Frantines
Kakak Semprot
Sebagai seorang ciangbujin tentu saja ilmu silat ketua Ceng-Sia-Pai ini termasuk kelas wahid namun hanya dalam kebasan tangan ketua Mo-kauw dapat dibinasakan dengan mudah, kehebatan ilmu silat yang dipertunjukan benar-benar mencengangkan para hadirin. Belum pernah selama hidup, mereka menyaksikan kedashyatan seperti ini. Master The-Kok-Liang yang memeriksa tubuh ketua Ceng-Sia-Pai ini merasa sangat kaget melihat keadaan ketua Ceng-Sia-Pai ini, dia tahu ia bukan tandingan ketua Mo-kauw tersebut.
Perlahan ia bangkit dan berkata kepada Sin-Kun-Bu-Tek, "Ilmu silat kauwcu sungguh lihai, lohu merasa sangat kagum melihatnya"
Ciang Gu Sik berbisik ke telinga gurunya memberitahu siapa adanya master The-Kok-Liang. Diantara para ketua partai utama, usia master The-Kok-Liang bukanlah yang paling tua tapi dia termasuk empat tokoh besar yang dianggap memiliki ilmu silat paling tinggi di dunia persilatan saat ini selain Tiang-Pek-Hosiang, Kiang-Ti-Tojin, dan Sun-Lokai. Ketiga nama yang disebut belakangan telah mengundurkan diri dari dunia persilatan sehingga diantara ketua partai utama, ilmu silatnya adalah yang paling lihai dan hal tersebut diketahui dengan baik oleh Sin-Kun-Bu-Tek.
Nada suaranya sedikit melunak ketika berkata kepada Master The-Kok-Liang, "Rupanya anda adalah ketua Thai-San-Pai yang termashur tersebut."
"Tidak berani..tidak berani. Lohu hanya ingin memberikan usul untuk menyelesaikan masalah ini sekaligus menghindari pertumpahan darah yang banyak hingga masing-masing pihak bisa mengalami kerugian yang tidak sedikit."
"Apa usulmu ?" tanya Sin-Kun-Bu-Tek sedikit tertarik. Dia cukup tahu pertempuran ini akan memakan korban yang tidak sedikit di pihaknya sehingga ia pun sebenarnya merasa sayang terhadap kerugian yang akan terjadi bila ia memaksakan pertempuran besar-besaran. Selama puluhan tahun ini dengan bersusah payah ia mampu mengembalikan kejayaan partai Mo-kauw yang sebelumnya hancur lebur dalam pertempuran lima puluh tahun yang lalu. Sekarang dengan anggota ribuan orang walaupun ia memiliki keyakinan yang tinggi untuk menang namun ia tidak bisa menjamin kerugian yang ditimbulkan akan minimal.
Sebelumnya pihak partai utama telah membicarakan cara-cara pertempuran dan sepakat untuk mengajukan pertempuran hanya antara para tokoh puncak saja dari masing-masing pihak sehingga kerugian yang lebih besar dapat dihindari oleh kedua belah pihak.
"Bagaimana kalau menang kalah ditentukan dalam pertempuran lima babak saja antara tokoh- tokoh tertinggi masing-masing pihak, dengan demikian pertumpahan darah dapat kita hindari. Pihak yang kalah harus tunduk pada keputusan pihak yang menang."
"Usul yang bagus, lohu sangat setuju. Apabila pihak kami yang kalah, lohu sebagai ketua Mo- kauw bersumpah tidak akan kembali lagi ke Tiong-goan seumur hidup" kata Sin-Kun-Bu-Tek dengan gembira.
Sebenarnya dibalik perkataan Sin-kun-Bu-Tek ini terselip tipu muslihat, bila benar pihak mereka kalah dalam pertempuran ini tentu saja ia akan mematuhi sumpahnya untuk tidak kembali ke Tiong-goan namun sumpah tersebut tidak berlaku bagi ketua Mo-kauw berikutnya.
Namun pihak Bu-lim sebenarnya juga telah memperhitungkan cara ini dengan seksama, mereka tahu tidak ada seorang pun yang dapat menandingi ketua Mo-Kauw ini yang telah mencapai tingkat tertinggi ilmu yang dilatihnya sehingga dalam pertempuran tiga babak, mereka mengharapkan dapat menang di dua babak berikutnya.
"Baiklah, kalau begitu masing-masing pihak telah setuju. Sekarang sebaiknya masing-masing pihak merundingkan terlebih dahulu siapa-siapa saja yang akan maju" kata Master The-Kok-Liang.
Para kaum kangouw yang hadir mulai bersuara ramai memperbincangkan siapa-siapa saja yang akan diajukan pihak partai utama dan pihak Mo-Kauw. Mereka terutama penasaran siapa yang akan melawan ketua Mo-kauw. Ada yang berpendapat Siang-Jik-Hwesio paling tepat untuk menghadapi Sin-Kun-Bu-Tek, tapi juga ada yang lebih memilih Master The-Kok-Liang sebgai lawan yang paling tepat untuk ketua Mo-Kauw ini.
Akhirnya setelah ke dua pihak berunding cukup lama untuk mengajukan jago-jagonya masing- masing, keputusan telah di ambil masing-masing pihak.
Pada babak pertama dari pihak Mo-Kauw mengajukan pemimpin barisan kuning, Thi-kah-kim- kong yang dihadapi Sie-Han-Cinjin. Mereka berdua belum pernah bertarung sehingga pada jurus- jurus awal, masing-masing pihak baru mencoba mengenal jurus-jurus lawan. Sie-Han-Cinjin memainkan ilmu Kun-Lun-Kiam-Hoat (ilmu pedang Kun Lun) yang terdiri atas enam puluh empat jurus. Kun-Lun-Kiam-Hoat merupakan ilmu andalan partai Kun-Lun-Pai hasil penyempurnaan selama ratusan tahun oleh para cendikiawan Kun-Lun-Pai sehingga kehebatannya tidak kalah dengan Bu-Tong-Kiam-Hoat dan Thai-San-Kiam-Hoat.
Sie-Han-Cinjin menggerakkan pedangnya dengan cepat hingga pedang pusakanya berubah menjadi segulung sinar putih yang mengurung tubuh Thi-kah-kim-kong dengan ketat. Namun Thi- kah-kim-kong bukanlah jago silat sembarangan, Ciang Gu Sik sendiri mengakui kelihaian ilmu silatnya terutama ilmu weduk (ilmu kebal) yang dimilikinya. Memang Thi-kah-kim-kong memiliki tubuh sekuat baja hasil latihan keras selama berpuluh tahun sehingga tubuhnya tidak mempan senjata atau totokan jari yang dilancarkan lawan. Ia memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, pukulan lawan yang biasanya dapat menghancurkan batu besar diterimanya dengan biasa saja tanpa terluka sedikitpun.
Tapi menghadapi Sie-Han-Cinjin, salah satu ketua partai utama tentu saja berbeda, selain pedang pusaka, Sie-Han-Cinjin juga telah mengetahui keistimewaan Thi-kak-kim-kong sehingga pedangnya selalu mengincar bagian-bagian tubuh yang lemah dari Thi-kak-kim-kong seperti mata dan tenggorakan.
Pertandingan kelas satu ini semakin hebat, pedang Sie-Han-Cinjin dengan kecepatan kilat telah dua kali berhasil menyontek pundak Thi-kah-kim-kong namun hanya bajunya saja yang robek sedangkan pundak Thi-kah-kim-kong tidak apa-apa. Kelemahan Thi-kak-kim-kong adalah ilmu meringankan tubuhnya tidak sehebat Sie-Han-Cinjin sehingga beberapa kali ia kelabakan menghadapi serangan pedang lawan yang menyambar-nyambar cepat sekali. Diam-diam Sie-Han- Cinjin mengagumi kehebatan ilmu weduk lawannya, walaupun pedang yang digunkananya adalah pedang pusaka tapi belum mampu melukakan Thi-kak-kim-kong. Dia lalu mencoba merubah gaya serangan pedangnnya, kini pedangnya tidak mengandalkan kecepatan semata-mata, melainkan lebih mendasarkan serangan pada penggunaan tenaga lweekang di ujung pedang. Setiap tusukan dan tebasan pedangnya sekarang mengandung hawa sakti hasil latihan puluhan tahun sehingga kali ini bila pedangnya terkena tubuh Thi-kah-kim-kong yang kebal tersebut, pasti menghasilkan luka yang cukup serius bagi lawannya, Thi-kah-kim-kong sendiri telah menyadari hal tersebut sehingga ia sangat berhati-hati mengembangkan perthanan tubuhnya sambil melancarkan serangan balasan.
Pertandingan telah berjalan ratusan jurus, masing-masing pihak telah mengeluarkan tenaga yang banyak hingga gerakan mereka sedikit lambat. Seperti yang diketahui usia Sie-Han-Cinjin lebih tua dari Thi-kah-kim-kong sehingga dari segi keuletan kalah dari Thi-kah-kim-kong yang lebih muda tapi dari segi ilmu silat Sie-Han-Cinjin menang setingkat dari lawannya ini.
Suatu ketika pedang Sie-Han-Cinjin berkelabat menusuk ke arah dada Thi-kah-kim-kong dengan kecepatan yang menakjubkan, dan terus berubah-ubah arah sehingga mata Thi-kah-kim- kong berkunang-kunang mengikuti gerakan pedang lawan. Betapapun ia mencoba menghindari serangan tersebut tetap saja ujung pedang Sie-Han-Cinjin yang penuh hawa sakti berhasil mampir di pundak kanannya dan mencoblos sekitar tiga dim, darah muncrat berhamburan dari lobang luka yang cukup lebar tersebut dengna derasnya dan membuat muka Thi-kah-kim-kong pucat pasi tanda kehabisan darah. Kepala Thi-kah-kim-kong terasa semakin pusing dan konsentrasinya buyar sehingga lagi-lagi pedang Sie-Han-Cinjin berhasil melukai kaki kanan Thi-kah-kim-kong dan membuatnya sempoyongan. Hanya tinggal menunggu waktu sebelum akhirnya Thi-kah-kim-kong akan roboh di tangan Sie-Han-Cinjin. Menyadari hal tersebut, kepala barisan merah, Hek-Houw pada saat yang tepat meloncat ke dalam pertempuran dan segera memapah tubuh sahabatnya tersebut kembali ke dalam barisan. Satu kosong untuk pihak tujuh partai utama.
Dengan wajah masam, Sin-Kun-Bu-Tek melirik ke arah Tok-tang-lang. Tok-tang-lang mengerti arti lirikan tersebut, perlahan ia maju ke depan untuk menghadapi lawan berikutnya. Memang Sin- Kun-Bu-Tek cukup cerdik, kekalahan Thi-kah-kim-kong pasti mempengaruhi mental pasukannya sehingga dengan memerintahkan salah satu tetua Mo-Kauw, ia ingin mengembalikan semangat barisannya.
Kam-lokai yang melihat penghianat Kay-Pang tersebut maju, segera memapakinya. Dengan mata merah tanda kemarahan hatinya ia segera berkata,
"Penghianat...!" sambil melancarkan melancarkan serangan-serangan ganas.
Dengan tersenyum sinis, Tok-tang-lang menghindari setiap serangan Kam-Lokai dengan mudah. Tentu saja ia mengenal dengan baik ilmu silat Kam-Lokai, selama dua puluh tahun ini ia bahkan telah menguasai sebagian besar ilmu perkumpulan Kay-Pang. Dua jago silat kelas wahid ini segera terlibat pertarungan mati-matian.
Selama berada di Kay-Pang, Tok-tang-lang atau biasa dikenal sebagai Seng-lokai sangat pintar menyembunyikan ilmu silatnya yang asli sehingga selama dua puluh tahun ini, Kam-lokai mengira ilmu silat Tok-tang-lang masih berada dibawahnya. Namun dalam pertarungan ini, segera ia sadar perkiraannya tersebut salah besar. Ilmu silat Tok-tang-lang sangat mengejutkanny, setiap serangannya dapat dengan mudah dielakkan Tok-tang-lang bahkan ia harus bersusah payah menghindari serangan balasan lawan. Untung bagi Kam-lokai, ia sudah mempelajari rahasia ilmu Tang-kaw-pang-hoat (ilmu tongkat pengebuk anjing) yang khusus diwarisi oleh ketua Kay-Pang, jika tidak sudah dari tadi ia kena dikalahkan mantan tiang-loo Kay-pang ini.
Ilmu tongkat pemukul anjing ini memang sangat ajaib dan mampu membuat Tok-tang-lang terkejut dan kewalahan pada mulanya, sayang ilmu tersebut baru saja dipahami oleh Kam-Lokai sehingga belum mendarah daging. Tok-tang-lang mengetahui kelemahan tersebut, perlahan tapi pasti ia mampu menekan balik lawan dengan ilmu Tong-tang-lang-hoat (ilmu kelabang berbisa) andalannya. Seperti yang diketahui Tong-tang-lang adalah sute Gan-Khi-Coan, suhu Li Kun Liong, yang murtad. Selama berkelana di sungai telaga, Tong-tang-lang bertemu seorang jago tua kalangan Liok-lim yang memiliki ilmu racun sangat tinggi.
Dari jago tua ini, tong-tang-lang mempelajari ilmu racun terutama racun kelabang yang dikumpulkan dari ratusan kelabang hidup lalu merendam tangannya dengan ramuan racun tersebut sehingga kedua tangannya sangat beracun. Setiap lawan yang terkena pukulan beracunnya, dalam waktu setengah jam pasti melayang jiwanya bila tidak segera mendapat pertolongan. Cukup dengan hawa pukulan saja, lawan dapat di buat mual dan pusing-pusing sehingga konsentrasi lawan hancur, dan dengan mudah dapat dikalahkannya, entah sudah berapa banyak tokoh kangouw yang binasa di tangannya tanpa dapat di tolong.
Kesiuran pukulan beracun Tong-tang-lang membuat Kam-lokai sangat berhati-hati namun karena tidak mengetahui lawan memiliki ilmu beracun, Kam-lokai tidak bersiap sedia minum obat pelawan racun sehingga sedikit hawa beracun dari pukulan Tong-tang-lang terhirup dan membuat Kam-lokai sedikit kepeningan. Kesempatan baik tersebut tidak disia-siakan oleh Tong-tang-lang, ia melancarkan jurus terlihai dari Tong-tang-lang-hoat ke arah dada Kam-Lokai tapi tiba-tiba arah pukulan tersebut berubah arah mengincar pundak kanan Kam-lokai. Kam-lokai yang sedikit kepeningan, sudah menaruh perhatian penuh ke arah dadanya hingga sewaktu arah pukulan Tong-tang-lang berubah mendadak, ia tidak menduga sama sekali hingga dengan telak pukulan Tong-tang-lang hinggap di pundak kanannya.
"Bukk..krek" terdengar bunyi yang cukup keras, pundak kanan Kam-lokai patah akibat pukulan yang disertai tenaga dalam yang penuh dari Tong-tang-lang. Kam-lokai mundur sempoyongan, mukanya terlihat sangat pucat. Segera ia duduk bersamadi guna menahan menjalarnya racun berbisa di pundaknya. Buru-buru Master The-Kok-Liang membuka mulut Kam-lokai dan memasukkan soatlian (teratai salju) pegunugan Thai-San yang berkhasiat mengobati luka beracun dan luka dalam bagaimana beratnya sekalipun. Satu-satu untuk kedua belah pihak.
Diiringi sorak sorai pasukan Mo-Kauw menyambut kemenangan tetua mereka, Tong-tang-lang, Ciang Gu Sik murid utama Sin-Kun-Bu-Tek maju ke depan dalam babak berikutnya.
Sesuai kesepakatan semula para ketua partai utama, kali ini yang maju adalah ketua biara Shao-Lin-Pai, Siang-Jik-Hwesio. Yang maju kali ini adalah murid utama dari partai pemimpin di daerah masing-masing. Siang-Jik-Hwesio adalah murid utama Tiang-Pek-Hosiang yang diakui sebagai salah satu dari empat tokoh besar di daerah Tiong-Goan sedangkan Ciang Gu Sik adalah murid utama ketua partai Mo-Kauw, Sin-Kun-Bu-Tek yang kabarnya telah menguasai tingkat sembilan dari ilmu andalan partai mereka, Thian-Te-Hoat (ilmu langit bumi). Pertaurngan ini sangat menarik sehingga tidak heran semua yang hadir baik para kaum kangouw Ting-goan dan para anggota partai Mo-Kauw tidak berkedip matanya untuk menyaksikan pertarungan ini. Bagi kalangan Bu-Lim sangat jarang mereka melihat ilmu silat ketua Shao-Lin yang sangat jarang berkelana sehingga sampai di mana taraf ilmu silatnya tidak diketahui dengan jelas. Demikian juga dengan Ciang Gu Sik yang baru datang dari Persia, banyak kaum persilatan Tiong-goan yang tidak mengenalnya sehingga diam-diam mereka menaruh harapan tinggi di pundak Siang-Jik-hwesio.
Ciang Gu Sik yang biasanya sangat jumawa, kali ini tidak berani memandang enteng. Setelah mengeluarkan beberapa jurus serangan untuk menjajaki lawannya, Ciang Gu Sik segera mengerahkan ilmu andalannya Thian-Te-Hoat tingkat pertama, dia tidak mau membuang tempo, sebisa mungkin mengakhiri pertandingan secepatnya. Pikiran Siang-Jik-Hwesio sama dengan pikiran Ciang Gu Sik, dia juga mengerahkan ilmu tenaga dalam Ih-kin-keng andalan Shao-Lin-Pai yang sudah dilatihnya puluhan tahun sejak kecil. Kehebatannya bukan alang kepalang, baru kali ini kaum sungai telaga melihat kehebatan ilmu silat ketua Shao-lin ini, rata-rata sangat mengaguminya dan mengakui ilmu silat Shao-lin memang benar-benar sumber dari segala ilmu silat di daerah Tiong-goan. Memang selama ini murid-murid Shao-Lin jarang yang berkelana, kalaupun ada mungkin hanya beberapa orang saja dan mereka tidak menonjolkan ilmu silat mereka sehingga banyak kaum kangouw mulai meragukan kehebatan ilmu silat Shao-Lin-Pai yang digembar-gemborkan selama ini. Namun kali ini mata mereka terbuka lebar bahkan para ketuanpartai utama pun diam-diam mengakui kehebatan Siang-Jik-Hwesio.
Tapi lawan Siang-Jik-Hwesio juga tidak kalah hebatnya, walaupun berusia jauh lebih muda dibandingkan Siang-Jik-Hwesio yang berumur enam puluh tahunan namun dalam belum empat puluh tahunan, Ciang Gu Sik telah menguasai tingkat ke tujuh dari ilmu Thian-Te-Hoat. Kalau dalam pertandingan di babak-babak sebelumnya terlihat sangat seru maka dalam pertandingan babak ketiga ini justeru kurang seru dan terlihat lamban. Namun jangan dikira pertarungan ini biasa saja, justeru sebenarnya lebih hebat dan berbahaya dari pertarungan sebelumnya. Dalam pertandingan ini masing-masing pihak mengandalkan tenaga sakti mereka untuk menjatuhkan lawan. Ciang Gu Sik sudah mengerahkan ilmunya sampai tingkat ke enam, hawa panas tak berwujud mengurung seluruh ruang gerak Siang-Jik-Hwesio. Hawa panas tersebut membuat Siang-Jik-Hwesio susah menarik nafas, diam-diam ia tercekat melihat kehebatan ilmu Thian-Te- Hoat ini. Ilmu silat Siang-Jik-Hwesio dewasa ini adalah nomer satu di angkatannya, ia sudah mewarisi seluruh ilmu silat gurunya, Tiang-Pek-Hosiang. Untuk melawan hawa panas tersebut, Siang-Jik-Hwesio mengerahkan seantero tenaga dalamnya.
Melihat lawannya masih sanggup bertahan terhadap serangan tingkat ke enam ilmu Thian-Te- Hoatnya, Ciang Gu Sik sangat penasaran dan memutuskan untuk mengeluarkan tingkat ke tujuh. Selama berkelana di sungai telaga, belum pernah ia sampai harus mengeluarkan ilmu tingkat ke tujuh ini karena bila tingkat ke tujuh ini telah dikerahkan dan masih gagal juga untuk menjatuhkan lawan, ia dalam bahaya besar. Tenaga dalam yang dikerahkannya akan berbalik menghantam dirinya.
Dengan mengeluarkan lengkingan tinggi, Ciang Gu Sik mengerakkan kedua lengannya dengan cepat mengarah Siang-jik-Hwesio.
"Dukkkk!" Dua tangan mengandung tenaga sakti tersebut berbenturan dan saling menempel dengan kedua tangan Siang-Jik-Hwesio yang juga berisi hawa sakti. Pertarungan telah mencapai puncaknya dan makin berbahaya. Adu tenaga dalam pun berlangsung dengan sengit, masing- masing pihak mengerahkan seantero tenaga dalam yang dimilikinya. Sepertanakan nasi telah berlalu, kedua pihak masih berimbang dan diam tak bergerak. Di atas ubun-ubun kepala masing-masing nampak keluar uap putih ke atas. Dahi Ciang Gu Sik mulai mengeluarkan keringat, begitu pula dahi Siang-Jik-Hwesio.
Dari segi kematangan tenaga dalam, Siang-Jik-Hwesio lebih lama latihannya dibandingkan Ciang Gu Sik. Tapi aliran tenaga dalam Mo-Kauw memang sangat aneh dan luar biasa sehingga tidak heran Ciang Gu Sik mampu mengimbangi tenaga dalam Siang-Jik-Hwesio.
Melihat pertarungan tersebut yang kalau dilanjutkan akan merugikan kedua belah pihak, Sin- Kun-Bu-Tek berkata "Bagaimana kalau untuk babak ketiga ini dianggap seri, tiada yang menang atau kalah?'
Master The-Kok-Liang mengangguk setuju, lalu bersama-sama Sin-Kun-Bu-Tek melayang ke arah pertempuran guna memisahkan kedua pihak yang sedang bertarung. Tetap satu-satu untuk kedua pihak.
Di babak keempat, maju pemimpin barisan merah Mo-Kauw, Hek-Houw. Sedangkan dari pihak partai utama, keluar ketua Bu-Tong-Pai, Tiong-Pek-Tojin. Sewaktu masih menjadi pemimpin bajak laut di perairan Po-hai, Hek-houw pernah bertempur melawan guru Tiong-Pek-Tojin, Kiang-Ti- Tojin dan dikalahkan sehingga selama puluhan tahun ini ia masih menyimpan dendam terhadap Kiang-Ti-Tojin. Mengetahui lawannya adalah murid Kiang-Ti-Tojin, Hek-houw melihat peluang yang baik untuk membalas sakit hatinya.
Tiong-Pek-Tojin sendiri tidak mengetahui kalau suhunya pernah memberi ajaran kepada Hek- houw sehingga ia sedikit heran mengapa begitu berhadapan dengannya, dengan mata berapi-api Hek-houw melancarkan serangan ganas dan bertubi-tubi ke arahnya. Sambil mengegoskan tubuh, Tiong-Pek-Tojin membalas serangan lawan dengan ilmu Bu-Tong-Kiam-Hoat (ilmu pedang Bu- Tong) yang sangat terkenal tersebut. Gerakannya yang demikian ringan dan cepatnya menandakan Tiong-Pek-Tojin telah mencapai tingkat tertinggi dari ilmu pedang Bu-Tong.
Tapi lawannya kali ini memiliki ilmu golok yang luar biasa, saat itu golok di tangan Hek-houw sudah menyambar, membacok, ke arah kepala Tiong-Pek-Tojin. Tiong-Pek-Tojin menundukkan kepalanya sambil pedangnya menyontek ke arah perut lawan. Dengan cepat Hek-houw menarik pulang goloknya dan melompat mundur menghindari sontekan pedang Tiong-Pek-Tojin.
Tapi pedang Tiong-Pek-Tojin bagaikan memiliki mata, terus mengejar Hek-houw, menikam bertubi-tubi hingga Hek-houw dengan terpaksa harus menggulingkan dirinya dan menjauhi lawan.
Sambil melompat bangun, dengan wajah yang semakin merah, golok Hek-houw meluncur menusuk tengkuk Tiong-Pek-Tojin.
"Traang!.." pedang pusaka Tiong-Pek-Tojin menangkis serangan golok Hek-houw. Ramai bukan main pertarungan tingkat tinggi ini. Bayangan mereka berkelabat di bungkus sinar pedang dan golok, keadaan masih berimbang.
Bagaikan seekor naga menyambar, Tiong-Pek-Tojin meloncat dan bagaikan kilat melancarkan jurus-jurus terlihai Bu-Tong-Kiam-Hoat. Jurus-jurus ini sangat jarang ia keluarkan karena sangat menguras tenaga sakti namun hasilnya memang setimpal, Hek-houw keteteran, dengan susah payah ia menghindari serangan-serangan tersebut. Laksana naga mengamuk, pedang Tiong-Pek- Tojin berkelabatan dengan gerakan-gerakan yang susah ditebak dan tak terduga sama sekali, tahu-tahu pundak kanan Hek-houw bolong tertusuk ujung pedang Tiong-Pek-Tojin.
"Aduuh!.." Hek-houw mengeluarkan jeritan kesakitan, golok yang dipegangnya terlepas dan jatuh ke lantai. Belum lagi ia sempat beraksi lebih lanjut, ujung pedang Tiong-Pek-Tojin telah berada di depan tenggorokannya. Kalau mau sebenarnya cukup dengan mengerakkan maju pedang satu dim saja, tenggorokan Hek-houw pasti tertembus pedangnya. Dengan hati terkesiap Hek-houw tidak berani bergerak sama sekali, untuk kedua kalinya ia mengalami kekalahan yang mengenaskan dari murid-murid Bu-Tong-Pai.
Sambil tersenyum lelah, Tong-Pek-Tojin menarik pedangnya dari tenggorokan Hek-houw dan kembali ke tempatnya diikuti sorak-sorai murid-murid ke tujuh partai utama dan kaum kangouw yang hadir. Dua-satu untuk pihak partai utama.
Dengan dahi berkerut tanda hatinya yang kesal, Sin-Kun-Bu-Tek bangkit dari duduknya dan berjalan ke tengah ruangan. Dibabak terakhir ini, dia sendiri yang maju. Para hadirin menengok ke arah para ketua partai utama untuk mencari tahu siapa yang akan menghadapi ketua Mo-Kauw ini. Ternyata adalah ketua Thai-San-Pai, Master The-Kok-Liang. Lima puluh tahun yang lalu, ayah Master The-Kok-Liang, The-Ciu-Kang, binasa di tangan ketua Mo-Kauw terdahulu, Thian-Te-Lojin (si kakek langit bumi). Waktu itu usianya masih belasan tahun sehingga saat itu ia sangat berduka dan bersumpah untuk mempelajari ilmu silat Thai-San-Pai sampai puncaknya agar menjadi jago terkemuka kangouw. Dia sendiri menyadari ayahnya mati dalam pertempuran dan lawannyapun turut binasa sehingga masalah dendam sudah terbalaskan dengan sendirinya. Ilmu silat Thai-San- Pai sendiri ia pelajari bersama sumoinya, yang sekarang menjadi istrinya melalui suhengnya, murid pertama ayahnya, Phang Ji Hok yang saat itu sudah berumur dua puluh lima tahunan dan sudah mewarisi semua ilmu silat partai Thai-San-Pai, di samping ibunya sendiri. Tapi boleh di bilang, Phang Ji Hok lah yang menjadi guru sekaligus suhengnya. Berkat bakat dan ketekunannya yang luar biasa, Master The-Kok-Liang akhirnya menjadi salah satu empat tokoh besar dunia persilatan.
Para hadirin yang hadir berdebar-debar menanti pertandingan puncak ini. Kedua tokoh ini sudah sangat terkenal selama puluhan tahun, mati-hidup dunia persilatan tergantung hasil pertandingan tersebut. Dengan tajam Sin-Kun-Bu-Tek menatap Master The-Kok-Liang yang berjalan dengan tenang menghampirinya. Ketenangan Master The-Kok-Liang sedikit menganggu diri Sin-Kun-Bu-Tek, hanya mereka yang telah mencapai tingkat kesempurnaan ilmu silat yang dapat memiliki ketenangan seperti ini. Sebenarnya peristiwa pertempuran antara ke tujuh partai utama dan pihak Mo-Kauw lima puluh tahun yang lalu, disamping menghancurkan kedua belah pihak tapi juga memiliki segi positif. Keterpurukan masing-masing pihak telah membuat semangat angkatan yang lebih muda untuk mencapai ilmu silat tertinggi, berlipat-lipat. Terbukti dari pihak partai utama, murid-murid ketua terdahulu telah dapat menyamai bahkan melebihi kemasyhuran guru-guru mereka. Ibarat pepatah gelombang belakang sungai tiang-kang mendorong gelombang depan, begitu pula dengan pihak Mo-Kauw, Sin-kun-bu-tek bahkan berhasil mencapai tingkat tertinggi yaitu tingkat ke sembilan dari ilmu Thian-Te-Hoat yang selama ratusan tahun belum pernah ada yang berhasil menguasainya sehingga secara umum ilmu silat mengalami kemajuan dari sebelumnya.
Kedua tokoh puncak ini saling menjura memberi salam sebelum mereka melancarkan gebrakan pertama. Dalam pertarungan kelas atas, masing-masing pihak langsung mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing. Mereka tahu tidak perlu membuang-buang tenaga melancarkan ilmu- ilmu yang dapat dengan mudah dielakkan lawan. Sambil mengelak dari serangan ilmu Thian-Te- Hoat (ilmu langit bumi) tingkat pertama, Master The-Kok-Liang mencabut pedang pusaka dan menjalankan ilmu Thian-San-Kiam-Hoat (ilmu pedang Thian-San) yang termasyhur. Ilmu pedang partai Thai-San-Pai berandeng dengan ilmu pedang Bu-Tong, masing-masing partai memiliki sendiri-sendiri. Bu-Tong-Kiam-Hoat memiliki keunggulan dari segi penyerangan sedangkan Thai- San-Kiam-Hoat sangat kokoh pertahanannya bagaikan gunung Thai-San. Tidak mudah bagi Sin- kun-Bu-Tek untuk menerobos pertahanan Thian-San-Kiam-Hoat yang dimainkan Master The-Kok- Liang yang sudah mencapai kemahiran yang sempurna dan mendarah daging.
Perlahan-lahan Sin-Kun-Bu-Tek mengerahkan ilmu Thian-Te-Hoat setahap demi setahap untuk memperkecil ruang gerak Master The-Kok-Liang. Gerakan Sin-Kun-Bu-Tek terlihat jauh lebih matang dari gerakan Ciang Gu Sik, walaupun ilmu yang dimainkan sama.
Begitu pula dengan hawa panas yang dihasilkan dari tenaga saktinya, dan membuat Master The-Kok-Liang mulai prihatin menghadapinya, terbukti kelincahannya tidak segesit pada puluhan jurus pertama, dimanapun ia bergerak hawa panas tersebut menyelubunginya. Ilmu Thian-Te- Hoat sudah mencapai tingkat ke tujuh dikerahkan oleh Sin-Kun-Bu-Tek namun Master The-Kok- Liang masih dapat bertahan walaupun dahinya mulai mengeluarkan keringat dan punggung bajunya sudah basah terkena keringatnya. Ini diakibatkan efek hawa panas tersebut juga yang membuat para hadirin juga merasakan panasnya udara di sekitarnya bahkan mereka yang kemampuan ilmu silatnya biasa-biasa saja merasa tidak tahan dan menjauhi pertempuran belasan tombak. Diam-diam Sin-Kun-Bu-Tek kagum melihat kegigihan Master The-Kok-Liang, dia mulai menjalankan tingkat ke delapan ilmu Thian-Te-Hoat. Master The-Kok-Liang sendiri diam-diam sudah tidak tahan tehadap hawa panas tersebut, tenaga dalam yang dikerahkannya mengalami kemacetan akibat hawa tersebut, ibarat seekor katak dalam tempurung (panci) tertutup dan dibawah panci terdapat api yang makin lama makin membesar tapi tidak bisa lari kemana-mana, memanaskan keadaan di dalam tempurung tersebut, begitulah kira-kira situasi Master The-Kok- Liang saat itu.
Begitu tingkat ke delapan di jalankan Sin-Kun-Bu-Tek, dari ujung hidung Master The-Kok-Liang keluar darah, pada mulanya kaum sungai telaga tidak memperhatikannya tapi ketika darh tersebut semakin banyak mengucur dari hidung Master The-Kok-Liang, beberapa kaum Bu-Lim menjerit khawatir, demikian juga para ketua partai utama. Mata mereka yang tajam telah dapat melihat sesuatu yang belum dilihat kaum persilatan yang hadir yaitu kedua mata dari master The-Kok- Liang pun turut berubah menjadi kemerahan, kondisinya sekarang ini sangat kritis.
Kita tinggalkan dahulu pertempuran yang telah mencapai tahap kritis ini........................
Perlahan ia bangkit dan berkata kepada Sin-Kun-Bu-Tek, "Ilmu silat kauwcu sungguh lihai, lohu merasa sangat kagum melihatnya"
Ciang Gu Sik berbisik ke telinga gurunya memberitahu siapa adanya master The-Kok-Liang. Diantara para ketua partai utama, usia master The-Kok-Liang bukanlah yang paling tua tapi dia termasuk empat tokoh besar yang dianggap memiliki ilmu silat paling tinggi di dunia persilatan saat ini selain Tiang-Pek-Hosiang, Kiang-Ti-Tojin, dan Sun-Lokai. Ketiga nama yang disebut belakangan telah mengundurkan diri dari dunia persilatan sehingga diantara ketua partai utama, ilmu silatnya adalah yang paling lihai dan hal tersebut diketahui dengan baik oleh Sin-Kun-Bu-Tek.
Nada suaranya sedikit melunak ketika berkata kepada Master The-Kok-Liang, "Rupanya anda adalah ketua Thai-San-Pai yang termashur tersebut."
"Tidak berani..tidak berani. Lohu hanya ingin memberikan usul untuk menyelesaikan masalah ini sekaligus menghindari pertumpahan darah yang banyak hingga masing-masing pihak bisa mengalami kerugian yang tidak sedikit."
"Apa usulmu ?" tanya Sin-Kun-Bu-Tek sedikit tertarik. Dia cukup tahu pertempuran ini akan memakan korban yang tidak sedikit di pihaknya sehingga ia pun sebenarnya merasa sayang terhadap kerugian yang akan terjadi bila ia memaksakan pertempuran besar-besaran. Selama puluhan tahun ini dengan bersusah payah ia mampu mengembalikan kejayaan partai Mo-kauw yang sebelumnya hancur lebur dalam pertempuran lima puluh tahun yang lalu. Sekarang dengan anggota ribuan orang walaupun ia memiliki keyakinan yang tinggi untuk menang namun ia tidak bisa menjamin kerugian yang ditimbulkan akan minimal.
Sebelumnya pihak partai utama telah membicarakan cara-cara pertempuran dan sepakat untuk mengajukan pertempuran hanya antara para tokoh puncak saja dari masing-masing pihak sehingga kerugian yang lebih besar dapat dihindari oleh kedua belah pihak.
"Bagaimana kalau menang kalah ditentukan dalam pertempuran lima babak saja antara tokoh- tokoh tertinggi masing-masing pihak, dengan demikian pertumpahan darah dapat kita hindari. Pihak yang kalah harus tunduk pada keputusan pihak yang menang."
"Usul yang bagus, lohu sangat setuju. Apabila pihak kami yang kalah, lohu sebagai ketua Mo- kauw bersumpah tidak akan kembali lagi ke Tiong-goan seumur hidup" kata Sin-Kun-Bu-Tek dengan gembira.
Sebenarnya dibalik perkataan Sin-kun-Bu-Tek ini terselip tipu muslihat, bila benar pihak mereka kalah dalam pertempuran ini tentu saja ia akan mematuhi sumpahnya untuk tidak kembali ke Tiong-goan namun sumpah tersebut tidak berlaku bagi ketua Mo-kauw berikutnya.
Namun pihak Bu-lim sebenarnya juga telah memperhitungkan cara ini dengan seksama, mereka tahu tidak ada seorang pun yang dapat menandingi ketua Mo-Kauw ini yang telah mencapai tingkat tertinggi ilmu yang dilatihnya sehingga dalam pertempuran tiga babak, mereka mengharapkan dapat menang di dua babak berikutnya.
"Baiklah, kalau begitu masing-masing pihak telah setuju. Sekarang sebaiknya masing-masing pihak merundingkan terlebih dahulu siapa-siapa saja yang akan maju" kata Master The-Kok-Liang.
Para kaum kangouw yang hadir mulai bersuara ramai memperbincangkan siapa-siapa saja yang akan diajukan pihak partai utama dan pihak Mo-Kauw. Mereka terutama penasaran siapa yang akan melawan ketua Mo-kauw. Ada yang berpendapat Siang-Jik-Hwesio paling tepat untuk menghadapi Sin-Kun-Bu-Tek, tapi juga ada yang lebih memilih Master The-Kok-Liang sebgai lawan yang paling tepat untuk ketua Mo-Kauw ini.
Akhirnya setelah ke dua pihak berunding cukup lama untuk mengajukan jago-jagonya masing- masing, keputusan telah di ambil masing-masing pihak.
Pada babak pertama dari pihak Mo-Kauw mengajukan pemimpin barisan kuning, Thi-kah-kim- kong yang dihadapi Sie-Han-Cinjin. Mereka berdua belum pernah bertarung sehingga pada jurus- jurus awal, masing-masing pihak baru mencoba mengenal jurus-jurus lawan. Sie-Han-Cinjin memainkan ilmu Kun-Lun-Kiam-Hoat (ilmu pedang Kun Lun) yang terdiri atas enam puluh empat jurus. Kun-Lun-Kiam-Hoat merupakan ilmu andalan partai Kun-Lun-Pai hasil penyempurnaan selama ratusan tahun oleh para cendikiawan Kun-Lun-Pai sehingga kehebatannya tidak kalah dengan Bu-Tong-Kiam-Hoat dan Thai-San-Kiam-Hoat.
Sie-Han-Cinjin menggerakkan pedangnya dengan cepat hingga pedang pusakanya berubah menjadi segulung sinar putih yang mengurung tubuh Thi-kah-kim-kong dengan ketat. Namun Thi- kah-kim-kong bukanlah jago silat sembarangan, Ciang Gu Sik sendiri mengakui kelihaian ilmu silatnya terutama ilmu weduk (ilmu kebal) yang dimilikinya. Memang Thi-kah-kim-kong memiliki tubuh sekuat baja hasil latihan keras selama berpuluh tahun sehingga tubuhnya tidak mempan senjata atau totokan jari yang dilancarkan lawan. Ia memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, pukulan lawan yang biasanya dapat menghancurkan batu besar diterimanya dengan biasa saja tanpa terluka sedikitpun.
Tapi menghadapi Sie-Han-Cinjin, salah satu ketua partai utama tentu saja berbeda, selain pedang pusaka, Sie-Han-Cinjin juga telah mengetahui keistimewaan Thi-kak-kim-kong sehingga pedangnya selalu mengincar bagian-bagian tubuh yang lemah dari Thi-kak-kim-kong seperti mata dan tenggorakan.
Pertandingan kelas satu ini semakin hebat, pedang Sie-Han-Cinjin dengan kecepatan kilat telah dua kali berhasil menyontek pundak Thi-kah-kim-kong namun hanya bajunya saja yang robek sedangkan pundak Thi-kah-kim-kong tidak apa-apa. Kelemahan Thi-kak-kim-kong adalah ilmu meringankan tubuhnya tidak sehebat Sie-Han-Cinjin sehingga beberapa kali ia kelabakan menghadapi serangan pedang lawan yang menyambar-nyambar cepat sekali. Diam-diam Sie-Han- Cinjin mengagumi kehebatan ilmu weduk lawannya, walaupun pedang yang digunkananya adalah pedang pusaka tapi belum mampu melukakan Thi-kak-kim-kong. Dia lalu mencoba merubah gaya serangan pedangnnya, kini pedangnya tidak mengandalkan kecepatan semata-mata, melainkan lebih mendasarkan serangan pada penggunaan tenaga lweekang di ujung pedang. Setiap tusukan dan tebasan pedangnya sekarang mengandung hawa sakti hasil latihan puluhan tahun sehingga kali ini bila pedangnya terkena tubuh Thi-kah-kim-kong yang kebal tersebut, pasti menghasilkan luka yang cukup serius bagi lawannya, Thi-kah-kim-kong sendiri telah menyadari hal tersebut sehingga ia sangat berhati-hati mengembangkan perthanan tubuhnya sambil melancarkan serangan balasan.
Pertandingan telah berjalan ratusan jurus, masing-masing pihak telah mengeluarkan tenaga yang banyak hingga gerakan mereka sedikit lambat. Seperti yang diketahui usia Sie-Han-Cinjin lebih tua dari Thi-kah-kim-kong sehingga dari segi keuletan kalah dari Thi-kah-kim-kong yang lebih muda tapi dari segi ilmu silat Sie-Han-Cinjin menang setingkat dari lawannya ini.
Suatu ketika pedang Sie-Han-Cinjin berkelabat menusuk ke arah dada Thi-kah-kim-kong dengan kecepatan yang menakjubkan, dan terus berubah-ubah arah sehingga mata Thi-kah-kim- kong berkunang-kunang mengikuti gerakan pedang lawan. Betapapun ia mencoba menghindari serangan tersebut tetap saja ujung pedang Sie-Han-Cinjin yang penuh hawa sakti berhasil mampir di pundak kanannya dan mencoblos sekitar tiga dim, darah muncrat berhamburan dari lobang luka yang cukup lebar tersebut dengna derasnya dan membuat muka Thi-kah-kim-kong pucat pasi tanda kehabisan darah. Kepala Thi-kah-kim-kong terasa semakin pusing dan konsentrasinya buyar sehingga lagi-lagi pedang Sie-Han-Cinjin berhasil melukai kaki kanan Thi-kah-kim-kong dan membuatnya sempoyongan. Hanya tinggal menunggu waktu sebelum akhirnya Thi-kah-kim-kong akan roboh di tangan Sie-Han-Cinjin. Menyadari hal tersebut, kepala barisan merah, Hek-Houw pada saat yang tepat meloncat ke dalam pertempuran dan segera memapah tubuh sahabatnya tersebut kembali ke dalam barisan. Satu kosong untuk pihak tujuh partai utama.
Dengan wajah masam, Sin-Kun-Bu-Tek melirik ke arah Tok-tang-lang. Tok-tang-lang mengerti arti lirikan tersebut, perlahan ia maju ke depan untuk menghadapi lawan berikutnya. Memang Sin- Kun-Bu-Tek cukup cerdik, kekalahan Thi-kah-kim-kong pasti mempengaruhi mental pasukannya sehingga dengan memerintahkan salah satu tetua Mo-Kauw, ia ingin mengembalikan semangat barisannya.
Kam-lokai yang melihat penghianat Kay-Pang tersebut maju, segera memapakinya. Dengan mata merah tanda kemarahan hatinya ia segera berkata,
"Penghianat...!" sambil melancarkan melancarkan serangan-serangan ganas.
Dengan tersenyum sinis, Tok-tang-lang menghindari setiap serangan Kam-Lokai dengan mudah. Tentu saja ia mengenal dengan baik ilmu silat Kam-Lokai, selama dua puluh tahun ini ia bahkan telah menguasai sebagian besar ilmu perkumpulan Kay-Pang. Dua jago silat kelas wahid ini segera terlibat pertarungan mati-matian.
Selama berada di Kay-Pang, Tok-tang-lang atau biasa dikenal sebagai Seng-lokai sangat pintar menyembunyikan ilmu silatnya yang asli sehingga selama dua puluh tahun ini, Kam-lokai mengira ilmu silat Tok-tang-lang masih berada dibawahnya. Namun dalam pertarungan ini, segera ia sadar perkiraannya tersebut salah besar. Ilmu silat Tok-tang-lang sangat mengejutkanny, setiap serangannya dapat dengan mudah dielakkan Tok-tang-lang bahkan ia harus bersusah payah menghindari serangan balasan lawan. Untung bagi Kam-lokai, ia sudah mempelajari rahasia ilmu Tang-kaw-pang-hoat (ilmu tongkat pengebuk anjing) yang khusus diwarisi oleh ketua Kay-Pang, jika tidak sudah dari tadi ia kena dikalahkan mantan tiang-loo Kay-pang ini.
Ilmu tongkat pemukul anjing ini memang sangat ajaib dan mampu membuat Tok-tang-lang terkejut dan kewalahan pada mulanya, sayang ilmu tersebut baru saja dipahami oleh Kam-Lokai sehingga belum mendarah daging. Tok-tang-lang mengetahui kelemahan tersebut, perlahan tapi pasti ia mampu menekan balik lawan dengan ilmu Tong-tang-lang-hoat (ilmu kelabang berbisa) andalannya. Seperti yang diketahui Tong-tang-lang adalah sute Gan-Khi-Coan, suhu Li Kun Liong, yang murtad. Selama berkelana di sungai telaga, Tong-tang-lang bertemu seorang jago tua kalangan Liok-lim yang memiliki ilmu racun sangat tinggi.
Dari jago tua ini, tong-tang-lang mempelajari ilmu racun terutama racun kelabang yang dikumpulkan dari ratusan kelabang hidup lalu merendam tangannya dengan ramuan racun tersebut sehingga kedua tangannya sangat beracun. Setiap lawan yang terkena pukulan beracunnya, dalam waktu setengah jam pasti melayang jiwanya bila tidak segera mendapat pertolongan. Cukup dengan hawa pukulan saja, lawan dapat di buat mual dan pusing-pusing sehingga konsentrasi lawan hancur, dan dengan mudah dapat dikalahkannya, entah sudah berapa banyak tokoh kangouw yang binasa di tangannya tanpa dapat di tolong.
Kesiuran pukulan beracun Tong-tang-lang membuat Kam-lokai sangat berhati-hati namun karena tidak mengetahui lawan memiliki ilmu beracun, Kam-lokai tidak bersiap sedia minum obat pelawan racun sehingga sedikit hawa beracun dari pukulan Tong-tang-lang terhirup dan membuat Kam-lokai sedikit kepeningan. Kesempatan baik tersebut tidak disia-siakan oleh Tong-tang-lang, ia melancarkan jurus terlihai dari Tong-tang-lang-hoat ke arah dada Kam-Lokai tapi tiba-tiba arah pukulan tersebut berubah arah mengincar pundak kanan Kam-lokai. Kam-lokai yang sedikit kepeningan, sudah menaruh perhatian penuh ke arah dadanya hingga sewaktu arah pukulan Tong-tang-lang berubah mendadak, ia tidak menduga sama sekali hingga dengan telak pukulan Tong-tang-lang hinggap di pundak kanannya.
"Bukk..krek" terdengar bunyi yang cukup keras, pundak kanan Kam-lokai patah akibat pukulan yang disertai tenaga dalam yang penuh dari Tong-tang-lang. Kam-lokai mundur sempoyongan, mukanya terlihat sangat pucat. Segera ia duduk bersamadi guna menahan menjalarnya racun berbisa di pundaknya. Buru-buru Master The-Kok-Liang membuka mulut Kam-lokai dan memasukkan soatlian (teratai salju) pegunugan Thai-San yang berkhasiat mengobati luka beracun dan luka dalam bagaimana beratnya sekalipun. Satu-satu untuk kedua belah pihak.
Diiringi sorak sorai pasukan Mo-Kauw menyambut kemenangan tetua mereka, Tong-tang-lang, Ciang Gu Sik murid utama Sin-Kun-Bu-Tek maju ke depan dalam babak berikutnya.
Sesuai kesepakatan semula para ketua partai utama, kali ini yang maju adalah ketua biara Shao-Lin-Pai, Siang-Jik-Hwesio. Yang maju kali ini adalah murid utama dari partai pemimpin di daerah masing-masing. Siang-Jik-Hwesio adalah murid utama Tiang-Pek-Hosiang yang diakui sebagai salah satu dari empat tokoh besar di daerah Tiong-Goan sedangkan Ciang Gu Sik adalah murid utama ketua partai Mo-Kauw, Sin-Kun-Bu-Tek yang kabarnya telah menguasai tingkat sembilan dari ilmu andalan partai mereka, Thian-Te-Hoat (ilmu langit bumi). Pertaurngan ini sangat menarik sehingga tidak heran semua yang hadir baik para kaum kangouw Ting-goan dan para anggota partai Mo-Kauw tidak berkedip matanya untuk menyaksikan pertarungan ini. Bagi kalangan Bu-Lim sangat jarang mereka melihat ilmu silat ketua Shao-Lin yang sangat jarang berkelana sehingga sampai di mana taraf ilmu silatnya tidak diketahui dengan jelas. Demikian juga dengan Ciang Gu Sik yang baru datang dari Persia, banyak kaum persilatan Tiong-goan yang tidak mengenalnya sehingga diam-diam mereka menaruh harapan tinggi di pundak Siang-Jik-hwesio.
Ciang Gu Sik yang biasanya sangat jumawa, kali ini tidak berani memandang enteng. Setelah mengeluarkan beberapa jurus serangan untuk menjajaki lawannya, Ciang Gu Sik segera mengerahkan ilmu andalannya Thian-Te-Hoat tingkat pertama, dia tidak mau membuang tempo, sebisa mungkin mengakhiri pertandingan secepatnya. Pikiran Siang-Jik-Hwesio sama dengan pikiran Ciang Gu Sik, dia juga mengerahkan ilmu tenaga dalam Ih-kin-keng andalan Shao-Lin-Pai yang sudah dilatihnya puluhan tahun sejak kecil. Kehebatannya bukan alang kepalang, baru kali ini kaum sungai telaga melihat kehebatan ilmu silat ketua Shao-lin ini, rata-rata sangat mengaguminya dan mengakui ilmu silat Shao-lin memang benar-benar sumber dari segala ilmu silat di daerah Tiong-goan. Memang selama ini murid-murid Shao-Lin jarang yang berkelana, kalaupun ada mungkin hanya beberapa orang saja dan mereka tidak menonjolkan ilmu silat mereka sehingga banyak kaum kangouw mulai meragukan kehebatan ilmu silat Shao-Lin-Pai yang digembar-gemborkan selama ini. Namun kali ini mata mereka terbuka lebar bahkan para ketuanpartai utama pun diam-diam mengakui kehebatan Siang-Jik-Hwesio.
Tapi lawan Siang-Jik-Hwesio juga tidak kalah hebatnya, walaupun berusia jauh lebih muda dibandingkan Siang-Jik-Hwesio yang berumur enam puluh tahunan namun dalam belum empat puluh tahunan, Ciang Gu Sik telah menguasai tingkat ke tujuh dari ilmu Thian-Te-Hoat. Kalau dalam pertandingan di babak-babak sebelumnya terlihat sangat seru maka dalam pertandingan babak ketiga ini justeru kurang seru dan terlihat lamban. Namun jangan dikira pertarungan ini biasa saja, justeru sebenarnya lebih hebat dan berbahaya dari pertarungan sebelumnya. Dalam pertandingan ini masing-masing pihak mengandalkan tenaga sakti mereka untuk menjatuhkan lawan. Ciang Gu Sik sudah mengerahkan ilmunya sampai tingkat ke enam, hawa panas tak berwujud mengurung seluruh ruang gerak Siang-Jik-Hwesio. Hawa panas tersebut membuat Siang-Jik-Hwesio susah menarik nafas, diam-diam ia tercekat melihat kehebatan ilmu Thian-Te- Hoat ini. Ilmu silat Siang-Jik-Hwesio dewasa ini adalah nomer satu di angkatannya, ia sudah mewarisi seluruh ilmu silat gurunya, Tiang-Pek-Hosiang. Untuk melawan hawa panas tersebut, Siang-Jik-Hwesio mengerahkan seantero tenaga dalamnya.
Melihat lawannya masih sanggup bertahan terhadap serangan tingkat ke enam ilmu Thian-Te- Hoatnya, Ciang Gu Sik sangat penasaran dan memutuskan untuk mengeluarkan tingkat ke tujuh. Selama berkelana di sungai telaga, belum pernah ia sampai harus mengeluarkan ilmu tingkat ke tujuh ini karena bila tingkat ke tujuh ini telah dikerahkan dan masih gagal juga untuk menjatuhkan lawan, ia dalam bahaya besar. Tenaga dalam yang dikerahkannya akan berbalik menghantam dirinya.
Dengan mengeluarkan lengkingan tinggi, Ciang Gu Sik mengerakkan kedua lengannya dengan cepat mengarah Siang-jik-Hwesio.
"Dukkkk!" Dua tangan mengandung tenaga sakti tersebut berbenturan dan saling menempel dengan kedua tangan Siang-Jik-Hwesio yang juga berisi hawa sakti. Pertarungan telah mencapai puncaknya dan makin berbahaya. Adu tenaga dalam pun berlangsung dengan sengit, masing- masing pihak mengerahkan seantero tenaga dalam yang dimilikinya. Sepertanakan nasi telah berlalu, kedua pihak masih berimbang dan diam tak bergerak. Di atas ubun-ubun kepala masing-masing nampak keluar uap putih ke atas. Dahi Ciang Gu Sik mulai mengeluarkan keringat, begitu pula dahi Siang-Jik-Hwesio.
Dari segi kematangan tenaga dalam, Siang-Jik-Hwesio lebih lama latihannya dibandingkan Ciang Gu Sik. Tapi aliran tenaga dalam Mo-Kauw memang sangat aneh dan luar biasa sehingga tidak heran Ciang Gu Sik mampu mengimbangi tenaga dalam Siang-Jik-Hwesio.
Melihat pertarungan tersebut yang kalau dilanjutkan akan merugikan kedua belah pihak, Sin- Kun-Bu-Tek berkata "Bagaimana kalau untuk babak ketiga ini dianggap seri, tiada yang menang atau kalah?'
Master The-Kok-Liang mengangguk setuju, lalu bersama-sama Sin-Kun-Bu-Tek melayang ke arah pertempuran guna memisahkan kedua pihak yang sedang bertarung. Tetap satu-satu untuk kedua pihak.
Di babak keempat, maju pemimpin barisan merah Mo-Kauw, Hek-Houw. Sedangkan dari pihak partai utama, keluar ketua Bu-Tong-Pai, Tiong-Pek-Tojin. Sewaktu masih menjadi pemimpin bajak laut di perairan Po-hai, Hek-houw pernah bertempur melawan guru Tiong-Pek-Tojin, Kiang-Ti- Tojin dan dikalahkan sehingga selama puluhan tahun ini ia masih menyimpan dendam terhadap Kiang-Ti-Tojin. Mengetahui lawannya adalah murid Kiang-Ti-Tojin, Hek-houw melihat peluang yang baik untuk membalas sakit hatinya.
Tiong-Pek-Tojin sendiri tidak mengetahui kalau suhunya pernah memberi ajaran kepada Hek- houw sehingga ia sedikit heran mengapa begitu berhadapan dengannya, dengan mata berapi-api Hek-houw melancarkan serangan ganas dan bertubi-tubi ke arahnya. Sambil mengegoskan tubuh, Tiong-Pek-Tojin membalas serangan lawan dengan ilmu Bu-Tong-Kiam-Hoat (ilmu pedang Bu- Tong) yang sangat terkenal tersebut. Gerakannya yang demikian ringan dan cepatnya menandakan Tiong-Pek-Tojin telah mencapai tingkat tertinggi dari ilmu pedang Bu-Tong.
Tapi lawannya kali ini memiliki ilmu golok yang luar biasa, saat itu golok di tangan Hek-houw sudah menyambar, membacok, ke arah kepala Tiong-Pek-Tojin. Tiong-Pek-Tojin menundukkan kepalanya sambil pedangnya menyontek ke arah perut lawan. Dengan cepat Hek-houw menarik pulang goloknya dan melompat mundur menghindari sontekan pedang Tiong-Pek-Tojin.
Tapi pedang Tiong-Pek-Tojin bagaikan memiliki mata, terus mengejar Hek-houw, menikam bertubi-tubi hingga Hek-houw dengan terpaksa harus menggulingkan dirinya dan menjauhi lawan.
Sambil melompat bangun, dengan wajah yang semakin merah, golok Hek-houw meluncur menusuk tengkuk Tiong-Pek-Tojin.
"Traang!.." pedang pusaka Tiong-Pek-Tojin menangkis serangan golok Hek-houw. Ramai bukan main pertarungan tingkat tinggi ini. Bayangan mereka berkelabat di bungkus sinar pedang dan golok, keadaan masih berimbang.
Bagaikan seekor naga menyambar, Tiong-Pek-Tojin meloncat dan bagaikan kilat melancarkan jurus-jurus terlihai Bu-Tong-Kiam-Hoat. Jurus-jurus ini sangat jarang ia keluarkan karena sangat menguras tenaga sakti namun hasilnya memang setimpal, Hek-houw keteteran, dengan susah payah ia menghindari serangan-serangan tersebut. Laksana naga mengamuk, pedang Tiong-Pek- Tojin berkelabatan dengan gerakan-gerakan yang susah ditebak dan tak terduga sama sekali, tahu-tahu pundak kanan Hek-houw bolong tertusuk ujung pedang Tiong-Pek-Tojin.
"Aduuh!.." Hek-houw mengeluarkan jeritan kesakitan, golok yang dipegangnya terlepas dan jatuh ke lantai. Belum lagi ia sempat beraksi lebih lanjut, ujung pedang Tiong-Pek-Tojin telah berada di depan tenggorokannya. Kalau mau sebenarnya cukup dengan mengerakkan maju pedang satu dim saja, tenggorokan Hek-houw pasti tertembus pedangnya. Dengan hati terkesiap Hek-houw tidak berani bergerak sama sekali, untuk kedua kalinya ia mengalami kekalahan yang mengenaskan dari murid-murid Bu-Tong-Pai.
Sambil tersenyum lelah, Tong-Pek-Tojin menarik pedangnya dari tenggorokan Hek-houw dan kembali ke tempatnya diikuti sorak-sorai murid-murid ke tujuh partai utama dan kaum kangouw yang hadir. Dua-satu untuk pihak partai utama.
Dengan dahi berkerut tanda hatinya yang kesal, Sin-Kun-Bu-Tek bangkit dari duduknya dan berjalan ke tengah ruangan. Dibabak terakhir ini, dia sendiri yang maju. Para hadirin menengok ke arah para ketua partai utama untuk mencari tahu siapa yang akan menghadapi ketua Mo-Kauw ini. Ternyata adalah ketua Thai-San-Pai, Master The-Kok-Liang. Lima puluh tahun yang lalu, ayah Master The-Kok-Liang, The-Ciu-Kang, binasa di tangan ketua Mo-Kauw terdahulu, Thian-Te-Lojin (si kakek langit bumi). Waktu itu usianya masih belasan tahun sehingga saat itu ia sangat berduka dan bersumpah untuk mempelajari ilmu silat Thai-San-Pai sampai puncaknya agar menjadi jago terkemuka kangouw. Dia sendiri menyadari ayahnya mati dalam pertempuran dan lawannyapun turut binasa sehingga masalah dendam sudah terbalaskan dengan sendirinya. Ilmu silat Thai-San- Pai sendiri ia pelajari bersama sumoinya, yang sekarang menjadi istrinya melalui suhengnya, murid pertama ayahnya, Phang Ji Hok yang saat itu sudah berumur dua puluh lima tahunan dan sudah mewarisi semua ilmu silat partai Thai-San-Pai, di samping ibunya sendiri. Tapi boleh di bilang, Phang Ji Hok lah yang menjadi guru sekaligus suhengnya. Berkat bakat dan ketekunannya yang luar biasa, Master The-Kok-Liang akhirnya menjadi salah satu empat tokoh besar dunia persilatan.
Para hadirin yang hadir berdebar-debar menanti pertandingan puncak ini. Kedua tokoh ini sudah sangat terkenal selama puluhan tahun, mati-hidup dunia persilatan tergantung hasil pertandingan tersebut. Dengan tajam Sin-Kun-Bu-Tek menatap Master The-Kok-Liang yang berjalan dengan tenang menghampirinya. Ketenangan Master The-Kok-Liang sedikit menganggu diri Sin-Kun-Bu-Tek, hanya mereka yang telah mencapai tingkat kesempurnaan ilmu silat yang dapat memiliki ketenangan seperti ini. Sebenarnya peristiwa pertempuran antara ke tujuh partai utama dan pihak Mo-Kauw lima puluh tahun yang lalu, disamping menghancurkan kedua belah pihak tapi juga memiliki segi positif. Keterpurukan masing-masing pihak telah membuat semangat angkatan yang lebih muda untuk mencapai ilmu silat tertinggi, berlipat-lipat. Terbukti dari pihak partai utama, murid-murid ketua terdahulu telah dapat menyamai bahkan melebihi kemasyhuran guru-guru mereka. Ibarat pepatah gelombang belakang sungai tiang-kang mendorong gelombang depan, begitu pula dengan pihak Mo-Kauw, Sin-kun-bu-tek bahkan berhasil mencapai tingkat tertinggi yaitu tingkat ke sembilan dari ilmu Thian-Te-Hoat yang selama ratusan tahun belum pernah ada yang berhasil menguasainya sehingga secara umum ilmu silat mengalami kemajuan dari sebelumnya.
Kedua tokoh puncak ini saling menjura memberi salam sebelum mereka melancarkan gebrakan pertama. Dalam pertarungan kelas atas, masing-masing pihak langsung mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing. Mereka tahu tidak perlu membuang-buang tenaga melancarkan ilmu- ilmu yang dapat dengan mudah dielakkan lawan. Sambil mengelak dari serangan ilmu Thian-Te- Hoat (ilmu langit bumi) tingkat pertama, Master The-Kok-Liang mencabut pedang pusaka dan menjalankan ilmu Thian-San-Kiam-Hoat (ilmu pedang Thian-San) yang termasyhur. Ilmu pedang partai Thai-San-Pai berandeng dengan ilmu pedang Bu-Tong, masing-masing partai memiliki sendiri-sendiri. Bu-Tong-Kiam-Hoat memiliki keunggulan dari segi penyerangan sedangkan Thai- San-Kiam-Hoat sangat kokoh pertahanannya bagaikan gunung Thai-San. Tidak mudah bagi Sin- kun-Bu-Tek untuk menerobos pertahanan Thian-San-Kiam-Hoat yang dimainkan Master The-Kok- Liang yang sudah mencapai kemahiran yang sempurna dan mendarah daging.
Perlahan-lahan Sin-Kun-Bu-Tek mengerahkan ilmu Thian-Te-Hoat setahap demi setahap untuk memperkecil ruang gerak Master The-Kok-Liang. Gerakan Sin-Kun-Bu-Tek terlihat jauh lebih matang dari gerakan Ciang Gu Sik, walaupun ilmu yang dimainkan sama.
Begitu pula dengan hawa panas yang dihasilkan dari tenaga saktinya, dan membuat Master The-Kok-Liang mulai prihatin menghadapinya, terbukti kelincahannya tidak segesit pada puluhan jurus pertama, dimanapun ia bergerak hawa panas tersebut menyelubunginya. Ilmu Thian-Te- Hoat sudah mencapai tingkat ke tujuh dikerahkan oleh Sin-Kun-Bu-Tek namun Master The-Kok- Liang masih dapat bertahan walaupun dahinya mulai mengeluarkan keringat dan punggung bajunya sudah basah terkena keringatnya. Ini diakibatkan efek hawa panas tersebut juga yang membuat para hadirin juga merasakan panasnya udara di sekitarnya bahkan mereka yang kemampuan ilmu silatnya biasa-biasa saja merasa tidak tahan dan menjauhi pertempuran belasan tombak. Diam-diam Sin-Kun-Bu-Tek kagum melihat kegigihan Master The-Kok-Liang, dia mulai menjalankan tingkat ke delapan ilmu Thian-Te-Hoat. Master The-Kok-Liang sendiri diam-diam sudah tidak tahan tehadap hawa panas tersebut, tenaga dalam yang dikerahkannya mengalami kemacetan akibat hawa tersebut, ibarat seekor katak dalam tempurung (panci) tertutup dan dibawah panci terdapat api yang makin lama makin membesar tapi tidak bisa lari kemana-mana, memanaskan keadaan di dalam tempurung tersebut, begitulah kira-kira situasi Master The-Kok- Liang saat itu.
Begitu tingkat ke delapan di jalankan Sin-Kun-Bu-Tek, dari ujung hidung Master The-Kok-Liang keluar darah, pada mulanya kaum sungai telaga tidak memperhatikannya tapi ketika darh tersebut semakin banyak mengucur dari hidung Master The-Kok-Liang, beberapa kaum Bu-Lim menjerit khawatir, demikian juga para ketua partai utama. Mata mereka yang tajam telah dapat melihat sesuatu yang belum dilihat kaum persilatan yang hadir yaitu kedua mata dari master The-Kok- Liang pun turut berubah menjadi kemerahan, kondisinya sekarang ini sangat kritis.
Kita tinggalkan dahulu pertempuran yang telah mencapai tahap kritis ini........................