Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Rapuh -TAMAT

Akhirnya, episode 10 selesai dibaca.
Mohon ijinnya, suhu @wayangkulit buat sedikit ngasih komen.

Saya suka tulisannya. Temponya, cukup. Gak cepet, gak juga lambat. Gaya penulisan, enak dibaca. Plot twist-nya,cukup menarik. Bahkan menurut saya, tulisan ini sangat wajar jika memiliki prequel maupun sequel.
Flashback? So far, masih menarik buat diikutin. Sebagai penggemar Anime, khususnya Naruto, flashback adalah hal yg wajar menurut saya. Apalagi jika ditampilkan dgn apik, seperti tulisan suhu ini.
Semoga tulisannya, kalo ada kentangnya, gak terlalu lama.... Dan nantinya bisa punya titel "Tamat".
Dan, saya mau ngasih 3 jempol buat tulisan suhu @wayangkulit ini.... Mohon maaf gak bisa ngasih 4, takutnya kejengkang.... :ngakak:ngakak

:thumbup:thumbup:thumbup
 
Bagian 11

Seorang pemuda tampak sedang melakukan handstand. Kakinya lurus ke atas, kepalanya menghadap ke bawah, peluhnya bercucuran. Pemuda ini adalah Arief. Beberapa latihan ringan baru saja dia lakukan. Dari push up, sit up, scottjump dan beberapa latihan lain. Dia selalu melakukan latihan ini untuk memperkuat otot lengan dan kakinya. Setelah beberapa menit melakukan handstand, Arief pun menurunkan kakinya. Dia bergegas ke kursi, mengambil handuk, lalu menyeka keringat yang membasahi kulitnya.

Ponselnya berdering, Arief melihat di layar ponselnya sebuah nama Lista Herliana. Dia langsung mengangkat telepon itu.

“Halo, Assalaamualaikum?” sapa Arief.

“Wa alaikumsalam. Om, Arief?” sapa Lista balik.

“Iya, apa kabar kamu?” tanya Arief berbasa-basi.

“Kabar Lista baik, Om,” jawab Lista.

“Ada apa?”

“Anu, Om. Makasih ya kapan hari om mendampingiku wisuda. Aku seneng banget. Foto om aku simpan dan aku pigura. Hehehe.”

Arief terkekeh. “Waduh, buat nakutin tikus?”

“Ih, ya enggaklah, Om. Lista nggak sejahat itu, masa’ buat nakutin tikus.”

“Ya siapa sangka saja.”

“Om itu spesial bagi Lista. Nggak mungkinlah.”

“Ada apa gerangan nih?”

“Ehm…, gini om. Kan Lista sudah lulus. Ibu bapak kepingin Lista cari kerja aja di kota. Om punya kenalan nggak gitu yang bisa ngasih kesempatan Lista buat kerja. Hehehe, siapa tahu aja sih. Kan zaman sekarang enak kalau pakai koneksi alias orang dalam. Hehehe,” kata Lista sambil becanda.

Arief berpikir sejenak. “Kalau Lista mau, boleh kerja di kantorku.”

“Hah? Serius? Emang ada lowongan, Om?”

“Ada kalau diada-adain,” jawab Arief.

“Ih, Om. Nggak lucu becandanya. Lista memang beneran ingin kerja,” jawab Lista.

“Ada sih. Aku memang sedang butuh bantuan buat ngurusi administrasi. Kau tahu sendiri mendirikan start up itu tidak mudah. Sebenarnya selama ini administrasi aku semua yang urus. Kalau kamu membantuku, maka pekerjaanku akan lebih ringan,” kata Arief.

“Om beneran?”

“Iyalah. Besok datang aja ke kantor. Aku tunggu ya,” ucapku.

“Makasih loh, Om. I love you full, Om,” ucap Lista dengan gembira. Setelah itu telepon ditutup.

Arief nyengir saja. Lista anak yang baik, juga cantik. Secara seksual Arief tertarik kepadanya. Siapapun juga tertarik kepada Lista dan tidak mungkin tidak.

Hari sudah beranjak siang dan Arief tak ingin berlama-lama di rumah. Ada orang yang harus dia temui hari ini.

* * *​

Mobilnya masuk ke kampung yang cukup sepi, jauh dari perkotaan. Jalanan yang tidak beraspal dan ditambah dengan rumah-rumah yang tidak terlalu renggang. Di tengah jalan masih terlihat para petani menggelar gabah di atas terpal untuk dijemur. Terlihat juga ayam-ayam berkeliaran bebas mencari makan. Arief mengamati jalanan di kampung yang sepi ini, tempat tinggal Leli, lebih tepatnya rumah orang tuanya.

Mobil masuk ke sebuah halaman yang cukup luas, setelah itu berhenti. Arief pun keluar dari mobilnya. Dia mengamati sekeliling tempat itu. Hawanya cukup sejuk, mirip seperti kampung halamannya Azizah. Dari pintu rumah muncul seseorang yang sudah dikenalnya.

“Assalaamualaikum,” sapa Arief.

“Wa’alaikumsalam,” balas Leli, “silakan masuk!”

Arief berjalan menuju ke dalam rumah. Tidak ada siapa-siapa selain Leli dan anaknya.

“Bapak sama ibu sedang ada di pasar. Kalau jam segini belum pulang,” kata Leli seolah-olah tahu apa yang ada di pikiran Arief.

“Terima kasih, mbak sudah mengikuti saran saya,” kata Arief.

“Silakan duduk!” ucap Leli mempersilakan Arief untuk duduk.

“Mau minum apa?” tanya Leli.

Arief menggeleng, “Tak usah repot-repot.”

“Cuma air saja,” kata Leli sambil meninggalkan Arief sendirian sejenak ke dapur. Di dapur dia langsung menyeduh teh celup hangat. Setelah itu kembali lagi ke ruang tamu membawa segelas teh tanpa gula.

“Azizah sudah melakukan aksinya,” kata Leli, “aku tak habis pikir bagaimana bisa suamiku berhubungan dengan wanita yang belum sah menjadi istrinya. Pas aku pamit, dia bengong saja di depan pintu kamar Azizah, tidak merasa bersalah atau apa.”

“Sebagaimana dia juga tidak merasa bersalah menggauli istriku saat istriku sedang aku telepon,” kata Arief.

“Benarkah?” Leli terkejut.

“Iya, dan itu sebelum kami bercerai. Aku bukan orang bodoh yang bisa ditipu,” kata Arief.

“Lalu, rencana Mas Arief setelah ini apa?”

“Sesuai yang dulu kita bicarakan. Mbak di sini saja sementara waktu. Biarkan aku yang bekerja untuk menghancurkan hidupnya,” kata Arief.

Leli menghela napas. “Jujur, saya sebenarnya nggak tega. Tapi saya sakit hati. Dan sepertinya mas juga. Hanya saja, cara mas balas dendam tidak biasa. Padahal, masnya terlihat seperti orang baik-baik.”

Arief tersenyum. Dia tahu persis apa yang ada pada dirinya, tidak seperti yang disangka oleh Leli. “Mbak terlalu memuji, saya bukan orang baik-baik.”

“Jujur, kalau saya jadi mas. Pasti mas juga marah dengan kelakuan istri. Saya bisa mengerti itu. Itu manusiawi,” ucap Leli.

Manusiawi? Apakah Arief manusiawi? Sampai sekarang dia terus bertanya-tanya tentang makna manusiawi? Sebab yang dia lihat dari kebanyakan manusia adalah berbuat jahat, hipokrit dan berkhianat. Kalau balas dendam adalah salah satu bentuk manusiawi, maka apakah dia sudah jadi manusia yang sesungguhnya?

Arief menyeruput minuman yang disajikan. Memang cukup segar minuman itu. “Mbak sudah bertemu dengan Jannah?”

Leli mengangguk. “Setelah suamiku memintaku menyetujui poligami itu, aku menemuinya.”

“Apa yang kalian bicarakan?”

Beberapa waktu lalu Leli menjumpai Jannah. Bukan sesuatu yang mudah baginya. Masih teringat waktu itu setelah ashar. Keduanya bertemu di sebuah masjid di dalam bilik perempuan. Tak susah untuk mengenali Jannah. Sebab, Leli sangat ingat betul bagaimana wajah Jannah.

“Jannah,” sapa Leli datar.

“Assalaamu’alaikum, mbak,” sapa Jannah.

“Wa’alaikumsalam,” jawab Leli.

Jannah lalu duduk di depan Leli. Suasana masjid saat itu sedang sepi. Sebab, masih waktu Dhuha dan tidak banyak orang yang masuk ke masjid pada saat jam segitu. Leli memakai baju warna hijau pudar dengan kerudung warna putih lebar menutupi kepala sampai pinggangnya. Matanya menatap Jannah dengan tatapan menusuk, sebagaimana orang lain akan marah jika mendapati kalau orang yang ada di hadapannya adalah perusak rumah tangganya.

Leli menampakkan mimik wajah yang tenang. Namun, dadanya bergemuruh hebat. “Kamu katanya sudah janda cerai?”

Jannah mengangguk, “Iya, mbak.”

“Siapa suamimu sebelumnya?”

Jannah menarik napas dalam-dalam, “Namanya Arief. Dia sekarang sedang membuka usaha sendiri.”

“Kamu meninggalkannya dan lebih memilih suamiku? Kamu tahu suamiku masih punya aku?”

Jannah terdiam. Dia juga bingung ingin menjelaskannya.

“Kamu sudah berapa lama berhubungan dengan suamiku?” tanya Leli.

“Sudah lama. Kami dulu berpacaran,” jawab Jannah, “tapi dia tidak menepati janjinya, pergi tanpa sebab, tanpa kabar. Apa yang ingin Mas Thalib lakukan adalah untuk menepati janjinya, itu saja, kak. Aku tahu, kakak tidak akan sudi mengizinkan, atau akan marah kepadaku, tapi aku lebih baik hidup bersama Mas Thalib daripada bersama mantan suamiku.”

“Kenapa? Apa suamimu tidak mencintaimu lagi?”

Jannah menggeleng. “Sebaliknya, dia sangat mencintaiku.”

“Kau tahu ada orang yang sangat mencintaimu lebih memilih mengkhianatinya? Kau sudah gila!” ucap Leli yang mau tidak mau tidak bisa membendung amarahnya.

“Aku akan lakukan apapun untuk lepas dari suamiku.”

“Apa yang sebenarnya terjadi dengan suamimu?” tanya Leli.

“Mbak nggak akan percaya dengan apa yang aku akan ceritakan, tetapi aku lebih baik menyimpannya. Semua juga demi kebaikan mbak sendiri.”

Leli tersenyum sinis. “Bilang saja kalau kau emang pelacur.”

“Aku akan terima semua tuduhan mbak. Saat ini yang ingin aku selamatkan hanyalah diriku sendiri. Meskipun itu mendapatkan hinaan dari mbak,” ucap Jannah. Matanya tampak berair. “Mbak nggak bakal paham memiliki seorang suami seorang psikopat, mbak juga nggak bakalan paham telah melahirkan seorang anak yang sifatnya sama seperti bapaknya. Ya, darah psikopat itu menurun ke anakku.”

Leli menceritakan kepada Arief apa saja yang dibicarakan oleh Jannah. Tapi perempuan itu tak menceritakan ketakutan yang diutarakan oleh Jannah. Leli memperhatikan Arief dengan seksama. Benarkah lelaki ini seorang psikopat?

Untuk beberapa saat Leli memperhatikan mimik wajah Arief. Seorang psikopat biasanya tak bisa tersenyum atau wajahnya datar, tapi tidak dengan Arief. Dia bisa tersenyum. Bahkan, sesekali tertawa ketika membahas hal yang lucu. Apa yang diceritakan oleh Jannah nyaris tidak bisa dipercaya. Namun, apa yang Arief utarakan di rencananya sangatlah masuk akal jika ada ciri-ciri psikopat dalam diri Arief.

“Apa rencana Mas Arief setelah ini?” tanya Leli setelah menceritakan pertemuannya dengan Jannah.

“Masih seperti semula, melakukan rencana yang sudah disusun,” jawab Arief, “kenapa?”

“Aku ingin tanya kepada Mas Arief,” kata Leli.

“Iya, tanya aja.”

“Kalau misalnya nanti semua rencana Mas berhasil, apa yang akan Mas lakukan selanjutnya?”

Arief menyandarkan punggungnya di kursi. Dia seperti berpikir keras. Setelah beberapa detik dia menegakkan punggungnya lagi. Aku akan menjalani kehidupan seperti biasa. Berusaha menjalani kehidupan, sebagaimana salah satu guruku mengajariku.”

Leli mengernyit. “Menghargai kehidupan?”

Pemuda itu mengangguk. “Aku selama ini tidak tahu bagaimana cara menghargai kehidupan. Guruku mengajariku cara menghargai kehidupan, lalu aku berkenalan dengan Jannah. Sejak membina rumah tangga aku jadi paham cara menghargai kehidupan. Sayangnya… aku heran, apakah dengan menjadi pengkhianat tetap disebut orang itu menghargai kehidupan atau tidak?”

Leli menelan ludah. Menyadari Leli kebingungan Arief pun tersenyum. “Mbak nggak usah mikir yang aneh-aneh. Yang aku tahu, Jannah mengkhianatiku dan meninggalkan anaknya. Anak yang seharusnya mendapatkan perhatian seorang ibu, malah ditinggalkan. Membiarkanku hidup menjadi orang tua sendirian di saat kewajibannya sebagai seorang ibu dia tinggalkan dan lebih memilih lelaki lain selain suaminya.”

“Khalil masih kecil, tapi dia harus kehilangan seorang ibu yang seharusnya anak itu mendapatkan kasih sayang,” lanjut Arief.

Di dalam benak Leli bertanya-tanya, Orang seperti ini disebut psikopat? Dia sangat sayang kepada anaknya. Bahkan, sampai perhatian seperti itu. Rasanya Leli tidak percaya kalau Arief seorang psikopat.

“Aku nggak punya banyak teman, Mbak. Tidak setiap orang suka dengan orang seperti aku, introvert, punya pemikiran unik bahkan untuk bisa dekat dengan seseorang aku harus menyamakan frekuensiku dengannya. Kesalahanku adalah aku terlalu bucin kepada Jannah. Sehingga, aku bukan lagi diriku kala itu. Aku tidak percaya diri kepada diriku sendiri, menyalahkan diriku sendiri atas segala kekurangan yang ada pada diriku. Aku tetap berperasangka baik hingga hal itu menghancurkanku sedikit demi sedikit. Puncaknya adalah sampai aku mengetahui aku dikhianati. Sakit sekali rasanya,” kata Arief.

Leli menghela napas. Ada perasaan simpati pada diri Leli. Arief hanya menunduk saat menceritakannya. Berusaha menyembunyikan kesedihan. Sangat tidak masuk akal kalau lelaki ini punya sifat psikopat. Dia punya emosi, seorang psikopat sama sekali tak punya emosi. Leli pun tersenyum, dia percaya dengan perasaannya.

“Aku bisa jadi temanmu, Mas,” ucap Leli.

“Terima kasih, mbak. Yakin mbak temenan ama aku? Aku orangnya jarang bicara,” kata Arief.

“Yah, setidaknya kalau mas ingin berbagi bisa ke aku, aku pun mungkin akan lebih percaya kepada mas,” kata Leli.

Arief menatap arlojinya. “Saya kayaknya harus pergi, Mbak. Harus ngurus berkas di kantor.”

“Oh, begitu. Baiklah,” kata Leli.

Arief kemudian beranjak dari tempat duduk, mereka bersamaan berdiri dan tiba-tiba kedua dahi mereka berbenturan. Dikarenakan tempat duduk mereka berhadapan dan meja tamunya kecil sehingga saat keduanya berdiri kedua mereka maju ke depan lalu berbenturan.

“Aduh!” jerit Leli sambil memegangi jidat. Arief juga mengaduh sambil memegangi jidatnya. Kedunya lalu tertawa.

“Baiklah, semoga nggak benjol,” ucap Arief.

Arief keluar dari rumah, untuk sesaat dia menghadap ke Leli dulu. Dia mengusap pipi Leli, entah kenapa Leli tak melarangnya. Dia seperti tersihir oleh Arief, padahal dia bukan mahramnya, tak seharusnya dia membiarkan pria yang bukan suaminya menyentuhnya, tetapi itu terjadi. Tangan Arief ditempelkan di pipi Leli, untuk beberapa detik Leli memejamkan matanya.

“Mbak akan baik-baik saja, mbak akan bahagia, setelah ini, seterusnya,” ucap Arief, “terima kasih mbak sudah bertahan sampai saat ini.”

Kata-kata yang menyentuh. Leli hanya mengangguk. Sebenarnya bisa saja saat itu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka sedang sendirian ditemani anaknya Leli, Arief bisa saja mencium Leli, toh dia sudah tak ingin bersama suaminya lagi. Arief bisa saja menggunakan kesempatan itu, tapi tidak dia lakukan. Arief pun pergi meninggalkan Leli, menarik tangannya yang hangat dari wajah Leli, meninggalkan kesan yang tidak akan pernah dilupakan oleh ibu satu anak ini.

Perempuan itu hanya melihat Arief pergi menjauh dan hilang dari pandangan. Jantung Leli berdegup kencang. Ini baru pertama kali dia mengalaminya.

“Kenapa aku tadi membiarkan dia menyentuhku?” gumam Leli, “tidak, ini tidak mungkin. Apa yang aku lakukan?”

Hari-hari berikutnya yang ada di pikiran Leli adalah Arief, Arief dan Arief. Kejadian yang dia alami selama ini membuatnya sadar, kalau lelaki itu memang benar-benar ingin menolongnya. Leli sudah tidak peduli lagi dengan suaminya, bahkan mengajukan khulu’ kepada sang suami lewat pengadilan agama. Alasannya, tentu saja orang ketiga.

Tentu saja Thalib yang menerima surat dari Pengadilan Agama merasa terkejut. Bukankah dulu Leli menerima dipoligami, tentu saja surat gugatan cerai dari Pengadilan Agama yang dia terima sangatlah tidak wajar. Namun, ketika dia menyadari peristiwa di hari Leli pergi dari rumah, Thalib mulai mengerti. Leli mengetahui apa yang dia lakukan dengan Azizah. Tak seharusnya seorang ustadz berzina dengan perempuan yang belum menjadi istrinya.

* * *​

Bisnis pelacuran yang dilakukan oleh Wina dan keluarganya sebenarnya sudah terkenal di dunia perlendiran. Namun, bisnis ini tidak tercium, lantaran ditutupi dengan selimut agama. Para perempuan yang baru masuk selalu diperkenalkan oleh Wina di pengajian kepada Thalib. Kadang Thalib melakukan “test-drive” kepada perempuan itu terkadang tidak. Terkadang juga suka-suka Wina ingin melakukan apa kepadanya.

Beberapa botol anggur merah berserakan di atas meja. Hari belum siang, tetapi perempuan ini telah menghabiskan dua botol. Hari itu dia hanya memakai gaun tipis menutupi tubuh seksinya sambil melihat siaran tv kabel yang menampilkan film-film box office. Wina mengambil ponselnya lalu menelpon Thalib.

Ada satu aturan yang telah menjadi kesepakatan antara Wina dan Thalib. Kapan pun Wina menelpon Thalib harus mengangkatnya, tak peduli Thalib sedang berak, ngentot atau pun sedang mengisi pengajian. Dia sama sekali tak peduli.

Tak lama Thalib langsung mengangkatnya, “Ya, Halo?”

“Barang barunya gimana?” tanya Wina.

“Kata klien cukup memuaskan,” jawab Thalib.

“Bagus, besok jemput gih barang baru lagi. Namanya Febi, anaknya masih mahasiswa. Barang mahal itu masih segel pula,” kata Wina.

“Oke,” jawab Thalib.

“Nggak mau test-drive? Daripada kau ngentotin bekas bini orang tiap hari,” kata Wina.

“Setidaknya itu lebih baik daripada aku harus ngentotin kamu,” kata Thalib.

Wina tertawa. “Bangsat, mulut itu dijaga. Kau tahu sendiri akibatnya kalau aku sampai bad mood. Bisa aku habisi keluargamu sekarang!”

Thalib tak menjawab. Terdengar napasnya mendesah.

“Kudengar istrimu menggugat cerai. Gimana? Mau diperjuangkan atau tidak?”

“Dapat kabar darimana?”

“Nggak usah tanya. Aku punya banyak telinga, bahkan aku juga tahu kau sekarang sedang menyimpan seorang perempuan di rumahmu. Dasar, ustadz tapi kontolnya nggak bisa dijaga.”

“Jaga bicaramu, Win. Aku bersumpah suatu saat nanti aku akan menghabisimu,” kata Thalib.

Wina makin tertawa kencang. “Kau berani melakukannya? Masih ingat ancaman ayahku? Ingat ustadz, nyawamu dan keluargamu ada di tangan ayahku. Aku sendiri nothing to loose. Aku sudah mendapatkan apa yang aku mau, yang perlu dipikirkan itu adalah kau!”

“Sampai kapan kau terus memperlakukanku seperti ini, Win? Huh? Sampai kapan?”

“Tenang, sesuai dengan perjanjian kita. Sampai kau berikan pria yang layak untuk jadi partner seksku. Selama ini kau cukup memuaskanku lho, sampai-sampai kau sendiri bilang ketagihan memekku,” ujar Wina.

Thalib menelan ludah. Memang tak bisa dipungkiri ada perasaan aneh saat dia bercinta dengan Wina. Wina sangat jago mempermainkan birahinya, walaupun sebenarnya dia tak mau, tapi entah kenapa setiap bercinta dengan Wina, dia selalu kesetanan. Padahal dia tidak diberi obat atau apapun. Wina memang perempuan yang ajaib, tubuhnya seksi seperti model, wajahnya juga cantik, tapi kelakuannya seperti iblis. Dan memang benar, Wina sangat menjaga tubuh seksinya itu. Sudah beberapa kali Thalib menawarinya partner seks, tetapi tidak ada yang bisa memuaskan.

“Besok, jemput barang baru, antarkan ke Tuan Fajrul. Kau mau test-drive silakan, tapi sebaiknya kau simpan itu tenagamu buat ngurusi rumah tanggamu yang kacau itu. Hahahaha.” Wina menutup teleponnya begitu saja. Wina menghela napas, lalu tiduran di sofa.

Sementara itu di luar rumah, agak jauh beberapa puluh meter dari rumahnya, Arief sedang mendengarkan percakapan mereka dari headset. Bagaimana Arief bisa mendengarkan pembicaraan mereka?

Sebenarnya Arief sudah memasang penyadap di ponsel Thalib dengan bantuan Leli. Setelah pertemuan dengan Leli pertama kali, Arief meminta tolong Leli untuk menginstal sebuah aplikasi tersembunyi di ponsel Thalib, sehingga kapanpun Thalib menelpon, Arief juga bisa mendengarkan percakapan mereka.

Arief mengamati jalanan. Setelah dirasa sepi dia pun keluar dari mobilnya menuju ke kediaman Wina. Dia berjalan santai seperti tak punya beban. Keberuntungan dia adalah rumah ini cukup jauh dari rumah-rumah lainnya, sehingga Arief tak kesulitan untuk bisa masuk begitu saja ke halaman rumah. Arief lalu memasang penutup muka agar dia tak dikenali. Penutup muka tersebut menyisakan lubang di kedua mata dan mulutnya.

Pintu dibuka perlahan. Kadar alkohol sudah mempengaruhi kesadaran perempuan itu sehingga Arief cukup leluasa untuk masuk ke dalam rumah, setelah itu pintunya dikunci. Arief memastikan dia tidak melihat satu pun kamer CCTV di rumah tersebut atau jalanan yang menuju rumah ini.

Lelaki ini berjalan santai mengitari sofa tempat Wina berbaring. Dia memperhatikan perempuan yang sedang teler tersebut. Kemudian, dia beranjak ke dapur untuk mencari-cari sesuatu, hingga ia menemukan tali rafia. Tak lama, Arief kembali lagi. Perlahan-lahan dia mengambil kedua tangan Wina lalu dia ikat dengan simpul yang tak mudah untuk dibuka. Setelah itu Arief menepuk-nepuk pipi Wina.

Perempuan itu mengerjap-ngerjapkan mata. “Siapa?” tanya Wina, “eh, anjing. Kau apakan tanganku?”

Arief memberi isyarat agar Wina diam.

“LEPASIN ANJING!” bentak Wina.

“Nona, katanya butuh partner seks?” tanya Arief.

“Darimana kau tahu?”

“Saya juga butuh partner seks, tetapi seks yang saya lakukan sedikit brutal. Nggak keberatan?”

Wina tertawa. “Brutal? Brutal bagaimana? Siapa kau ini? Suruhan Thalib?”

Arief mengangkat bahunya. “Yah, terserah sih kalau nggak mau, aku akan tinggalkan kamu dalam keadaan seperti ini. Biar teriak juga nggak akan ada yang kemari.”

“Eh, brengsek. Nantangin… emang sekuat apa kau?”

“Nona, di sini aku yang berkuasa. Jadi, kau ingin dipuaskan, maka harus ikuti aturanku. Setuju?”

“Brengsek, aku nggak percaya kepadamu. Kau pasti suruhan Thalib. Biar aku bantai keluarganya karena memperlakukanku seperti ini.”

“Oh, no no no no. Aku bukan suruhannya, tapi aku tahu keinginanmu. Trust me, aku bukan suruhan Thalib. Lagipula, Thalib juga nggak bakalan kenal aku,” kata Arief.

Tangan Arief mulai mengelus-elus tubuh Wina. Ada getaran aneh di dalam dada Wina. Sentuhan Arief ini bukan sentuhan biasa. Setiap sentuhan yang dilakukan Arief seperti mengantarkan getaran-getaran listrik yang entah bagaimana membuat Wina gelisah. Tangan Arief mulai mengelus perut, kemudian naik ke buah dada Wina, lalu naik ke ketiak Wina yang sangat terawat, lalu ke lengannya. Wina memejamkan mata menikmati sentuhan itu.

Kembali elusan-elusan itu berlanjut, kini mulai ke wajah Wina, bibirnya, lalu Arief memasukkan jari telunjuk ke mulut Wina. Perempuan itu mengisapnya seperti mengisap permen, tapi buru-buru Arief menariknya, masih dengan sentuhan-setuhan bergairah, gerakannya makin ke bawah, hingga sebuah sentuhan membuat mata Wina terbuka. Jari Arief sudah ada di selakangannya, menyentuh garis vaginanya.

“Bangsat, elusanmu enak juga,” ucap Wina, “kau mau apa? Ngentotin aku? Coba aja, kalau kau bisa menaklukkan aku, maka aku nggak butuh Thalib lagi. Kau bisa jadi partnerku.”

“Non, jangan salah. Di sini aku yang memegang kendali. Ingat?”

Wina meringis saat vaginanya digesek-gesek oleh jemari Arief. “Kau mau apa eehhmmm….oohhh!”

“Aku mau kau tunduk kepadaku, melakukan apapun yang aku mau,” ucap Arief.

Mata Wina melotot. “Berani sekali kau mengatakan itu. Kau tak tahu siapa aku, hah?”

“Justru karena aku tahu siapa kau, maka aku melakukan ini,” kata Arief masih menggoda Wina dengan sentuhan-sentuhannya. Kali ini klitoris Wina digesek-gesek. Dasar perempuan jalang yang tidak pernah pakai daleman di rumah, Arief bisa dengan leluasa mengobok-obok memek Wina.

“Ahh…. Jyancuk enak banget. Kau apain itu memekku? Ahhh… sssttt….ehhmm….” tanya Wina dia tak bisa duduk untuk melihat, karena tangannya terikat ke atas.

Kedua tangan Arief kini bekerja, satu menggelitik pentil, satunya menggelitik klitoris perempuan itu. Wina menggeliat tak berdaya. Baju transparannya merupakan salah satu hal yang membuat Wina tak berkutik, sebab Arief bisa tahu letak putingnya yang mencuat.

“Siapapun kau….tolong …. Enak banget…. Cuuukkkk…. Enak bangeeett….ahhh….. brengsek, aku keluar….aahhh…. ngentoooott!!” jerit Wina diiringi semburan-semburan kecil di vaginanya, tetapi tangan Arief terus mengobok-oboknya.

“Sudah… sudah jangan diterusin… ngilu… ohhhkkk! Ngentot cuuuukkk!!” pinta Wina.

Arief berhenti. Dia perlihatkan jemari tangannya yang mengobok-obok vagina perempuan itu, basah dan becek. Wina merapatkan selakangannya dengan pinggul berkedut-kedut. Butuh beberapa detik untuk dia bisa tersadar dari orgasme hebat tadi.

“Siapa namamu? Siapa?” tanya Wina dengan napas terengah-engah karena orgasmenya.

“Panggil saja aku Mr. Black,” jawab Arief.

“Ah, brengsek. Nama alias. Okelah, Mister Blek. Sentuhanmu bisa bikin aku terangsang. Siapapun kau ini, entot aku sekarang!” pinta Wina.

“Oke, aku akan ngentotin kamu, tapi dengan satu syarat. Kau akan melakukan apapun yang aku inginkan,” kata Arief.

“Terserah, ayo! Kau mau hamili aku, keluar di dalem terus, mau aku jadi anjing terserah, yang penting puasin aku!” pinta Wina.

“Deal ya? Aku tidak mau sampai kau melanggar janji,” ucap Arief sambil tersenyum kepada Wina.

“Iya, aku janji. Deal.”

Dengan senyum kemenangan Arief lalu berdiri. Dia melepaskan bajunya satu per satu. Wina terbelalak menyaksikan kontol Arief yang sudah tegang. Wina ingin sekali melahap kontol itu dan mengemutnya. Arief lalu merobek baju Wina sampai tubuhnya pun terekspos. Dia menarik tangan Wina yang terikat agar duduk di sofa. Setelah itu dia hadapkan kepala kontolnya bersentuhan dengan bibir perempuan itu.

Wina medongak menatap Arief dengan mata penuh nafsu.

“Aku tak perlu mengajarimu kan apa yang harus kau lakukan?” tanya Arief.

Perempuan itu membuka mulutnya, lalu perlahan-lahan memasukkan batang kontol Arief ke dalam mulutnya. Ia sesapi batang kontol itu. Entah kenapa Wina bahagia bisa melahap kontol itu. Dia akan mencoba memuaskan Arief atau paling tidak mengalahkannya. Agar dia tidak jadi budak lelaki ini.

Apakah bisa?

===================== To bi konti CROOOT! =====================

NB: bagaimana nasib Wina selanjutnya. KO -kah dia dihajar Arief?
:pandaketawa::pandaketawa:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd