Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG RIMBA ASMARA

Thema apakah yang paling anda gandrungi dalam Sub Forum Cerita Bersambung ini?

  • Hubungan sedarah atau incest, dengan mama atau saudara kandung

    Votes: 316 17,6%
  • Hubungan setengah baya atau MILF, antara yang muda dengan yang tua

    Votes: 239 13,3%
  • Hubungan sex Cukold, eksib, voyeur, mengintip dan di tempat umum

    Votes: 132 7,3%
  • Hubungan sex di kalangan remaja atau SMU/pesantren/sederajat

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex di kos-kosan mahasiswa/mahasiswi

    Votes: 85 4,7%
  • Hubungan sex Perkosaan

    Votes: 46 2,6%
  • Hubungan Sex affair di kalangan bisnis atau antar pegawai kantoran

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex dengan Bini Orang

    Votes: 159 8,9%
  • Hubungan sex dengan Laki Orang

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex di kalangan selebriti Indonesia

    Votes: 80 4,5%
  • Hubungan sex di pedesaan/ di perkampungan

    Votes: 88 4,9%
  • Hubungan sex dengan wanita berhijap/kerudung

    Votes: 332 18,5%
  • Hubungan sex romantis

    Votes: 62 3,5%
  • Scandal sex para politisi atau pejabat

    Votes: 19 1,1%
  • Hubungan sex lesbian/gay

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex lainnya

    Votes: 8 0,4%

  • Total voters
    1.796
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Aku meninggalkan kedai kopi "santai" itu di bawah tatapan mata Neneng yang redup. Secara diam-diam dalam hatiku, ada juga hasratku tumbuh untuk menikmati tubuh Neneng yang sintal dan menggemaskan. Berpikir ke arah itu, kontolku jadi tiba-tiba ngaceng. Walah! Bahaya. Aku harus meredam pikiran yang aneh-aneh dalam kepalaku.

Setelah melewati alun-alun, aku agak bingung menentukan arah yang menuju ke rumah kontrakanku. Tadi, ketika pertama kali tiba di Cicalengka ini, Hendra mengantarku sampai rumah kontrakan. Setelah istirahat sejenak, aku kemudian pergi berjalan-jalan ke alun-alun dari arah yang berlawanan.

Mau nelpon Hendra, aku sudah terlanjur mengizinkan dia pulang ke rumahnya yang terletak sekitar 5 km dari alun-alun.

Ya, sudah. Akhirnya aku meneruskan langkah walau dengan rasa ragu.

Aku terus melangkah dan melangkah. Namun aku semakin bingung dan aku seakan berjalan berputar-putar. Aneh sekali. Aku berkeringat dingin dan merasa benar-benar tersesat.

Oalah! Apa yang sedang terjadi? Aku balik melangkah lagi ke arah alun-alun untuk berpikir secara cermat dan juga untuk menentukan arah, ke mana langkah harus kutuju. Aku menarik nafas dalam-dalam. Memejamkan mata sebentar.

Jika aku terus begini, aku akan menelpon Pak Hendra.

"Eh, bapak lagi ngapain? Koq ngelamun di pinggir jalan?" Sebuah suara yang lembut dan merdu menyapaku. Di tengah gemuruh kebingungan dan kegalauan hatiku yang aneh, suara itu seakan air sejuk yang demikian segar menyirami tubuhku. Aku berpaling ke arah suara itu. Seorang ibu muda sambil menggendong seorang anak sedang tersenyum ke arahku.
"Eehh, Ibu Neneng. Saya lagi menghirup udara segar." Kataku berbohong.
"Tuh kan bohong lagi." Kata Neneng. "Kenapa sih kaum lelaki kerjaannya bohong melulu? Ngaku aja Pak, lagi nungguin seseorang ya? Hayo, ngaku." Katanya.

Aku tertawa.
"Koq tahu sih."
"Ya, tahu dong. Neneng kan pengalaman menilai laki-laki."
"Ah, masa?"

Neneng tersenyum. Sepasang matanya bersinar.
"Pasti lagi nungguin selingkuhannya ya?" Katanya. "Kalau boleh tahu, dia orang mana namanya siapa?"

Aku tertawa lagi.
"Namanya Neneng tapi enggak tahu orang mana."
"Koq namanya sama." Katanya. Bola matanya mengerling.
"Iya. Orangnya sekarang lagi nggendong anak."
"Yee, itu kan aku." Katanya. Dia cemberut. Tapi cemberutnya manja.
"Ibu Neneng mau ke mana?"
"Panggil Neneng aja atuh Aa." Katanya. "Mau pulang."
"Rumahnya di mana?"
"Itu di situ, di belakang Semprot Mart. Dekat Pos Kamling."
"Dekat Pos Kamling?"
"Iya Aa."

Aku mengingat-ingat. Ah, rumah kontrakanku juga dekat Pos Kamling.
"Di dekat pos kamling ada rumah bercat krem yang pagarnya berwarna hijau kan?" Aku tiba-tiba merasa gembira.
"Iya ada. Itu rumah Abah yang dikontrakan ke orang."
"Neneng tahu siapa orang yang mengontraknya?"
"Katanya sih orang Jakarta."
"Saya orang Jakarta loh, ingat kan?"
"Tapi aa, yang ngontrak rumah itu katanya satpam. Anehnya, dia tinggal di kampung Cigasong. Buat apa dia ngontrak mahal-mahal kalau dia punya rumah sendiri." Kata Neneng.

Aku tertawa.
"Yuk, kita pulang." Kataku. Wajah Neneng menjadi merah.
"Apa maksudnya A? Koq ngajak-ngajak pulang segala?"
"Maksud saya, yuk kita pulang sama-sama. Toh rumah kita berdekatan."
"Memangnya rumah Aa di mana?"
"Ya di rumah kontrakan itu."

Neneng tertawa manja.
"Beneran Aa tinggalnya di situ?"
"Iya bener."
"Aa namanya siapa?"
"Saya Kasman." Kataku. "Yuk, kita jalan."

Setelah berjalan beberapa saat bersama Neneng, aku merasa aneh dengan mataku. Aku tidak lagi bingung dan kini bisa mengenali jalan dari mana tadi aku berawal.
"Hm. Apa kamu pikir kamu akan mudah menjalani jabatan ini, Marsudi Kasman? Fuih. Tetap waspada, raga, hati dan jiwa." Kataku kepada diriku sendiri.

***

Kami melangkah bersama hingga berpisah di depan rumah kontrakan. Neneng masuk ke dalam gang dan aku membuka pintu pagar. Mak Onah, saudaranya Pak Hendra yang dipercaya menjadi pembantu rumah tangga, tampak khawatir ketika aku masuk ke dalam rumah.
"Kemana aja atuh Cecep teh, emak jadi hariwang (khawatir)." Katanya. Sejak awal datang, Mak Onah membahasakan aku sebagai Cecep. Ini sama artinya dengan panggilan Ngger yang sering digunakan oleh Bapakku.
"Jalan-jalan dulu, Mak, sebentar."
"Jalan-jalan ke mana? Kan Ceep belum tahu jalan atuh."
"Ke depan, Mak. Ke alun-alun."
"Emak sudah bikin nasi tutug oncom. Makan dulu ya?"
"Iya, Mak."

Setelah makan dan mandi, aku duduk di ruang kerja. Menyusun garis besar rencana-rencana yang bisa, boleh dan harus aku lakukan.

Pertama, masukan dari Neneng yang sangat berarti bagiku adalah persepsinya terhadap pegawai bank yang sombong. Aku harus membuat semacam survey kecil-kecilan, apakah benar sebagian persepsi masyarakat Cicalengka menganggap bahwa pegawai Bank di mana aku bekerja dan mengabdikan diri, adalah sombong.

Jika benar, maka aku harus membuat program agar persepsi itu bisa berubah. Sesuai dengan visi perusahaan: Mengabdi dan Melayani dengan hati. Caranya? Itu nanti, temukan orang teknis yang ahli.

Kedua, penentuan prioritas acara-acara seremonial dan undangan-undangan instansi pemerintah atau swasta.

Ketiga, pendaftaran ke UNPAD sebagai mahasiswa barus S2. Tentukan jurusan yang tepat. Sekarang belum terpikir. Tapi harus secepatnya.

Keempat, melapor ke Kacab Utama Provinsi, menyerahkan berbagai berkas kepegawaian dan lain-lain. Diantar Hendra.

Sesore suntuk itu hingga malam jatuh, aku berkutat dengan pikiran-pikiran dan gagasan-gagasanku. Aku tak bisa dihentikan jika tidak ada ketukan tamu di pintu. Mak Onah cepat-cepat membukakan pintu dan mencari tahu siapa tamu yang tak diundang itu.

Ternyata seorang lelaki tua yang mengaku bernama Suta. Dia memaksa Mak Onah untuk bertemu langsung denganku.
"Baiklah." Kataku. Aku bangkit dari kursi kerja dan menemui orang yang bernama Suta itu di ruang tamu. Kulihat seorang lelaki tua berpakaian adat Sunda berupa baju Pangsi dan ikat kepala, berusia sekitar 60-an, kurus kecil tapi gagah.

Aku mendekatinya dan menyodorkan tangan.
"Saya Marsudi Kasman. Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

Dia tak menjawab jabatan tanganku. Sepasang matanya yang kecil dan agak sipit, menatapku dengan tajam.
"Betul, ujang teh kepala bank yang baru?" Nadanya tegas. Ujang adalah panggilan orangtua kepada anak lelaki yang jauh lebih muda.
"Betul, Pak."
"Hm. Ujang terlalu muda dan rapuh." Katanya lagi. "Ujang tidak sadar saat ini ada banyak panah sedang menuju ke diri ujang."

Aku terdiam.
"Silakan duduk, Pak Suta." Kataku.
"Aku tidak akan duduk." Katanya. "Aku datang ke sini bukan untuk duduk, tapi untuk memberitahumu soal-soal yang penting."
"Baiklah, saya mendengarkan, Pak."
"Kondisi Bankmu sekarang dalam keadaan darurat, karena para penjaga halusnya sudah beberapa lama tidak disaji. Tuyul-tuyul dan babi ngepet sedang bersiap-siap mengeruk dan menyedot uang di brankas. Kamu akan jatuh karena bankmu kebobolan."
"Baik. Apakah Pak Suta bisa mengatasinya?"

Lelaki tua itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.

"Sejak bank ini dibuka akulah orang yang mengawalnya. Tapi kepala-kepala bank terdahulu tidak lagi mempercayai aku."
"Baiklah, saya akan mempercayakan pengawalan halus kepada Pak Suta dan pengawalan pengamanan fisik kepada Pak Hendra." Kataku. "Berapa gaji yang bapak minta?"
"Aku tidak perlu digaji." Katanya. Suaranya sangat berwibawa. "Aku tidak perlu uang."
"Lantas?" Tanyaku. "Apa yang harus aku lakukan?"
"Ujang tidak perlu bingung, serahkan semuanya kepadaku."
"Kan sudah, Pak. Saya percayakan pengawalan halus kepada bapak." Kataku.
"Ujang harus melakukan ritual untuk diri ujang dan untuk bank." Katanya.
"Apa ritualnya, Pak?"

Lelaki tua itu menatapku dengan tatapan setajam silet.
"Untuk diri ujang... mandi air 7 Curug dicampur 7 jenis kuntum bunga... dan karena ujang punya berkah di kemaluan... " Lelaki tua itu terkekeh-kekeh sejenak. "Harus ditambah 7 butir ketumbar hitam. Setelah mandi dengan air campuran 7 curug, 7 kuntum bunga dan 7 ketumbar hitam... ujang harus melakukan ritual senggama dengan 7 perempuan yang berbeda."

Aku melengak.
"Maaf Pak Suta, tapi itu tujuannya buat apa?"

Pak Suta tersenyum sinis.
"Kamu ini anak bodoh." Katanya. "Itu untukmu. Biar kamu lebih berwibawa dan terlindung dari serangan ghaib. Biar kamu menjadi orang sukses."
"Baiklah, Pak. Saya manut saran Pak Suta. Tapi caranya bagaimana? Apakah saya bisa nyuruh orang mencari air 7 Curug, 7 jenis kuntum bunga dan 7 ketumbar hitam?"
"Bisa. Tapi senggama dengan 7 perempuan harus kau lakukan sendiri di tempat khusus."
"Tempat khusus?"
"Ya. Nanti aku akan buatkan."
"Di mana, Pak?"
"Di sini juga bisa." Katanya. "Nah, itu ritual untukmu. Sekarang untuk perlindungan bank, kamu harus melakukan ritual penyembelihan 7 ekor kerbau jantan dan 7 ekor domba jantan berwarna hitam."

Aku mengangguk.

Bagiku sebetulnya tidak ada masalah dengan ritual-ritual itu sejauh semuanya bisa dilakukan tanpa merugikan orang lain. Mungkin semuanya akan berdampak pada biaya yang cukup mahal. Tapi seberapa mahalnya sih? Itu tidak akan melewati angka 250 juta. Bagiku uang segitu tidak besar, walau pun tak mungkin kukatakan kecil. Dan aku bisa menyediakannya dalam waktu satu hari.

"Baiklah, Pak Suta. Aturlah semuanya oleh Pak Suta. Ngomong-ngomong, silakan duduk dahulu, Pak. Dari tadi kita bicara sambil berdiri." Kataku. "Mari kita bicarakan pelaksanaan teknisnya dengan santai."
"Aku tidak mau duduk di kursi. Aku hanya mau duduk di atas tikar pandan."
"Oh, begitu ya. Oke. No problem. Besok aku akan nyuruh orang membeli tikar pandan." Kataku.
"Jang, dengarkan baik-baik. Aku akan permisi. Besok kamu cari seorang pemuda bernama Juber, pekerjaannya tukang ojeg di pengkolan, suruh dia datang ke sini jam segini."
"Juber ya? Saya tahu, Pak. Orangnya kecil-kecil dan agak hitam kan?"
"Ya. Dia adalah muridku. Nah, sekarang aku permisi. Lain kali, jika aku datang lagi ke sini, kamu panggil aku Eyang Suta, paham?"
"Paham, Eyang."
"Bagus."

Eyang Suta melangkah ke luar rumah dan aku mengantarnya sampai di depan pintu. Malam terasa dingin dan penerangan lampu-lampu di jalanan terasa remang, aku melihat Eyang Suta meloncati pagar dan menghilang ditelan kegelapan malam.

***
(bersambung)
 
Bimabet
Mantap ini cerita...ada unsur mistis dan romansa nya. Ashukaa banget dah... Makasih suhu
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd