam neuron otak tidak sinergis dengan waktu di dunia nyata... Selama perundingan tri-partit ini mungkin ia sudah menemukan caranya... Kau harus segera mencegahnya!" desak Andin tak sabar.
"Tapi gimana caranya? Yang kuhadapi ini bukan bentuk fisik... tapi pikiran?" jawabku tak siap. Kenapa semua jadi mengarah kemari? Awalnya ini hanya perundingan tri-partit biasa saja. Kenapa malah cenderung menuju sebuah petualangan baru?
"Kau bisa, Satria... Pikiran itu lebih luas dari alam semesta ini... Seseorang hanya dibatasi oleh ketakutannya sendiri..." ujar Andin terdengar lebih bijaksana. Apakah eksplorasi pustakanya selama ini membuatnya lebih bernas oleh pengetahuan data yang memenuhi semua kisi database-nya? Semakin ditimba semakin haus kita oleh pengetahuan baru? Membuatnya sedikit lebih paham arti kehidupan? Menunduk takjub karena mbunting padi?

========
QUEST#12
========​

Kupeluk tubuh mungil yang dibagi bersama oleh mbak Emi dan Eno erat. Kepalaku kurekatkan ke kepalanya. Bukan bermaksud mencumbunya tetapi menekankan kening kami erat bertemu. Ini jalan yang paling kuketahui. Mengerahkan kekuatan SHADOW MIND ZODIAC CORE LEO semaksimal mungkin dengan lambaran kekuatan tambahan dari BEOWULF yang baru saja kutetapkan; SUPREME!
SUPREME kumaksudkan untuk memaksimalkan apapun yang kulakukan agar mencapai tingkat tertingginya dalam waktu singkat. SUPREME ini hanya bisa berlangsung singkat tetapi efeknya seperti NOS pada mesin mobil balap drag race. Memberi tambahan/boost tenaga yang membuatnya melaju cepat secara instan lalu kembali normal. Begitu pula SUPREME pada SHADOW MIND yang membuat usaha merasuki/menembus pikiran Eno melonjak tinggi.
Tubuhku terlontar masuk jauh ke dalam alam pikiran milik Eno hingga aku seperti jatuh ke dalam semacam lorong gelap nan teramat gelap. Di ujung sana. Nun jauh disana, ada secercah cahaya terang dimana aku menuju. Boost SUPREME telah lama habis dan aku meluncur masuk.
Terhenyak aku duduk kembali di posisiku. Di dapur, breakfast table bersama mere...ka. Kemana mbak Desi? Kenapa cuma ada Eno?
"Apa yang kau lakukan di dalam duniaku?" tanya Eno dengar intonasi gusar.
"Kau sudah berhasil masuk..." bisik Andin.
"Siapa itu?" sergah Eno galak. Bahkan ia bisa mendengar Andin di daerah kekuasaannya ini.
"Apa yang sudah kau lakukan pada mbak Emi? Kau mengurungnya di tempat ini?" tebakku. Rumah ini adalah dunianya karena aku tidak melihat apapun di balik jendela dapur yang seharusnya gelap di dunia nyata. Bukan cahaya terang atau kegelapan. Tidak ada apa-apa di luar sana!
"Kau juga tertahan di dalam sini..." katanya sinis masih memejamkan mata. Melipat tangannya di dada senyaman mungkin dan duduk tegak.
"Ups..." beberapa pucuk senjata api ditodongkan di kepalaku. Larasnya yang dingin menempel di pelipisku. Sekitar lima atau enam sosok Eno lain menodongkan Bereta handgun ke kepalaku dengan bengis. Siap meledakkan kepalaku.
"Kau sudah menemukan cara melenyapkan Emi selamanya dan menguasai tubuh ini untukmu sendiri?" kataku mengangkat kedua tangan tanda menyerah.
"Yaa... Kau yang memberiku ide itu selama perundingan tri-partit kita... Kupikir akan lebih baik kalau Emi hilang selamanya..." jawabnya bangkit. Aku juga turun dari bangku tinggi ini. Semua Bereta itu masih menodongku. Mendorongku agar mengikuti Eno yang beranjak meninggalkan dapur bersih ini.
"Masalahnya adalah... walau begitu aku masih memerlukan waktu untuk melenyapkan Emi sampai ia benar-benar hilang dari sini..." katanya berjalan di depanku, menunjuk kepalanya sendiri. Kami sekarang berada di ruang makan rumah mewah milik mbak Desi dunia alternatif di kepala mbak Emi dan Eno. Ini adalah dunia yang dikenal baik dua sosok itu. Tempat yang mereka sama-sama akui sebagai rumah.
"Bukankah ia tetap bagian dari tubuh ini? Kalian harusnya bisa berbagi saja?" usulku tetap jalan mengekorinya kemanapun Eno melangkah. Kini kami di bagian depan rumah Mansion ini.
"Emi tidak berguna untuk duniaku dan bagi dunia kalian... Orang bodoh, ceroboh dan tak berbakat itu sebaiknya tidak ada saja... Dunia juga tidak bakal mengingatnya kalau dia menghilang..." kata Eno menaiki tangga yang kulihat dinaiki mbak Desi sebelumnya.
"Tidak bisa begitu, mbak Eno... Mbak Desi pasti masih ingat dengannya... Mbak Desi cenderung lebih dekat dengan mbak Emi dibanding denganmu..." kataku masih ditodong Bereta dingin. Mengekor kemanapun Eno pergi. Kami berada di lantai 2 Mansion ini dengan deretan kamar-kamar di kanan-kiri lorong. Ada berbagai macam suara terdengar disini. Eno membuka salah satunya.
"Wow?" kagumku. Mulutku pasti menganga lebar. Sebuah kamar lebar yang tak masuk akal ukurannya. Tetapi karena ini kekuatan pikiran, segera kumaklumi. Sebuah kolam renang lebar berbentuk bulan sabit dipenuhi uang dalam nilai tukar dollar. Patung-batung figur Yunani kuno terbuat dari emas, pohon-pohon taman berdaun jamrud hijau dan berbuah rubi merah. Lantainya berupa ubin terbuat dari lembaran platinum berkilat. Mimpi apa ini?
"Aku bisa merealisasikan dunia seperti ini kalau aku yang ada di dunia... Aku juga bisa memberikannya padamu kalau kau mau mendampingiku... Dan tak perlu ditodong pistol lagi..." tawarnya padaku. Kami berdua berdiri di ambang pintu melihat isi kamar impiannya.
"Bagaimana kalau aku menolak?" tanyaku menentang impian besarnya. Ini seperti melepas hewan buas ke dunia nyata. Entah apa, siapa yang akan dirusaknya. Orang seperti ini rela melakukan apa saja demi tujuannya. Tawarannya tidak menggodaku sedikitpun. Memang istanaku di Vanguarzh tidak semewah ini tetapi setidaknya ada kerajaan asli dan rakyat yang kupimpin. Ini tidak seberapa.
"Merusak pikiranmu sama saja dengan merusak seluruh hidupmu... Kau juga akan menghilang di sini kalau begitu..." imbuh Eno mengambil sebuah pistol dari Eno lainnya yang menodongku. Pistol itu dalam keadaan siap ditembakkan. Diarahkannya tepat di jidatku. Digeserkannya ke samping kanan sampai di tepi pelipisku dan...
"DAAARR!" ledakannya sangat kuat. Hembusan angin akibat hentakan balik senjata api itu juga terasa di kulit wajah dan rambutku. Suaranya yang keras menulikan sementara telingaku. Kupingku berdenging panjang.
"Aaarrhh... Kau sudah gila, ya?" umpatku tak tahan lagi. Kembali Bereta-Bereta itu menekan kepalaku dari belakang. Memberi pesan kalau aku tidak diperbolehkan mengutuk begitu padanya sebagai penguasa di sini.
Dikembalikannya Bereta itu pada pemilik awalnya. "Membunuh pikiranmu di sini sama saja membunuh tubuhmu di luar sana..." ancamnya sekali lagi. Dia selalu melakukan ancaman semacam ini sepanjang yang ia tau.
"Bahkan Desi tidak ada gunanya lagi untukku..." katanya mulai membuka matanya.
"Kau jangan sampai bertatapan mata dengannya!" seru Andin mengingatkan. Peringatan yang sangat berharga.
Aku segera menunduk hingga todongan pistol-pistol itu mendorong ruang kosong. Tanganku yang diperkeras dengan HARD SHELL SKIN TAURUS menghantam perut mereka semua hingga enam sosok yang memegang senjata api itu meregang kesakitan di lantai.
Eno yang ada di depanku kaget melihat reaksi cepatku barusan tak bisa banyak berkutik saat kutelikung tangannya ke punggung.
"Katakan dimana mbak Emi kau kurung? Cepat!" hardikku pada wanita ini. Sepertinya ia sudah membuka matanya dengan sempurna. Aku menghindari bertatapan mata sesuai peringatan Andin tadi. Di belakang begini seharusnya cukup aman.
"Oh, tidak..." gumamku seperti ada di dalam mimpi buruk. Beberapa sosok Eno lain keluar dari balik pintu kamar berlapis emas itu. Mata mereka terbuka sepenuhnya seperti yang biasa dilakukan mbak Emi. Kudorong Eno yang sedang kutahan ini agar menabrak penggandaannya yang lain. Selagi itu terjadi, aku melarikan diri.
"Berhentiii!" seru mereka bersamaan. Ada sekitar 10-12 sosok Eno yang mengejarku.
Dua pintu kamar di depanku terbuka dan mengeluarkan sosok-sosok Eno baru yang mengejarku. Sekarang aku terkepung di lorong ini dengan dua kubu musuh yang mengejar.
Terpojok, aku menembus dinding kiri menggunakan SHADOW GEIST. Salah satu andalanku dari ZODIAC CORE LEO. Aku berada di dalam kamar bercat warna pink penuh boneka plushie yang lembut di sepanjang mata memandang. Segera kubuat barikade furnitur kamar agar mereka tidak bisa masuk kemari lewat pintu. Meja, buffet, kursi, kap lampu, apa saja yang kutemukan di dalam kamar ini.
Pengejarku di luar sana menggedor-gedor pintu agar aku keluar dan menyerah saja padanya. Untuk sementara aku selamat di kamar ini. Yang harus kulakukan adalah berpikir. Berpikir karena setahuku dialah penguasa atas tempat ini.
"Hu... hu... hu..." tangis sosok tubuh di sudut ruangan. Suaranya pelan seperti ketakutan mendengar banyak gedoran pintu. Aku segera menemukannya. Seorang wanita yang duduk meringkuk memeluk lututnya. Ia masih memakai pakaian sekolah putih abu-abu. Anak SMA? Apa dia mbak Emi dan Eno saat masih remaja dulu?
"Mbaak? Kamu gak pa-pa?" sapaku ikut merapat ke sudut kamar dekat meja rias dan lemari pakaian.
Ia mengangkat wajahnya dan mencari asal suaraku. "Hik... hik... hikk... Siapa kamu? Kenapa ada di kamarku? Suara bising apa itu?" tanyanya. Wajahnya memang mbak Emi waktu muda. Matanya merah sembab kebanyakan menangis.
"Aku Satria... Aku dikejar orang-orang itu... Boleh aku ngumpet di sini bareng denganmu?" kataku. Aku duduk berjongkok rapat dengannya. Aku menghindari bertatapan mata dengannya juga.
"Aku Emi... Kenapa kau tidak ada di sana?" tanya mbak Emi muda.
"Heh? Di sana? Di sana mana?" heranku. Apa dia mengenalku?
"Di tempat kita seharusnya bertemu... Aku sudah menunggu dan menunggu... Tapi kau tak kunjung datang... Aku sudah lapar dan uangku habis... Perutku semakin besar dari hari ke hari... Kau bilang akan bertanggung jawab..." katanya mengejutkan dan mengherankan.
"Apa yang kau katakan? Aku tidak mengenalmu... Kita belum pernah bertemu sebelum ini... Sumpah!" sahutku panik. Gila aja disuruh menanggung jawabi anak yang bukan hasil perbuatanku yang sedang tumbuh berkembang di rahimnya.
"Huu... huu... huu..." tangisnya pecah lagi dan kembali ia memeluk lututnya. Larut dalam kesedihannya. Banyak sekali masalah perempuan satu ini. "Kau pembohong! Aku benci kamu! Benci! Pergi sana! PERGIII!" teriaknya kuat.
Gedoran di pintu kamar ini semakin keras. Engsel dan gerendel pintu sepertinya tidak akan bertahan lama. Gedoran semakin kuat dan sepertinya semakin banyak yang ingin merangsek masuk.
"PERGI KAU DARI KAMARKU! PERGI!" teriak Emi remaja terus. Suara bisingnya membuatku jengah dan risih. Aku bangkit dari sisinya dan terbagi perhatian antara pintu dan ia yang meringkuk di sudut.
"BRAAKK!" pintu terbuka tak tahan lagi menahan dorongan puluhan sosok yang merangsek masuk bak air bah. Tak ada pilihan lain kecuali mengulangi cara tadi. Menembus dinding di depanku menggunakan SHADOW GEIST kembali.
Tubuhku bergulingan di ruangan yang menerimaku saat ini. Ruangannya persis mirip dengan kamar tadi hanya saja mainannya berupa boneka plastik tanpa kepala dan pakaian. Sedikit merinding melihat begitu banyak mainan itu dimana-mana. Dan yang lebih horor lagi, tak ada pintu di sini maupun jendela. Lebih merupakan sebuah kotak mainan tak bertutup. Sebuah penjara.
"Hai... Ng... Bang? Abang siapa?" sapa suara imut yang tiba-tiba ada di sampingku. Bocah kecil imut berambut panjang dan berponi lucu berdiri di sampingku. Di tangan kanannya ia memegang sebuah boneka utuh yang masih berkepala. Di pergelangan tangan kirinya ada gulungan double tape yang dipakai bak gelang kebesaran. Kalau ditilik dan ditelaah lebih jauh, bisa diasumsikan kalau dia ini anak mbak Emi. Atau mbak Emi saat kecil...
"Abang lagi ngumpet... Dari... Dari mereka..." jawabku menunjuk pada dinding di depanku. Terdengar gedoran kembali. Puluhan mungkin ratusan sosok Eno memukul dinding itu berusaha meruntuhkannya juga. Bocah kecil itu mencabut kepala boneka yang dipegangnya, kemudian merobek gaun kecilnya lalu tubuh boneka telanjang itu dilemparkannya ke tumpukan boneka lain yang sudah tak berkepala. Kepala boneka itu lalu diplesterinya dengan double tape—dilepas kertas pelapisnya, lalu dilambungkannya ke langit-langit.
"Astaga!" ternyata langit-langit kamar ini sudah penuh dengan kepala boneka yang sudah terlepas dari badannya. Pemandangannya sungguh mengguncang jiwa. Bagaimana mungkin seorang anak kecil sanggup melakukan hal seperti ini. Entah kegilaan apa yang terjadi pada perempuan ini di waktu kecilnya.
"Oom mau liat apem Emi lagi... Disuntik?" tanya bocah kecil berusia sekitar 7-8 tahun ini. Ia mengangkat rok bagian depannya untuk menujukkan tubuh bagian bawahnya. Selangkangannya bernoda menghitam akibat darah yang mengering. Ya, Tuhan!
Bangsat mana yang tega melakukan ini pada anak kecil? Aku akan dengan sangat tega merobek-robek tubuhnya, menginjak-injak bangkainya sampai menjadi bubur lalu memberinya pada anjing. Aku marah sekali! Marah...
Mbak Emi kecil memandangiku yang berdiri tetap mengangkat rok depan terusannya. Wajahnya lugu menggemaskan seperti sewajarnya bocah kecil. Tapi wajahnya penuh kesedihan dan kepedihan.
Tangannya yang memegang ujung rok kulepaskan. Kupegang perlahan kedua bahunya pelan-pelan seolah ia adalah mahluk paling rapuh di dunia yang harus diperlakukan dengan teramat sangat hati-hati dan lembut. "Siapa yang telah menyakitimu, mbak Emi? Katakan padaku... Akan kukejar dia dimanapun ia bersembunyi..."
"Oom..." jawabnya pendek.
Tidak! Aku tidak bisa bergerak. Aku memandang ke dalam matanya yang bening tak berdosa. Ini salah.
 
hue hue hue... ngebingungin ya? isi kepala orang mmg gak kebayang. cerita awalnya mmg maunya petualangan eksplorasi isi pikiran sperti dunia asing sebelum"nya. tp akhirnya dibelokkan ke milf. ide awal ttp dimasukkan jd bagiannya juga. tp Pisces ini tidak sepanjang aquarius Maria kemaren. selamat membaca. :ampun:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd