"Ciaaattt...!" Teriak Perempuan itu mengejutkanku.
Aku mendongak ke arah perempuan itu. Sedikit terkesima. Sepasang kakinya yang cukup indah, hinggap di atas tanah jalan setapak. Dia menatapku dengan tatapan misterius. Kulit tubuhnya coklat terang seperti kulit biji nangka muda dengan kecenderungan putih. Memeknya terlihat lucu dan mungil berbentuk V saat berdiri. Tidak ada bulu-bulu jembut di sekitar pubisnya.
Wajahnya manis.
Lebih manis lagi saat dia tersenyum secara tiba-tiba kepadaku. Tatapannya pun berubah lembut dan simpatik. Rambutnya yang lurus panjang sedada itu berwarna pirang karena kepanasan. Wajahnya khas lokal dari Jawa. Ketika dia tersenyum, dia mengingatkanku pada seorang rekan kerjaku dulu waktu di pusat yang berasal dari Jogja. Namanya Erica. Namun tubuhnya yang cukup montok mengingatkanku pada Bu Dian. Sementara ke dua buah bukit payudaranya yang bundar itu mengingatkanku pada tocilnya Lena.
Putingnya yang coklat sebesar leunca itu menjeplak di atas puncak susunya.
Perempuan itu tiba-tiba tersenyum
dan berubah bersikap simpatik
"Hai." Kataku.
"Hai lagi." Jawabnya. Ah, aksennya terasa benar dia berasal dari Jogja. "Apa kabar, Maaasss?" Katanya.
Aduduuuh, suaranya itu sangat menggemaskan. Dia memanggil aku "mas" lagi, suatu panggilan yang belum pernah aku dengar sejak tinggal di Cicalengka.
"Baik, cah ayu." Kataku. "Kamu sendiri bagaimana kabarnya?"
Dia tertawa. Suara tawanya renyah seperti kerupuk udang. Membuat kedua telingaku menjadi geli-geli enak. Tawanya itu sungguh menggoda sekali.
"Koq ngguyu?" Tanyaku dengan memasang wajah seramah mungkin.
"Anu mas... masnya lucu." Katanya.
"Koq lucu?"
"Iya soalnya masnya pake celana." Katanya.
"Owh, begitu to." Kataku. "Jadi harus dilepas?"
"Ya iya mas. Biar mas itu kelihatan jelas laki-lakinya."
"Okelah kalo begitu." Kataku sambil melepaskan celana pendek sekaligus celana dalamku. Lalu menyimpannya di ransel keranjang bambu.
"Aduh mas, konthole guedhe bener." Katanya, kali ini dengan tawa yang agak ditahan dan sikapnya jadi agak pemalu. "Kayaknya enak ya mas kontol guedhe itu dipake kenthu." Katanya lagi.
"Ya, enak to cah ayu." Kataku.
"Masnya ini tujuannya mau ke mana to?" Tanyanya.
"Aku mau ke curug."
"O, ke curug to. Harus melewati pintu ke 5 dong, mas."
"Iya, tentu saja."
"Tapi pintu ke 5 ndak bisa dilewati siapa saja , Mas. Ndak boleh."
"Ah, masa sih? Harus boleh, dong." Kataku.
"Tadi masnya datang dari pintu 4 atau datang dari arah lain?"
"Dari arah lain, maksudnya?"
"Kalau datang dari arah lain, misalnya dari samping kiri berarti masnya lagi dihukum 1000 purnama untuk tinggal di sini." Katanya menjelaskan.
"Kalau dari arah pintu 4?"
"Berarti masnya adalah seorang pengelana atau seorang petugas dari luar rimba yang sedang mencari keuntungan di sini."
"Owh, begitu ya." Kataku.
"Jadi masnya datang dari arah mana?"
"Dari pintu 4."
"Loh, pintu 4 kan dijaga sama Maria Angel si Mata Biru yang sangat jelek dan jahat. Koq masnya bisa lolos dari situ?"
"Aku... aku... "
"Ayo Mas coba jelaskan... ndak mungkin mas bisa lolos dari situ kalau mas suka bohong dan tidak membayar tiketnya yang suangat muahal."
"Aku... aku... bayarnya pake... owih..." Kataku akhirnya.
Gadis itu tiba-tiba tertawa lagi. Kali ini tawanya dihiasi sikap genit. Sepasang matanya menatapku dengan tatapan menggoda.
"Kalau bayarnya pake owih sih... akkh... dia pasti sudah mas perawani... ya toh?"
Gadis itu tertawa dengan genit dan menggoda
Aku diam tercenung. Lalu mengangguk.
"Pantesan." Katanya.
"Kalau boleh tahu cah ayu namanya siapa?" Tanyaku.
"Nama saya Laura Mendut mas... biasa dipanggil Mendut."
"Oh, namanya sangat indah dan cantik... seperti orangnya." Kataku.
"Ah, masa sih mas?"
"Iya. Masa aku bohong sih." Kataku. "Menduuutt cah ayu... kalau boleh tanya sekali lagi, bagaimana ya caranya supaya aku bisa lewat pintu 5?"
"Ndak bisa, Mas. Ndak ada caranya. Pintu itu sudah ribuan purnama tidak pernah terbuka, jadi engselnya semua sudah karatan. Sudah mati, Mas. Harus menunggu 77777 purnama lagi baru bisa dibuka itu pun apabila pintunya rusak."
"Kan bisa diolesi pelumas toh cah ayu biar karatnya hilang."
"Adduuuh masss... pelumasnya harus yang berwarna putih susu... susssaaaah keluarnya, maaaasss..."
"Maksudnya, susah keluarnya gimana?" Tanyaku.
"Ya susah mas, soalnya anu mas... sebagai petugas penunggu pintu 5, saya bertugas merawat engsel-engsel itu, tapi pelumas yang keluar cuma bening mas... padahal sudah dicolok-colok dan dikobel-kobel pake jari... ndak bisa maasss." Katanya. Mendut kemudian mengerling-ngerling dan berkata, "mungkin... kalau pake itu... mungkin bisa maasss..." Katanya dengan senyumnya yang malu-malu namun menggoda sambil jari telunjuknya menuding ke arah si betok. Sedangkan kulihat si betok tengah menatap dengan tajam kepada pucuk belahan huruf V tempeknya Mendut yang sedang terkatup rapat.
Sepertinya si betok ingin segera menerjang belahan itu dan menyeruaknya hingga terbeliak-beliak dengan 777 hujaman yang keras.
"Apalagi itu ada gotrinya mas.. pasti owih maasss." Katanya.
"Pasti owih ya?"
"Iya mas... apalagi kalau lewat belakang ini... pasti owih sekali." Katanya sambil membelakangiku dengan agak menungging, jari jemari tangannya kemudian membeliakkan bibir-bibir memeknya agar liangnya terlihat.
"Ya, sudah kalau begitu. Enggak apa-apa kalau langsung dimasukkan?" Kataku sambil menggenggam batang si betok yang langsung menegang karena kusalurkan tenaga dalamku 1/5nya ke situ.
"Ndak apa-apa mas. Malahan enaknya di situ mas... pas lagi kering disodok-sodok pasti asooooyyyyy." Katanya.
Mendut membelakangiku dengan agak menungging
sambil membeliakkan bibir-bibir memeknya.
"Saya mundur ya maaasss... tolong kontolnya ditempelkan dulu di liang memek saya." Kata Mendut sambil berjalan mundur mendekatiku.
"Iya cah ayu... monggo." Jawabku.
Mendut pun menggoyang-goyangkan pantatnya ketika kepala si betok mencium liang memeknya yang masih kering.
"Aduuuhhh massss.... owihh massss.... akh..." Katanya ketika secara perlahan pelumas lendir kenikmatannya itu mulai ke luar. Kepala si betok mulai menyelam dan Mendut mendorongkan pantatnya dengan kuat sehingga si betok pun tenggelam seluruhnya ke dalam liang Memek Mendut.
"Aduhhh... owiiiihhh... maaaasssss.... owiihhh." Katanya sambil pantatnya pental pentul ke atas ke bawah, ke kiri dan ke kanan. Sementara aku hanya bertolak pinggang saja dan mengerahkan tenaga dalam di pusat batang si betok 2/5 bagian.
"Aduh mas aduh mas owiiihhh... akh... owiiihhh... maaaasssssss.... nyembur mas... aduuh..."
Mendut mengerang-erang sambil terus memental-mentulkan pantatnya. Setelah sekitar 77 kali pental-pentul yang melingkar, cairan lendir Mendut yang berwarna putih bagai susu itu mulai memancur deras.
Aku tidak tahu kapan dan bagaimana tiba-tiba tangan Laura Mendut sudah memegang batok kelapa dan menadah cairan tersebut sambil mengerang kenikmatan.
"MAAAASSSSSSSS..... ini aku mau OWWWWWIIIHHHHHHHHH...." Katanya sambil menekan keras pantatnya ke pangkal selangkanganku dan mengejan dengan sangat hebat.
Ceprot Ceprot Ceprot... currrrrr..... Lendir kenikmatan berwarna putih susu itu menyemprot dari liang memeknya. Sambil tersenyum menyeringai karena senang, Mendut menadah cairan itu dengan batok.
Setelah merasa lendirnya habis, Mendut tanpa tedeng aling-aling menarik pantatnya sehingga si betok terlepas dari liang memek secara tiba-tiba. Begitu lepas, si betok terpantul-pantul ke atas dan kebawah.
"Ah, kentang lagi deh." Kataku.
"Ndak mas, ndak akan kentang." Kata Mendut sambil tersenyum. Tangannya kemudian mengocok-ngocok batang kontolku dengan keahlian tingkat tinggi.
ARRGGHHKKKHHHH.... CROT... SRRRR... CROOTTT... SRRRRR....CROOOTTT... CROOOOTTTTTT...
Mendut dengan sigap menampung pejuhku ke dalam batok kelapa itu. Dengan wajah bersinar gembira dia berlari meninggalkanku menuju ke ujung jalan setapak. Aku pun mengejarnya. Ternyata Mendut langsung menuju ke pintu 5 dan ketika aku tiba di belakangnya, dia sedang mengolesi engsel-engsel pintu itu.
"Makasih ya Mas, kenthunya enak dan owih." Katanya. "Nah, sekarang pintu ini sudah bisa membuka. Silakan lo mas kalau mau melanjutkan perjalanan."
"Inggih, Siap." Kataku. "Makasih ya Laura Mendut, tempekmu enak tenan." Kataku.
"Iya mas, hati-hati ya di jalan."
"Inggih, monggo cah ayu aku pamit."
Mendut tersenyum dengan senyuman yang tulus. Aku pun segera melanjutkan perjalanan dengan perasaan sedikit plong. Hanya saja perutku yang sejak tadi kelaparan, semakin keras bunyi keroncongannya.
(Bersambung)