Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Bimabet
RINDIANI The Series – Seri 13
Hati Yang Berbunga​


Part 1



Rindiani


Keberanian Nina dalam menggoda Pram dihadapanku mungkin akan terlihat janggal bagi orang lain, terutama bagi wanita lain. Namun tidak bagiku, karena aku telah mengenal Nina, dan telah mengenal lelakiku, Pram. Aku tidak merasa cemburu sedikit pun karena hal itu merupakan sesuatu yang terlihat sebagai hal yang biasa bagiku.

“Bu, kita istirahat dulu ya, nanti aja baru masak.” Kata Pram setelah keluar dari kamar mandi.

“Iya, ibu juga belum laper kok.”

Aku langsung duduk ditepian ranjang, sementara Pram membuka lemari dan mengambil pakaian untuknya.

“Sayang.. sini..” kataku sambil menjulurkan satu tanganku.

Pram menutup pintu lemari, dan mendekatiku dengan pakaian ditangannya. Satu tanganku segera melingkar di pinggangnya, sementara tangannku yang lain meraih pakaian yang ia pegang. Pram berdiri diantara kedua pahaku sehingga kemaluannya begitu dekat dengan wajahku.

“Nanti aja pakai bajunya.” gumanku sambil meletakkan pakaian itu disampingku.

Pram hanya tersenyum, dan segera setelahnya, kukecup perut lelakiku dengan mesra. Ia segera naik ke atas ranjang dan berbaring, lalu menuntun tubuhku untuk ikut berbaring disisinya.

“Sayang, bathup itu mahal gak sih?” tanyaku sambil menumpangkan satu kaki diatas pinggulnya.

“Enggak terlalu sih bu. Kenapa?”

“Gapapa sih, pengen ganti kamar mandi kita, biar pakai bathup kayak di ruangan kerja ibu itu.”

“Tapi nanti, ibu mau nabung dulu, kumpulin duit dulu.”

Dengan lembut, Pram mengusap pipiku, lalu membenahi rambut yang terserak di keningku.

“Kalo ibu mau, biar nanti saya yang urus.”

“Enggak ah, jangan. Lagian gak terlalu penting juga kok. Yang kayaknya mendesak itu laptop sama meja kerja. Kayaknya ibu bakal butuh.”

“Sama pakaian kerja.” sambung Pram.

Aku mengangguk pelan, merebahkan kepala didadanya. Satu tangannya melingkar ditengkuk, dengan telapak bermuara di lenganku.


“Meja kerjanya mau ditaruh dimana bu?”

“Belum tau.. apa dikamar tidur, atau di ruang tengah. Menurut sayang bagusnya dimana?”

“Dikamar ini aja bu, dekat pintu. Meja rias ibu kita geser, sampai mepet ke dinding dekat jendela.” katanya sambil melihat sisi kamar tidurku.

“Iya, boleh juga. Bagus.” “Tapi nanti.. ibu beli setelah gajian.”

Satu tangannya yang lain mengusap pipiku, lalu menuntun wajahku untuk mendekat ke arahnya. Pram melumat bibirku dengan lembut. Bibir atas, bibir bagian bawah, semua mendapat bagiannya masing-masing hingga beberapa saat lamanya.

“Sini..” gumannya pelan sambil kembali menuntun tubuhku untuk naik keatas tubuhnya, menindihnya.

Aku selalu merasa senang dan nyaman dengan caranya memperlakukanku seperti ini. Kelembutan dan curahan perhatian yang melimpah membuatku sungguh merasa nyaman dan betah untuk mengjabiskan waktu bersamanya.

“Laptop, meja kerja, dan pakaian kerja ibu nanti saya yang belikan.” katanya sambil mengusap pipiku, sementara satu tangannya yang lain melingkar di pinggangku.

“Enggak sayang.. ibu gak mau. Semua itu kebutuhan ibu, dan ibu gak mau membebankan ke kamu.”

“Ibu harus belajar mandiri, belajar mengatur semua kebutuhan hidup ibu.”

Pram, lelakiku, mendekatkan wajah ke arahku, lalu kembali melumat bibirku dengan lembut. Nyaman, dan bahagia, segera melingkupi, mengisi ruang kalbuku.

“Saya paham bu, saya ngerti. Saya melakukannya bukan hanya untuk ibu, tapi untuk Nova. Maksud saya, sebaiknya ibu menabung uang itu untuk keperluan Nova. Ibu harus mulai mempersiapkan masa depan Nova, mulai dari sekarang.”

Pram menyentuh hatiku, membuatku terenyuh dan terharu. Ia bahkan telah memikirkan masa depan putriku, sesuatu yang selama ini menjadi beban terberat dalam hatiku.

Dengan siku berpijak di sisi lehernya, kuletakkan kedua tapak tangan di pipinya, menatapnya dalam-dalam hingga beberapa saat. Demikian juga dengan Pram, balas menatap mataku dalam diam.

“Ibu gak tau bagaimana caranya membalas semua ini. Kamu terlalu baik sama ibu dan Nova.”

Pram tersenyum, membenari beberapa helai rambut dikeningku, lalu menyisipkannya di telinga.

“Saya ingin masa depan Nova terjamin, dan kita harus bisa memastikannya mulai dari sekarang. Dia sudah kehilangan ayahnya, jadi, setidaknya, kita harus menjadi yang terbaik untuknya.”

Aku mengangguk pelan, lalu mengecup keningnya.

“Itu alasan mengapa sayang meminta ibu untuk gak membantu Galang sementara ini?” tanyaku.

Pram mengangguk, lalu mengusap punggungku.

“Saya minta, tolong ibu dengarkan saya. Bukan hanya untuk ibu, tapi untuk Nova. Saya sayang Nova bu, dan saya gak mau Nova hidup kekurangan satu hal pun dimasa depan, terutama materi.”

“Jujur saja, ibu merasa itulah beban terberat selama ini. Masa depan Nova.”

Pram tersenyum, lalu mengecup ujung hidungku.

“Pasti berat.. apalagi sambil harus memenuhi kebutuhan hidup ibu sendiri. Singel parent itu berat.”

“Tapi.. saya yakin ibu mampu melewatinya. Ibu punya niat yang baik untuk Nova. Setiap niat baik selalu mendapatkan jalan keluarnya sendiri.”

“Kamu yakin??” Pram mengangguk pelan sementara usapannya terus menjalar di punggung hingga ke pinggangku.

“Iya, saya yakin. Ibu pernah jatuh terpuruk karena suami ibu sendiri. Tapi lihat kondisi ibu sekarang? Ibu bangkit, ibu berjalan, dan ibu bisa melewatinya, bahkan dengan tersenyum.”

“Karena kamu ada disamping ibu, makanya ibu bisa bangkit. Kalo nanti kamu udah lulus, udah wisuda dan pulang kampung. Entah bagaimana ibu menghadapi semua ini.”

Pram menuntun kepalaku untuk bersandar di dadanya. Satu tangannya mengusap kepalaku dengan lembut dan berkali-kali ia mengecupnya dengan mesra.

“Ibu pasti bisa..” gumannya pelan.

Aku yang sekarang adalah Rindiani yang terlahir kembali karena kehadiran Pram. Ia menata semua ruang kehidupanku dengan sedemikian rupa sehingga aku pun nyaman dan bahagia dengan diriku, dengan kehidupanku sendiri.

Disisi lain, kehadirannya membuatku semakin jauh terlena, menimbulkan ketergantunggan terhadap sosoknya. Pemikirannya yang jauh kedepan, dan dewasa selalu memberiku jalan lain, yang aku yakin akan sangat berguna untuk masa depanku.

Lama kami berdiam diri, membiarkan keheningan menyelimuti kamar tidurku, menikmati waktu sambil berpelukan mesra.

“Sayang, ngomong-ngomong, dulu waktu Nina main ke kontrakan sayang, dia sering pakai pakaian kayak tadi..?”

Pram mengangguk pelan.

“Pantesan tadi sayang gak kaget. Kayak biasa aja gitu. Padahal memeknya nyetak banget, kayak gak pakai daleman.”

“Emang sayang gak pengen ngerasain punya Nina?”

Pram tertawa lalu berguling hingga posisi kami pun berubah. Kini, tubuh telanjangnya yang menindihku.

“Kok ibu nanyanya gitu sih??”

“Cuman pengen tau aja kok..”

“Saya kan udah bilang, saya laki-laki normal bu, pasti ya pengen.. tapi saya gak mau seperti itu. Saya gak mau menyakiti ibu.”

“Kalo pun beneran kejadian, ibu gak marah kok sayang, dan kayaknya gak sakit juga karena ibu tau, kamu pasti tetap akan menjadi Pram yang selalu menyayangi ibu. Ibu tau, kamu peduli dan sudah menempatkan ibu dalam hatimu.” jawabku sambil meletakkan satu tapak tanganku tepat dijantungnya.

“Ibu juga kenal Nina, ibu tau dia, walaupun gak sedalam seperti kenal kamu. Dia hanya pengen bercinta aja, gak lebih. Hanya sebatas seks, tanpa main hati, main perasaan.”

Pram menatapku dalam-dalam sambil menghembuskan nafas panjang secara perlahan.

“Saya gak berani bu..” gumannya pelan.

“Emang sayang takut apa?”

Lagi-lagi ia tersenyum, lalu melumat bibirku dengan lembut.

“Mungkin komitmen awalnya hanya sebatas seks, tapi kita gak tau nanti kedepannya. Bisa aja mulai ada rasa, mulai main hati.”

“Ibu tau, dan ibu yakin, Pram gak akan seperti itu. Tapi mungkin Nina yang akan main hati.”

“Kamu laki-laki istimewa, dan semua temanmu tau hal itu.”

“Enggak kok bu. Saya orang biasa. Yang membuat saya istimewa karena bisa dekat dengan ibu.”

“Maksudnya gimana?”

“Sebelum kenal dekat dengan ibu, saya gak tau sama sekali tentang dunia perempuan, tentang bagaimana kehidupan rumah tangga. Tapi sekarang, saya bisa belajar dari ibu tentang semua itu.”

“Dan kamu berhasil. Dimata ibu, kamu berhasil mempelajari hal itu dan sudah membuktikannya. Kamu sudah menjadi suami ideal bagi ibu.”

“Kamu tau cara membahagiakan ibu. Kamu tau cara memperlakukan ibu, dan ibu bahagia dengan semua itu.”

“Maka dari itu, ibu gak khawatir kalo kamu mau main sama Nina. Karena kamu gak akan bisa menyakiti ibu. Ibu yakin akan hal itu.”

“Kenapa harus Nina?” tanyanya lagi.

“Karena ibu kenal dan tau Nina. Dan Pram pun kenal Nina.”

“Kalo semisal sayang mau, mungkin bukan cuman Nina yang udah sayang dapetin. Mungkin Rita, Dewi, dan banyak cewek lain yang udah sayang dapetin.”

Pram tersenyum sambil mencubit pipiku.

“Saya gak seganteng itu bu.” katanya kemudian.

“Bukan masalah gantengnya sayang.. tapi ini lhooo..” kataku sambil meletakkan tangan di dadanya.

“Hatimu lemah lembut. Penuh kesabaran. Ibu yakin, hal itu yang menyebabkan Nova lengket banget sama kamu.”

“Saya gak tau kenapa, tapi saya sayang banget sama Nova..”

Aku tersenyum dan kembali mengusap pipinya.

“Karena hatimu penuh dengan kasih sayang.”

“Bukan hanya terhadap Nova, tetapi hampir ke semua orang yang kamu kenal.”

Setelah perbincangan singkat itu, kami kembali larut dalam diam. Lelakiku memanjakan diri dengan menyandarkan kepala diantara kedua payudaraku. Kuusap, kubelai rambutnya dengan penuh rasa.


===


Dibandingkan denganku, banyak perempuan lain diluar sana yang ia kenali, jauh lebih menarik, jauh lebih cantik dan seksi daripadaku.

Namun entah mengapa, keberuntungan kembali berpihak padaku, setelah kehilangan suami, aku mendapatkan lelaki pengganti yang jauh lebih baik daripada dia, dalam segala hal.

Mungkin saja, Pram berkata jujur bahwa ia bukan melihat fisik, tetapi hati, ia melihat diriku seutuhnya.

“Bu, kita makan diluar aja yuk, Nanti sekalian cari pakaian kerja buat ibu.” katanya sambil menyandarkan dagu tepat ditengah dadaku.

Kembali kuusap pipi lelakiku, menyentuh ujung hidungnya dengan ujung jariku.

“Boleh.. tapi ibu yang traktir. Ibu yang bayar belanjaan gimana, deal?”

Pram tersenyum lantas beringsut, mensejajarkan wajahnya dengan wajahku. Kedua sikunya berpijak di kedua sisi kepalaku.

“Nanti kita lihat.” jawabnya singkat, lantas melumat bibirku dengan lembut hingga beberapa saat lamanya.

“Dari tadi ibu diciumin terus, emang sayang gak bosen?” tanyaku.

“Enggak..” jawabnya singkat sambil menggelengkan kepala.

“Ibu bosen..?”

Aku pun menggelengkan kepala dan kembali melumat bibirnya. Dengan penuh perasaan kukulum bibir atasnya, dan ia pun melakukan hal yang sama pada bibir bagian bawah milikku. Lidah-lidah kami bertautan, saling menyentuh, saling menghisap secara bergantian, hingga hampir dua menit lamanya.

Setelah puas bermanja-manja dan menikmati kebersamaan dengannya, akhirnya kami pun turun dari ranjang.

“Bingung.. pakai celana panjang apa rok??” gumanku sambil melihat-lihat koleksi pakaian yang tergantung dalam lemari.

“Yang penting harus pakai jilbab.” balasnya sambil mengenakan celana dalam.

“Eehhh.. bentar-bentar.. tunggu.” kataku cepat saat melihat Pram hendak mengenakan celana panjang.

Pram menatapku heran dan segera membatalkan niat untuk mengenakan celana panjang itu. Aku melangkah mendekat, dan bersimpuh dihadapannya.

“Bentar aja kok sayang.. pengen ngicipin ini.” kataku sambil menurunkan celana dalamnya.

Penis lelakiku masih belum mengeras dan hal tersebut membuatku merasa gemes. Tanpa persetujuannya, aku langsung melahap kemaluannya, dan dengan mudah memasukkan seluruh bagiannya kedalam mulutku.


Didalam mulut, lidahku menari liar, membelai penisnya, dan berkali-kali kuhisap hingga hanya dalam beberapa detik, kemaluan lelakiku kembali mengeras aku.

Aku bisa melihat Pram sedang berusaha mengatur nafasnya, karena ia nampak berusaha melawan rangsangan yang kuberikan.

“Ehhh.. cepet banget bangunnya. Udah tegang..” gumanku sambil mengocok penisnya sementara mataku tertuju pada wajahnya.

Pram memegang kedua lenganku, dan menuntunku untuk berdiri.

“Udah malam bu, kita harus makan dan belanja.”

“Kalo ibu gak mau, gimana?”

Pram tertawa sambil mencubit pipiku dengan lembut.

“Harus mau, kalo gak mau, nanti ibu gak dapet jatah.”

Aku tertawa lantas memeluknya dengan sangat erat. Aku tahu, ia sedang bercanda dan candaan itu sukses membuatku tersenyum.


= = =


Karena terlalu berlama-lama diatas ranjang, akhirnya kami memilih menu makan malam seadanya, hanya demi mengejar waktu untuk berbelanja pakaian kerja buatku.

“Kira-Kira ibu butuh apa aja?” tanyanya sambil menyuapkan mie ayam kedalam mulut.

“Rok panjang, flat shoes, abaya, stocking, jilbab, blazer, tanktop, sama apa lagi ibu lupa, nanti deh ibu lihat, pasti inget kalo udah masuk ke toko.”

“Kalo gitu, kita belanja ke Gardena atau galeria mall aja bu, kalo gak dapet, kita ke Malioboro.”

Aku mengangguk, dan terus menyantap soto pesananku.

“Oh iya, ibu inget..”

“Inget apa?”

“Sama ibu butuh kontol sayang.” bisikku nakal ditengah keramaian warung tersebut.

Pram tertawa pelan dan nyaris tersedak karena ulahku.

“Nanti pulang saya kasih dildo aja.” balasnya sambil berbisik, lalu tersenyum.

“Gak mau.. dildonya kecil.. ibu mau punya sayang aja.. gede.. biar puas.” balasku.

Tingkah kami dengan berbisik dan tertawa pelan tersebut sedikit banyak menarik perhatian para pengunjung yang sedang menikmati makan malam. Bahkan si pelayan warung tersebut ikut tersenyum ramah ke arah kami.

“Mas dan mbak emang pasangan ideal. Pasangan romantis.” katanya saat aku hendak meraih uang dari dalam tas cangklong yang kubawa.

Belum sempat aku menyerahkan uang tersebut, Pram mendahuluiku dan membayar.

“Makasih mas..” jawab si pelayan.

“Katanya ibu yang traktir, gimana sih?” tanyaku.

Pram hanya tersenyum sementara si pelayan sedikit bingung dengan tingkah kami berdua.

“Maaf mas, istri saya emang kadang begini, agak ribet sama urusan bayar membayar.”

Si pelayan hanya tersenyum, dan sesaat setelah membayar, Pram merangkul lenganku lalu kami pun meninggalkan warung tersebut.

“Jadi malu…” gumanku sambil tersenyum saat kami telah melanjutkan perjalanan.

“Malu kenapa bu?” tanyanya heran.

“Itu lhooo tadi… sayang bilang kalo ibu istri kamu.”

Pram tersenyum, lantas menarik lenganku untuk bergeser, mendekat ke arahnya.

“Gantian.. kemarin kan ibu juga gitu, bilang kalo saya suami ibu.” katanya sambil mengendalikan stir.

Kulingkarkan tangan dipinggangnya dan merebahkan kepala dipundaknya. Anganku segera melayang, membayangkan jika saja aku adalah wanita pilihannya, wanita yang menjadi istrinya. Bayangan itu melintas dikepalaku, dan membuatku tersenyum.

Kecupan dipermukaan jilbabku akhirnya membuyarkan lamunanku.

“Bu, parkirannya pada penuh.” Kata Pram sambil memperhatikan deretan kendaraan disepanjang tepi jalan.

“Kita langsung ke Malioboro aja deh Pram, lagian disana kan banyak koleksinya, banyak toko-tokonya.”

Pram mengangguk, lantas kami pun melanjutkan perjalanan. Hiruk pikuk dan lalu lalang kendaraan di jalan protokol membuat perjalanan kami sedikit lebih lambat.

“Selain pakaian, ibu mau belanja apa lagi?”

“Kayaknya sih cuman pakaian aja, sepatu, tas. Itu aja.”

“Ibu gak perlu make-up?” tanyanya.

Aku tersenyum dan mengecup pipinya. “Emang ibu kurang cantik? Atau makeupnya kurang ngejreng?”

“Bukan.. bukan gitu bu.. maksud saya, siapa tau make up ibu dirumah udah habis atau tinggal dikit, jadi sekalian kita beli.”

“Kayaknya make up masih ada kok, lagian ibu kan jarang dandan. Kalo pun dandan, biasanya kan cuman tipis aja.”

Hampir sepuluh menit kemudian, kami pun tiba di Maliobro. Icon kota pelajar yang telah mendunia ini selalu dipadati oleh pengunjung, walaupun hanya sekedar untuk berjalan-jalan santai, menikmati suasananya.

Pram memegang tanganku, menggengam erat jemariku saat berjalan. Satu tanganku melingkar di pinggangnya, suatu hal yang membuatku merasa nyaman dan senang.

“Kita kayak ABG lagi pacaran.” gumanku pelan.

“Kita kan emang pacaran.. ibu lupa?”

“Iya, ibu inget kok, tapi rasanya kayak beneran pacaran.”

Pram hanya tersenyum, dan kurasakan ia meremas tanganku yang berada dalam genggamannya.

Kami sedang melangkah memasuki sebuah toko yang tengah dipadati oleh pengunjung ketika Pram hendak berbalik arah dan meninggalkan toko itu.

“Mbaaaakkkkkk Rrriiiiiiiinnnnn…” teriak Rita ditengah kerumunan pengunjung lain.

“Mampusss..” guman Pram Pelan.

Dibelakangnya, Nina tersenyum manis ke arah kami dan ikut melangkah bersama Rita, menghampiriku dan Pram.

Pram, lelakiku hanya berdiri mematung ketika Rita menghampiri dan memeluk tubuhnya.

“Kamu ini, teriakin nama mbak, yang dipeluk malah Pram.” protesku sambil melepaskan pelukan pada Nina.

“Lhooo.. biarin.. itu kan mbak lagi peluk Nina. Kasian Pram, gak ada meluk.”

Nina tertawa pelan, begitu juga dengan aku, karena melihat Pram yang tampak canggung dan malu karena ulah Rita.

“Kalian kok ada disini?” tanya Rita sambil memandangku dan Pram secara bergantian.

"Kalian ngikutin aku?? Iya kaannnn??”

“Kalian kangen aku kaaaannnn??” katanya lagi tanpa jeda dengan wajah jahil.

Pram hanya menghela nafas panjang dan sedikit menundukkan wajah.

“Mbak mau cari jilbab sama sepatu.” jawabku.

“Udah.. ayo belanja.” Kata Pram kemudian sambil menarik lengan Rita karena ia merasa malu menjadi perhatian beberapa pengunjung lain.

“Eehhhhh… kok aku digandeng gini sih??” protes Rita, namun diabaikan oleh Pram.

“Mbak Rin, ini aku yang digandeng lho ya, bukan aku yang minta..” katanya sambil menoleh kearahku.

Aku hanya mengangguk pelan sambil tersenyum melihat tingkahnya. Ia membuatku gemes, geregetan karena keusilannya yang tak memandang waktu dan tempat.

“Aku mau dibelanjain??” tanyanya lagi.

“Apa mau cari kesempatan pegang-pegang tangan aku?? Hayoooo.. ngaku aja.. iyaa kaannnn???”

Pram tak menjawabnya dan terus memegang lengan Rita, sementara aku dan Nina hanya bisa tersenyum geli melihat tingkah mereka.

“Niinnn… kita mau dibelanjain Pram.” kata Rita sambil menoleh ke belakang, ke arah kami.

Nina hanya mengangguk dan terus melangkah disisiku. Satu tanganku merangkul pinggangnya, begitu juga dengannya.

“Pram mati kutu.” bisik Nina sambil tersenyum.

Aku tersenyum geli memandangi tingkah kedua orang tersebut, hingga akhirnya kami sampai di lantai dua, lantai khusus untuk pakain wanita.

“Udah.. sekarang kalian belanja..” kata Pram, lalu melepaskan pegangan tangannya pada lengan Rita.

“Yeeeeyyyyyy… girls time” teriak Rita.

Lagi-lagi, Pram menghela nafas panjang, lalu memandangku dan Nina, sementara Rita telah menenggelamkan dirinya diantara beragam koleksi pakaian wanita yang terpajang di sepanjang lorong.

“Sayang gak ikut?” tanyaku.

“Enggak bu, saya tunggu disini aja.” katanya.

Akhirnya, aku dan Nina meninggalkan Pram, melangkah mengikuti Rita yang terlebih dahulu melihat beragam koleksi kemeja, celana panjang, dan rok yang tergantung disepanjang lorong lantai dua.

“Mbak mau cari apa?” tanya Nina.

“Mau cari Blazer, abaya, jilbab, tanktop, rok panjang, flat shoes, hot pants, legging, tas. Itu aja.”

“Buat kerja? Kok banyak banget??”

Aku mengangguk pelan dan mulai ikut memilih jilbab bersama Nina, sedangkan Rita larut dalam kesenangannya, melihat-lihat beragam tas dan aksesoris wanita.

“Kalian kesini naik apa?” tanyaku, sambil beralih melihat koleksi rok panjang.

“Naik taksi mbak. Tadi aku ngajak Rita soalnya dia juga mau beli celana panjang sama kemeja.”

Aku memilih beberapa helai rok panjang beserta jilbab, begitu juga dengan Nina dan ingin mencobanya di fitting room yang terletak di bagian sudut lantai dua.

“Sayang, ibu nyoba jilbab sam rok panjang ini ya..” kataku setelah menghampirinya.

“Iya bu, kalo gitu saya ke lantai bawah aja ya bu, mau lihat-lihat kemeja sama jaket.”

Pram pun pergi meninggalkan kami, dan aku kembali melangkah menyusul Nina yang telah terlebih dahulu berjalan menuju ke fitting room.

“Rit, mbak nyobain ini dulu ya.” pesanku pada Rita sambil menunjukkan beberapa helai jilbab dan rok panjang ditanganku.

“Mau di temenin?”

“Gak perlu sayang, kamu pilih aja dulu belanjaanmu..”

Aku mengetuk pintu fitting room, dimana Nina telah berada didalamnya, dan ketika pintu sedikit terbuka, aku langsung masuk kedalam dan kembali mengunci pintu tersebut.

Nina telah melucuti celana jeans yang ia kenakan, hingga hanya menyisakan celana dalam berwarna hitam di pinggulnya. Kulitnya semakin terlihat putih karena kontras dengan warna celana dalam tersebut.

Nina segera mencoba rok panjang yang telah ia pilih, dan memutar tubuhnya beberapa kali untuk melihat kecocokan pada pinggulnya.

“Bagus kok Nin. Pas banget..” gumanku sambil melucuti rok panjang yang masih melekat di pinggulku.

Nina mengangguk dan kembali melepaskan rok tersebut, lalu menggantungkannya di belakang pintu.

“Lhoooo.. kok??" tanyaku heran karena kaget melihat Nina melucuti celana dalamnya.

Nina segera meletakkan jari telunjuknya didepan bibirku, memintaku untuk diam. Perlahan ia mendekatkan wajah.

“Ninn..” gumanku pelan saat bibirnya nyaris mendarat di bibirku.

Tak ada jawaban darinya, dan ia pun memejamkan mata, melumat bibirku dengan lembut. Caranya menciumku sungguh sangat berbeda dari sebelumnya, sangat lembut dan penuh rasa.

Awalnya, aku tak membalas lumatannya. Aku hanya berdiam diri, membiarkannya menikmati bibirku. Tak sampai sepuluh detik, Nina menuntun tanganku kearah pangkal pahanya, menekan jemariku disana. Ia memintaku untuk menyentuh kemaluannya.

Ia lantas meninggalkan tanganku disana dan langsung menyelipkan tangannya kedalam celana dalamku. Tentu saja aku mulai terangsan akibat perlakuannya tersebut dan segera membalas melumat bibirnya dengan sedikit kasar.

Pun demikian dengan pangkal pahanya, jemariku menari liar, membelai, mengusap, mempermainkan vaginanya yang telah basah.

Hampir satu menit berlalu ketika akhirnya Nina membuka kancing kemeja yang menutupi tububnya dan mengeluarkan payudara dari dalam bra yang melindunginya.

Dengan lembut ia menuntun kepalaku untuk sedikit menunduk, mengarah ke bagian dadanya. Nina ingin aku mengerjai kedua payudaranya yang ranum. Aku tak menolaknya karena telah terbuai dalam kenikmatan akibat permainan jemarinya di pangkal pahaku. Dan tanpa membuang waktu, aku langsung melahap kedua putingnya secara bergantian.

Kuhisap, kukulum, dan kujilati dengan rakus sementara dibagian bawah, satu jariku telah menerobos memasuki liang vaginanya.

Satu tangannya menekan bagian belakang kepalaku, sementara tangan lainnya pun sibuk mengocok liang vaginaku. Kami benar-benar terlarut dalam kegilaan yang luar biasa nekat dan panas karena Rita sedang berada diluar sana, tak jauh dari bilik fitting room yang kami gunakan.

Hampir dua menit berlalu, Nina kembali mendesak kepalaku untuk lebih menunduk, hingga akhirnya aku bersimpuh di hadapannya.

Untuk pertama kalinya, akhirnya lidahku menyentuh kemaluan wanita, vagina Nina, sahabat Pram. Sesekali aku melirik keatas, melihat Nina menggigit bibirnya sendiri sambil meremas payudaranya karena satu tangannya yang lain sedang menekan bagian belakang kepalaku kearah pangkal pahanya.

Kegilaanku bertambah ketika satu tanganku ikut bermain dengan kembali menusuk masuk kedalam liang vaginanya. Nina merintih pelan, pinggulnya bergerak pelan seiring tusukan dua jari yang memanjakan liang vaginanya. Basah, sangat basah karena begitu banyak cairan yang keluar dari kemaluan Nina, hingga mengalir kebagian lenganku.

Tak sampai satu menit, sebuah hisapan keras kulayangkan ke bagian clitorisnya, dan Nina pun menyambut datangnya oragsmenya. Sekujur pahanya menegang dan bergetar, begitu juga dengan kedua puting payudaranya, mengeras sempurna.

Berkali-kali aku menjilati kemaluannya, menelusuri belahan vaginanya, membersihkan cairan orgasme itu dan menelannya. Dan hanya dalam waktu singkat, pangkal paha Nina pun kembali bersih.

Cengkraman jemarinya si kepalaku pun akhirnya melemah, hingga akhirnya terlepas. Ia memandangiku dengan tatapan sayu dan nafas yang menderu.

Perlahan aku bangkit berdiri sambil menghisap jemariku yang berlumuran cairan orgasmenya.

“Gilaa..” guman Nina pelan lalu tersenyum.

Aku pun kembali tersenyum padanya dan Nina segera melumat bibirku. Sesekali digigitnya bibirku dengan lembut, dan kedua tangannya meremas payudaraku. Segera setelah pagutan bibir kami terlepas, ia meraih tissue dari dalam tasnya.

“Gak sampe seepuluh menit, udah KO akunya.” gumannya sambil membersihkan kemaluannya dengan tissue basah, sementara aku membersihkan sekitar bibirku.

Segera setelah Nina kembali mengenakan celana dalamnya, kami mendengar suara Rita memanggil, disertai ketukan pintu bilik.

“Kalian lama banget..”

“Nyobain pakaian apa main catur sih??” sambungnya sambil menggantungkan beberapa helai rok span dibelakang pintu.

“Kita main bola dulu, baru nyobain pakaian. Ini bolanya, ada dua..” kata Nina sambil membenahi bra yang kembali menutupi payudaranya.”

“Gila.” guman rita singkat sambil melucuti celana panjangnya.

Aku yang sedari tadi telah gemes dan geregetan melihat tingkahnya semakin dibuatnya bertambah, hingga aku harus mengepalkan tanganku sendiri demi menahan perasaanku.

Nina yang melihat ekspresi wajahku hanya tertawa pelan. Ia lantas mengedipkan mata sambil menunjuk ke arah Rita yang tengah meraih rok span yang ia bawa.

“Lama-lama mbak cium juga kamu Rit..” gerutuku.

Rita hanya menatapku sekilas, lalu bersiap mencoba rok itu.

“Sarap.. emang berani??” tanyanya santai.

Aku segera mendekatinya, merapatkan tubuh hingga Rita terdesak, terhimpit dengan dinding bilik dibelakangnya.

“Beneran mau mbak cium??” tanyaku sambil menatap matanya.

“Eh..anu.. mbak…enggak.. ini apaan sih..??” protesnya kerika satu tanganku mulai merayap, mengusap pahanya.

Aku semakin mendekatkan wajah, menyisakan sedikit ruang diantara bibir kami sehingga membuatnya semakin terdesak dan kewalahan dengan kegilaanku.

“Adduuhhhhhh.. ini kenapa.. anu.. itu anu.. enggak..eehhh.” katanya ketika tanganku terus merayap naik, nyaris menyentuh kemaluannya.

Ia berusaha memberontak, menjauhkan tubuhku, namun Nina segera mendekat dan ikut membantuku hingga ia tak bisa berbuat banyak untuk melawan kami.

“Kalo mbak Rin boleh cium kamu, aku juga mau kok Rit.” Kata Nina dengan wajah serius.

“Ihh… kok ini...aduhh.. ini kok pada gini sih..??” protesnya saat Nina ikut membelai pahanya, bahkan jemarinya mengusap permukaan celana dalam Rita.

Aku benar-benar tak mampu menahan tawaku lagi saat melihat Rita pasrah dan tak mampu melawan kegilaanku dan Nina.

Wajahnya pucat pasi dan butiran keringat muncul di keningnya. Perlahan aku mengendurkan desakan pada tubuhnya, namun tetap memandangnya dengan wajah serius, begitu juga dengan Nina.

Rita benar-benar ketakutan, ia terlihat pasrah pada nasibnya. Seketika, Nina pun tertawa, kedua tangannya membekap erat mulutnya sendiri.

“Hhhhiiiiiiiiiihhhhhhhhhhh…!” seru Rita sambil mencubit pinggang kami sekaligus.

“Kalian gilaaaaaaa…” katanya lagi.

Aku dan Nina tertawa geli melihat Rita yang sedang melampiaskan perasaan marahnya.

“Aku kira aku mau diperkosa beneran..” gerutunya sambil mencoba rok span yang telah ia pilih.

“Ya enggaklah Rit, gimana mau perkosa, kontol aja kita gak punya. Kita kan adanya memek, sama kayak kamu.” balas Nina.

Rita menatap Nina sejenak lalu mengigit lengannya dengan tiba-tiba hingga Nina menjerit dan berusaha menghindar.

“Buuuu…” teriak Pram dari luar disertai beberapa kali ketukan pintu.

“Ibu gapapa? Baik-baik aja?” tanyanya.

“Iya, gapapa kok Pram. Ini lho Rita sama Nina lagi bercanda.”

Segera setelahnya, tak ada lagi suara dari arah luar, dan kami melanjutkan untuk mencoba pakaian yang telah kami pilih.

“Bagus gak Nin?” tanya Rita sambil melihat dirinya lewat cermin.

“Bagus.. cuman kurang panjang dikit. Kalo dipakai buat kuliah rada gak pas aja.”

“Masa sih?” kata Rita sambil melihat ujung roknya yang sedikit lebih tinggi dari lututnya.

“Iya Rit, kurang panjang dikit.” gumanku.

“Berarti cocoknya buat jalan-jalan aja.” jawabnya.

Hampir sepuluh menit berlalu hingga akhirnya kami keluar dari bilik tersebut. Pram lelakiku tengah bercakap-cakap dengan seorang wanita muda, pegawai toko tersebut.

“Pram udah selesai belanja?” tanyaku setelah menghampirinya.

“Saya gak belanja kok bu. Tadi cuman lihat-lihat aja.”

Aku menyerahkan barang-barang belanjaanku berupa blazer, jilbab, tanktop, dan rok panjang pada wanita tersebut.

“Masih kurang apa lagi bu?”

“belum pilih legging, hot pant, sama stocking.”

“Mau beli disini atau cari di toko lain?”

“Disini aja sayang, biar gak repot keliling.”

“Yuk, kita cari sekarang.”

“Beneran?? Sayang mau temenin??” tanyaku.

Pram mengangguk lantas merangkul pinggangku dan mengajakku berjalan menyusuri lorong lantai dua tersebut.

“Stockingnya yang warna hitam aja ya bu.” guman Pram sambil terus mendampingiku, melihat-lihat beragam koleksi yang ada.

Aku mengangguk , dan meraih empat helai sekaligus dengan beragam corak. Tanpa sepengetahuanku, Pram memilih legging yang berada tak jauh dari tempatku berdiri, dan menyerahkannya padaku, begitu juga dengan tanktop.

“Mbak, kami ke lantai tiga ya, mau lihat-lihat tas sama sepatu.” kata Rita.

“Iya.. duluan aja, nanti mbak nyusul.”

“Pram gak pengen ikut? Nemenin kita gitu..” katanya lagi.

“Enggakkkkkk… Pram disini aja nemenin mbak..” potongku dengan cepat dengan suara sedikit keras.

“Idihhhh.. biasa aja kalik mbakkkkkkk…gak usah teriak gitu, aku belum budek..” balasnya.

“Udah.. buruan.. ntar kita kemalaman..” kata Nina sambil menarik lengan Rita dan membawanya pergi.

Pram hanya tertawa pelan dan kembali mendampingiku.

“Anak itu bener-bener menguji kesabaran kita.” gumannya.




♡♡♡ bersambung ♡♡♡

Part 2 akan rilis dalam beberapa jam kedepan Terima kasih :rose:
Shadaaaaappppp
 
Nina rita, asyik kayaknya cewek type kyk gitu, klo rindi keibuan tapi bisa melakukan apapun maunya pasangan, beruntungnya pram
 
484-EE10-D-3943-4-C0-D-A8-D8-AA416192-D211.jpg


ngebayangin Rindi pake baju kerja 😍
 
RINDIANI The Series – Seri 13
Hati Yang Berbunga​


Part 1



Rindiani


Keberanian Nina dalam menggoda Pram dihadapanku mungkin akan terlihat janggal bagi orang lain, terutama bagi wanita lain. Namun tidak bagiku, karena aku telah mengenal Nina, dan telah mengenal lelakiku, Pram. Aku tidak merasa cemburu sedikit pun karena hal itu merupakan sesuatu yang terlihat sebagai hal yang biasa bagiku.

“Bu, kita istirahat dulu ya, nanti aja baru masak.” Kata Pram setelah keluar dari kamar mandi.

“Iya, ibu juga belum laper kok.”

Aku langsung duduk ditepian ranjang, sementara Pram membuka lemari dan mengambil pakaian untuknya.

“Sayang.. sini..” kataku sambil menjulurkan satu tanganku.

Pram menutup pintu lemari, dan mendekatiku dengan pakaian ditangannya. Satu tanganku segera melingkar di pinggangnya, sementara tangannku yang lain meraih pakaian yang ia pegang. Pram berdiri diantara kedua pahaku sehingga kemaluannya begitu dekat dengan wajahku.

“Nanti aja pakai bajunya.” gumanku sambil meletakkan pakaian itu disampingku.

Pram hanya tersenyum, dan segera setelahnya, kukecup perut lelakiku dengan mesra. Ia segera naik ke atas ranjang dan berbaring, lalu menuntun tubuhku untuk ikut berbaring disisinya.

“Sayang, bathup itu mahal gak sih?” tanyaku sambil menumpangkan satu kaki diatas pinggulnya.

“Enggak terlalu sih bu. Kenapa?”

“Gapapa sih, pengen ganti kamar mandi kita, biar pakai bathup kayak di ruangan kerja ibu itu.”

“Tapi nanti, ibu mau nabung dulu, kumpulin duit dulu.”

Dengan lembut, Pram mengusap pipiku, lalu membenahi rambut yang terserak di keningku.

“Kalo ibu mau, biar nanti saya yang urus.”

“Enggak ah, jangan. Lagian gak terlalu penting juga kok. Yang kayaknya mendesak itu laptop sama meja kerja. Kayaknya ibu bakal butuh.”

“Sama pakaian kerja.” sambung Pram.

Aku mengangguk pelan, merebahkan kepala didadanya. Satu tangannya melingkar ditengkuk, dengan telapak bermuara di lenganku.


“Meja kerjanya mau ditaruh dimana bu?”

“Belum tau.. apa dikamar tidur, atau di ruang tengah. Menurut sayang bagusnya dimana?”

“Dikamar ini aja bu, dekat pintu. Meja rias ibu kita geser, sampai mepet ke dinding dekat jendela.” katanya sambil melihat sisi kamar tidurku.

“Iya, boleh juga. Bagus.” “Tapi nanti.. ibu beli setelah gajian.”

Satu tangannya yang lain mengusap pipiku, lalu menuntun wajahku untuk mendekat ke arahnya. Pram melumat bibirku dengan lembut. Bibir atas, bibir bagian bawah, semua mendapat bagiannya masing-masing hingga beberapa saat lamanya.

“Sini..” gumannya pelan sambil kembali menuntun tubuhku untuk naik keatas tubuhnya, menindihnya.

Aku selalu merasa senang dan nyaman dengan caranya memperlakukanku seperti ini. Kelembutan dan curahan perhatian yang melimpah membuatku sungguh merasa nyaman dan betah untuk mengjabiskan waktu bersamanya.

“Laptop, meja kerja, dan pakaian kerja ibu nanti saya yang belikan.” katanya sambil mengusap pipiku, sementara satu tangannya yang lain melingkar di pinggangku.

“Enggak sayang.. ibu gak mau. Semua itu kebutuhan ibu, dan ibu gak mau membebankan ke kamu.”

“Ibu harus belajar mandiri, belajar mengatur semua kebutuhan hidup ibu.”

Pram, lelakiku, mendekatkan wajah ke arahku, lalu kembali melumat bibirku dengan lembut. Nyaman, dan bahagia, segera melingkupi, mengisi ruang kalbuku.

“Saya paham bu, saya ngerti. Saya melakukannya bukan hanya untuk ibu, tapi untuk Nova. Maksud saya, sebaiknya ibu menabung uang itu untuk keperluan Nova. Ibu harus mulai mempersiapkan masa depan Nova, mulai dari sekarang.”

Pram menyentuh hatiku, membuatku terenyuh dan terharu. Ia bahkan telah memikirkan masa depan putriku, sesuatu yang selama ini menjadi beban terberat dalam hatiku.

Dengan siku berpijak di sisi lehernya, kuletakkan kedua tapak tangan di pipinya, menatapnya dalam-dalam hingga beberapa saat. Demikian juga dengan Pram, balas menatap mataku dalam diam.

“Ibu gak tau bagaimana caranya membalas semua ini. Kamu terlalu baik sama ibu dan Nova.”

Pram tersenyum, membenari beberapa helai rambut dikeningku, lalu menyisipkannya di telinga.

“Saya ingin masa depan Nova terjamin, dan kita harus bisa memastikannya mulai dari sekarang. Dia sudah kehilangan ayahnya, jadi, setidaknya, kita harus menjadi yang terbaik untuknya.”

Aku mengangguk pelan, lalu mengecup keningnya.

“Itu alasan mengapa sayang meminta ibu untuk gak membantu Galang sementara ini?” tanyaku.

Pram mengangguk, lalu mengusap punggungku.

“Saya minta, tolong ibu dengarkan saya. Bukan hanya untuk ibu, tapi untuk Nova. Saya sayang Nova bu, dan saya gak mau Nova hidup kekurangan satu hal pun dimasa depan, terutama materi.”

“Jujur saja, ibu merasa itulah beban terberat selama ini. Masa depan Nova.”

Pram tersenyum, lalu mengecup ujung hidungku.

“Pasti berat.. apalagi sambil harus memenuhi kebutuhan hidup ibu sendiri. Singel parent itu berat.”

“Tapi.. saya yakin ibu mampu melewatinya. Ibu punya niat yang baik untuk Nova. Setiap niat baik selalu mendapatkan jalan keluarnya sendiri.”

“Kamu yakin??” Pram mengangguk pelan sementara usapannya terus menjalar di punggung hingga ke pinggangku.

“Iya, saya yakin. Ibu pernah jatuh terpuruk karena suami ibu sendiri. Tapi lihat kondisi ibu sekarang? Ibu bangkit, ibu berjalan, dan ibu bisa melewatinya, bahkan dengan tersenyum.”

“Karena kamu ada disamping ibu, makanya ibu bisa bangkit. Kalo nanti kamu udah lulus, udah wisuda dan pulang kampung. Entah bagaimana ibu menghadapi semua ini.”

Pram menuntun kepalaku untuk bersandar di dadanya. Satu tangannya mengusap kepalaku dengan lembut dan berkali-kali ia mengecupnya dengan mesra.

“Ibu pasti bisa..” gumannya pelan.

Aku yang sekarang adalah Rindiani yang terlahir kembali karena kehadiran Pram. Ia menata semua ruang kehidupanku dengan sedemikian rupa sehingga aku pun nyaman dan bahagia dengan diriku, dengan kehidupanku sendiri.

Disisi lain, kehadirannya membuatku semakin jauh terlena, menimbulkan ketergantunggan terhadap sosoknya. Pemikirannya yang jauh kedepan, dan dewasa selalu memberiku jalan lain, yang aku yakin akan sangat berguna untuk masa depanku.

Lama kami berdiam diri, membiarkan keheningan menyelimuti kamar tidurku, menikmati waktu sambil berpelukan mesra.

“Sayang, ngomong-ngomong, dulu waktu Nina main ke kontrakan sayang, dia sering pakai pakaian kayak tadi..?”

Pram mengangguk pelan.

“Pantesan tadi sayang gak kaget. Kayak biasa aja gitu. Padahal memeknya nyetak banget, kayak gak pakai daleman.”

“Emang sayang gak pengen ngerasain punya Nina?”

Pram tertawa lalu berguling hingga posisi kami pun berubah. Kini, tubuh telanjangnya yang menindihku.

“Kok ibu nanyanya gitu sih??”

“Cuman pengen tau aja kok..”

“Saya kan udah bilang, saya laki-laki normal bu, pasti ya pengen.. tapi saya gak mau seperti itu. Saya gak mau menyakiti ibu.”

“Kalo pun beneran kejadian, ibu gak marah kok sayang, dan kayaknya gak sakit juga karena ibu tau, kamu pasti tetap akan menjadi Pram yang selalu menyayangi ibu. Ibu tau, kamu peduli dan sudah menempatkan ibu dalam hatimu.” jawabku sambil meletakkan satu tapak tanganku tepat dijantungnya.

“Ibu juga kenal Nina, ibu tau dia, walaupun gak sedalam seperti kenal kamu. Dia hanya pengen bercinta aja, gak lebih. Hanya sebatas seks, tanpa main hati, main perasaan.”

Pram menatapku dalam-dalam sambil menghembuskan nafas panjang secara perlahan.

“Saya gak berani bu..” gumannya pelan.

“Emang sayang takut apa?”

Lagi-lagi ia tersenyum, lalu melumat bibirku dengan lembut.

“Mungkin komitmen awalnya hanya sebatas seks, tapi kita gak tau nanti kedepannya. Bisa aja mulai ada rasa, mulai main hati.”

“Ibu tau, dan ibu yakin, Pram gak akan seperti itu. Tapi mungkin Nina yang akan main hati.”

“Kamu laki-laki istimewa, dan semua temanmu tau hal itu.”

“Enggak kok bu. Saya orang biasa. Yang membuat saya istimewa karena bisa dekat dengan ibu.”

“Maksudnya gimana?”

“Sebelum kenal dekat dengan ibu, saya gak tau sama sekali tentang dunia perempuan, tentang bagaimana kehidupan rumah tangga. Tapi sekarang, saya bisa belajar dari ibu tentang semua itu.”

“Dan kamu berhasil. Dimata ibu, kamu berhasil mempelajari hal itu dan sudah membuktikannya. Kamu sudah menjadi suami ideal bagi ibu.”

“Kamu tau cara membahagiakan ibu. Kamu tau cara memperlakukan ibu, dan ibu bahagia dengan semua itu.”

“Maka dari itu, ibu gak khawatir kalo kamu mau main sama Nina. Karena kamu gak akan bisa menyakiti ibu. Ibu yakin akan hal itu.”

“Kenapa harus Nina?” tanyanya lagi.

“Karena ibu kenal dan tau Nina. Dan Pram pun kenal Nina.”

“Kalo semisal sayang mau, mungkin bukan cuman Nina yang udah sayang dapetin. Mungkin Rita, Dewi, dan banyak cewek lain yang udah sayang dapetin.”

Pram tersenyum sambil mencubit pipiku.

“Saya gak seganteng itu bu.” katanya kemudian.

“Bukan masalah gantengnya sayang.. tapi ini lhooo..” kataku sambil meletakkan tangan di dadanya.

“Hatimu lemah lembut. Penuh kesabaran. Ibu yakin, hal itu yang menyebabkan Nova lengket banget sama kamu.”

“Saya gak tau kenapa, tapi saya sayang banget sama Nova..”

Aku tersenyum dan kembali mengusap pipinya.

“Karena hatimu penuh dengan kasih sayang.”

“Bukan hanya terhadap Nova, tetapi hampir ke semua orang yang kamu kenal.”

Setelah perbincangan singkat itu, kami kembali larut dalam diam. Lelakiku memanjakan diri dengan menyandarkan kepala diantara kedua payudaraku. Kuusap, kubelai rambutnya dengan penuh rasa.


===


Dibandingkan denganku, banyak perempuan lain diluar sana yang ia kenali, jauh lebih menarik, jauh lebih cantik dan seksi daripadaku.

Namun entah mengapa, keberuntungan kembali berpihak padaku, setelah kehilangan suami, aku mendapatkan lelaki pengganti yang jauh lebih baik daripada dia, dalam segala hal.

Mungkin saja, Pram berkata jujur bahwa ia bukan melihat fisik, tetapi hati, ia melihat diriku seutuhnya.

“Bu, kita makan diluar aja yuk, Nanti sekalian cari pakaian kerja buat ibu.” katanya sambil menyandarkan dagu tepat ditengah dadaku.

Kembali kuusap pipi lelakiku, menyentuh ujung hidungnya dengan ujung jariku.

“Boleh.. tapi ibu yang traktir. Ibu yang bayar belanjaan gimana, deal?”

Pram tersenyum lantas beringsut, mensejajarkan wajahnya dengan wajahku. Kedua sikunya berpijak di kedua sisi kepalaku.

“Nanti kita lihat.” jawabnya singkat, lantas melumat bibirku dengan lembut hingga beberapa saat lamanya.

“Dari tadi ibu diciumin terus, emang sayang gak bosen?” tanyaku.

“Enggak..” jawabnya singkat sambil menggelengkan kepala.

“Ibu bosen..?”

Aku pun menggelengkan kepala dan kembali melumat bibirnya. Dengan penuh perasaan kukulum bibir atasnya, dan ia pun melakukan hal yang sama pada bibir bagian bawah milikku. Lidah-lidah kami bertautan, saling menyentuh, saling menghisap secara bergantian, hingga hampir dua menit lamanya.

Setelah puas bermanja-manja dan menikmati kebersamaan dengannya, akhirnya kami pun turun dari ranjang.

“Bingung.. pakai celana panjang apa rok??” gumanku sambil melihat-lihat koleksi pakaian yang tergantung dalam lemari.

“Yang penting harus pakai jilbab.” balasnya sambil mengenakan celana dalam.

“Eehhh.. bentar-bentar.. tunggu.” kataku cepat saat melihat Pram hendak mengenakan celana panjang.

Pram menatapku heran dan segera membatalkan niat untuk mengenakan celana panjang itu. Aku melangkah mendekat, dan bersimpuh dihadapannya.

“Bentar aja kok sayang.. pengen ngicipin ini.” kataku sambil menurunkan celana dalamnya.

Penis lelakiku masih belum mengeras dan hal tersebut membuatku merasa gemes. Tanpa persetujuannya, aku langsung melahap kemaluannya, dan dengan mudah memasukkan seluruh bagiannya kedalam mulutku.


Didalam mulut, lidahku menari liar, membelai penisnya, dan berkali-kali kuhisap hingga hanya dalam beberapa detik, kemaluan lelakiku kembali mengeras aku.

Aku bisa melihat Pram sedang berusaha mengatur nafasnya, karena ia nampak berusaha melawan rangsangan yang kuberikan.

“Ehhh.. cepet banget bangunnya. Udah tegang..” gumanku sambil mengocok penisnya sementara mataku tertuju pada wajahnya.

Pram memegang kedua lenganku, dan menuntunku untuk berdiri.

“Udah malam bu, kita harus makan dan belanja.”

“Kalo ibu gak mau, gimana?”

Pram tertawa sambil mencubit pipiku dengan lembut.

“Harus mau, kalo gak mau, nanti ibu gak dapet jatah.”

Aku tertawa lantas memeluknya dengan sangat erat. Aku tahu, ia sedang bercanda dan candaan itu sukses membuatku tersenyum.


= = =


Karena terlalu berlama-lama diatas ranjang, akhirnya kami memilih menu makan malam seadanya, hanya demi mengejar waktu untuk berbelanja pakaian kerja buatku.

“Kira-Kira ibu butuh apa aja?” tanyanya sambil menyuapkan mie ayam kedalam mulut.

“Rok panjang, flat shoes, abaya, stocking, jilbab, blazer, tanktop, sama apa lagi ibu lupa, nanti deh ibu lihat, pasti inget kalo udah masuk ke toko.”

“Kalo gitu, kita belanja ke Gardena atau galeria mall aja bu, kalo gak dapet, kita ke Malioboro.”

Aku mengangguk, dan terus menyantap soto pesananku.

“Oh iya, ibu inget..”

“Inget apa?”

“Sama ibu butuh kontol sayang.” bisikku nakal ditengah keramaian warung tersebut.

Pram tertawa pelan dan nyaris tersedak karena ulahku.

“Nanti pulang saya kasih dildo aja.” balasnya sambil berbisik, lalu tersenyum.

“Gak mau.. dildonya kecil.. ibu mau punya sayang aja.. gede.. biar puas.” balasku.

Tingkah kami dengan berbisik dan tertawa pelan tersebut sedikit banyak menarik perhatian para pengunjung yang sedang menikmati makan malam. Bahkan si pelayan warung tersebut ikut tersenyum ramah ke arah kami.

“Mas dan mbak emang pasangan ideal. Pasangan romantis.” katanya saat aku hendak meraih uang dari dalam tas cangklong yang kubawa.

Belum sempat aku menyerahkan uang tersebut, Pram mendahuluiku dan membayar.

“Makasih mas..” jawab si pelayan.

“Katanya ibu yang traktir, gimana sih?” tanyaku.

Pram hanya tersenyum sementara si pelayan sedikit bingung dengan tingkah kami berdua.

“Maaf mas, istri saya emang kadang begini, agak ribet sama urusan bayar membayar.”

Si pelayan hanya tersenyum, dan sesaat setelah membayar, Pram merangkul lenganku lalu kami pun meninggalkan warung tersebut.

“Jadi malu…” gumanku sambil tersenyum saat kami telah melanjutkan perjalanan.

“Malu kenapa bu?” tanyanya heran.

“Itu lhooo tadi… sayang bilang kalo ibu istri kamu.”

Pram tersenyum, lantas menarik lenganku untuk bergeser, mendekat ke arahnya.

“Gantian.. kemarin kan ibu juga gitu, bilang kalo saya suami ibu.” katanya sambil mengendalikan stir.

Kulingkarkan tangan dipinggangnya dan merebahkan kepala dipundaknya. Anganku segera melayang, membayangkan jika saja aku adalah wanita pilihannya, wanita yang menjadi istrinya. Bayangan itu melintas dikepalaku, dan membuatku tersenyum.

Kecupan dipermukaan jilbabku akhirnya membuyarkan lamunanku.

“Bu, parkirannya pada penuh.” Kata Pram sambil memperhatikan deretan kendaraan disepanjang tepi jalan.

“Kita langsung ke Malioboro aja deh Pram, lagian disana kan banyak koleksinya, banyak toko-tokonya.”

Pram mengangguk, lantas kami pun melanjutkan perjalanan. Hiruk pikuk dan lalu lalang kendaraan di jalan protokol membuat perjalanan kami sedikit lebih lambat.

“Selain pakaian, ibu mau belanja apa lagi?”

“Kayaknya sih cuman pakaian aja, sepatu, tas. Itu aja.”

“Ibu gak perlu make-up?” tanyanya.

Aku tersenyum dan mengecup pipinya. “Emang ibu kurang cantik? Atau makeupnya kurang ngejreng?”

“Bukan.. bukan gitu bu.. maksud saya, siapa tau make up ibu dirumah udah habis atau tinggal dikit, jadi sekalian kita beli.”

“Kayaknya make up masih ada kok, lagian ibu kan jarang dandan. Kalo pun dandan, biasanya kan cuman tipis aja.”

Hampir sepuluh menit kemudian, kami pun tiba di Maliobro. Icon kota pelajar yang telah mendunia ini selalu dipadati oleh pengunjung, walaupun hanya sekedar untuk berjalan-jalan santai, menikmati suasananya.

Pram memegang tanganku, menggengam erat jemariku saat berjalan. Satu tanganku melingkar di pinggangnya, suatu hal yang membuatku merasa nyaman dan senang.

“Kita kayak ABG lagi pacaran.” gumanku pelan.

“Kita kan emang pacaran.. ibu lupa?”

“Iya, ibu inget kok, tapi rasanya kayak beneran pacaran.”

Pram hanya tersenyum, dan kurasakan ia meremas tanganku yang berada dalam genggamannya.

Kami sedang melangkah memasuki sebuah toko yang tengah dipadati oleh pengunjung ketika Pram hendak berbalik arah dan meninggalkan toko itu.

“Mbaaaakkkkkk Rrriiiiiiiinnnnn…” teriak Rita ditengah kerumunan pengunjung lain.

“Mampusss..” guman Pram Pelan.

Dibelakangnya, Nina tersenyum manis ke arah kami dan ikut melangkah bersama Rita, menghampiriku dan Pram.

Pram, lelakiku hanya berdiri mematung ketika Rita menghampiri dan memeluk tubuhnya.

“Kamu ini, teriakin nama mbak, yang dipeluk malah Pram.” protesku sambil melepaskan pelukan pada Nina.

“Lhooo.. biarin.. itu kan mbak lagi peluk Nina. Kasian Pram, gak ada meluk.”

Nina tertawa pelan, begitu juga dengan aku, karena melihat Pram yang tampak canggung dan malu karena ulah Rita.

“Kalian kok ada disini?” tanya Rita sambil memandangku dan Pram secara bergantian.

"Kalian ngikutin aku?? Iya kaannnn??”

“Kalian kangen aku kaaaannnn??” katanya lagi tanpa jeda dengan wajah jahil.

Pram hanya menghela nafas panjang dan sedikit menundukkan wajah.

“Mbak mau cari jilbab sama sepatu.” jawabku.

“Udah.. ayo belanja.” Kata Pram kemudian sambil menarik lengan Rita karena ia merasa malu menjadi perhatian beberapa pengunjung lain.

“Eehhhhh… kok aku digandeng gini sih??” protes Rita, namun diabaikan oleh Pram.

“Mbak Rin, ini aku yang digandeng lho ya, bukan aku yang minta..” katanya sambil menoleh kearahku.

Aku hanya mengangguk pelan sambil tersenyum melihat tingkahnya. Ia membuatku gemes, geregetan karena keusilannya yang tak memandang waktu dan tempat.

“Aku mau dibelanjain??” tanyanya lagi.

“Apa mau cari kesempatan pegang-pegang tangan aku?? Hayoooo.. ngaku aja.. iyaa kaannnn???”

Pram tak menjawabnya dan terus memegang lengan Rita, sementara aku dan Nina hanya bisa tersenyum geli melihat tingkah mereka.

“Niinnn… kita mau dibelanjain Pram.” kata Rita sambil menoleh ke belakang, ke arah kami.

Nina hanya mengangguk dan terus melangkah disisiku. Satu tanganku merangkul pinggangnya, begitu juga dengannya.

“Pram mati kutu.” bisik Nina sambil tersenyum.

Aku tersenyum geli memandangi tingkah kedua orang tersebut, hingga akhirnya kami sampai di lantai dua, lantai khusus untuk pakain wanita.

“Udah.. sekarang kalian belanja..” kata Pram, lalu melepaskan pegangan tangannya pada lengan Rita.

“Yeeeeyyyyyy… girls time” teriak Rita.

Lagi-lagi, Pram menghela nafas panjang, lalu memandangku dan Nina, sementara Rita telah menenggelamkan dirinya diantara beragam koleksi pakaian wanita yang terpajang di sepanjang lorong.

“Sayang gak ikut?” tanyaku.

“Enggak bu, saya tunggu disini aja.” katanya.

Akhirnya, aku dan Nina meninggalkan Pram, melangkah mengikuti Rita yang terlebih dahulu melihat beragam koleksi kemeja, celana panjang, dan rok yang tergantung disepanjang lorong lantai dua.

“Mbak mau cari apa?” tanya Nina.

“Mau cari Blazer, abaya, jilbab, tanktop, rok panjang, flat shoes, hot pants, legging, tas. Itu aja.”

“Buat kerja? Kok banyak banget??”

Aku mengangguk pelan dan mulai ikut memilih jilbab bersama Nina, sedangkan Rita larut dalam kesenangannya, melihat-lihat beragam tas dan aksesoris wanita.

“Kalian kesini naik apa?” tanyaku, sambil beralih melihat koleksi rok panjang.

“Naik taksi mbak. Tadi aku ngajak Rita soalnya dia juga mau beli celana panjang sama kemeja.”

Aku memilih beberapa helai rok panjang beserta jilbab, begitu juga dengan Nina dan ingin mencobanya di fitting room yang terletak di bagian sudut lantai dua.

“Sayang, ibu nyoba jilbab sam rok panjang ini ya..” kataku setelah menghampirinya.

“Iya bu, kalo gitu saya ke lantai bawah aja ya bu, mau lihat-lihat kemeja sama jaket.”

Pram pun pergi meninggalkan kami, dan aku kembali melangkah menyusul Nina yang telah terlebih dahulu berjalan menuju ke fitting room.

“Rit, mbak nyobain ini dulu ya.” pesanku pada Rita sambil menunjukkan beberapa helai jilbab dan rok panjang ditanganku.

“Mau di temenin?”

“Gak perlu sayang, kamu pilih aja dulu belanjaanmu..”

Aku mengetuk pintu fitting room, dimana Nina telah berada didalamnya, dan ketika pintu sedikit terbuka, aku langsung masuk kedalam dan kembali mengunci pintu tersebut.

Nina telah melucuti celana jeans yang ia kenakan, hingga hanya menyisakan celana dalam berwarna hitam di pinggulnya. Kulitnya semakin terlihat putih karena kontras dengan warna celana dalam tersebut.

Nina segera mencoba rok panjang yang telah ia pilih, dan memutar tubuhnya beberapa kali untuk melihat kecocokan pada pinggulnya.

“Bagus kok Nin. Pas banget..” gumanku sambil melucuti rok panjang yang masih melekat di pinggulku.

Nina mengangguk dan kembali melepaskan rok tersebut, lalu menggantungkannya di belakang pintu.

“Lhoooo.. kok??" tanyaku heran karena kaget melihat Nina melucuti celana dalamnya.

Nina segera meletakkan jari telunjuknya didepan bibirku, memintaku untuk diam. Perlahan ia mendekatkan wajah.

“Ninn..” gumanku pelan saat bibirnya nyaris mendarat di bibirku.

Tak ada jawaban darinya, dan ia pun memejamkan mata, melumat bibirku dengan lembut. Caranya menciumku sungguh sangat berbeda dari sebelumnya, sangat lembut dan penuh rasa.

Awalnya, aku tak membalas lumatannya. Aku hanya berdiam diri, membiarkannya menikmati bibirku. Tak sampai sepuluh detik, Nina menuntun tanganku kearah pangkal pahanya, menekan jemariku disana. Ia memintaku untuk menyentuh kemaluannya.

Ia lantas meninggalkan tanganku disana dan langsung menyelipkan tangannya kedalam celana dalamku. Tentu saja aku mulai terangsan akibat perlakuannya tersebut dan segera membalas melumat bibirnya dengan sedikit kasar.

Pun demikian dengan pangkal pahanya, jemariku menari liar, membelai, mengusap, mempermainkan vaginanya yang telah basah.

Hampir satu menit berlalu ketika akhirnya Nina membuka kancing kemeja yang menutupi tububnya dan mengeluarkan payudara dari dalam bra yang melindunginya.

Dengan lembut ia menuntun kepalaku untuk sedikit menunduk, mengarah ke bagian dadanya. Nina ingin aku mengerjai kedua payudaranya yang ranum. Aku tak menolaknya karena telah terbuai dalam kenikmatan akibat permainan jemarinya di pangkal pahaku. Dan tanpa membuang waktu, aku langsung melahap kedua putingnya secara bergantian.

Kuhisap, kukulum, dan kujilati dengan rakus sementara dibagian bawah, satu jariku telah menerobos memasuki liang vaginanya.

Satu tangannya menekan bagian belakang kepalaku, sementara tangan lainnya pun sibuk mengocok liang vaginaku. Kami benar-benar terlarut dalam kegilaan yang luar biasa nekat dan panas karena Rita sedang berada diluar sana, tak jauh dari bilik fitting room yang kami gunakan.

Hampir dua menit berlalu, Nina kembali mendesak kepalaku untuk lebih menunduk, hingga akhirnya aku bersimpuh di hadapannya.

Untuk pertama kalinya, akhirnya lidahku menyentuh kemaluan wanita, vagina Nina, sahabat Pram. Sesekali aku melirik keatas, melihat Nina menggigit bibirnya sendiri sambil meremas payudaranya karena satu tangannya yang lain sedang menekan bagian belakang kepalaku kearah pangkal pahanya.

Kegilaanku bertambah ketika satu tanganku ikut bermain dengan kembali menusuk masuk kedalam liang vaginanya. Nina merintih pelan, pinggulnya bergerak pelan seiring tusukan dua jari yang memanjakan liang vaginanya. Basah, sangat basah karena begitu banyak cairan yang keluar dari kemaluan Nina, hingga mengalir kebagian lenganku.

Tak sampai satu menit, sebuah hisapan keras kulayangkan ke bagian clitorisnya, dan Nina pun menyambut datangnya oragsmenya. Sekujur pahanya menegang dan bergetar, begitu juga dengan kedua puting payudaranya, mengeras sempurna.

Berkali-kali aku menjilati kemaluannya, menelusuri belahan vaginanya, membersihkan cairan orgasme itu dan menelannya. Dan hanya dalam waktu singkat, pangkal paha Nina pun kembali bersih.

Cengkraman jemarinya si kepalaku pun akhirnya melemah, hingga akhirnya terlepas. Ia memandangiku dengan tatapan sayu dan nafas yang menderu.

Perlahan aku bangkit berdiri sambil menghisap jemariku yang berlumuran cairan orgasmenya.

“Gilaa..” guman Nina pelan lalu tersenyum.

Aku pun kembali tersenyum padanya dan Nina segera melumat bibirku. Sesekali digigitnya bibirku dengan lembut, dan kedua tangannya meremas payudaraku. Segera setelah pagutan bibir kami terlepas, ia meraih tissue dari dalam tasnya.

“Gak sampe seepuluh menit, udah KO akunya.” gumannya sambil membersihkan kemaluannya dengan tissue basah, sementara aku membersihkan sekitar bibirku.

Segera setelah Nina kembali mengenakan celana dalamnya, kami mendengar suara Rita memanggil, disertai ketukan pintu bilik.

“Kalian lama banget..”

“Nyobain pakaian apa main catur sih??” sambungnya sambil menggantungkan beberapa helai rok span dibelakang pintu.

“Kita main bola dulu, baru nyobain pakaian. Ini bolanya, ada dua..” kata Nina sambil membenahi bra yang kembali menutupi payudaranya.”

“Gila.” guman rita singkat sambil melucuti celana panjangnya.

Aku yang sedari tadi telah gemes dan geregetan melihat tingkahnya semakin dibuatnya bertambah, hingga aku harus mengepalkan tanganku sendiri demi menahan perasaanku.

Nina yang melihat ekspresi wajahku hanya tertawa pelan. Ia lantas mengedipkan mata sambil menunjuk ke arah Rita yang tengah meraih rok span yang ia bawa.

“Lama-lama mbak cium juga kamu Rit..” gerutuku.

Rita hanya menatapku sekilas, lalu bersiap mencoba rok itu.

“Sarap.. emang berani??” tanyanya santai.

Aku segera mendekatinya, merapatkan tubuh hingga Rita terdesak, terhimpit dengan dinding bilik dibelakangnya.

“Beneran mau mbak cium??” tanyaku sambil menatap matanya.

“Eh..anu.. mbak…enggak.. ini apaan sih..??” protesnya kerika satu tanganku mulai merayap, mengusap pahanya.

Aku semakin mendekatkan wajah, menyisakan sedikit ruang diantara bibir kami sehingga membuatnya semakin terdesak dan kewalahan dengan kegilaanku.

“Adduuhhhhhh.. ini kenapa.. anu.. itu anu.. enggak..eehhh.” katanya ketika tanganku terus merayap naik, nyaris menyentuh kemaluannya.

Ia berusaha memberontak, menjauhkan tubuhku, namun Nina segera mendekat dan ikut membantuku hingga ia tak bisa berbuat banyak untuk melawan kami.

“Kalo mbak Rin boleh cium kamu, aku juga mau kok Rit.” Kata Nina dengan wajah serius.

“Ihh… kok ini...aduhh.. ini kok pada gini sih..??” protesnya saat Nina ikut membelai pahanya, bahkan jemarinya mengusap permukaan celana dalam Rita.

Aku benar-benar tak mampu menahan tawaku lagi saat melihat Rita pasrah dan tak mampu melawan kegilaanku dan Nina.

Wajahnya pucat pasi dan butiran keringat muncul di keningnya. Perlahan aku mengendurkan desakan pada tubuhnya, namun tetap memandangnya dengan wajah serius, begitu juga dengan Nina.

Rita benar-benar ketakutan, ia terlihat pasrah pada nasibnya. Seketika, Nina pun tertawa, kedua tangannya membekap erat mulutnya sendiri.

“Hhhhiiiiiiiiiihhhhhhhhhhh…!” seru Rita sambil mencubit pinggang kami sekaligus.

“Kalian gilaaaaaaa…” katanya lagi.

Aku dan Nina tertawa geli melihat Rita yang sedang melampiaskan perasaan marahnya.

“Aku kira aku mau diperkosa beneran..” gerutunya sambil mencoba rok span yang telah ia pilih.

“Ya enggaklah Rit, gimana mau perkosa, kontol aja kita gak punya. Kita kan adanya memek, sama kayak kamu.” balas Nina.

Rita menatap Nina sejenak lalu mengigit lengannya dengan tiba-tiba hingga Nina menjerit dan berusaha menghindar.

“Buuuu…” teriak Pram dari luar disertai beberapa kali ketukan pintu.

“Ibu gapapa? Baik-baik aja?” tanyanya.

“Iya, gapapa kok Pram. Ini lho Rita sama Nina lagi bercanda.”

Segera setelahnya, tak ada lagi suara dari arah luar, dan kami melanjutkan untuk mencoba pakaian yang telah kami pilih.

“Bagus gak Nin?” tanya Rita sambil melihat dirinya lewat cermin.

“Bagus.. cuman kurang panjang dikit. Kalo dipakai buat kuliah rada gak pas aja.”

“Masa sih?” kata Rita sambil melihat ujung roknya yang sedikit lebih tinggi dari lututnya.

“Iya Rit, kurang panjang dikit.” gumanku.

“Berarti cocoknya buat jalan-jalan aja.” jawabnya.

Hampir sepuluh menit berlalu hingga akhirnya kami keluar dari bilik tersebut. Pram lelakiku tengah bercakap-cakap dengan seorang wanita muda, pegawai toko tersebut.

“Pram udah selesai belanja?” tanyaku setelah menghampirinya.

“Saya gak belanja kok bu. Tadi cuman lihat-lihat aja.”

Aku menyerahkan barang-barang belanjaanku berupa blazer, jilbab, tanktop, dan rok panjang pada wanita tersebut.

“Masih kurang apa lagi bu?”

“belum pilih legging, hot pant, sama stocking.”

“Mau beli disini atau cari di toko lain?”

“Disini aja sayang, biar gak repot keliling.”

“Yuk, kita cari sekarang.”

“Beneran?? Sayang mau temenin??” tanyaku.

Pram mengangguk lantas merangkul pinggangku dan mengajakku berjalan menyusuri lorong lantai dua tersebut.

“Stockingnya yang warna hitam aja ya bu.” guman Pram sambil terus mendampingiku, melihat-lihat beragam koleksi yang ada.

Aku mengangguk , dan meraih empat helai sekaligus dengan beragam corak. Tanpa sepengetahuanku, Pram memilih legging yang berada tak jauh dari tempatku berdiri, dan menyerahkannya padaku, begitu juga dengan tanktop.

“Mbak, kami ke lantai tiga ya, mau lihat-lihat tas sama sepatu.” kata Rita.

“Iya.. duluan aja, nanti mbak nyusul.”

“Pram gak pengen ikut? Nemenin kita gitu..” katanya lagi.

“Enggakkkkkk… Pram disini aja nemenin mbak..” potongku dengan cepat dengan suara sedikit keras.

“Idihhhh.. biasa aja kalik mbakkkkkkk…gak usah teriak gitu, aku belum budek..” balasnya.

“Udah.. buruan.. ntar kita kemalaman..” kata Nina sambil menarik lengan Rita dan membawanya pergi.

Pram hanya tertawa pelan dan kembali mendampingiku.

“Anak itu bener-bener menguji kesabaran kita.” gumannya.




♡♡♡ bersambung ♡♡♡

Part 2 akan rilis dalam beberapa jam kedepan Terima kasih :rose:
Suka gaya penulisanx...natural banget....laki2 sep pram mmg jarang yg ada...tp tipe pram mirip dgn sahabat saya.....
 
Part 2



Rindiani


‘Kesabaran’ itulah sebuah kata sederhana yang sangat mudah diucapkan, namun sangat sukar untuk diaplikasikan dalam kehidupan.

Berbeda denganku, Pram jauh lebih mampu mengendalikan perasaannya, mampu mengolah hatinya sehingga bisa bersikap tenang dan bijak dalam setiap tindak tanduknya. Ia begitu sabar menghadapi Rita, si gadis jahil yang bagiku bak kutu dalam tumpukan rambut.

“Kalo sama Rita, jangan diambil hati bu. Bisa-bisa ibu stroke kalo terbawa emosi.” gumannya.

“Rasanya ibu gatel banget kalo lihat dia, bawaannya pengen ibu gigit, pengen ibu cubit sampe ibu puas.”

Pram tertawa pelan, dan kembali merangkul pinggangku dan berjalan pelan, mernyusuri lorong itu. Aku kembali berhenti setelah melihat deretan rok mini yang tergantung ditepi lorong tersebut. Kuraih sehelai dan menempelkannya di pinggangku.

“Seksi..” gumannya pelan.

“Beli aja bu.” sambungnya.

“Sayang suka kalo ibu pakai kayak gini?” Pram mengangguk sambil tersenyum malu.

“Boleh ibu pakai jalan-jalan?”

“Enggak.. gak boleh, pakainya di rumah aja.”

Aku tersenyum dan melangkah mendekat.

“Kalo dirumah, ibu lebih senang telanjang” bisikku.

Pram tertawa, lantas meraih beberapa helai rok mini lagi dan membawanya. Ia pun setia mendampingiku saat memilih tanktop, dan lingerie.

“Mbak, saya mau coba semua pakaiann ini, kalo suami saya ikut masuk ke fitting room boleh?” tanyaku pada wanita pelayan toko yang berdiri tak jauh dari kami.

“Boleh bu.. silahkan.”

“Makasih mbak.”

Pram tertawa pelan sambil melangkah disampingku.

“Bener-bener makin nakal. Nekat.” gumannya pelan.

“Biarin.. kan nakalnya sama suami sendiri.”

Mendengar ucapanku, ia meremas pinggangku sambil terus melangkah bersamaku menuju ke fitting room.

“Pasti mereka percaya kalo kita suami istri.” bisikku pelan sambil melucuti rok panjang yang kukenakan.

Bukannya mencoba rok mini yang telah kami pilih, aku malah melingkarkan tangan di leher lelakiku dan merapatkan tubuh padanya.

“Ibu gak takut di pergokin orang?” tanyanya pelan.

“Disini kan aman. Lagian tadi kan ibu bilang kalo kamu suami ibu.” jawabku sambil mengusap kemaluannya dari balik celana.

Aku segera mencoba beberapa helai rok mini tersebut, dan Pram pun nampak menyukainya.

“Bagus.. seksi..” bisiknya sambil memelukku dari arah belakang.

Tak sampai lima menit kemudian, kami pun keluar dari bilik tersebut dan menyerahkan rok tersebut ke pelayan toko tersebut.

“Sekarang cari flat shoes, di lantai atas.” kataku.

Sekali lagi Pram merangkul pinggangku, dan mengiringi langkahku menuju ke lantai tiga. Disana, Rita dan Nina tengah sibuk mencoba beragam sepatu dan sandal wanita.

“Udah dapet sepatunya?” tanyaku.

“Bingung.. pada bagus-bagus semua..” jawab Nina.

“Iya.. udah gitu ada diskonnya lagi.” sambung Rita.

“Pantesan cewek kalo belanja lama banget..” guman Pram.

Nina dan Rita menatap tajam kearah Pram, hingga membuatnya tertunduk malu.

“Udah, buruan dipilih biar kita cepet pulang.” kataku seraya meninggalkan mereka dan memilih dua pasang flat shoes lalu mencobanya.

“Sayang.. gimana? Bagus gak?” tanyaku pada lelakiku.

Pram pun mengangguk.

“Pram, kalo ini bagus gak?” tanya Rita sambil memamerkan sepatu sport berwarna biru padanya.

“Bagus.. jadi kelihatan sporty.” jawabnya singkat.

Hampir sepuluh menit kemudian, akhirnya kami pun kembali ke lantai dua, ke bagian kasir untuk membayar semua barang yang telah kami pilih, dan ketika giliranku tiba, Pram mendampingiku, berdiri disampingku. Ia lantas mengeluarkan kartu kredit dan menyerahkannya pada kasir.

“Pakai ini aja mbak.” gumannya.

Belum sempat aku memprotes tindakannya, Rita pun menyelinap diantara kami dan meletakkan belanjaannya diatas meja kasir.

“Sekalian sama ini mbak..” katanya dengan santai.

“Ehh.. kok..???” tanyaku heran sambil menatap Rita.

Pram hanya tersenyum, sambil mengangguk ke arah kasir.

“Nin.. sekalian punyamu juga.” katanya kemudian.

“Enggak Pram.. nanti aku bayar sendiri.”

“Udahh.. sini..” jawab Pram sambil meraih barang belanjaan yang dibawa Nina.

“Emang paling asik kalo belanja sama kakakku ini… baik hati sedunia.” kata Rita.

Wanita muda yang berdiri dibelakang meja kasir pun tertawa pelan mendengar hal itu.

“Gombal.. giliran dibelanjain aja tiba-tiba jadi imut gini.” guman Pram.

Rita tertawa lantas merangkul lengan lelakiku.

“Mbak.. ini kakakku lhoooo.. dia ganteng kan?” kata Rita pada si Kasir.

Pram hanya menggelengkan kepala sambil berusaha melepaskan tangan Rita, namun Rita tetap saja merangkulnya.

“Iya, ganteng.” jawab si kasir pelan sambil mulai menghitung seluruh belanjaan kami.

Nina tersenyum geli, sementara aku menatap Rita dengan perasaan gemes di dadaku. Tingkahnya membuatku sangat ingin mencubitnya dengan sangat keras.

“Sabar..” kata Pram pelan, sambil mengusap lenganku.

Aku hanya bisa menghela nafas, berusaha menahan luapan perasaanku terhadap Rita.

“Kalian kakak beradik?” tanya si kasir sambil terus menghitung jumlah belanjaan.

“Iya dong.. kami..”

“Ennggaakkkkkk… bukkkaaannnn” kataku, memotong ucapan Rita.

“Yang ini tadi nemu di pinggir jalan.” sambungku.

Dengan cepat Rita menjulurkan tangan dan hendak mencubitku, namun Pram segera berusaha menahannya, dibelakang kami, Nina tertawa geli.

“Jarang banget ada kakak adik yang udah dewasa bisa akrab dan akur seperti ini.”

Tawa Nina semakin menjadi setelah mendengarkan perkataan si kasir.


= = =

“Emangnya wajah kita berempat mirip?” tanya Pram sambil mengendalikan stir.

“Eennggaaakkkkkkk..! Gak ada mirip-miripnya sama sekali” jawab Nina cepat.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala setelah mengingat kejadian didepan meja kasir, sedangkan Rita tertawa terbahak-bahak dengan protes Nina.

Keakraban dan kedekatan yang telah terjalin lama membuat Rita dan Nina menjadi lebih bebas dalam melakukan apapun terhadap lelakiku. Tidak ada batasan maupun rasa sungkan terlihat dari kedua wanita tersebut.

Pram, lelakiku pun tidak pernah memprotes kegilaan mereka, walaupun terkadang aku yang harus menahan perasaan geregetan terhadap mereka.

Namun, biar bagaimana pun, mereka adalah orang-orang yang terlebih dahulu mengenal Pram, mengisi hari-hari lelakiku dengan canda dan tawa, dan aku harus memakluminya. Kehidupanku jauh lebih ceria dan penuh warna karena mengenal mereka, dan entah mengapa, tak ada rasa cemburu sedikitpun dalam diriku melihat kedua wanita muda tersebut begitu dekat dengan lelakiku.

Sebaliknya, aku merasa senang dan bahagia karena kehadiranku dalam lingkungan pertemanan mereka tidak mengubah satu hal pun. Mereka tetap bercanda, saling menggoda satu sama lain, lalu tertawa bersama. Itulah hari-hari penuh warna yang telah kulewati bersama mereka.

“Mbak Rin, Pram.. makasih banyak udah belanjain aku..” kata Rita ketika kami telah sampai di kostnya.

Pram mengeluarkan barang belanjaannya dari bagasi mobil, lalu menyerahkan pada Rita.

“Iya.. sama-sama dek.. ya udah, istirahat gih, biar besok gak telat ke kampus.”

“Iya mbak. Makasih ya..”

Rita lantas memelukku dengan erat hingga beberapa saat.

“Pram gak dipeluk? Dia udah belanjain kamu lhooo.” kataku.

Rita tersenyum, lantas meletakkan kantong plastik belanjaan di tanah dan memeluk lelakiku dengan erat.

“Makasih Pram.” gumannya pelan.

Pram membalas pelukan Rita, hanya sekejap lalu melepaskannya.

“Emang Rita selalu usil sejak dulu kenal kalian?” tanyaku saat kami melanjutkan perjalanan untuk mengantarkan Nina.

“Awal-awal kenal sih dia masih tenang mbak, makin lama makin kelihatan usilnya, dan sekarang makin parah.”

Pram tertawa pelan sambil memperlambat laju mobil karena suasana ramai disepanjang jalan yang kami lalui.

“Tapi kalo gak ada dia, rasanya kurang komplit. Sepi.” kata Pram.

“Iyaaa… dia yang buat suasana jadi heboh.” timpalku.

“Tapi harus ekstra sabar kalo berteman sama dia, kalo enggak, bisa tekanan batin.” sahut Nina.

Hanya beberapa saat kemudian, kami pun tiba di depan kost Nina.

“Kalian gak mampir dulu?” tanyanya.

“Mbak langsung pulang aja Nin, udah malem. Besok mbak harus kerja. Kalian kan harus ke kampus juga."

“Yyaaaahhhh, padahal pengen ngobrol-ngobrol dulu..” gumannya.

“Besok-besok lagi aja Nin..” balas Pram.

Nina memeluk dan mengecup pipiku, kedua tangannya kembali meremas lembut pantatku. Pram yang menyaksikan hal itu tersenyum sambil menggelengkan kepala.

“Masa cuman Pram aja yang boleh pegang-pegang.. aku juga harus boleh dong.” katanya, lalu melepaskan pelukan.

“Ya udah, kalian hati-hati dijalan ya..” katanya kemudian.

“Makasih ya Pram, udah bayarin belanjaanku.”

“Iya, sama-sama Nin.”

Aku tersenyum, lantas bergeser, mendekat pada Nina.

“Udah dibelanjaain cuman bilang makasih aja? Pacar mbak gak dikaaih pelukan apa ciuman gitu?” tanyaku.

Nina tertawa lalu melihat kesekelilingnya. Suasana telah cukup sepi karena para penghuni kost lainnya telah memasuki kamarnya masing-masing.

“Emang boleh?” tanya Nina pada Pram.

Tanpa mwnjawab pertanyaan, Pram merapatkan tubuhnya dan merengkuh Nina. Lelakiku memeluknya dengan sangat erat hingga beberapa saat lamanya. Tentu aku sedikit terkejut dengan apa yang ia lakukan, karena tak seperti biasanya, Pram terlebih dahulu memeluk Nina.

“Tumben mau peluk aku, biasanya aku yang duluan peluk.”

Pram hanya tersenyum, lalu bergeser mendekat padaku.

“Gapapa Nin..” jawabnya singkat.

“Ya udah, kami pamit ya Nin..” kataku sambil menggengam erat jemari lelakiku.

“Iya, hati-hati dijalan yaaa…” balasnya sambil meraih kembali kantong plastik belanjaannya.

Ia melambaikan tangan saat kami meninggalkannya, dan kubalas dengan senyum dan lambaian tangan pula.

“Tumben sayang mau duluan peluk Nina.. biasanya kan dia yang main peluk duluan.”

“Ya gapapa sih bu, gak ada maksud apa-apa kok.”

Aku tersenyum, lantas merapatkan tubuh dengannya.

“Beneran gak ada apa-apa?”

Pram tertawa pelan, lalu mengecup permukaan jilbab yang menutupi kepalaku.

“Ibu cemburu?” tanyanya.

“Dikit..” jawabku pelan sambil melingkarkan lengan di pinggangnya.

“Itu baru pelukan lho bu, gimana kalo sampe ciuman? Apalagi sampai bercinta??”

Aku tersenyum malu, lantas menyembunyikan wajah di pundaknya.

“Iya ya.. kayaknya ibu gak bisa deh. Sebenernya ibu sih cuman pengen ngerasain threesome aja..penasaran gitu. Tapi ibu gak mau kalo sama laki-laki lain. Maunya sama cewek aja.”

“Nina..?” tanya lelakiku sambil menatap jalan didepan.

“Iya..” Pram menghembuskan nafas panjang, satu tangannya melepaskan stir mobil dan mengusap pipiku dengan lembut.

“Saya senang ibu jujur dan terbuka dengan saya.” katanya, lalu kembali mengecup kepalaku.

“Tapi untuk yang satu ini, saya belum siap bu. Saya gak berani. Banyak hal yang harus dipertimbangkan.” sambungnya.

Aku mengangguk pelan dan mempererat pelukanku.

“Kalo kita mencoba dan ternyata enak.. gak menutup kemungkinan kita akan mengulanginya lagi. Dan yang pasti, seks itu selalu membuat kita selalu merasa haus.” katanya.

“Haus gimana sayang?”

“Haus dalam arti selalu merasa kurang. Coba sekali, senang. Lalu mencoba lagi, lagi, dan lagi. Kita tidak akan pernah merasa puas.”

Aku kembali mengangguk pelan.

“Mungkin saya bisa menahan hasrat, dan ibu pun bisa, tapi Nina?”

“Atau, mungkin juga setelah main bertiga, hubungan kita berubah. Seks diantara kita terasa hambar dan akhirnya menjadi hal yang terlihat seperti biasa aja, karena telah merasakan sensasi kehadiran orang ketiga.”

Aku termenung dipundak lelakiku. Sedikit banyak, ia sedang memberiku pelajaran tentang kegilaanku terhadap seks.

“Bukannya saya gak mau bu.. saya laki-laki normal kok. Tapi saya ingin hubungan kita gak dicemari dengan hal seperti itu. Saya belum siap untuk hal seperti itu.”

Apa yang ia sampaikan benar-benar membuka pikiranku. Aku tak berpikir sedalam seperti yang Pram ungkapkan. Ia lebih memilih untuk menjaga hubungan kedekatan kami dibandingkan dengan tawaran kenikmatan dariku.

Ia membuka mataku tentang resiko yang mungkin terjadi setelah realisasi fantasi liar tersebut. Ia membuatku sadar diri, dan berusaha untuk menjagaku agar tak terjerumus dalam kecanduan seks.

“Makasih sayang. Ibu gak mikir sampai segitu.” gumanku sambil mengusap pipinya.

Pram meraih jemariku dan meremasnya, lantas mengecupnya.

“Untuk variasi sih emang bagus, tapi ya selalu ada konseksuensi dari setiap perbuatan. Nah, sekarang, apakah kita siap dengan konsekuensi tersebut?”

“Kayaknya ibu gak siap. Ibu gak mau kehilangan kamu.” jawabku.

“Saya pun yakin, Nina gak siap dengan konsekuensinya..” sambungnya.

Lama kami terdiam hingga akhirnya sampai dirumah dan aku masih mencoba memikirkan apa yang telah dikatakan oleh Pram.

“Udahh, jangan dipikirin buuu.. biarkan aja mengalir..saya minta ibu mulai fokus ke pekerjaan ibu.” kata Pram sambil melucuti baju dan celananya hingga hanya menyisakan celana dalam.

Aku hanya bisa tersenyum lalu melangkah mendekat dan memeluknya dari belakang. Satu kecupan nan mesra kulayangkan ke pundaknya.

“Ibu gak mau kehilangan kamu..” bisikku sambil menyandarkan dagu dipundaknya.

“Itu sebabnya saya gak mau ambil resiko bu.” Pram menumpangkan kedua lengan diatas tanganku, mengecup pipiku dengan mesra.

“Saya senang ibu gak marah..” gumannya.

“Ibu paham.. ibu ngerti sepenuhnya maksud sayang.”

Pram memutar tubuh, berhadapan denganku dan memegang kedua belah pipiku dengan lembut.

“Saya ingin Nova memiliki ibu yang sempurna. Seorang ibu yang bisa ia banggakan dan menjadi teladan baginya. Semua ini bukan hanya tentang ibu, tapi tentang Nova juga.”

“Jangan kecewakan Nova. Cukup ayahnya yang membuatnya terluka, jangan sampai ibu pun melukainya dengan prilaku yang bisa membuatnya terluka dan kecewa."

Aku tertegun, diam seribu bahasa dalam keheningan malam setelah Pram mengungkapkan isi hatinya. Tatapn matanya begitu dalam, menembus jiwaku. Rangkaian kalimatnya terasa seperti ratusan peluru yang menyobek jantungku. Ia menaparku dengan caranya, menghempaskan fantasi liarku dan memusnahkannya dalam sekejab.

Aku masih terdiam dan perlahan, mataku terasa perih. Sebutir air mata pun mengalir melalui sudur mata.

“Mungkin apa yang ibu lakukan tidak akan diketahui oleh siapapun, bahkan oleh Nova. Tapi, pertanyaan saya, apakah ibu tidak merasa bersalah didalam hati? Jika akhirnya karena kelakuan nakal ibu membuat Nova kecewa dan terluka."

Sekali lagi, lelakiku menamparku dengan keras. Ia membuatku terdiam, lidahku pun terasa kelu hingga hanya mampu membalas tatapannya yang tajam.

“Saya mohon, ingat selalu bahwa Nova hanya memiliki ibu, dan jangan sampai dia merasa kecewa terhadap ibu. Jangan egois.. saat ini ibu tidak bisa hanya memikirkan kesenangan untuk diri ibu sendiri. Ibu tidak bisa lagi bersikap egois, karena ibu telah memiliki Nova.”

Pram benar-benar menghabisiku. Ia menelanjangi pikiranku dan membuka mataku.

“Saya tidak bermaksud untuk ikut campur dalam kehidupan pribadi ibu. Saya tidak bermaksud untuk mengatur bagaimana cara ibu menjalani kehidupan. Saya hanya ingin ibu sadar dan selalu mengingat bahwa ada Nova yang harus mulai ibu pikirkan.”

Sesaat setelah ia menyelesaikan kalimatnya, Pram menyeka air mata yang mengalir di pipiku. Tak kuasa menahan gejolak dalam dada, akhirnya aku memeluk erat tubuhnya, sangat erat demi menenagkan hatiku.

Pram sedang berusaha untuk menyadarkanku, membenahi sisi liar yang semakin hari semakin tak terkendali.

“Kita istirahat yuk bu. Udah larut.” katanya kemudian sambil mengusap punggungku.

“Sekarang ibu ganti pakaiannya. Kita tidur biar besok gak kesiangan bangunnya.”

Pram membuatku terdiam, membuatku tersadar akan realita yang nyaris terlupakan. Nova, putri kecilku yang seharusnya menjadi duniaku mulai terkikis perlahan oleh ego, oleh beragam lika-liku hasrat yang mulai memelukku.

"Seks itu memang kebutuhan, saya mengerti dan saya paham itu. Tapi jangan sampai prilaku kita menjadi rusak, kehidupan kita menjadi terganggu hanya karena seks." sambungnya saat kami telah berbaring diranjangku.

"Jangan sampai ada yang terluka, atau dikorbankan hanya karena seks. Persahabatan dengan Nina mungkin akan berubah jika kita merealisasikan hal itu, atau, mungkin hubungan saya dan ibu pun mungkin akan berubah.. kita gak tahu bu.."

"Maka dari itu saya tidak berani. Dan saya belum siap untuk hal itu."

Pram memelukku erat, berkali-kali mengecup kepalaku setelah mengungkapkan apa yang ada di pikirannya, di hatinya.

Ia membuatku sadar, bahwa kehidupanku adalah pilar utama untuk Nova, putri kecilku. Dan untuk itu, aku harus menjadi yang terbaik baginya.



♡♡♡ bersambung♡♡♡

Part 3 akan rilis dalam beberapa jam kedepan

Terima kasih :rose:
 
Njir, fantasi liar jadi buyar semua gara-gara Pram. Tapi yang diucapin bener semua, dalem banget lagi. Sampai nggak mau bangun lagi si batang...
 
Sek itu memang kebutuhaN.. jangan sampai Perilaku sex mengganggu Kehidupan.. Dalam makna nya ini..

Makasih update nya neng
Lanjutkan
 
Pram seperti sedang mengajariku tentang fantasi seksual. Harus siap dengan segala resiko yang mungkin timbul dari merealisasikan fantasi tersebut. Super banget dah. Makasih yaa suhu @merah_delima atas pelajarannya hari ini.
 
Part 3



Rindiani

Semalaman aku tertidur dengan hati yang gundah, walaupun Pram terbaring disisiku, memelukku dengan erat hingga pagi menjelang. Semua ucapan lelakiku masih terngiang, masih menari-nari dalam pikiranku.

Hampir jam empat subuh, ketika aku tengah menyiapkan sarapan, ia pun terjaga dari tidurnya.

“Pagiii buuu…”

Aku menoleh kebelakang dan menemukan lelakiku dengan wajah kusut, duduk dikursi meja makan.

“Lhooo.. sayang gak mandi dulu? Ibu udah mandi lhooo.”

Pram menggelengkan kepala, lantas merebahkan kepala dimeja, beralaskan tangannya. Aku segera melangkah mendekat, mengusap kepalanya dengan penuh rasa.

“Tumben sayang males banget hari ini.”

Ia tak menjawabku, melainkan hanya melirikku sesaat, lalu memelukku. “Sayang kecapekan? Sakit??” tanyaku lagi.

“Enggak bu.. saya baik-baik aja kok. Cuman pengen dipeluk aja.” jawabnya sambil menyandarkan kepala diperutku.

Aku tersenyum geli mendengar jawabannya. Lelaki yang semalam telah menamparku dengan ucapan-ucapannya yang dewasa kini berubah menjadi seorang anak kecil yang manja.

“Sebentar..” kataku singkat sambil menuntun tangannya untuk melepaskan pelukan di pinggangku.

Aku kembali meninggalkannya dan melanjutkan membuat minuman dengan cepat, lalu membersihkan tanganku dan kembali padanya.

“Yuk… sini.. ikut ibu.” kataku sambil meraih jemarinya dan mengajaknya untuk kembali ke kamar tidur.

Segera setelah menutup pintu kamar, kulucuti kimono handuk yang melindungi tubuh telanjangku.

“Sini..” kataku sambil merentangkan tangan setelah duduk di tepian ranjang.

Pram menghampiriku, dan ketika telah berdiri dihadapanku, kulucuti celana pendek, sekaligus celana dalamnya, begitu juga dengan baju.

Pram mengikutiku naik keatas kasur, berbaring sedikit lebih rendah dari posisiku lantas menyandarkan wajah tepat dipayudaraku.

Dengan usapan dikepala dan dalam pelukanku, tak sampai sepuluh menit kemudian, Pram kembali tertidur pulas. Sesekali kukecup lembut kepalanya, membiarkannya terlelap dalam pelukanku.

Lelaki yang semalam mencoba menyadarkanku dari kegilaan terhadap seks itu kini tampak seperti seorang anak kecil yang begitu manja. Ia membuatku tak habis pikir, membuatku terheran-heran.

Mungkin saja ada kejadian seperti ini, yang dialami oleh wanita lain diluar sana, dimana lelaki yang yang selalu memanjakannya tiba-tiba berubah menjadi sosok yang ingin dimanjakan.

Aku memakluminya, karena usianya yang masih begitu muda, walaupun tingkahnya ini membuatku tersenyum geli. Selama aku menjalani kehidupan berumah tangga, tak sekalipun suamiku bersikap seperti ini, suatu hal baru bagiku karena berhadapan dengan tingkah manja seorang lelaki dewasa.

Dibalik ketegaran dan kedewasaannya, Pram pun memiliki sifat kekanakan, yang mungkin saja merupakan sesuatu yang lumrah bagi pria manapun, walaupun aku tak pernah mendapatinya saat masih menjalin kehidupan berumah tangga.

Aku tak keberatan, ataupun merasa enggan untuk meladeni tingkahnya, justru sebaliknya, aku merasa senang karena hal itu membuktikan bahwa aku memiliki arti, memiliki peran dalam kehidupannya.


Hampir satu setengah jam Pram terlelap, sementara aku tetap terjaga, memanjakannya dengan pelukan dan usapan dibalik selimut yang menutupi tubuh telanjang kami. Tak sedikitpun ia bergerak atau berganti posisi, hingga satu kakiku yang menumpang diatas pinggulnya pun terasa lelah dan kesemutan.

“Pagi sayang.” gumanku, lalu kembali mengecup kepalanya setelah melihatnya membuka mata.

Pram tersenyum, mengecup ujung daguku dan memelukku erat.

“Udah jam setengah enam lhoo.. sayang mandi dulu ya, abis itu kita sarapan.”

“Males..” jawabnya singkat, dan kembali memelukku erat.

“Sayang gak ebak badan? Mau mandi pake air hangat?”

Pram hanya menggelengkan kepala dan tetap memelukku, menyembunyikan wajahnya dipayudaraku.

Aku hanya bisa menghela nafas, berusaha sebaik mungkin untuk membuatnya nyaman.

“Hari ini gak ke kampus?”

Lagi-lagi, lelakiku hanya menggelengkan kepala.

“Kalo nganterin ibu kerja, mau?”

“Iya bu, mau..”

“Kalo sayang pengen istirahat, biar ibu berangkat sendiri aja gapapa kok, biar sayang bisa tidur lagi.”

Ia hanya menggeleng pelan, tanpa memandangku. Tingkahnya yang manja mengingatkanku pada Nova, putri kecilku.

Hampir sepuluh menit berlalu hingga akhirnya ia melepaskan pelukannya dan menatap wajahku.

“Makasih bu..” bisiknya pelan, lalu mengecup keningku.

“Iyaa.. sama-sama sayang..”

Sebuah kecupan mesra pun kuberikan pada keningnya.

Pram beringsut, duduk di tepian ranjang dengan posisi membelakangiku.

“Sayang mau mandi?”

“Iya bu..”

“Mau ibu mandiin?”

Ia mengangguk pelan sambil menoleh ke arahku.

Segera saja aku bangkit dari tidurku, berdiri dihadapannya sambil kembali mengusap kepalanya.

“Yuk, mandi..” kataku seraya meraih kedua tangannya.

Bukannya bangkit berdiri, Pram menarik tanganku pelan sambil merebahkan tubuh, hingga akhirnya kembali berbaring dengan tubuhku diatasnya.

“Hari ini sayang males banget..” gumanku lalu tersenyum.

“Gak tau, rasanya pengen tiduran terus..”

“Mandi dulu, biar seger.. biar semangat. Ini hari sabtu lhooo.. malam minggu.”

“Dirumah aja, pacaran sama ibu..” jawabnya singkat.

“Iyaa.. bolehhh..ya udah, mandi yuk..” kataku.

Lelakiku hanya diam, melingkarkan kedua tangannya dipinggangku.

“Kayaknya harus ibu semangatin..”

Pram tersenyum, lantas meremas lembut kedua belah pantatku.

“Ayo mandi.. abis mandi ibu kasih hadiah..”

Pram tertawa, lalu mengangguk dan menuntun tubuhku untuk kembali berdiri.

“Hadiahnya apa?” tanyanya sambil menggandeng tanganku menuju ke kamar mandi.

“Sayang mau hadiah apa?”

“Segelas kopi, roti tawar diolesi selai cokelat.”

“Cuman itu?” tanyaku sambil menghidupkan shower dan mulai mengusap tubuhnya yang basah.

Pram mengangguk, lantas meraih sabun cair dan menuangkannya ledalam tanganku.

“Beres.. ibu udah buat kopi, rotinya juga udah siap kok.”

Sambil memandangiku menyabuni tubuhnya, Pram menyempatkan diri menggosok gigi. Ia membiarkanku memandikannya, layaknya seorang anak kecil yang sedang dimandikan oleh ibunya.

“Hari ini rencananya mau ngapain?” tanyaku sambil beralih ke belakang tubuhnya.

“Mau ke perpus bu, cari buku. Kalo gak ada, nanti mau beli aja. Buat bahan skripsi.”

“Kalo sayang lagi capek, jangan dipakasin yaa.. inget istirahat juga lhoo.”

“Iya bu.. saya gak capek kok. Cuman lagi berasa males aja.”

Sambil mengeringkan tubuhnya dengan handuk, berkali-kali kecupan kulayangkan ke sekujur punggungnya. Aku hanya berusaha untuk menyemangatinya, memanjakannya agar kembali ceria dan penuh semangat dalam menjalani hari.

“Sekarang pakai bajunya. Abis itu kita sarapan.”

Pram mengangguk pelan dan mengikuti apa yang kukatakan. Tak sampai sepuluh menit kemudian, kami telah berada di dapur, di meja makan.

“Nanti ibu berangkat kerja sendiri ya sayang. Sayang langsung ke kampus. Abis dari kampus sayang harus istirahat.”

“Saya mau anterin ibu.”

“Enggak. Pokoknya sayang harus langsung ke kampus. Ibu bisa berangkat sendiri kok. Kalo perlu, sayang pakai mobilnya, biar ibu yang bawa motor.”

Pram hanya diam membisu, lantas menyeruput kopinya.

“Bukannya ibu gak mau dianterin sayang, tapi ibu mau supaya sayang bisa punya waktu lebih untuk ngurusin skripsinya. Kalo bisa, istirahat yang cukup supaya gak kecapekan, gak sakit.” kataku seraya mengusap pipinya.

“Ini tahap akhir lhoo.. jadi harus dijalani dengan sebaik mungkin.” sambungku.

= = =

Banyak hal yang kurenungkan selama perjalanan menuju ke kantorku, tentang bagaimana aku harus bersikap terhadap Pram, terutama dalam hal hubungan seks.

Semua ucapan-ucapannya semalam masih kuingat dengan baik. Aku bisa memahami, bisa memaklumi maksud baiknya, namun gejolak birahi yang selalu menghampiri terkadang membuatku takluk, dan melupakan segalanya.

Pengalaman bersama Nina, bersama Pram telah membuktikannya, betapa aku terlarut dalam dunia fantasi yang panas.

“Selamat pagi bu.” Sapa seorang satpam saat aku sedang hendak keluar dari mobil.

“Pagi pak..”

“Tempat parkir khusus untuk ibu ada di bagian samping kiri gedung. Disana tempatnya lebih teduh bu.”

“Oh iya, maaf ya pak, saya gak tau.”

“Iya, gapapa bu, mari saya arahkan.”

Satpam yang bernama Budi itu berjalan cepat didepan, sementara aku mengikutinya dengan mobilku.

Tempat yang ia maksudkan memang cukup teduh. Sebuah pohon ketapang dan deretan tanaman hias cukup menjadi pelindung baik dari terpaan sinar matahari.

“Disini khusus parkir kendaraan ibu dan bu bos. Basement dan parkiran depan untuk tamu hotel dan karyawan bu.”

“Iya, makasih ya pak.”

Si satpam pun berlalu ketika aku meninggalkannya untuk memasuki gedung. Baru saja aku menaiki satu anak tangga, sapa ramah seorang wanita muda kembali terdengar.

“Bu Rindi..”

“Iya..??” jawabku sambil menoleh.

“Resti..” balasnya sambil mengulurkan tangan.

“Rindiani.”

“Saya bagian keuangan bu. Ini sekalian mau ngomongin tentang tentang pemesanan ball room untuk acara ulang tahun.”

Sejenak aku memperhatikan Resti sebelum mempersilahkannya untuk duduk.

“Jadi gimana? Ada kendala? Atau ada hal yang penting tentang acara tersebut?” tanyaku.

“Acaranya bertepatan dengan malam tahun baru bu, dan biasanya kita tidak pernah menerima pemesanan untuk malam tahun baru.”

“Kenapa seperti itu?”

“Malam tahun baru banyak teman-teman disini diliburkan. Kita pasti kekurangan tenaga jika harus melayani acara itu."

Sejenak aku terdiam, mencari solusi terbaik untuk situasi ini.

“Klien butuh konfirmasi secepatnya bu.” kata Resti lagi.

“Saya minta tolong, kumpulkan teman-teman supaya kita rapatkan dulu bersama mereka.”

“Siapa aja bu?”

“Bagian keamanan, bagian dapur,"
"HRD juga?”

Aku mengangguk pelan lalu menghidupan komputer dihadapanku.

Resti pun meninggalkan ruanganku, dan tak sampai sepuluh menit kemudian, ia kembali dengan beberapa orang lainnya, Bayu merupakan salah satu diantaranya.

“Silahkan duduk.”

“Mbak Resti, silahkan disampaikan.” kataku.

Resti pun langsung menyampaikan hal yang telah ia ceritakan padaku. Bayu, dan Dinda dari bagian dapur duduk berjajar rapi di meja rapat di ruang kerjaku. Pak Budi dari bagian keamanan hotel pun hadir, duduk diseberang kami.

“Jumlah tamu undangan?” tanya Dinda.

“Estimasi, 300 orang.” sahut Resti.

Bayu mengangguk, satu tangannya sibuk menulis sesuatu diatas lembaran kertas yang ia bawa.

“Waktu?” tanya Bayu.

“31 desember, jam 9 malam sampai jam 1 dini hari.”

“Sejak ibu bos yang menangani manajemen hotel, kita sudah memiliki tradisi baru, yaitu menolak semua acara yang menggunakan ball room agar karyawan bisa berlibur, menikmati malam pergantian tahun bersama keluarga.” kata Dinda.

“Jadi? Kita tolak?” tanya Pak budi.

Semua terdiam sesaat, sambil memandang ke arahku.

“Baiklah. Saya sudah melihat dan mempelajari laporan kinerja tiap departement selama beberapa bulan belakangan, dan yang saya lihat, omset hotel ini cenderung stagnan, dalam artian belum ada peningkatan yang lebih.”

“Mungkin kita bisa mulai mencoba untuk menaikkan omset tersebut dengan menerima permintaan klien kita ini. Bagaimana?” tanyaku.

Bayu nampak setuju, begitu juga dengan Resti dan pak Budi.

“Dinda?” tanyaku.

“Saya tidak bisa memaksakan teman-teman di bagian dapur untuk bekerja di malam pergantian tahun bu, kecuali ibu yang langsung berbicara kepada mereka.”

“Kenapa begitu??” tanyaku heran.

“bagian dapur hanya sepuluh orang. Lima sift siang, dan sisanya sift malam.

“Lima orang untuk 300 tamu undangan sangat kurang bu.”

“Harus bisa.” kataku.

“Nanti kamu atur lagi jadwal mereka agar bisa memenuhi permintaan klien.”

“Baik bu.” jawab Dinda singkat.

“Oke..”

“Mbak Resti, silahkan konfirmasi ke klien bahwa pemesanan ball room untuk tanggal 31 sudah fix.” kataku kemudian.

Segera setelah mereka meninggalkan ruangan, Bayu mendatangi meja kerjaku.

“Sebagai gantinya, nanti saya akan atur jadwal libur tambahan untuk mereka. Bagaimana menurut ibu?” tanyanya.

“Ide bagus.. saya setuju.” Kataku singkat.

“Kalo boleh tau, kenapa harus menolak penggunaan ball room saat malam pergantian tahun, bukankah justru saat itu adalah moment high season?” tanyaku.

Bayu tersenyum sejenak, lantas memangku satu paha diatas paha lainnya.

“Teman-teman disini diberi opsi, apakah mau libur dimalam pergantian tahun, atau diberi insentif tambahan jika tetap masuk seperti biasanya.”

“Suara mayoritas meminta untuk libur. Hanya mereka yang bertugas di bagian vital, yang langsung berhubungan dengan customer yang tetap bekerja.”

Aku mengangguk pelan setelah mendengan penjelasannya. Kuangkat telpon di sudut meja kerjaku dan memesan kopi pada bagian dapur.

“Kopi?” tanyaku pada bayu.

Bayu menggelengkan kepala.

“Itu sebabnya banyak teman-teman yang betah bekerja disini, bahkan menyeberang dari pihak pesaing untuk bergabung dengan kita.”

“Resti salah satu contohnya.” sambungnya.

“Oh ya??” tanyaku.

Bayu mengangguk pelan sambil tersenyum.

“Sejak ditangani bu bos, ada perubahan signifikan dalam hal kinerja. ‘Lebih humanis’ dalam istilah saya. Hanya saja, berdampak pada income hotel kita. Tetapi bagi bos, tidak terlalu bermasalah, kita bisa menutupinya dengan cara lain.”

“Cara lain seperti apa?” tanyaku.

“Sebaiknya ibu ngobrol langsung dengan bagian pemasaran, mbak Dinda.”

“Saya sudah melihat laporan yang mas Bayu sarankan untuk dipelajari. Untuk keuangan, baik, hanya saja sepertinya stagnan, tidak ada peningkatan yang signifikan.”

“Konsekuensi kebijakan humanis.” guman Bayu.

Hanya beberapa saat kemudian, suara ketukan pintu terdengar. Setelah aku mempersilahkan masuk, Sosok Lisa pun menghampiri mejaku dengan segelas kopi.

“Silahkan bu..” katanya singkat, lalu meninggalkan aku dan Bayu.

“Mas Bayu setuju dengan kebijakan humanis ala bu bos?” tanyaku.

Bayu tertawa sambil memandang wajahku. Ia nampak sedikit ragu dengan jawabannya.

“Sejujurnya, saya setuju dengan hal tersebut. Di hari-hari besar seperti lebaran, natal dan tahun baru, adalah waktu yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga. Saya sendiri sudah berkeluarga dan senang bisa berkumpul bersama keluarga saya di moment seperti itu.”

Kuseruput sedikit bagian kopi panas yang diletakkan Lisa di mejaku, sambil mendengarkan Bayu.

“Imbasnya, income kita tidak ada peningkatan. Ditambah persaingan hotel di kota ini semakin menggila. Kota sekecil ini telah dipenuhi oleh hotel-hotel berbintang layaknya kota metropolitan.” sambungnya.

“Keluarga mas Bayu tinggal dikota ini?”

Bayu mengangguk dan tersenyum. Aku bisa melihat pancaran kebahagiaan diwajahnya.

“Kita bekerja di bagian jasa, dan seperti pada umumnya, waktu kerja kita jauh lebih banyak dan panjang, terutama saat high season. Saya paham akan hal tersebut karena itulah dunia profesi kita. Hanya saja, kebijakan humanis ini harus dibarengi dengan strategi lain demi mendapatkan income tambahan.”

“Sejauh ini, saya Pribadi menilai kita belum melakukannya.” katanya.

“Karena belum menemukan caranya.” gumanku pelan.

Bayu mengangguk pelan, lalu mengalihkan pandangan ke arah jendela.

“Kita butuh improvisasi. Butuh sedikit lebih agresif dan gila untuk bersaing didunia perhotelan.” katanya lagi.

Aku hanya bisa menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan.

“Jangan terlalu dijadikan beban pikiran bu. Let it flow.” gumannya lalu tersenyum.

“Oke, saya pamit bu. Kembali kerja.” katanya lagi, lalu beranjak pergi setelah aku mengangguk.

“Terima kasih untuk ngobrol-ngobrolnya.”

Anytime.” jawabnya singkat lalu keluar dari ruangan.

Potensi wisata di kota pelajar semakin berkembang pesat, seiring dengan perkembangan bisnis perhotelan yang menjamur diberbagai sudut wilayahnya.

Persaingan semakin bertambah ketat karena begitu banyaknya losmen, kost harian, dan home stay yang mencoba peruntungan dengan terjun didalamnya.

Aku tidak begitu memahami dunia pemasaran beserta strateginya, apalagi aku pun belum memiliki pengalaman pekerjaan sedikitpun. Posisi yang kududuki kini, cukup berat dan menantangku untuk lebih berkembang.

Aku tidak mungkin bersikap masa bodoh dan menyerahkan semua tanggung jawab kepada setiap kepala depatemen dibawahku.

Segera kuraih tas cangklong dan meninggalkan ruanganku.

“Maaf menggangu mas, saya mau keluar. Ke toko buku.” kataku pada Bayu yang tengah sibuk dibelakang meja kerjanya.

“Oh, iya bu. Biar di antar supir kita, sebentar ya, saya hubungi.”

Sekejab, aku memperhatikan suasana sekeliling ruang kerja Bayu, sambil menunggu ia berbicara dengan supir yang ia maksudkan.

“Oke bu, ibu bisa tunggu mobilnya didepan pintu lobi.” kata Bayu setelah menutup telfonnya.

“Makasih mas Bayu..” kataku, lalu pergi meninggalkannya.

Tepat saat aku riba didepan pintu lobi, sebuah mobil sedan berwarna hitam legam berhenti disana. Dan ketika si supir keluar dari mobilnya, aku sedikit terkejut melihatnya.

Ia adalah pria iseng yang mencoba menggodaku di warung sate, Hendra.

Dengan ramah ia menyapaku dan mengulurkan tangan untuk berkenalan denganku.

“Saya Hendra bu, supir disini.”

“Rindi.” jawabku singkat.

Ia segera membuka pintu mobil dan mempersilahkanku untuk memasukinya. Tampaknya Hendra tidak mengenalku, atau mungkin saja ia malu terhadapku karena keisengannya beberapa waktu yang lalu.

“Kita ke toko buku mana bu?” tanyanya saat kami telah keluar dari gerbang halaman hotel.

“Coba ke Gramedia Amplaz mas.” kataku singkat.

“Iya bu.”

Tak banyak yang kami bicarakan sepanjang perjalanan, karena aku berusaha untuk menjaga jarak dengannya.

“Saya tunggu di depan bu.” katanya setelah sampai di mall.

“Okeyy, cuman sebentar aja kok mas.” jawabku singkat.

Gramedia menempati salah satu gerai di mall yang terletak di jalan poros antar kota. Suasana ramai mulai terasa walaupun waktu masih terlalu dini, siang hari.

Sama halnya dengan gerai lainnya, Gramedia pun di padati oleh pengunjung, yang didominasi oleh para mahasiswa dan mahasiswi.

Lorong demi lorong kulalui, mencari buku-buku yang berkaitan dengan dunia marketing, sebagai modal untuk mulai terjun dan membantu bagian pemasaran di hotel tempatku bekerja.

Di antara keramaian gerai tersebut, aku melihat lelakiku tengah berdiri mematung, dengan sebuah buku ditangannya.

“Sayang..” bisikku dari arah belakang.

Pram sedikit terkejut dan menoleh.

“Ibu kok disini?” tanyanya heran.

“Ibu mau cari buku tentang marketing.”

“Udah dapet bukunya?”

Aku menggelengkan kepala.

“Ibu baru aja nyampe sini.. ini baru mau nyari.”

Pram meletakkan buku yang ia pegang di rak disampingnya, lalu meraih jemariku dan mengajakku melangkah.

“Buku-buku marketing di sebelah sana bu.” katanya lagi sambil menunjuk ke bagian tengah toko, sedikit Jauh dari posisi kami.

“Sayang udah dapet buku yang mau dibeli?”

“Belum bu, masih lihat-lihat aja dulu.”

Tak berapa lama kemudian, akhirnya kami sampai di bagian yang Pram maksudkan. Satu rak buku tentang dunia pemasaran berjejer rapi di rak buku.

“Ini tempatnya.” gumannya singkat.

“Makasih sayang..”

Pram setia menemaniku, bahkan ikut membaca beberapa contoh buku yang terpajang disana.

“Sayang gak lanjutin cari bukunya?” tanyaku.

“Nanti aja bu. Saya temenin ibu dulu.”

“Iyaaa.. makasih ya.. tapi kalo mau cari bukunya sekarang juga gapapa kok, ibu ditinggal juga gapapa kok sayang.”

Pram hanya menggelengkan kepalanya, dan tetap bersamaku.

Hampir sepuluh menit berlalu ketika akhirnya aku memutuskan untuk membeli tiga buku sekaligus atas rekomendasi lelakiku karena ia telah membaca sedikit bagian didalamnya.

“Setelah ini sayang mau ke kampus?” tanyaku sambil mengantri di bagian kasir bersamanya.

“kalo buku yang saya cari gak ketemu, saya mau ke toko buku Tiga Serangkai dulu bu, cari disana.”

“Ya udah, sayang lanjutin dulu cari bukunya, biar ibu ngantri sendiri.”

Pram tetap bersikukuh untuk tetap bersamaku, suatu hal yang membuatku semakin menyayanginya. Sikapnya yang sangat peduli dan perhatian tak sedikitpun luntur, bahkan semakin kuat. Ia bahkan membayar buku yang telah aku pilih saat telah sampai di meja kasir.

“Dari kemarin ibu dibayarin terus.” Protesku sambil berjalan menuju ke pintu keluar toko.

“Gapapa buu..” jawabnya singkat lalu tersenyum.

“Ibu sendirian kesini?” tanya saat kami telah berada didepan toko.

“Tadi dianterin supir.”

“Wah, ibu udah seperti mbak Calya.. kemana-mana udah dianterin supir.”

“Itu fasilitas dari hotel kok sayang..”

“Ya udah, ibu tinggal ya, kembali kerja lagi.” sambungku.

Pram mendekatkan tubuhnya, lantas mengecup keningku. Perlakuannya itu sukses menjadikan kami pusat perhatian banyak pasang mata yang kebetulan berada disana.

Sebagai seorang wanita, apa yang telah ia lakukan benar-benar membuatku tersanjung. Tidak ada rasa bosan, atau lelah baginya untuk tetap memberiku kebahagiaan, dan perhatian penuh. Ia bahkan melakukannya didepan umum, dan tanpa merasa malu sedikitpun.

Jika saja aku bertemu dengannya lebih awal, sebelum aku mengenal suamiku, sudah tentu jalan hidupku akan dipenuhi dengan rona bahagia. Senyum dan tawa akan menghiasi wajahku setiap saat.



♡♡♡ bersambung♡♡♡

Part 4 akan rilis dalam beberapa jam kedepan

Terima kasih :rose:
 
Bimabet
Part 2



Rindiani


‘Kesabaran’ itulah sebuah kata sederhana yang sangat mudah diucapkan, namun sangat sukar untuk diaplikasikan dalam kehidupan.

Berbeda denganku, Pram jauh lebih mampu mengendalikan perasaannya, mampu mengolah hatinya sehingga bisa bersikap tenang dan bijak dalam setiap tindak tanduknya. Ia begitu sabar menghadapi Rita, si gadis jahil yang bagiku bak kutu dalam tumpukan rambut.

“Kalo sama Rita, jangan diambil hati bu. Bisa-bisa ibu stroke kalo terbawa emosi.” gumannya.

“Rasanya ibu gatel banget kalo lihat dia, bawaannya pengen ibu gigit, pengen ibu cubit sampe ibu puas.”

Pram tertawa pelan, dan kembali merangkul pinggangku dan berjalan pelan, mernyusuri lorong itu. Aku kembali berhenti setelah melihat deretan rok mini yang tergantung ditepi lorong tersebut. Kuraih sehelai dan menempelkannya di pinggangku.

“Seksi..” gumannya pelan.

“Beli aja bu.” sambungnya.

“Sayang suka kalo ibu pakai kayak gini?” Pram mengangguk sambil tersenyum malu.

“Boleh ibu pakai jalan-jalan?”

“Enggak.. gak boleh, pakainya di rumah aja.”

Aku tersenyum dan melangkah mendekat.

“Kalo dirumah, ibu lebih senang telanjang” bisikku.

Pram tertawa, lantas meraih beberapa helai rok mini lagi dan membawanya. Ia pun setia mendampingiku saat memilih tanktop, dan lingerie.

“Mbak, saya mau coba semua pakaiann ini, kalo suami saya ikut masuk ke fitting room boleh?” tanyaku pada wanita pelayan toko yang berdiri tak jauh dari kami.

“Boleh bu.. silahkan.”

“Makasih mbak.”

Pram tertawa pelan sambil melangkah disampingku.

“Bener-bener makin nakal. Nekat.” gumannya pelan.

“Biarin.. kan nakalnya sama suami sendiri.”

Mendengar ucapanku, ia meremas pinggangku sambil terus melangkah bersamaku menuju ke fitting room.

“Pasti mereka percaya kalo kita suami istri.” bisikku pelan sambil melucuti rok panjang yang kukenakan.

Bukannya mencoba rok mini yang telah kami pilih, aku malah melingkarkan tangan di leher lelakiku dan merapatkan tubuh padanya.

“Ibu gak takut di pergokin orang?” tanyanya pelan.

“Disini kan aman. Lagian tadi kan ibu bilang kalo kamu suami ibu.” jawabku sambil mengusap kemaluannya dari balik celana.

Aku segera mencoba beberapa helai rok mini tersebut, dan Pram pun nampak menyukainya.

“Bagus.. seksi..” bisiknya sambil memelukku dari arah belakang.

Tak sampai lima menit kemudian, kami pun keluar dari bilik tersebut dan menyerahkan rok tersebut ke pelayan toko tersebut.

“Sekarang cari flat shoes, di lantai atas.” kataku.

Sekali lagi Pram merangkul pinggangku, dan mengiringi langkahku menuju ke lantai tiga. Disana, Rita dan Nina tengah sibuk mencoba beragam sepatu dan sandal wanita.

“Udah dapet sepatunya?” tanyaku.

“Bingung.. pada bagus-bagus semua..” jawab Nina.

“Iya.. udah gitu ada diskonnya lagi.” sambung Rita.

“Pantesan cewek kalo belanja lama banget..” guman Pram.

Nina dan Rita menatap tajam kearah Pram, hingga membuatnya tertunduk malu.

“Udah, buruan dipilih biar kita cepet pulang.” kataku seraya meninggalkan mereka dan memilih dua pasang flat shoes lalu mencobanya.

“Sayang.. gimana? Bagus gak?” tanyaku pada lelakiku.

Pram pun mengangguk.

“Pram, kalo ini bagus gak?” tanya Rita sambil memamerkan sepatu sport berwarna biru padanya.

“Bagus.. jadi kelihatan sporty.” jawabnya singkat.

Hampir sepuluh menit kemudian, akhirnya kami pun kembali ke lantai dua, ke bagian kasir untuk membayar semua barang yang telah kami pilih, dan ketika giliranku tiba, Pram mendampingiku, berdiri disampingku. Ia lantas mengeluarkan kartu kredit dan menyerahkannya pada kasir.

“Pakai ini aja mbak.” gumannya.

Belum sempat aku memprotes tindakannya, Rita pun menyelinap diantara kami dan meletakkan belanjaannya diatas meja kasir.

“Sekalian sama ini mbak..” katanya dengan santai.

“Ehh.. kok..???” tanyaku heran sambil menatap Rita.

Pram hanya tersenyum, sambil mengangguk ke arah kasir.

“Nin.. sekalian punyamu juga.” katanya kemudian.

“Enggak Pram.. nanti aku bayar sendiri.”

“Udahh.. sini..” jawab Pram sambil meraih barang belanjaan yang dibawa Nina.

“Emang paling asik kalo belanja sama kakakku ini… baik hati sedunia.” kata Rita.

Wanita muda yang berdiri dibelakang meja kasir pun tertawa pelan mendengar hal itu.

“Gombal.. giliran dibelanjain aja tiba-tiba jadi imut gini.” guman Pram.

Rita tertawa lantas merangkul lengan lelakiku.

“Mbak.. ini kakakku lhoooo.. dia ganteng kan?” kata Rita pada si Kasir.

Pram hanya menggelengkan kepala sambil berusaha melepaskan tangan Rita, namun Rita tetap saja merangkulnya.

“Iya, ganteng.” jawab si kasir pelan sambil mulai menghitung seluruh belanjaan kami.

Nina tersenyum geli, sementara aku menatap Rita dengan perasaan gemes di dadaku. Tingkahnya membuatku sangat ingin mencubitnya dengan sangat keras.

“Sabar..” kata Pram pelan, sambil mengusap lenganku.

Aku hanya bisa menghela nafas, berusaha menahan luapan perasaanku terhadap Rita.

“Kalian kakak beradik?” tanya si kasir sambil terus menghitung jumlah belanjaan.

“Iya dong.. kami..”

“Ennggaakkkkkk… bukkkaaannnn” kataku, memotong ucapan Rita.

“Yang ini tadi nemu di pinggir jalan.” sambungku.

Dengan cepat Rita menjulurkan tangan dan hendak mencubitku, namun Pram segera berusaha menahannya, dibelakang kami, Nina tertawa geli.

“Jarang banget ada kakak adik yang udah dewasa bisa akrab dan akur seperti ini.”

Tawa Nina semakin menjadi setelah mendengarkan perkataan si kasir.


= = =

“Emangnya wajah kita berempat mirip?” tanya Pram sambil mengendalikan stir.

“Eennggaaakkkkkkk..! Gak ada mirip-miripnya sama sekali” jawab Nina cepat.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala setelah mengingat kejadian didepan meja kasir, sedangkan Rita tertawa terbahak-bahak dengan protes Nina.

Keakraban dan kedekatan yang telah terjalin lama membuat Rita dan Nina menjadi lebih bebas dalam melakukan apapun terhadap lelakiku. Tidak ada batasan maupun rasa sungkan terlihat dari kedua wanita tersebut.

Pram, lelakiku pun tidak pernah memprotes kegilaan mereka, walaupun terkadang aku yang harus menahan perasaan geregetan terhadap mereka.

Namun, biar bagaimana pun, mereka adalah orang-orang yang terlebih dahulu mengenal Pram, mengisi hari-hari lelakiku dengan canda dan tawa, dan aku harus memakluminya. Kehidupanku jauh lebih ceria dan penuh warna karena mengenal mereka, dan entah mengapa, tak ada rasa cemburu sedikitpun dalam diriku melihat kedua wanita muda tersebut begitu dekat dengan lelakiku.

Sebaliknya, aku merasa senang dan bahagia karena kehadiranku dalam lingkungan pertemanan mereka tidak mengubah satu hal pun. Mereka tetap bercanda, saling menggoda satu sama lain, lalu tertawa bersama. Itulah hari-hari penuh warna yang telah kulewati bersama mereka.

“Mbak Rin, Pram.. makasih banyak udah belanjain aku..” kata Rita ketika kami telah sampai di kostnya.

Pram mengeluarkan barang belanjaannya dari bagasi mobil, lalu menyerahkan pada Rita.

“Iya.. sama-sama dek.. ya udah, istirahat gih, biar besok gak telat ke kampus.”

“Iya mbak. Makasih ya..”

Rita lantas memelukku dengan erat hingga beberapa saat.

“Pram gak dipeluk? Dia udah belanjain kamu lhooo.” kataku.

Rita tersenyum, lantas meletakkan kantong plastik belanjaan di tanah dan memeluk lelakiku dengan erat.

“Makasih Pram.” gumannya pelan.

Pram membalas pelukan Rita, hanya sekejap lalu melepaskannya.

“Emang Rita selalu usil sejak dulu kenal kalian?” tanyaku saat kami melanjutkan perjalanan untuk mengantarkan Nina.

“Awal-awal kenal sih dia masih tenang mbak, makin lama makin kelihatan usilnya, dan sekarang makin parah.”

Pram tertawa pelan sambil memperlambat laju mobil karena suasana ramai disepanjang jalan yang kami lalui.

“Tapi kalo gak ada dia, rasanya kurang komplit. Sepi.” kata Pram.

“Iyaaa… dia yang buat suasana jadi heboh.” timpalku.

“Tapi harus ekstra sabar kalo berteman sama dia, kalo enggak, bisa tekanan batin.” sahut Nina.

Hanya beberapa saat kemudian, kami pun tiba di depan kost Nina.

“Kalian gak mampir dulu?” tanyanya.

“Mbak langsung pulang aja Nin, udah malem. Besok mbak harus kerja. Kalian kan harus ke kampus juga."

“Yyaaaahhhh, padahal pengen ngobrol-ngobrol dulu..” gumannya.

“Besok-besok lagi aja Nin..” balas Pram.

Nina memeluk dan mengecup pipiku, kedua tangannya kembali meremas lembut pantatku. Pram yang menyaksikan hal itu tersenyum sambil menggelengkan kepala.

“Masa cuman Pram aja yang boleh pegang-pegang.. aku juga harus boleh dong.” katanya, lalu melepaskan pelukan.

“Ya udah, kalian hati-hati dijalan ya..” katanya kemudian.

“Makasih ya Pram, udah bayarin belanjaanku.”

“Iya, sama-sama Nin.”

Aku tersenyum, lantas bergeser, mendekat pada Nina.

“Udah dibelanjaain cuman bilang makasih aja? Pacar mbak gak dikaaih pelukan apa ciuman gitu?” tanyaku.

Nina tertawa lalu melihat kesekelilingnya. Suasana telah cukup sepi karena para penghuni kost lainnya telah memasuki kamarnya masing-masing.

“Emang boleh?” tanya Nina pada Pram.

Tanpa mwnjawab pertanyaan, Pram merapatkan tubuhnya dan merengkuh Nina. Lelakiku memeluknya dengan sangat erat hingga beberapa saat lamanya. Tentu aku sedikit terkejut dengan apa yang ia lakukan, karena tak seperti biasanya, Pram terlebih dahulu memeluk Nina.

“Tumben mau peluk aku, biasanya aku yang duluan peluk.”

Pram hanya tersenyum, lalu bergeser mendekat padaku.

“Gapapa Nin..” jawabnya singkat.

“Ya udah, kami pamit ya Nin..” kataku sambil menggengam erat jemari lelakiku.

“Iya, hati-hati dijalan yaaa…” balasnya sambil meraih kembali kantong plastik belanjaannya.

Ia melambaikan tangan saat kami meninggalkannya, dan kubalas dengan senyum dan lambaian tangan pula.

“Tumben sayang mau duluan peluk Nina.. biasanya kan dia yang main peluk duluan.”

“Ya gapapa sih bu, gak ada maksud apa-apa kok.”

Aku tersenyum, lantas merapatkan tubuh dengannya.

“Beneran gak ada apa-apa?”

Pram tertawa pelan, lalu mengecup permukaan jilbab yang menutupi kepalaku.

“Ibu cemburu?” tanyanya.

“Dikit..” jawabku pelan sambil melingkarkan lengan di pinggangnya.

“Itu baru pelukan lho bu, gimana kalo sampe ciuman? Apalagi sampai bercinta??”

Aku tersenyum malu, lantas menyembunyikan wajah di pundaknya.

“Iya ya.. kayaknya ibu gak bisa deh. Sebenernya ibu sih cuman pengen ngerasain threesome aja..penasaran gitu. Tapi ibu gak mau kalo sama laki-laki lain. Maunya sama cewek aja.”

“Nina..?” tanya lelakiku sambil menatap jalan didepan.

“Iya..” Pram menghembuskan nafas panjang, satu tangannya melepaskan stir mobil dan mengusap pipiku dengan lembut.

“Saya senang ibu jujur dan terbuka dengan saya.” katanya, lalu kembali mengecup kepalaku.

“Tapi untuk yang satu ini, saya belum siap bu. Saya gak berani. Banyak hal yang harus dipertimbangkan.” sambungnya.

Aku mengangguk pelan dan mempererat pelukanku.

“Kalo kita mencoba dan ternyata enak.. gak menutup kemungkinan kita akan mengulanginya lagi. Dan yang pasti, seks itu selalu membuat kita selalu merasa haus.” katanya.

“Haus gimana sayang?”

“Haus dalam arti selalu merasa kurang. Coba sekali, senang. Lalu mencoba lagi, lagi, dan lagi. Kita tidak akan pernah merasa puas.”

Aku kembali mengangguk pelan.

“Mungkin saya bisa menahan hasrat, dan ibu pun bisa, tapi Nina?”

“Atau, mungkin juga setelah main bertiga, hubungan kita berubah. Seks diantara kita terasa hambar dan akhirnya menjadi hal yang terlihat seperti biasa aja, karena telah merasakan sensasi kehadiran orang ketiga.”

Aku termenung dipundak lelakiku. Sedikit banyak, ia sedang memberiku pelajaran tentang kegilaanku terhadap seks.

“Bukannya saya gak mau bu.. saya laki-laki normal kok. Tapi saya ingin hubungan kita gak dicemari dengan hal seperti itu. Saya belum siap untuk hal seperti itu.”

Apa yang ia sampaikan benar-benar membuka pikiranku. Aku tak berpikir sedalam seperti yang Pram ungkapkan. Ia lebih memilih untuk menjaga hubungan kedekatan kami dibandingkan dengan tawaran kenikmatan dariku.

Ia membuka mataku tentang resiko yang mungkin terjadi setelah realisasi fantasi liar tersebut. Ia membuatku sadar diri, dan berusaha untuk menjagaku agar tak terjerumus dalam kecanduan seks.

“Makasih sayang. Ibu gak mikir sampai segitu.” gumanku sambil mengusap pipinya.

Pram meraih jemariku dan meremasnya, lantas mengecupnya.

“Untuk variasi sih emang bagus, tapi ya selalu ada konseksuensi dari setiap perbuatan. Nah, sekarang, apakah kita siap dengan konsekuensi tersebut?”

“Kayaknya ibu gak siap. Ibu gak mau kehilangan kamu.” jawabku.

“Saya pun yakin, Nina gak siap dengan konsekuensinya..” sambungnya.

Lama kami terdiam hingga akhirnya sampai dirumah dan aku masih mencoba memikirkan apa yang telah dikatakan oleh Pram.

“Udahh, jangan dipikirin buuu.. biarkan aja mengalir..saya minta ibu mulai fokus ke pekerjaan ibu.” kata Pram sambil melucuti baju dan celananya hingga hanya menyisakan celana dalam.

Aku hanya bisa tersenyum lalu melangkah mendekat dan memeluknya dari belakang. Satu kecupan nan mesra kulayangkan ke pundaknya.

“Ibu gak mau kehilangan kamu..” bisikku sambil menyandarkan dagu dipundaknya.

“Itu sebabnya saya gak mau ambil resiko bu.” Pram menumpangkan kedua lengan diatas tanganku, mengecup pipiku dengan mesra.

“Saya senang ibu gak marah..” gumannya.

“Ibu paham.. ibu ngerti sepenuhnya maksud sayang.”

Pram memutar tubuh, berhadapan denganku dan memegang kedua belah pipiku dengan lembut.

“Saya ingin Nova memiliki ibu yang sempurna. Seorang ibu yang bisa ia banggakan dan menjadi teladan baginya. Semua ini bukan hanya tentang ibu, tapi tentang Nova juga.”

“Jangan kecewakan Nova. Cukup ayahnya yang membuatnya terluka, jangan sampai ibu pun melukainya dengan prilaku yang bisa membuatnya terluka dan kecewa."

Aku tertegun, diam seribu bahasa dalam keheningan malam setelah Pram mengungkapkan isi hatinya. Tatapn matanya begitu dalam, menembus jiwaku. Rangkaian kalimatnya terasa seperti ratusan peluru yang menyobek jantungku. Ia menaparku dengan caranya, menghempaskan fantasi liarku dan memusnahkannya dalam sekejab.

Aku masih terdiam dan perlahan, mataku terasa perih. Sebutir air mata pun mengalir melalui sudur mata.

“Mungkin apa yang ibu lakukan tidak akan diketahui oleh siapapun, bahkan oleh Nova. Tapi, pertanyaan saya, apakah ibu tidak merasa bersalah didalam hati? Jika akhirnya karena kelakuan nakal ibu membuat Nova kecewa dan terluka."

Sekali lagi, lelakiku menamparku dengan keras. Ia membuatku terdiam, lidahku pun terasa kelu hingga hanya mampu membalas tatapannya yang tajam.

“Saya mohon, ingat selalu bahwa Nova hanya memiliki ibu, dan jangan sampai dia merasa kecewa terhadap ibu. Jangan egois.. saat ini ibu tidak bisa hanya memikirkan kesenangan untuk diri ibu sendiri. Ibu tidak bisa lagi bersikap egois, karena ibu telah memiliki Nova.”

Pram benar-benar menghabisiku. Ia menelanjangi pikiranku dan membuka mataku.

“Saya tidak bermaksud untuk ikut campur dalam kehidupan pribadi ibu. Saya tidak bermaksud untuk mengatur bagaimana cara ibu menjalani kehidupan. Saya hanya ingin ibu sadar dan selalu mengingat bahwa ada Nova yang harus mulai ibu pikirkan.”

Sesaat setelah ia menyelesaikan kalimatnya, Pram menyeka air mata yang mengalir di pipiku. Tak kuasa menahan gejolak dalam dada, akhirnya aku memeluk erat tubuhnya, sangat erat demi menenagkan hatiku.

Pram sedang berusaha untuk menyadarkanku, membenahi sisi liar yang semakin hari semakin tak terkendali.

“Kita istirahat yuk bu. Udah larut.” katanya kemudian sambil mengusap punggungku.

“Sekarang ibu ganti pakaiannya. Kita tidur biar besok gak kesiangan bangunnya.”

Pram membuatku terdiam, membuatku tersadar akan realita yang nyaris terlupakan. Nova, putri kecilku yang seharusnya menjadi duniaku mulai terkikis perlahan oleh ego, oleh beragam lika-liku hasrat yang mulai memelukku.

"Seks itu memang kebutuhan, saya mengerti dan saya paham itu. Tapi jangan sampai prilaku kita menjadi rusak, kehidupan kita menjadi terganggu hanya karena seks." sambungnya saat kami telah berbaring diranjangku.

"Jangan sampai ada yang terluka, atau dikorbankan hanya karena seks. Persahabatan dengan Nina mungkin akan berubah jika kita merealisasikan hal itu, atau, mungkin hubungan saya dan ibu pun mungkin akan berubah.. kita gak tahu bu.."

"Maka dari itu saya tidak berani. Dan saya belum siap untuk hal itu."

Pram memelukku erat, berkali-kali mengecup kepalaku setelah mengungkapkan apa yang ada di pikirannya, di hatinya.

Ia membuatku sadar, bahwa kehidupanku adalah pilar utama untuk Nova, putri kecilku. Dan untuk itu, aku harus menjadi yang terbaik baginya.



♡♡♡ bersambung♡♡♡

Part 3 akan rilis dalam beberapa jam kedepan

Terima kasih :rose:
Calm and crooot... mantabbb sista suhuu
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd